"Begitu syulit lupakan Rehan apalagi Rehan baik."
Devan asik bernyanyi dengan suara yang dibuat mendayu dayu sembari mengelap rambutnya yang basah. Ia baru selesai mandi dan hanya pakai boxer.
"Begitu syulit ...."
Tiba-tiba Devan dikejutkan dengan pintu kamarnya yang terbuka. Sontak Devan membalikkan badan.
"Wow," girang wanita itu.
Devan buru-buru menutup burungnya dengan handuk yang ia pakai mengelap rambut. "Siapa kamu? Ngapain kamu masuk ke kamar orang sembarangan."
"Yaaah." Wanita itu kecewa dengan tindakan Devan yang menutup burungnya. Lalu ia mendongak menatap Devan, ingat tujuannya mendobrak pintu. "Yang nyanyi tadi itu kamu?”
"Kenapa memangnya?” Wajah Devan memerah menahan amarah, plus malu.
Bukannya menjawab gadis itu malah memperhatikan tubuh Devan dari atas sampe bawah lalu kembali lagi ke atas. "Badan berotot, suara ngebass, eh nyanyi lagu Rehan, mendayu pula tuh."
Gadis itu menutup pintu dan mendekat membuat Devan melotot. "Mau ngapain kamu? Keluar!"
"Sayang, perempuan kayak aku cantik loh, lebih enak juga." Gadis itu meliukkan tubuhnya. Memamerkan bagian tubuhnya yang terlihat tepos depan belakang.
Devan mengerutkan kening. Berusaha mencerna maksud ucapan gadis itu. Begitu tersadar ia melotot lagi. "Saya emang doyan perempuan."
"Iyakah?" Gadis itu mendekat. "Tapi Sayang, jangan suka melotot lah, nanti keluar loh matamu." Tangannya berusaha menyentuh badan Devan.
Namun, belum disentuh, Devan sudah lebih dulu berteriak, mengejutkan gadis itu. Lalu ia tertawa keras. "Lucu banget, ya ampun. Jadi pacarku ya?"
"Dasar gila! Keluar sana!” Devan membuka pintu dengan kasar, ia kesal sampai di ubun-ubun.
Gadis itu cemberut, tapi tetap melangkah keluar. "Aku Eleanora, nama...."
Tanpa menunggu gadis itu selesai bicara, Devan menutup pintu keras-keras dan menguncinya. Ia merinding mengingat kelakuan gadis itu. Devan memang lumayan sering digoda perempuan, tapi rata-rata tante-tante yang kesepian atau paling tidak wanita dewasa yang sudah matang. Seumur-umur ia belum pernah digoda seperti itu oleh anak kecil.
"Eleanora ya." Devan rebahan tanpa memakai bajunya lebih dulu. Lagipula pintu kamarnya sudah dikunci, jadi aman.
Devan mengingat ingat, belum pernah ia lihat Eleanora di sekitar kosannya. Mungkin penghuni baru. Devan menebak-nebak. Kalau mungkin penghuni baru, di mana kamar gadis itu.
"Kalau dia sampai dengar suaraku, berarti …." Devan melirik tembok sebelah kanannya. Tetangga kamarnya itu kosong, mungkin kini Eleanora yang menempati.
Kos-kosan itu berbentuk L dan ada 24 kamar, 14 di bawah, 10 di atas dengan tangga di bagian tengah, sejajar dengan rumah ibu kos. Kamar Devan berada di paling ujung sebelah kanan lantai dua, berhadapan dengan tembok rumah ibu kos, berjarak satu meter dari teras.
Di balik tembok depan kamarnya itu adalah tempat menjemur pakaian ibu kos sekeluarga. Untung saya bagian yang terbuka bukanlah depan kamar kosnya, kalau tidak, pemandangan yang ia lihat setiap hari pastilah dalaman bapak-bapak dan ibu-ibu.
Devan menutup mata, ingin tidur. Ia berharap gadis itu tidak lagi mengganggunya besok.
Namun, doanya tidak tidak terkabul. Pagi ini saat Devan baru keluar kamar untuk berangkat kerja, ia sudah disambut sapaan centil Eleanora.
"Selamat pagi, Devan Sayang," sapa Eleanora dengan senyum yang manis, tapi buat Devan bergidik.
