Seolah menyambut hari Devan, matahari pagi bersinar dengan hangat. Ia keluar rumah dengan harapan dan semangat yang membara. Dua hari kemarin sudah ia pupuk dengan bersama Eleanora sepanjang hari. Karena merasa bersalah, Devan mengajak Eleanora liburan selama dua hari. Salah satu hotel dengan pemandangan langsung ke pantai menjadi pilihan. Kamarnya nyaman dengan kolam renang privat. Eleanora beranggapan Devan mengajak bulan madu yang tertunda, yang langsung diiyakan Devan padahal laki-laki itu tidak terpikirkan sama sekali."Kamu kok buat rencana bulan madu nggak bilang-bilang?" tanya Eleanora begitu sampai di kamar hotel, ia langsung menuju balkon. Kepalanya mengangguk melihat pemandangan di depannya. Devan menggaruk kepalanya kikuk. "Surprise? Hadiah?" Devan balik tanya, ia bingung harus bilang apa. Sejujurnya ia hanya ingin mengajak Eleanora liburan setelah beberapa waktu berat yang mereka lewati. Ia hanya ingin menambah daya semangat untuk menjalani hari-hari ke depan yang mun
Sudah satu bulan Devan jadi pengangguran. Ia masih terus berusaha setiap hari. Putus asa masih sering ia rasakan, hanya saja tidak lagi berlarut-larut sampai mempengaruhi suasana hati yang berdampak pada hubungannya dengan sang istri. Devan pernah ikut jadi tukang ojek, seharian full ia kena sial. Ia berada di lingkungan yang salah, yang tidak mau berbagi rezeki dengan orang baru. Ban motornya bocor, remnya rusak, ia sampai hampir kecelakaan saat itu terjadi. Sungguh membuat frustrasi, tapi Devan masih berusaha tersenyum. Sekarang satu-satunya hal yang harus ia lakukan adalah semangat dan berusaha lebih keras lagi. Tidak ada waktu untuk mengeluh, bukan ia tidak mau menghabiskan waktu untuk mengeluh. "Ehem."Devan menoleh, seseorang tiba-tiba duduk di sampingnya saat ia menunggui motornya di bengkel. Laki-laki itu tersenyum padanya yang mau tidak mau ia balas atas nama keramahan. "Motornya kenapa?" "Ganti ban, bocor."Laki-laki itu mengangguk lalu memperhatikan Devan dari ujung r
Devan mengembuskan napasnya sebelum memasuki minimarket di depannya. Ia masuk dengan senyum lebar, berharap bisa keterima kerja di sana setelah kenyang melihat puluhan lowongan pekerjaan. Beberapa menit lalu ia tak sengaja melihat pengumuman lowongan pekerjaan yang di tempel di tiang samping pintu. Devan masuk disambut ramah oleh kasir yang bertugas. Devan ala-ala hendak membeli roti yang ada di etalase meja kasir. Ia membayar sembari basa-basi, bertanya perihal lowongan pekerjaan yang ditempel di luar. "Oh, iya, Kak. Kebetulan kamu butuh satu orang lagi." "Boleh saya mengajukan diri?" Takut-takut Devan bertanya, ia masih belum terbiasa dengan penolakan. Kasir perempuan itu langsung tersenyum lebar. "Tunggu sebentar ya, Kak. Saya panggilkan Bos saya dulu."Devan mengangguk, pandangannya mengikuti kasir itu pergi. Cukup lama dia menatap pintu yang dilewati kasir itu, ia sampai bosan. Padahal sebenarnya ia baru menunggu sekitar tiga menit, tapi sudah mengeluh lama. Pada dasarnya De
