Hari Vanela dan Eleanora sudah janjian. Bahwasannya Eleanora akan pura-pura lupa menjemput Vanela karena sakit. Kebetulan hari ini Eleanora datang bulan sehingga bisa dia katakan kalau sakit perut karena menstruasi.
Pulang sekolah, Vanela mulai akting, ia pura-pura sedih setelah tengok sana-sini Mamanya tidak terlihat. Ia sengaja berdiri di dekat tempok pagar rumah kontrakan Devan. Ia sengaja mengincar diajak Devan, karena tiap hari Devan selalu mengawasinya.
"Eh anak orang!" panggil Devan terdengar menjengkelkan.
Namun, di telinga Vanela terdengar manis. Mungkin karena anak itu merindukan kasih sayang ayahnya. Walaupun senang, Vanela pura-pura tidak dengar. Akhirnya Devan datang ke hadapannya bukan hanya sekadar lewat tembok pembatas.
"Orang tuamu mana?"
"Nggak tahu."
Setengah jam Devan menemani Vanela menunggu, jemputan Vanela tidak kunjung datang.
Karena kasian melihat Vanela tampak lesuh dan lapar, akhir Devan berinisiatif untuk m
Mungkin ini yang dikatakan bunga mekar tidak pada tempatnya.Devan baru saja merasakan perasaan senang setelah sekian lama jenuh dan hampa. Ia pikir akan bisa menghabiskan malam panas dengan Eleanora setelah sekian lama, tetapi sekarang Devan sudah tampak seperti bapak-bapak pada umumnya yang kesulitan berhubungan mesra dengan sang istri di tempat tidur karena anak yang merengek, anak yang bangun, anak yang mau tidur dengan orang tuanya.Devan sudah sangat senang hari ini setelah Eleanora mengizinkannya masuk ke dalam rumah baru Eleanora. Lalu menahan Devan agar tidak pulang ke kontrakannya.Devan senang, karena akhirnya ia bisa panas-panasan lagi dengan Eleanora. Namun, harapannya tidak tahu tempat dan kondisi.Devan dan Vanela belum lama bertemu, menghabiskan waktu bersama baru hari ini. Wajar jika saat ini Vanela ingin menempel pada kedua orang tuanya.Cecapan suara adu mulut Devan dan Eleanora terdengar nyaring mengisi setiap sudut ruangan. Mer
Keenan menghela napas dalam. Ia tutup pintu pelan-pelan setelah yakin para warga sudah pergi. Melihat sepasang suami istri yang tengah duduk di kursi ruang tamu rumah itu, membuat Keenan menghela napas lagi. Berusaha keras untuk sabar dan tidak mengamuk.Melihat Devan dan Eleanora, Keenan tidak tahu harus berucap apa. Tidak habis pikir ia dengan sepasang suami istri itu. Bisa-bisanya melupakan hal yang paling penting.Mereka lima tahun tidak bertemu, dan sekarang berada di kota orang. Eleanora yang diketahui orang adalah janda tiba-tiba ada seorang lelaki mengingat di rumahnya berhari-hari. Apalagi suara mesum mereka terdengar sampai keluar saking ganasnya permainan mereka. Membuat para warga semakin panas perasaannya ingin mengoprek pasangan yang diduga mesum itu.Untung saja Keenan datang lebih cepat, dan membujuk para warga untuk tenang. Para warga semakin marah ketika Devan dan Eleanora mengaku sebagai suami istri tetapi tidak bisa menunjukkan buku nikah mereka.Beruntung warga y
Sampai di rumah, Devan langsung bergegas mencari buku nikah mereka. Buku nikah yang baru beberapa kali ia pegang. Dan ia tak ingat kapan terakhir kali ia memegang buku itu.Devan memijat kepalanya, pening melandanya. Ia tidak bisa mengukur secuek apa ia dulu pada Eleanora. Kalau semasa menikah saja ia secuek itu, apalagi sebelum mereka menikah.Devan memasukkan buku nikahnya ke dalam tas. Ia juga memeriksa tanggal lahir istrinya. Devan mengaku tahu, hanya saja ia lupa, sehingga ia perlu mengecek ulang.Menjelang malam, Devan mendadak lapar. Devan ingat ia tidak punya bahan makanan di kulkas, sedang jika ingin memesan makanan via online, uang yang dikeluarkan akan lebih banyak. Memang sekarang keuangannya sudah jauh lebih baik daripada dulu karena dibantu oleh ayah mertuanya, tetapi akhir-akhir ini ia menghabiskan banyak uang. Tiket pulang-pergi, sewa rumah, mobil yang kalau diingat-ingat tidak terlalu diperlukan. Setidaknya Devan tidak boleh boros, karena sekarang ada Vanela yang kebu
