Lia masuk ke ruangan Rian. Mengamati bosnya dan teman mereka dengan seksama. Matanya melirik ponsel Dina yang ada di meja Rian. Dia bisa mengamatinya dengan mudah karena sekarang mereka duduk di sofa. Ia berusaha fokus mendengar penjelasan Rian. Rasa penasarannya tidak boleh menurunkan performa kerjanya.Jam sepuluh pagi mereka bertiga turun bersama beberapa karyawan dari divisi lain. Mereka akan naik bus yang sudah disediakan perusahaan. Karena ada sepuluh karyawan yang berangkat. Seperti biasa, Rian bergabung dengan dua manajer yang ikut bersamanya. Dina duduk bersama karyawan lain di kursi belakang Rian. Sedangkan Lia memilih duduk di kursi panjang paling belakang.Menceritakan penemuan yang ia lihat tadi. Ditambah Rian dan Dina memasukan barang yang bukan ponsel mereka ke tas masing-masing. Kursi paling belakang tidak hanya ramai dengan cerita empatg orang. Bahkan karyawan yang duduk di kursi depan juga tertarik untuk mendengar.“Jadi Dina tidak selingkuh dengan Pak Hermawan, tapi
Rian mengepalkan tangannya kesal. Dia tidak terima Dina yang sudah sah menjadi istri keduanya berlaku kemudian. Dengan emosi yang memuncak, Dima hendak mengetuk jendela saat Dina sudah berhenti berfoto. Ada pesan masuk yang segera wanita itu angkat. Tanpa melihat Rian yang berada dibalik jendela, Dina masuk ke kamar mandi.“Siapa yang menelpon Dina?” Rian meraup wajahnya kasar. Dia tidak menyangka akan mendapati sang istri berkelakuan aneh seperti itu.Rasa sesal menyelimuti hatinya. Wajah teduh Tiara dan tangisannya silih berganti memenuhi pikiran Rian. Betapa pria itu sudah menyesal menduakan wanita yang menemani perjuangannya. Wanita yang sangat disayang orang tuanya yang selektif dalam memilih pasangan.Ia terduduk di kursi taman. Hijaunya tanaman tidak bisa menutupi kegundahan hati Rian. Meski sudah mengetahui sedikit sikap Dina yang sebenarnya, entah kenapa hati kecil Rian tidak bisa melepaskan wanita itu. Seolah ada tali tak kasat mata yang mengikat mereka agar tidak bisa berpi
Rian seperti baru bangun dari tidur yang panjang. Dia melihat sisi tempat tidur dimana seharusnya Dina berbaring kosong. Sinar matahari menembus korden jendela. Dia duduk sambil mengucek matanya "Apa yang terjadi kemarin?" gumamnya bingung. Ingatan terakhir Rian adalah saat dia bicara dengan Dina di taman samping rumah. Ia minum air yang dibawakan Dina. Rian berusaha mengingat apa yang terjadi kemarin. Namun kepalanya mendadak pusing. "Kenapa aku tiba-tiba mengantuk?" Ia teringat perkataannya sendiri. "Kalau begitu ayo kita istirahat di kamar Mas." Dina menariknya agar berdiri. Dengan langkah tertatih, mereka masuk rumah. Rian melihat Dukun Deri duduk di sofa ruang tengah bersama orang tua Dina. Mereka berbincang akrab. "Apakah Rian tidak akan mengingat apapun?" Suara bapak Dina bertanya. "Tentu saja. Kita mempertahankannya sebagai tameng. Toh tidak ada lagi yang bisa diambil dari pria itu " Rian terlonjak kaget saat pintu kamar terbuka. Ingatannya tentang kejadian kemasin bu