Keenan mendengkus, lalu berdiri. Ia pergi ke sudut, menjauhi Zia. Rumah itu hanya dua lantai, tapi atapnya seperti gedung banyak lantai, sepertinya pemiliknya berniat membangun lebih tinggi. Di sekitar rumah Eleanora dan Devan hanya rumah ini yang paling tinggi, sekitarnya masih satu lantai dan masih tampak seperti bangunan awal, rumah subsidi sederhana.Pertanyaan Keenan sebelumnya bukan sengaja ia ucapkan, hal itu spontan terpikir olehnya agar gadis itu—ah Keenan tidak tahu Zia masih gadis atau tidak, tapi kalau Zia benar pelacur seperti yang diakui, berarti Zia bukan lagi gadis—wanita itu merasa risih dan menjauh darinya. Keenan tidak menyangka Zia akan menjawab enteng dan berakhir menggodanya kembali.Semua kebetulan antara dirinya dan Zia terasa aneh. Kedekatan ini bermula ketika Zia beberapa kali datang ke minimarketnya. Berpakaian minim dan bau alkohol, menggoda Keenan yang menjadi kasir. Bahkan j
"Dia bicara apa itu?" Eleanora memicing menatap layar yang menampakkan Devan tengah melayani seorang pria tua yang sangat Eleanora kenali.“Tidak tahu. Mau tanya Devan?”Eleanora menggeleng. “Tidak bisa, nanti dia makin curiga.” Eleanora membanting tubuhnya ke sandaran kursi. Ia menutup matanya, tampak frustrasi.Bukan maksud ingin menutupinya dari Devan, tapi Eleanora sungguh malu mempunyai ayah seperti itu yang membuat masa lalunya suram, juga ia tidak mau lagi berhubungan dengan orang itu. Hidup di dekat ayahnya tidak akan pernah bisa tenang.“Aku ingin ketemu dia.” Eleanora berdiri, sudah waktunya Devan pulang. “Besok, kamu yang tentukan tempatnya.”Keenan hanya mengangguk, ia mengikuti Eleanora di belakang. Wanita itu mengubah eskpresinya di depan Devan. Berpura-pura terlihat baik-baik saja.***
Sejak Eleanora mendatangi ayahnya tempo hari, tidak ada lagi terlihat Diego Lim ataupun anak buahnya di sekitar Eleanora.Eleanora berharap ayah kampretnya itu mempertimbangan kemauannya. Sedikit banyak Eleanora berharap ada sedikit rasa sayang Diego Lim untuknya dengan melepaskan Eleanora untuk menjadi orang biasa.Meski merasa benci sampai ingin muntah, tetapi ternyata ada sedikit harapan yang terselip di sudut hatinya. Rasa bencinya teramat besar sampai harapan kecil itu tidak terlihat."Ayo kita bikin usaha saja, Sayang!" ajak Eleanora untuk kesekian kali pada Devan.Sekarang Devan seperti sudah melupakan mimpinya menjadi karyawan kantoran yang pergi rapi pulang juga rapi dengan gaji yang banyak di awal bulan. Laki-laki itu sekarang tampak nyaman menjadi pramuniaga di minimarket Eleanora yang dikelola Keenan.Sampai sekarang pun Devan tidak tahu
Mata Eleanora tidak berhenti melotot melihat belasan video-video pendek yang ada di aplikasi media sosial bernama Igeh. Lama-lama bibirnya mengerucut kesal. Dadanya panas melihat video-video itu.Eleanora melirik Devan yang juga sedang asik dengan ponsel. Ia mendengkus, mengapa Devan tidak pernah bersikap manis atau romantis padanya seperti laki-laki di drama korea atau video-video pendek yang tadi ia lihat.Bahkan saat di atas tempat tidur pun, menurut Eleanora, Devan tidak pernah bersikap manis, tetapi agresif. Eleanora benar-benar membangunkan singa yang sedang tidur.Dalam drama korea yang manis atau video-video pendek itu, para lelakinya pasti berlaku manis dengan memberikan bunga, dikasih hadiah, diajak makan malam romantis, diajak jalan-jalan, dikasih pujian dan lain-lain. Namun Devan tidak seperti itu padanya. Eleanora iri setelah mati pada perempuan-perempuan itu."Sayang!