Pagi-pagi sekali Devan sudah pergi bersaman Vanela dengan dalih mengantar Vanela sekolah. Padahal ia sekalian ingin ke rumah Pak RT, untuk memperlihatkan buku nikahnya dengan Eleanora. Buku berharga yang baru sekali ini ia banggakan. Akhirnya kesalahpahaman dengan warga setempat sudah teratasi dengan baik tanpa ada curiga-curiga yang lain."Papa!""Iya, Sayang?" Devan yang sedang menyetir sekilas menoleh. Mereka sedang menuju rumah setelah Devan menjemput Vanela pulang dari sekolah."Papa punya sahabat?" tanya Vanela seraya membolak-balik bukunya.Devan menggaruk kepalanya, ia bingung. "Ada dong, masa nggak ada." Setidaknya ia merasa Rifqi adalah sahabatnya meski lama tidak berjumpa."Papa, Vanela juga punya satu," balas Vanela terlihat sedih.Devan mengusap kepala Vanela dengan sayang. "Terus kenapa kamu sedih?""Tadi Okta pukul aku."Devan nyaris saja mengerem mendadak dan membuat pengguna motor yang ada dibelakangnya terkejut. Okta pasti nama teman perempuan Vanela, tetapi yang mem
"Sayang, kita mau ke mana?" tanya Devan pada Vanela yang berada digendongannya. Sebenarnya anaknya itu minta jalan sendiri, tapi Devan tak mau. Mereka sedang di tempat ramai, rawan."Tidak tahu, Papa."Vanela menyadarkan kepalanya di ceruk leher Devan, sepertinya anak gadis Devan itu sudah bosan. Pasalnya sudah hampir setengah jam mereka hanya berjalan mengikuti Eleanora yang sedang shopping di mall bersama Zia. Kata mereka sih "me time", tapi anak istri harus mengekor tak jauh di belakang."Nggak bosan, Bang?" Devan beralih bertanya pada Keenan yang tengah menggendong anaknya yang tengah tertidur. "Tidak berguna juga kan kita, lebih baik kita pulang.""Ikuti saja, Van. Ingat kamu mesti ambil hati Eleanora."Devan mendesah dan menjawab ucapan Keenan di dalam hati, bahwasannya hati Eleanora sudah ia miliki sejak lama. Hanya saja sekarang ia perlu menyenangkan istrinya itu sebelum ia meminta hal lain. Namun baru beberapa saat mengekor, Ia sudah lelah dan bosan."Kita pisah aja, lah, Ba
"El, saya harap kamu tidak ambil keputusan yang salah," ucap Keenan ketika melihat emosi di wajah Eleanora tidak tertahankan.Sekarang mereka sudah berada di rumah. Dan Devan kembali seperti dulu yang lebih banyak diam setelah traumanya kembali. Untung saja ada Vanela yang telah diberi pengertian oleh Eleanora, sehingga kini gadis kecil itu tengah mengajar Devan untuk terus berinteraksi. Beruntungnya bersama Vanela, Devan lebih cepat merespon ketimbang dengan Eleanora."Salah? Membunuh nenek lampir itu juga harusnya keputusan yang benar," balas Eleanora dengan suara tertahan, ia juga menekan emosinya sekuat mungkin. Mereka ada di depan rumah, tidak bisa berucap keras sembarangan."Tapi El, dengan membunuh wanita itu tidak tentu trauma Devan akan hilang. Lalu coba pikirkan Devan kalau dia tahu kamu membunuh karena dia? Bagaimana perasaannya?"Eleanora terduduk, ia meremas rambutnya sendiri. Ia punya suami yang mentalnya lemah, sekali senggol bisa oleng.Eleanora bukannya menyesal punya