Suara di dapur terdengar nyaring karena Tiara tengah memasak untuk makan siangnya dan anak-anak. Sang suami yang bernama Rian, tengah dinas ke kantor pusat yang ada di Jakarta. Meninggalkan Tiara bersama tiga anak mereka yang masih kecil. Sudah satu minggu berlalu sejak Rian pergi. Suaminya tidak pernah menelepon. Hanya membalas pesan jika Tiara yang mengirim pesan lebih dulu.Suara bel yang berbunyi nyaring membuat Tiara segera mematikan kompor. Kebetulan masakannya sudah matang. Tinggal menyajikan di meja makan. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Dia berjalan melewati kedua anaknya yang tengah bermain di ruang tengah. Sedang si sulung masih berada di sekolah.Rambut panjangnya yang dikuncir asal ke belakang sedikit berantakan. Tiara mencuci tangan lalu mengusapnya asal pada daster yang sudah lusuh. Ia berjalan menuju pintu depan. “Tunggu sebentar.”Pintu perlahan terbuka menampilkan Rian yang sudah pulang. Senyum Tiara mengembang, hendak menyalami tangan suaminya. Namu
Mata Tiara membulat. Ia tidak menyangka Rian akan mengatakan hal itu. Setelah selama ini sang suami bersikap acuh pada anak mereka. Tiara berkata, “Hak asuh anak di bawah umur pasti jatuh pada pihak ibu. Aku yang akan memenangkan hak asuh setelah kita berpisah.”Bibir Rian sedikit terangkat. Tersenyum sinis menatap istri yang dulu sangat ia cintai. Rian melipat tangannya di dada. Bersandar ke pintu yang sudah diketuk anak-anak mereka. Terus memanggil Tiara.“Ibu buka pintunya. Aku takut,” kata anak keduanya.“Ibuuuu,” teriak si bungsu.Tiara merangsek maju hendak membuka pintu. Rian menahan tangannya. Pria itu mendorong Tiara hingga terjepit diantara dinding dan tubuhnya. Tangan Rian mencengkram bahu Tiara hingga membuat sang istri meringis kesakitan. Namun Rian tidak melepaskannya. Dia menatap tajam Tiara.“Aku juga bisa mendapat hak asuh anak-anak karena bekerja dan punya penghasilan besar. Tidak seperti kau yang hanya ibu rumah tangga. Jika kita berpisah dengan membawa anak-anak pe
Tiara membeku. Kejadian yang berlalu sangat cepat membuat Tiara tidak bisa berpikir. Tiba-tiba Rian menamparnya lalu menuduh sudah mengadu pada ibu mertuanya. Tiara tidak senekat itu karena mengetahui kondisi kesehatan ibu mertuanya. Karena Tiara juga sudah menganggap ibu Rian sebagai ibu kandungnya sendiri.“Aku tidak pernah mengadu pada Ibu kalau kau akan menikah dengan Dina.” Tiara menatap Rian marah. Dia tidak gentar sama sekali dengan kemarahan sang suami.“Jangan bohong. Dina sampai stres karena makian Ibu. Selain itu, kamu juga tidak memikirkan kondisi Ibu saat memberi tahu hubunganku dan Dina.” Rian mencengkram bahu Tiara semakin erat. Wanita itu berusaha menahan erangan sakitnya.Dia memilih bertahan menerima perlakuan buruk ini, untuk mendapat bukti kekerasan fisik yang sudah dilakukan sang suami. Meski hatinya terasa sangat sakit, Tiara berusaha tegar. Matanya balas menatap tajam. “Aku berkata jujur. Kalau kau tidak percaya periksa saja ponselku. Buka semuanya. Mulai dari W
Tiara menggeleng. Dia berlutut lalu mengumpulkan semua bukti yang berserakan. Dadanya berdebar penuh ketakutan. ‘Bagaimana kalau Anggrek juga percaya wanita di foto ini adalah aku?’ batinnya bergejolak.Dia tidak mau jika anak sulungnya ikut membenci Tiara tanpa mengkonfirmasi dulu kebenarannya. Seperti yang dilakukan Rian. Tubuhnya kaku saat Anggrek ikut berjongkok. Mengambil salah satu foto dan memperhatikannya dengan seksama. Tiara terlalu takut untuk menatap anaknya. Dia masih berada di posisi semula. Saat Anggrek berdiri, Tiara juga berdiri. Keheningan yang aneh melingkupi kamar. Wanita itu tidak berani bicara. Ia menghela nafas berulang kali. Mengumpulkan kekuatan agar bisa menjelaskan semuanya pada si sulung.“Ibu bisa jelaskan sayang.” Tangannya mengusap bahu Anggrek.Anggrek masih diam. Dia justru memperhatikan tangan Tiara. Rasanya dia ingin pergi saat ini juga, tetapi Tiara terus menguatkan hatinya agar bisa menjelaskan kesalahpahaman ini pada Anggrek. Tiara juga takut jika