"Bagaimana mereka?""Saat ini Devan masih bekerja di minimarket kepunyaannya Nona Eleanora, tapi ia sedang mencoba berjualan pakaian bekas."Diego Lim tertawa menghina mendengar kata-kata terakhir ajudannya. "Tidak berkelas." Ia kembali mengisap lagi cerutunya, kakinya ia arahkan ke salah satu pelacurnya untuk dipijat. Padahal ia lebih menikmati sentuhan-sentuhan yang diberikan oleh perempuan itu."Awasi lagi mereka dari jauh. Jangan sampai seperti anak buahmu yang bodoh itu dan ketahuan. Tunggu sampai Devan merasa berhasil dengan usahanya, lalu hancurkan.""Tapi Tuan, modal yang dipakai adalah uang milik Nona 0⁰Eleanora.""Lebih bagus. Eleanora tidak akan menangis hanya karena uang yang tidak seberapa itu, tapi laki-laki itu pasti akan terguncang mentalnya."***"Sayaang!""Sudah dong, El, sudah. Kala
"Assalamu'alaikum, Papa Mama," sapanya pura-pura mengantuk seakan baru bangun tidur, layar ponselnya ia dekatkan ke wajah agar pemandangan di belakangnya tidak terlihat. "Tidak usah pura-pura, Mama tahu kamu masih di jalan! Kenapa baru pulang jam segini?" Vanela menjauhkan ponselnya seiring suara Eleanora yang semakin nyaring. "Papa, Mama marah-marah." Bukannya menjawab, Vanela malah mengaduh pada Devan. Namun kali ini Devan tidak akan membelanya. "Kamu memang harus dimarahi. Kenapa baru pulang?" Suara dan tatapan Devan tampak tegas, tanda Vanela harus segera menjawab dengan benar, tidak bisa bermanja lagi. Vanela menunjukan lembar soal yang sejak tadi dipangkuannya. "Keasyikan ngerjain ini, lupa kalau nggak lagi di rumah." "Apa itu?" "Soal matematika untuk lomba tingkat SMA." "Papa tidak tahu kalau kamu ikut-ikut yang seperti itu." Memang selama ini Vanela selalu pulang tepat waktu dan bahkan saat jadwal kuliahnya tinggal dua jam lagi, Vanela menyempatkan pulang untuk sekadar b
Beberapa tahun lagi mamanya akan kepala empat menyusul ayahnya, pasti akan sulit untuk hamil diusia seperti itu. Dan Vanela menyesal sudah mengatakan permintaannya itu, harusnya ia lebih memikirkan orang tuanya ketimbang diri sendiri.Hari ini Vanela memulai perkuliahannya lagi. Selama masa kuliah, Vanela tidak lagi pergi bersama Baruna. Bukan karena jadwal kuliah yang berbeda, melainkan karena Baruna tidak berkuliah di universitas yang sama dengan Vanela. Vanela tetap tinggal di Kota Kendari agar selalu dengan orang tuanya dan berkuliah di universitas Halu Oleo dengan mengambil jurusan yang sekiranya santai.Vanela tidak peduli dengan jurusan kuliah yang dia ambil. Yang dipikirkannya hanya bagaimana caranya ia menyelesaikan kuliahnya tanpa terlalu banyak membuat waktu di kampus. Sehingga Vanela benar-benar menjadi anak kupu-kupu, kuliah pulang kuliah pulang. Kendati demikian, Vanela masih memiliki teman walau tidak akrab.Pukul sebelas siang ketika Vanela baru pulang dari kampus, har