Kalau melihat langit, matahari dan bulan terkadang terlihat kejar-kejaran. Namun, siapakah yang mengejar dan siapa yang dikejar? Jika melihat dari perspektif matahari, bulan akan dianggap sebagai pengejar. Dan begitu sebaliknya, jika melihat dari sisi bulan, matahari yang mengejar. Lalu mereka akan berada di satu titik yang sama pada suatu waktu, menciptakan sebuah cahaya indah dan mengagumkan, tetapi tak jarang juga kegelapan paling gelap dihasilkan.Sejak dulu Eleanora menganggap kalau ia adalah bulan yang mengejar matahari. Bulan yang tanpa cahaya mencari kebahagiaan dengan mengejar matahari yang selalu bersinar terang. Dan sedari awal ia selalu menganggap kalau Devan adalah mataharinya, yang membuatnya hangat dan bersinar.Eleanora lupa kalau matahari punya api yang sangat panas. Lupa kalau terlalu dekat ia akan terbakar.Dan berada di dekat Devan bisa juga membuatnya terbakar. Meski sakit, Eleanora tidak mau menjauh ataupun terbakar habis. Ia akan menjadi bulan yang menyerap pela
"Sayang, aku mau bunuh satu orang lagi. Bo—""Eh! Apa-apaan? Tidak ada.""Satu ini aja lagi, Sayang.""Siapa?""Orang yang paling kamu benci."Devan menghela napas, Eleanora kembali membuatnya berpikir. Siapa yang ia benci? Seingatnya ia tidak pernah mau membenci seseorang karena itu akan membuatnya lelah. Mungkin orang lain akan mengatakan ia bosoh, tapi menurut Devan apa gunanya membenci kalau ia sendiri yang akan susah. Jadi seburuk-buruk orang tersebut padanya ia tidak mau merepotkan diri dengan menaruh kebencian. Devan hanya akan menghindar."Tidak ada yang saya benci Eleanora," ucap Devan pelan, berusaha meyakinkan Eleanora. Ia tidak ingin Eleanora mengotori tangannya lagi. Cukup terakhir saat menyelamatkannya."Beneran? Bibi, Tante, adiknya Ibu," balas Eleanora geregetan.Devan tersenyum. "Saya tidak pernah benci dia, El.""Serius? Yang benar saja, Sayang."Devan masih tersenyum sembari mengangguk."Terus apa yang kamu rasa?" Tampak sekali kalau Eleanora tidak terima dengan uca
"Assalamu'alaikum, Papa Mama," sapanya pura-pura mengantuk seakan baru bangun tidur, layar ponselnya ia dekatkan ke wajah agar pemandangan di belakangnya tidak terlihat. "Tidak usah pura-pura, Mama tahu kamu masih di jalan! Kenapa baru pulang jam segini?" Vanela menjauhkan ponselnya seiring suara Eleanora yang semakin nyaring. "Papa, Mama marah-marah." Bukannya menjawab, Vanela malah mengaduh pada Devan. Namun kali ini Devan tidak akan membelanya. "Kamu memang harus dimarahi. Kenapa baru pulang?" Suara dan tatapan Devan tampak tegas, tanda Vanela harus segera menjawab dengan benar, tidak bisa bermanja lagi. Vanela menunjukan lembar soal yang sejak tadi dipangkuannya. "Keasyikan ngerjain ini, lupa kalau nggak lagi di rumah." "Apa itu?" "Soal matematika untuk lomba tingkat SMA." "Papa tidak tahu kalau kamu ikut-ikut yang seperti itu." Memang selama ini Vanela selalu pulang tepat waktu dan bahkan saat jadwal kuliahnya tinggal dua jam lagi, Vanela menyempatkan pulang untuk sekadar b
Beberapa tahun lagi mamanya akan kepala empat menyusul ayahnya, pasti akan sulit untuk hamil diusia seperti itu. Dan Vanela menyesal sudah mengatakan permintaannya itu, harusnya ia lebih memikirkan orang tuanya ketimbang diri sendiri.Hari ini Vanela memulai perkuliahannya lagi. Selama masa kuliah, Vanela tidak lagi pergi bersama Baruna. Bukan karena jadwal kuliah yang berbeda, melainkan karena Baruna tidak berkuliah di universitas yang sama dengan Vanela. Vanela tetap tinggal di Kota Kendari agar selalu dengan orang tuanya dan berkuliah di universitas Halu Oleo dengan mengambil jurusan yang sekiranya santai.Vanela tidak peduli dengan jurusan kuliah yang dia ambil. Yang dipikirkannya hanya bagaimana caranya ia menyelesaikan kuliahnya tanpa terlalu banyak membuat waktu di kampus. Sehingga Vanela benar-benar menjadi anak kupu-kupu, kuliah pulang kuliah pulang. Kendati demikian, Vanela masih memiliki teman walau tidak akrab.Pukul sebelas siang ketika Vanela baru pulang dari kampus, har