Tiara menggeleng. Dia menyembunyikan getar tangannya dibalik punggung. “Tidak. Bagaimana aku bisa masuk jika kamar selalu kau kunci?”“Jangan bohong. Tadi pagi aku meninggalkan ponsel di kamar. Karena terburu-buru aku tidak sempat mengambilnya dan lupa mengunci pintu. Siapa lagi yang akan mengambil ponsel itu selain kamu.”“Kalau tidak percaya periksa saja kamar ini. Geledah semuanya.” Tantang Tiara seolah tidak ada ponsel Rian yang ia sembunyikan.Rian mendengkus kesal. Berjalan ke tempat tidur. Meraba setiap inci seprai. Memeriksa bantal dan guling. Membuka semua laci lalu kembali ke hadapan Tiara. “Minggir.”Pria itu membuka lemari kanan. Memeriksa semua pakain Tiara yang tergantung. Lalu memeriksa pintu kiri. Mengeluarkan semua pakaian Tiara yang sudah terlipat rapi. Tiara hanya bisa menghela nafas. Mengambil semua pakaiannya lalu meletakan di tempat tidur. Saat berbalik, Tiara melihat Rian jongkok. Tubuh suaminya seperti mematung dengan pandangan tertuju pada kotak berisi foto pe
Rian seperti baru bangun dari tidur yang panjang. Dia melihat sisi tempat tidur dimana seharusnya Dina berbaring kosong. Sinar matahari menembus korden jendela. Dia duduk sambil mengucek matanya "Apa yang terjadi kemarin?" gumamnya bingung. Ingatan terakhir Rian adalah saat dia bicara dengan Dina di taman samping rumah. Ia minum air yang dibawakan Dina. Rian berusaha mengingat apa yang terjadi kemarin. Namun kepalanya mendadak pusing. "Kenapa aku tiba-tiba mengantuk?" Ia teringat perkataannya sendiri. "Kalau begitu ayo kita istirahat di kamar Mas." Dina menariknya agar berdiri. Dengan langkah tertatih, mereka masuk rumah. Rian melihat Dukun Deri duduk di sofa ruang tengah bersama orang tua Dina. Mereka berbincang akrab. "Apakah Rian tidak akan mengingat apapun?" Suara bapak Dina bertanya. "Tentu saja. Kita mempertahankannya sebagai tameng. Toh tidak ada lagi yang bisa diambil dari pria itu " Rian terlonjak kaget saat pintu kamar terbuka. Ingatannya tentang kejadian kemasin bu
Rian mengepalkan tangannya kesal. Dia tidak terima Dina yang sudah sah menjadi istri keduanya berlaku kemudian. Dengan emosi yang memuncak, Dima hendak mengetuk jendela saat Dina sudah berhenti berfoto. Ada pesan masuk yang segera wanita itu angkat. Tanpa melihat Rian yang berada dibalik jendela, Dina masuk ke kamar mandi.“Siapa yang menelpon Dina?” Rian meraup wajahnya kasar. Dia tidak menyangka akan mendapati sang istri berkelakuan aneh seperti itu.Rasa sesal menyelimuti hatinya. Wajah teduh Tiara dan tangisannya silih berganti memenuhi pikiran Rian. Betapa pria itu sudah menyesal menduakan wanita yang menemani perjuangannya. Wanita yang sangat disayang orang tuanya yang selektif dalam memilih pasangan.Ia terduduk di kursi taman. Hijaunya tanaman tidak bisa menutupi kegundahan hati Rian. Meski sudah mengetahui sedikit sikap Dina yang sebenarnya, entah kenapa hati kecil Rian tidak bisa melepaskan wanita itu. Seolah ada tali tak kasat mata yang mengikat mereka agar tidak bisa berpi