Sudah sejak pertengahan SMP Devan tinggal jauh dari orang tua, tapi setidaknya ia tinggal bersama kakaknya yang jauh sudah dewasa. Kepindahannya kala itu karena ingin bersekolah di kota yang katanya pendidikan lebih bagus. Karena mendukung anaknya, orang tua Devan menyetujui. Kehidupan sekolah Devan lancar-lancar saja, ia tidak pernah di bully atau merasakan stres yang luar biasa menggangguk.Kemudian sewaktu awal masuk kuliah, Devan memutuskan hal yang besar, yaitu tinggal sendiri, mempertanggung jawabkan dirinya sendiri dengan tinggal di tempat kos-kosan. Hari-hari tenangnya mulai hilang, kegiatan kampus juga uang bulanan mulai memeras is kepalanya. Beberapa bulan pertama kehidupan Devan di kos-kosan terasa sangat berat baginya.Devan yang tadinya tidak perlu memikirkan uang saku habis, tidak perlu memikirkan kebutuhan hidupnya, kini harus memikirkan semuanya. Karena sudah tidak ada lagi kakaknya yang baik hati yang tidak pernah memperhitungkan uangnya dipakai Devan.Uang yang Laki
Tidak disangka ujian kelulusan sebentar lagi, kurang dari dua minggu lagi, tapi Vanela tidak pernah belajar. Ia lebih sering latihan bersama Yudi dan pengawal yang lain ketimbang membuka buku pelajaranBanyak yang mengira kalau setelah Vanela berhijab gadis itu akan berubah jadi lembut seperti yang terlihat jelas diwajahnya. Namun sayang hal itu hanya harapan semata. Nyatanya Vanela masih suka sadis, apalagi saat sedang kesal. Gadis itu belum bisa yang satu itu.Beberapa kali saat emosi, Vanela menggunakan salah satu pengawal untuk menjadi tempatnya menaruh objek sasaran saat olahraga lempar pisau atau panahan. Seperti saat ini. Tadi Vanela secara random memanggil salah satu pengawal yang sedang duduk asyik sembari merokok. Pengawal itu tadinya tenang-tenang saja sampai di ajak ke tempat latihan, ia langsung panas dingin.Ketika Eleanora sudah bersiap menarik busurnya, tiba-tiba Keenan datang."Diego Lim datang," bisik Keenan yang langsung dibalas lirikan oleh Vanela."Cukup kasih tah
"Papa, Nela kangen," lirih Vanela sembari mengelap tubuh ayahnya. Padahal ia tahu sudah ada yang bertugas menjaga dan merawat orang tuanya, tapi ia tetap ingin berbakti meski sedikit."Nela."Vanela menoleh. Zia datang dengan membawakan makanan untuknya. Vanela menyudahi menyeka tubuh Devan, ia menghampiri Zia yang menata makanannya di meja."Padahal Tante nggak usah repot-repot antar ke sini. Aku kan bisa ambil makan sendiri." Vanela duduk di samping Zia. Ia mengambil air putih yang Zia siapkan, menghabiskannya hingga nyaris tandas."Kapan? Nanti malam?"Vanela tertawa kecil. Zia sudah mengenal Vanela dari kecil. Zia sudah hapal dengan kelakuan Vanela yang kalau sudah masuk ke ruang perawatan orang tuanya ini susah keluar lagi. Kecuali ada buku pelajarannya yang harus dia ambil."Kamu sudah kelas tiga, apa tidak lebih nyaman belajar di kamar?""Iya ini belajar di kamar kan?" Vanela tersenyum menbuat Zia merasa gemas.Padahal maksud Zia, Zia ingin Vanela punya kehidupan lain selain di
"Sayang! Kamu bikin apa?" Devan melongok dari semak-semak, melihat Eleanora memetik bunga. "Kenapa kamu petik?" Devan menyayangkan tindakan Eleanora."Bunga-bunganya sudah jelek. Kalau mau tumbuh bunga bunga baru yang segar, bunga yang lama harus disingkirkan. Begitu juga kehidupan Vanela."Vanela terkejut namanya dipanggil ia kira ia sedang bermimpi sekarang, tapi mimpinya cukup indah karena orangnya sadar akan kehadiarannya."Kamu harus membuang kenangan, agar hidupmu terus berjalan."Tiba-tiba pemandangan orang tuanya yang sedang ditaman bunga kini berganti menjadi pemandangan yang setipa hari ini lihat, orang tuanya terbaring tak berdaya dengan tak sadarkan diri.Lalu tiba-tiba lagi pemadangan itu hilang tergantikan ruang putih yang kosong. Vanela berlari ke tempat orang tuanya tadi berada, tapi sepanjang berlari ia hanya menemukan ruang putih yang terasa hampa."Maamaaaa! Papaaaaaaa!" Vanela berteriak sekuat tenaga sampai tenggorokannya habis. Sampai ia terbangun seketika dari ti