Buru-buru Devan turun dari sana. Ia tidak mau berhadapan lama-lama dengan Eleanora. Apalagi gadis itu sudah tahu namanya. Pasti semalam Eleanora mengkepoi dirinya pada penghuni kos yang lain.
Namun, begitu sampai di parkiran, motor bututnya tidak mau lekas bunyi. Bikin geram saja. Apalagi kini Eleanora sudah di dekatnya sambil tersenyum.
“Biar kamu semangat,” kata Eleanora, ia mencuri cium pipi Devan lalu berlari menjauh.
Sontak Devan menjerit histeris membuat para penghuni kos yang masih ada juga ibu bapak kos keluar melihat Devan.
“Maaf, Bu, saya kaget ada ulat bulu.” Devan tersenyum kikuk, malu dan tak enak hati telah membuat kehebohan.
Sampai di tempat kerjanya, Devan segera menyortir paket-paket yang akan dikirim bersama teman-teman kerjanya. Hari ini masing masing mereka dapat jatah 150an paket. Dan sebisa mungkin paket-paket itu diantar hari itu juga, malah kalau bisa ia nerharap bisa mengantar lebih banyak dari itu. Supaya tidak makin menumpuk.
Dulu semasa Devan kuliah, waktu pengiriman paketnya disesuaikan dengan jadwal kuliahnya. Tidak ada waktu itu bermain atau sekedar nongkrong bersama kawan-kawan, membuat Devan tidak punya teman akrab. Bahkan ketika ada dosen yang berhalangan hadir, Devan menjadi salah satu mahasiswa yang paling senang. Sebab ia bisa mengantar paket lebih banyak.
Sebenarnya keadaan ekonomi keluarganya tidak termasuk sulit. Namun, ia tetap memilih bekerja sambil kuliah karena merasa sudah dewasa. Hitung-hitung hasil kerjanya bisa ia tabung.
Devan suka ditanya, untuk apa uang tabungannya.
"Untuk biaya nikah," kelakarnya kala itu. Padahal pacar saja ia tidak punya. Devan jomlo dari lahir.
Devan menelepon satu persatu pemilik beberapa paket yang akan ia antarkan. Sebagian besar ia sudah biasa mengantarkan, sisa beberapa yang masih asing. Sehingga harus konfirmasi lebih dulu, apalagi jika paketnya cukup besar untuk diangkut oleh motor maticnya.
Setelah selesai mengkonfirmasi, Devan segera mengemasnya untuk diangkut. Keluar dari kantor ia sambut dengan senyum. Berharap hari ini lancar tanpa kendala.
Devan mulai mengantarkan dari yang paling dekat dengan kantornya. Dari pagi sampai siang pekerjaannya lancar. Walau cuacanya sudah mirip dengan tetangga neraka, Devan tetap tersenyum. Apalagi jika ada customer baik yang memberi uang lebih atau sekadar air putih untuk meredakan rasa haus.
Pernah sekali ia beruntung karena memaksa mengantarkan paket ke customer pada tengah hari bolong yang sedang panas-panasnya. Dan ternyata si customer sedang buat acara kecil-kecilan di rumahnya. Sehingga ia pun ditawari untuk ikut menikmati sebelum melanjutkan misi.
Tentu saja dengan senang hati Devan menyambut, dan ia pun mengambil es buah yang ternyata isinya bukan kaleng-kaleng. Es buah itu benar-benar es buah, isinya buah beneran, bukan sekadar agar-agar beda warna yang biasa ia temui di acara-acara di kampungnya.
Karena customernya baik, ia tidak malu untuk tambah. Alhasil hausnya hilang, perut pun kenyang.
Namun, tak jarang juga ia merasa buntung. Apalagi saat mengantar paket dengan sistem pembayaran COD. Cukup sering ia mendapat customer yang pelit dan sombong. Bahkan ada yang sampai mengerik gajinya. Seperti sekarang ini.
"Maaf, Bu. Uangnya kurang lima ribu." Devan menegur ramah, sembari memperlihatkan uangnya yang hanya delapan puluh ribu lima ratus.
Si Customer mendelik. "Kurang apanya, itu sudah pas."
"Maaf, Bu, harga paketnya 85.500, bukan 80.500." Devan masih tersenyum.
Si Customer memperhatikan label pengiriman paketnya. "Halah, Mas, mahal banget, kurangin lah itu lima ribu."