Lia masuk ke ruangan Rian. Mengamati bosnya dan teman mereka dengan seksama. Matanya melirik ponsel Dina yang ada di meja Rian. Dia bisa mengamatinya dengan mudah karena sekarang mereka duduk di sofa. Ia berusaha fokus mendengar penjelasan Rian. Rasa penasarannya tidak boleh menurunkan performa kerjanya.Jam sepuluh pagi mereka bertiga turun bersama beberapa karyawan dari divisi lain. Mereka akan naik bus yang sudah disediakan perusahaan. Karena ada sepuluh karyawan yang berangkat. Seperti biasa, Rian bergabung dengan dua manajer yang ikut bersamanya. Dina duduk bersama karyawan lain di kursi belakang Rian. Sedangkan Lia memilih duduk di kursi panjang paling belakang.Menceritakan penemuan yang ia lihat tadi. Ditambah Rian dan Dina memasukan barang yang bukan ponsel mereka ke tas masing-masing. Kursi paling belakang tidak hanya ramai dengan cerita empatg orang. Bahkan karyawan yang duduk di kursi depan juga tertarik untuk mendengar.“Jadi Dina tidak selingkuh dengan Pak Hermawan, tapi
Tiga hari berlalu tanpa terasa. Hari ini adalah hari terakhi Rian menginap di rumah Dina. Pagi itu ia bangun lebih pagi dari sang istri. Biasanya di rumah Tiara, istri tuanya bangun lebih dulu lalu menyiapkan segala keperluannya pagi itu. Berbanding terbalik dengan Dina yang masih asyik tidur hingga jarum jam menunjukkan pukul tujuh pagi. Karena Dina baru akan berangkat ke kantor jam sembilan pagi. Kesalahan yang ia toleransi sejak mereka pacaran.Rian meraih salah satu ponsel diatas meja. Dia terlalu sibuk membaca berkas hingga tidak memperhatikan ponsel mana yang ia ambil. Padahal dua ponsel yang ada diatas laci memiliki merk yang berbeda. Tanpa memeriksa ponsel yang ia pegang, Rian memasukan barang itu ke tasnya. Dia keluar dari kamar. Memeriksa di dapur apakah ada makanan tersisa atau tidak. Kalau ada makanan yang bisa dihangatkan, dia bisa makan di rumah. Namun jika tidak ada Rian terpaksa membeli makanan diluar.Saat tudung saji tersingkap, tidak ada makanan yang diharapkan. Ria
Rencana untuk menginap di rumah Riska dan Heri batal. Saat melihat rekaman kamera CCTV dan mendengar penjelasan Riska lewat telepon, Bu Mirna memutuskan kembali tinggal di rumah Tiara. Urusan pekerjaan Pak Joko sudah diserahkan pada asisten kepercayaan selama puluhan tahun. Jadi saat Rian pergi ke rumah Dina keesokan harinya, Tiara bisa tenang. Tidak perlu memusingkan kedatangan dukun dan asistennya. Walau mereka sudah menandatangani surat perjanjian dengan Rian di kantor polisi.Tidak banyak yang bisa ia lakukan karena Bu Mirna membantu sebagian besar pekerjaannya. Anak-anak bermain bersama Pak Joko saat waktu luang. Melihat tukang yang mengganti pagar. Bu Mirna istirahat di lantai dua. Membiarkan Tiara menyelesaikan novelnya.Tiara tengah berada di kamar utama. Bersandar ke dinding. Meletakan ponselnya diatas nakas. Dia memijat pangkal keningnya yang sedikit pusing. Ternyata menjadi penulis tidak mudah. Ia cukup beruntung mendapat sedikit penghasilan, dari cuitan di grup masih belum
Benar saja. Bos besarnya yang bernama Pak Hendra turun dari mobil. Wajah tuanya yang cekung sempat tertuju pada mobil Pak RT. Dia melenggang ke rumah Dina. Rian masih ingin mengawasi semuanya. Namun dia tidak enak pada Pak RT. Jadi Rian segera melajukan mobil itu.Sudah ada satu orang yang lebih dulu tahu tentang keberadaan Dina. Walaupun Pak RT tidak bertanya atau dia tidak memberi tahu, kalau Dina adalah istri keduanya. Di mobil mereka berbincang seperti biasa. Kesibukan Rian tidak membuatnya kaku dalam urusan para tetangga.“Saran saya lebih baik pagar rumah anda diganti lebih tinggi. Lalu semua tembok pembatas diberi beling.” Pak RT menjelaskan usul dari perangkat desa untuk semua warganya.“Iya. Terima kasih Pak RT.”Mobil berhenti di depan rumah Pak RT. Rian pamit lalu berjalan menuju rumahnya yang hanya berjarak satu kilometer dari rumah perangkat desa itu. Dia memperhatikan pagar rumahnya yang memang pendek. Dulu Rian merasa aman membangun rumah di wilayan ini. Karena itulah d