"Jadi bagaimana, Mas? Apa perlu kita mengirim orang untuk mengecek ke sana?""Jangan, jangan." Keenan menggeleng, tidak menyutujui saran Yudi. "Lebih baik jangan, terlalu berbahaya. Kita tidak tahu situasi di sana seperti apa. Jangan sampai masih ada yang berusaha untuk masuk, atau mungkin lebih parah, kita tidak tahu. Saya tidak mau kalian kenapa-kenapa."Keenan menarik napas sejenak, ia menatap teman-temannya satu persatu. Tidak semua berada di dalam ruangan itu karena beberapa harus tetap berjaga di luar, tapi masing masing dari mereka bisa mendengar percakapan ini dan juga bisa mengutarakan pendapat."Dengar, kalian semua yang ada di sini adalah orang orang yang dipilih langsung oleh Tuan, itu tandanya beliau sangat percaya kalian bisa menjaga anak, menantu dan cucunya. Paham?"Semua serentak mengatakan paham."Jadi saya tidak mau kalian kenapa-kenapa. Apalagi sekarang dua tuan kalian dalam keadaan yang tidak baik, kalau terjadi sesuatu sama kalian, siapa yang akan menjaga dan me
Mendengar penuturan Ibu, Zia hanya bisa menghela napas. Sementara itu Devan bersama Yudi mendatangi penjara bawah tanah yang berada di bawah rumah salah satu pengawal. Di sana Damar dikurung. "Siapa namanya?" "Damar, Mas." Keenan menaikkan alisnya. Nama itu terdengar tidak asing, tapi ia tidak ingat siapa orang itu. Ia juga tidak bisa menduga hal gila apa yang sudah ia dan Eleanora lakukan sampai laki-laki itu membalas dendam dengan menculik Vanela. Ketika sampai di penjara itu, barulah Keenan ingat dan mengerti. Damar adalah laki-laki hidung belang yang pernah ia buang atas suruhan Eleanora karena mengganggu ketenangan kos-kosannya dulu dengan Devan. Keenan mendengkus keras, harusnya dulu ia tidak memberi ampun pada laki-laki itu sekalipun memohon sampai menangis darah. "Halo," sapa Damar dengan ekspresi yang menjengkelkan. "Tidak dapat anaknya, dapat suaminya, hmm lumayan," ucap Damar di akhiri tawa yang terdengar sangat memuakkan. Keenan hanya bisa mengepalkan tangan dengan
Keenan sampai di ruang rawat inap Zia dengan napas terengah. Ia di sambut Desi di depan pintu. Zia sudah keluar dari Icu, sudah sempat sadar tapi tapi langsung tidur lagi efek pengaruh obat. Keenan bernapas lega, masuk dengan mata sayu. Ia melihat ke arah sofa bed. Keenan bersyukur Desi cukup peka dengan tidak ragu-ragu memilih kamar inap, sehingga Baruna bisa beristirahat dengan nyenyak meski sedang berada di rumah sakit. Keenan menghampiri Baruna lebih dulu, mengecup kening anaknya cukup lama lalu menghampiri Zia. Lama Keenan memperhatikan wajah Zia yang tampak damai. Meski demikian wajah itu sedang tidak baik-baik saja, ada beberapa memar kecil dan luka gores menghiasi wajah cantik Zia. Mata Keenan memanas. Ia tidak tahu kalau rindunya pada Zia sebesar ini. Ia tahan tangisnya agar tidak terdengar. Dengan ragu-ragu ia mengecup satu persatu luka yang ada di wajah Zia. Berharap luka-luka itu cepat sembuh dan tidak meninggalkan bekas. Bukan karena ia tidak terima jika Zia punya bekas