"Tugas saya cuma ngantar, Bu. Saya bukan penjualnya, jadi ibu jangan nawar sama saya," jawab Devan kaku, ia sudah tidak bisa tersenyum ramah. Apalagi sekarang sudah jam dua belas, panas dan ia lapar belum istirahat.
"Jangan pelit dong, Mas, masa segitu doang ditagih." Urat di leher si customer mulai tampak. "Kalo nggak mau sini saya ambil lagi uangnya." Tangan si customer bergerak cepat merebut uangnya kembali.
Untung saja refleks Devan cukup bagus sehingga si customer tak berhasil merebut uang itu. "Jangan gitu dong, Bu."
Si customer berkacak pinggang dengan napas naik turun. “Pergi sana, mengganggu saja.” Lalu menutup pintunya keras-keras tanpa berucap apa-apa lagi.
Devan mengembuskan napasnya lewat mulut keras-keras. Berharap panas di dada dan kepalanya keluar. Tak ingin perkara uang lima ribu ia ribut dan memancing orang lihat. Devan keluar halaman rumah si customer dengan mengelus dada. Berusaha ikhlas uang lima ribunya hilang.
Memang tidak seberapa, tapi uang lima ribu itu bisa ia belikan mi instan dua bungkus dan dimakan empat kali karena satu bungkus dibagi dua. Di makannya pakai nasi biar kenyang. Irit ala anak kos.
Devan pulang dengan lunglai. Payah sekali ia hari ini. Doanya tidak terkabul. Bukannya untung, ia malah buntung. Sudahlah ada yang bayar paketnya kurang, kena amuk gara-gara isi paketnya tidak sesuai, eh malah dikasih uang palsu sama customer. Ia jadi rugi seratus lima ribu.
Dan sekarang saat Devan akan beristirahat dengan tenang, tetangga barunya datang lagi. Dengan mata sayu, Devan mendorong kaki Eleanora yang menghalang agar pintu kamarnya tidak bisa ditutup.
Beberapa detik tatap-tatapan, Devan kehilangan kendali sehingga Eleanora menyusup lewat bawah lengannya. Devan menguap dan menggaruk kepalanya kesal. Dia capek dan ingin tidur.
"Tolong ya, saya capek dan mau tidur." Devan membuka lebar lebar pintu kamarnya.
"Ayo makan, Sayang." Cepat-cepat Eleanora mengeluarkan bawaannya. Menatanya di pantai, di samping tempat tidur Devan. Sepasang piring, nasi dan lauk pauknya.
Devan mengumpat dalam hati, Eleanora menyogoknya dengan nasi padang. Tahu dari mana Eleanora kalau dia suka nasi padang?
Devan berdeham, tenggorokannya tiba-tiba serak. Ia mau tapi malu. Jari kakinya bergerak-gerak tidak jelas. Perutnya mulai bergemuruh minta diisi.
"Ayo Sayang keburu dingin."
"Sayang-sayang, saya bukan pacarmu." Devan masih enggan untuk ikut duduk bersama Eleanora.
Eleanora berdiri. "Bacoot." Lalu menarik Devan untuk duduk.
Devan pun membuka jaket dan menaruh tasnya di atas tempat tidur, sedang Eleanora mengambilnya air cuci tangan untuk Devan. Karena sudah kepalang duduk depan makanan, Devan melahap tanpa malu-malu.
Eleanora menambahkan tiga potong daging ke piring Devan. "Tambah daging kambingnya, Sayang. Biar ototmu makin gede," ucapnya menatap nakal ke selangkangan Devan.
Devan langsung menutup rapat kakinya. Ngeri sama tatapan Eleanora. Macam tante-tante genit nan kesepian yang biasa ia temui saat mengantar paket. Tampaknya Eleanora berbakat.
"Kamu niat bikin saya kena kolesterol ya?” "Kok kolesterol, harusnya kan diabetes." Devan memicingkan matanya menatap Eleanora, lalu mengangguk. "Pengetahuanmu agak kurang ya, nanti baca-baca lagi di internet, banyak kok." Eleanora tertawa. "Loh benar kan, harusnya diabetes, kan tiap hari kamu kukasih senyuman manis." Ia menangkup wajahnya, bersikap sok imut. Devan mendengkus lalu berdiri, mengisi magicom dengan air. Sepertinya berniat membuat mi instan. Pakai magicom karena tak punya kompor. "Banyak loh kasus orang benci jadi cinta." Eleanora mengedip-ngedipkan matanya. "Kalo kamu terus-terusan benci, benci, benci sama aku, nanti kamu jadi cinta mati loh sama aku." Bibirnya menarik senyum simpul, geli. Namun yang diajak bicara tidak bereaksi, ia sibuk melihati air yang ia masak di magicom. Sudah lima menit belum mendidih. Eleanora gemas melihatnya. Entah berapa lama lagi Devan menunggu kalau magicomnya tidak ditutup. "Udah sih, makan yang ada aja. Malah yang ini lebih enak."