Sudah sejak pertengahan SMP Devan tinggal jauh dari orang tua, tapi setidaknya ia tinggal bersama kakaknya yang jauh sudah dewasa. Kepindahannya kala itu karena ingin bersekolah di kota yang katanya pendidikan lebih bagus. Karena mendukung anaknya, orang tua Devan menyetujui. Kehidupan sekolah Devan lancar-lancar saja, ia tidak pernah di bully atau merasakan stres yang luar biasa menggangguk.Kemudian sewaktu awal masuk kuliah, Devan memutuskan hal yang besar, yaitu tinggal sendiri, mempertanggung jawabkan dirinya sendiri dengan tinggal di tempat kos-kosan. Hari-hari tenangnya mulai hilang, kegiatan kampus juga uang bulanan mulai memeras is kepalanya. Beberapa bulan pertama kehidupan Devan di kos-kosan terasa sangat berat baginya.Devan yang tadinya tidak perlu memikirkan uang saku habis, tidak perlu memikirkan kebutuhan hidupnya, kini harus memikirkan semuanya. Karena sudah tidak ada lagi kakaknya yang baik hati yang tidak pernah memperhitungkan uangnya dipakai Devan.Uang yang Laki
Tidak disangka ujian kelulusan sebentar lagi, kurang dari dua minggu lagi, tapi Vanela tidak pernah belajar. Ia lebih sering latihan bersama Yudi dan pengawal yang lain ketimbang membuka buku pelajaranBanyak yang mengira kalau setelah Vanela berhijab gadis itu akan berubah jadi lembut seperti yang terlihat jelas diwajahnya. Namun sayang hal itu hanya harapan semata. Nyatanya Vanela masih suka sadis, apalagi saat sedang kesal. Gadis itu belum bisa yang satu itu.Beberapa kali saat emosi, Vanela menggunakan salah satu pengawal untuk menjadi tempatnya menaruh objek sasaran saat olahraga lempar pisau atau panahan. Seperti saat ini. Tadi Vanela secara random memanggil salah satu pengawal yang sedang duduk asyik sembari merokok. Pengawal itu tadinya tenang-tenang saja sampai di ajak ke tempat latihan, ia langsung panas dingin.Ketika Eleanora sudah bersiap menarik busurnya, tiba-tiba Keenan datang."Diego Lim datang," bisik Keenan yang langsung dibalas lirikan oleh Vanela."Cukup kasih tah
"Papa, Nela kangen," lirih Vanela sembari mengelap tubuh ayahnya. Padahal ia tahu sudah ada yang bertugas menjaga dan merawat orang tuanya, tapi ia tetap ingin berbakti meski sedikit."Nela."Vanela menoleh. Zia datang dengan membawakan makanan untuknya. Vanela menyudahi menyeka tubuh Devan, ia menghampiri Zia yang menata makanannya di meja."Padahal Tante nggak usah repot-repot antar ke sini. Aku kan bisa ambil makan sendiri." Vanela duduk di samping Zia. Ia mengambil air putih yang Zia siapkan, menghabiskannya hingga nyaris tandas."Kapan? Nanti malam?"Vanela tertawa kecil. Zia sudah mengenal Vanela dari kecil. Zia sudah hapal dengan kelakuan Vanela yang kalau sudah masuk ke ruang perawatan orang tuanya ini susah keluar lagi. Kecuali ada buku pelajarannya yang harus dia ambil."Kamu sudah kelas tiga, apa tidak lebih nyaman belajar di kamar?""Iya ini belajar di kamar kan?" Vanela tersenyum menbuat Zia merasa gemas.Padahal maksud Zia, Zia ingin Vanela punya kehidupan lain selain di