Di rumah Dina, wanita itu baru saja pulang dari apartemen direkturnya yang sedang berkunjung ke Yogyakarta. Selain memuaskan nafsu si pria tua, mereka juga membicarakan korupsi yang dilakukan Rian. Dina mengakui kalau dia yang membuat Rian melakukan semua itu karena ingin dapat banyak uang. Awalnya Dina merasa tenang karena yakin tidak aka nada masalah. Bukannya dibela, dia justru dimaki habis-habisan.“Apa yang kamu pikirkan sampai membuat perusahaanku rugi? Kalau mau uang banyak, tinggal minta transfer dariku,” hardik pria tua itu marah.“Maaf Pak. Saya hanya menuruti keinginan orang tua.” Dina menunduk. Seumur-umur melayani bosnya, baru kali ini Dina dibentak sedemikian rupa. Padahal bosnya selalu menuruti apapun keinginan Dina. Bahkan tanpa air merah itu.Dia mengira semua aksinya akan aman karena Rian berhubungan dengannya. Siapa sangka bosnya akan murka. Dina masih menunduk. Dia berlutut di depan si pria tua yang berkacak pinggang.“Sekarang kerugian perusahaan sudah mencapai ra
“Memangnya mobil Heri kenapa Ris?” tanya Rian penasaran. Pria itu membuka kaca jendela mobilnya. Melongok dari dalam agar bisa bicara dengan adiknya.“Nggak tahu Mas. Kata Mas Heri mobilnya agak bermasalah. Jadi kami bawa ke bengkel dekat sini. Kalian mau pergi kemana?” Riska bertanya seolah-olah dia tidak tahu.“Mau liburan ke kebun binatang Nte. Ayo Tante dan Dedek pergi sama kita,” ajak Nana semangat.“Kalau liburan, keluarga intinya Kak Nana dulu. Kan sudah lama nggak keluar bareng. Biar Tante dan Dedek tunggu disini. Kasihan Dedek juga sudah mengantuk karena ikut kondangan tadi.” Riska menunjuk putranya yang menguap di gendongan.“Ya sudah kalian masuk dulu. Ini kuncinya Ris.” Tiara menyerahkan kunci rumah.Mereka masuk ke mobil. Melambai pada Riska yang menunggu di depan gerbang. Tiara terus mengawasi dari kaca spion. Dia baru bisa menghela nafas lega saat Heri datang dan mereka masuk ke rumah. Menutup gerbang rapat. Setidaknya ada Heri sebagai laki-laki yang akan menjaga rumah
Kembali ke masa SMA Tiara enam belas tahun silam. Saat dia sudah duduk di bangku kelas tiga SMA. Semua murid sibuk mempersiapkan ujian akhir sekolah dan ujian nasional. Walau begitu masih ada beberapa siswa yang punya waktu untuk berpacaran. Salah satu diantaranya adalah Tiara dan Bara.Siapa yang tidak tahu couple goals di sekolah mereka. Sejak kelas satu, Tiara terkenal sebagai siswi yang paling cantik. Wajahnya tirus dengan mata bulat. Rambut lurus dan lebat yang panjang. Belum dengan hidung mancung dan bibir tipisnya. Walau tubuhnya mungil, siapapun akan mengakui kecantikan Tiara.Begitu juga dengan Bara yang menjadi siswa favorit para siswi. Dia tinggi, kulitnya bersih, rambut cepak yang digaya ala anak muda jaman itu, wajah tampan dengan hidung mancng dan bentuk rahang yang kecil. Alisnya yang tebal semakin menambah pesona seorang Bara. Meski dikelilingi banyak perempuan, tapi hati Bara hanya tertuju pada Tiara.Satu tahun mendekati Tiara, belum juga membuahkan hasil. Padahal mer