Menjelang akhir tahun pasti pekerjaan setiap kurir pasti banyak. Diskon-diskon berterbaran di mana-mana. Penjualan online naik, paket yang dikirim makin banyak, Kang Paket makin capek, makin lama pulangnya. Devan menipiskan bibir melihat tumpukan paket yang menggunung. Sudah bertahun-tahun dia jadi Mas Kurir, tapi tetap membuatnya merasa heran tiap kali melihat tumpukan paket sebanyak ini. Memang tidak sebanyak saat ramadhan menjelang lebaran, tapi kalau akhir tahun tetap saja banyak. Devan dan teman-temannya bergerak cepat, memilah paket-paket yang harus segera diantar dan mana yang bisa ditunda. Meski begitu Devan tetap berharap bisa mengantar semuanya hari ini, karena bisa dipastikan besok akan menumpuk lagi. Tidak apa. Demi uang, Devan rela berada di bawah teriknya matahari sepanjang hari. Hujan pun sebenarnya ia tak masalah, yang jadi masalah kalau paket yang dia bawa jadi basah. Nanti bukannya dapat bonus malah potong gaji gara-gara customer komplain. Devan menghela napas ke
Devan mengacak rambutnya yang masih basah. Malas mengeringkan pakai handuk. "Dari tadi pulangnya kah, Sayang?" Eleanora menaruh ember itu di kamar mandi. "Nggak mau bilang." "Kamu dapat embernya di mana?" Bukannya protes soal Eleanora yang lagi-lagi masuk sesuka hati. Devan malah salah fokus ke ember yang Eleanora bawa. Seingatnya ia baru pulang dan embernya tidak pernah ia taruh di luar kamar. "Di bawah jemuran, kan kamu yang simpan di situ. Habis ngejemur nggak dikasih masuk lagi." Devan mengangguk. Ia tak ingat kapan terakhir kali mencuci dan menjemur pakaian. Rasanya tidak mungkin kalau karena saking capeknya ia sampai ngelindur dan melakukan semua itu. Saat ini mereka sedang diam-diaman. Eleanora sibuk dengan ponselnya, sedang Devan tak tahu mau berbuat apa. Tak lama ia ingat sesuatu, ia harus cari kerja sesuai jurusan kuliahnya. Ia tak bisa kaya kalau hanya jadi kurir terus-terusan. Devan mengambil laptop dan mejanya, lalu duduk di lantai, bersandar di tempat tidur. Berhad
Belum nikah, bukan penyuka one night stand, bukan juga orang sakit. Tiba-tiba pas baru buka mata setelah tidur semalaman ada wajah cewek tepat di hadapan. Devan terkejut bukan main, tidak teriak, tapi refleks kepalanya membuatnya kesakitan karena terbentur tembok. Sudah setengah jam berlalu, ia sudah wudhu, sudah solat subuh. Harusnya panas di dadanya sudah mereda, tapi nyatanya ia makin tersulut setelah gadis itu bangun dengan tanpa rasa bersalah. "Hehe iya, aku udah duplikat kunci kamarmu dari minggu lalu." Sungguh, kalau makhluk di hadapannya bukan perempuan, sudah pasti ia cakar-cakar wajahnya yang sejak tadi senyum terus. Devan bukan lagi butuh energi sampai harus dikasih gula terus menerus. Bukannya diabetes, dia bisa darah tinggi lama-lama. "Maumu itu apa sih?” Devan menahan suaranya agar tidak membentak. Apalagi ini masih pagi, subuh baru lewat, malah mungkin tetangga kosnya ada yang masih tidur. "Mauku itu kamu. Kita nikah, biar bisa sama-sama terus sama bisa n