"Sayang! Kamu bikin apa?" Devan melongok dari semak-semak, melihat Eleanora memetik bunga. "Kenapa kamu petik?" Devan menyayangkan tindakan Eleanora."Bunga-bunganya sudah jelek. Kalau mau tumbuh bunga bunga baru yang segar, bunga yang lama harus disingkirkan. Begitu juga kehidupan Vanela."Vanela terkejut namanya dipanggil ia kira ia sedang bermimpi sekarang, tapi mimpinya cukup indah karena orangnya sadar akan kehadiarannya."Kamu harus membuang kenangan, agar hidupmu terus berjalan."Tiba-tiba pemandangan orang tuanya yang sedang ditaman bunga kini berganti menjadi pemandangan yang setipa hari ini lihat, orang tuanya terbaring tak berdaya dengan tak sadarkan diri.Lalu tiba-tiba lagi pemadangan itu hilang tergantikan ruang putih yang kosong. Vanela berlari ke tempat orang tuanya tadi berada, tapi sepanjang berlari ia hanya menemukan ruang putih yang terasa hampa."Maamaaaa! Papaaaaaaa!" Vanela berteriak sekuat tenaga sampai tenggorokannya habis. Sampai ia terbangun seketika dari ti
"Jadi bagaimana, Mas? Apa perlu kita mengirim orang untuk mengecek ke sana?""Jangan, jangan." Keenan menggeleng, tidak menyutujui saran Yudi. "Lebih baik jangan, terlalu berbahaya. Kita tidak tahu situasi di sana seperti apa. Jangan sampai masih ada yang berusaha untuk masuk, atau mungkin lebih parah, kita tidak tahu. Saya tidak mau kalian kenapa-kenapa."Keenan menarik napas sejenak, ia menatap teman-temannya satu persatu. Tidak semua berada di dalam ruangan itu karena beberapa harus tetap berjaga di luar, tapi masing masing dari mereka bisa mendengar percakapan ini dan juga bisa mengutarakan pendapat."Dengar, kalian semua yang ada di sini adalah orang orang yang dipilih langsung oleh Tuan, itu tandanya beliau sangat percaya kalian bisa menjaga anak, menantu dan cucunya. Paham?"Semua serentak mengatakan paham."Jadi saya tidak mau kalian kenapa-kenapa. Apalagi sekarang dua tuan kalian dalam keadaan yang tidak baik, kalau terjadi sesuatu sama kalian, siapa yang akan menjaga dan me
Mendengar penuturan Ibu, Zia hanya bisa menghela napas. Sementara itu Devan bersama Yudi mendatangi penjara bawah tanah yang berada di bawah rumah salah satu pengawal. Di sana Damar dikurung. "Siapa namanya?" "Damar, Mas." Keenan menaikkan alisnya. Nama itu terdengar tidak asing, tapi ia tidak ingat siapa orang itu. Ia juga tidak bisa menduga hal gila apa yang sudah ia dan Eleanora lakukan sampai laki-laki itu membalas dendam dengan menculik Vanela. Ketika sampai di penjara itu, barulah Keenan ingat dan mengerti. Damar adalah laki-laki hidung belang yang pernah ia buang atas suruhan Eleanora karena mengganggu ketenangan kos-kosannya dulu dengan Devan. Keenan mendengkus keras, harusnya dulu ia tidak memberi ampun pada laki-laki itu sekalipun memohon sampai menangis darah. "Halo," sapa Damar dengan ekspresi yang menjengkelkan. "Tidak dapat anaknya, dapat suaminya, hmm lumayan," ucap Damar di akhiri tawa yang terdengar sangat memuakkan. Keenan hanya bisa mengepalkan tangan dengan
Keenan sampai di ruang rawat inap Zia dengan napas terengah. Ia di sambut Desi di depan pintu. Zia sudah keluar dari Icu, sudah sempat sadar tapi tapi langsung tidur lagi efek pengaruh obat. Keenan bernapas lega, masuk dengan mata sayu. Ia melihat ke arah sofa bed. Keenan bersyukur Desi cukup peka dengan tidak ragu-ragu memilih kamar inap, sehingga Baruna bisa beristirahat dengan nyenyak meski sedang berada di rumah sakit. Keenan menghampiri Baruna lebih dulu, mengecup kening anaknya cukup lama lalu menghampiri Zia. Lama Keenan memperhatikan wajah Zia yang tampak damai. Meski demikian wajah itu sedang tidak baik-baik saja, ada beberapa memar kecil dan luka gores menghiasi wajah cantik Zia. Mata Keenan memanas. Ia tidak tahu kalau rindunya pada Zia sebesar ini. Ia tahan tangisnya agar tidak terdengar. Dengan ragu-ragu ia mengecup satu persatu luka yang ada di wajah Zia. Berharap luka-luka itu cepat sembuh dan tidak meninggalkan bekas. Bukan karena ia tidak terima jika Zia punya bekas