Devan terdiam di depan pintu kamar mandi, badannya masih basah, dengan handuk menggantung di pinggang. Dadanya naik turun, ingin mengamuk tapi tidak tahu sama siapa. Matanya nyalang menatap sosok yang sedang berbaring di tempat tidurnya dengan tangan menutup wajah. Pura-pura bermain ponsel tapi masih mengintip di sela-sela jarinya yang sengaja direnggangkan. Devan mengembuskan napasnya dengan kasar, berusaha mengurai emosinya. Bisa-bisa cepat tua dia kalau terus-terusan marah-marah. Ia mengambil bajunya di lemari dan membawanya ke dalam kamar mandi. Tidak bisa pakai di luar, nanti kesenangan Eleanora melihatnya lebih lama. “Maunya pakai di sini saja, Sayang.” Eleanora sudah duduk saat ia keluar kamar mandi. Cengirannya tak pernah lepas. Devan ingin menjauh dari Eleanora, tapi sayangnya sekarang hari minggu, ia libur. Perkara ia mandi pagi karena semalam ia pulang kemalaman dan malas mandi sebab terlalu lelah. Devan melewati Eleanora begitu saja, mengabaikan gadis itu. Ia keluar
Eleanora senyum-senyum di belakang Devan yang mondar mandir sejak tadi. Beberapa jam berlalu, tapi kesal di wajah Devan tak juga hilang. Malah makin menjadi. Eleanora tidak yakin kalau Devan cemburu. Mungkin kesal karena ia datang mengacau kesenangannya. Eleanora mengedikkan bahu. Ia memegang pundak Devan dari belakang. "Capek, Sayang. Jangan mondar mandir terus," keluhnya. "Kamu kenapa sih?” Eleanora mendorong Devan agar duduk di tepi tempat tidur. Tak paham dengan Devan. Tidak biasanya lelaki incarannya seperti itu. "Kamu kenapa siiih?" Eleanora bertanya lagi, kini wajahnya dihadapkan begitu dekat dengan wajah Devan. Tapi Devan tetap tidak mau melihat dirinya. Gemas, Eleanora mencubit kedua pipi Devan. Yang akhirnya ditepis Devan. "Saya jengkel." Devan berdiri. Eleanora ikut berdiri. "Jengkel kenapa?” "Jengkel karena saya jengkel." "Hah?” Eleanora yang bingung jadi makin bingung mendengar jawaban Devan. "Ya udah main game lagi gih. Aku balik ke kamarku." Eleanora
"Sayaaaang." Eleanora muncul dengan melongokkan kepalanya dari balik pintu. Devan yang baru selesai solat menengok sekilas lagi lanjut zikir. Sejak makan malam yang dibiayai Devan waktu itu, Eleanora jadi lebih sering datang dan muncul di hadapannya. Pulang lebih malam, datang lebih cepat. Itu Eleanora sekarang kalau di kamar Devan. Devan mulai biasa saja, tidak lagi takut atau menghindari Eleanora. Devan lanjut dengan ibadahnya, Eleanora sibuk dengan ponselnya di tempat tidur Devan sambil rebahan. Katanya Eleanora sedang datang bulan, untuk sementara tidak bisa jadi makmum Devan. Dan Devan sendiri tidak ke masjid karena kesiangan.Devan melanjutkan dengan membaca Alquran, Eleanora mendengarkan, tak tahu Devan membaca surah apa. Eleanora bukan gadis alim yang paham agama. Bahkan solat pun karena ikut-ikut Devan. Hampir jam enam Devan baru berdiri. Ia sudah mandi jadi sengaja lama-lama. Canggung juga kalau masih subuh Eleanora sudah di kamarnya. "Keluar dulu, Saya mau ganti baju.
inggu lalu bikin mereka rugi banyak. Gajinya juga tidak dipotong, malah ia diberikan pesangon lumayan. Devan bingung, tapi senang juga. Devan pulang malam kali ini, menyelesaikan tugas untuk terakhir kalinya pakai motor Rifqi. Ia tidak berani memakai motornya sendiri yang tiba-tiba muncul secara misterius. Ia takut ada apa-apa dengan motor itu.Saat menaiki anak tangga, ponselnya berbunyi. Salah satu teman kampusnya menelepon, gadis yang pernah ia taksir dulu. Agak lama Devan membiarkan panggilan itu, ia perlu mengatur detak jantungnya lebih dulu. Ia grogi meski merasa sudah tak punya rasa apa-apa.Devan menarik napas sebelum menyapa. “Assalamu’alaikum, Ra. Ada apa?”“Wa’alaikumsalam, Van sibuk kah?”Devan tidak langsung menjawab, bingung harus bilang sibuk atau tidak. Harusnya sih tidak, karena ia pengangguran sekarang, tapi kalau ditanya capek atau tidak ya pasti capek. “Tidak, cuma ini baru pulang kerja. Kenapa?”Ia penasaran, kenapa wanita secantik Nara yang dulu jarang mengajakn
"Assalamu'alaikum, Papa Mama," sapanya pura-pura mengantuk seakan baru bangun tidur, layar ponselnya ia dekatkan ke wajah agar pemandangan di belakangnya tidak terlihat. "Tidak usah pura-pura, Mama tahu kamu masih di jalan! Kenapa baru pulang jam segini?" Vanela menjauhkan ponselnya seiring suara Eleanora yang semakin nyaring. "Papa, Mama marah-marah." Bukannya menjawab, Vanela malah mengaduh pada Devan. Namun kali ini Devan tidak akan membelanya. "Kamu memang harus dimarahi. Kenapa baru pulang?" Suara dan tatapan Devan tampak tegas, tanda Vanela harus segera menjawab dengan benar, tidak bisa bermanja lagi. Vanela menunjukan lembar soal yang sejak tadi dipangkuannya. "Keasyikan ngerjain ini, lupa kalau nggak lagi di rumah." "Apa itu?" "Soal matematika untuk lomba tingkat SMA." "Papa tidak tahu kalau kamu ikut-ikut yang seperti itu." Memang selama ini Vanela selalu pulang tepat waktu dan bahkan saat jadwal kuliahnya tinggal dua jam lagi, Vanela menyempatkan pulang untuk sekadar b
Beberapa tahun lagi mamanya akan kepala empat menyusul ayahnya, pasti akan sulit untuk hamil diusia seperti itu. Dan Vanela menyesal sudah mengatakan permintaannya itu, harusnya ia lebih memikirkan orang tuanya ketimbang diri sendiri.Hari ini Vanela memulai perkuliahannya lagi. Selama masa kuliah, Vanela tidak lagi pergi bersama Baruna. Bukan karena jadwal kuliah yang berbeda, melainkan karena Baruna tidak berkuliah di universitas yang sama dengan Vanela. Vanela tetap tinggal di Kota Kendari agar selalu dengan orang tuanya dan berkuliah di universitas Halu Oleo dengan mengambil jurusan yang sekiranya santai.Vanela tidak peduli dengan jurusan kuliah yang dia ambil. Yang dipikirkannya hanya bagaimana caranya ia menyelesaikan kuliahnya tanpa terlalu banyak membuat waktu di kampus. Sehingga Vanela benar-benar menjadi anak kupu-kupu, kuliah pulang kuliah pulang. Kendati demikian, Vanela masih memiliki teman walau tidak akrab.Pukul sebelas siang ketika Vanela baru pulang dari kampus, har
Sudah sejak pertengahan SMP Devan tinggal jauh dari orang tua, tapi setidaknya ia tinggal bersama kakaknya yang jauh sudah dewasa. Kepindahannya kala itu karena ingin bersekolah di kota yang katanya pendidikan lebih bagus. Karena mendukung anaknya, orang tua Devan menyetujui. Kehidupan sekolah Devan lancar-lancar saja, ia tidak pernah di bully atau merasakan stres yang luar biasa menggangguk.Kemudian sewaktu awal masuk kuliah, Devan memutuskan hal yang besar, yaitu tinggal sendiri, mempertanggung jawabkan dirinya sendiri dengan tinggal di tempat kos-kosan. Hari-hari tenangnya mulai hilang, kegiatan kampus juga uang bulanan mulai memeras is kepalanya. Beberapa bulan pertama kehidupan Devan di kos-kosan terasa sangat berat baginya.Devan yang tadinya tidak perlu memikirkan uang saku habis, tidak perlu memikirkan kebutuhan hidupnya, kini harus memikirkan semuanya. Karena sudah tidak ada lagi kakaknya yang baik hati yang tidak pernah memperhitungkan uangnya dipakai Devan.Uang yang Laki
Tidak disangka ujian kelulusan sebentar lagi, kurang dari dua minggu lagi, tapi Vanela tidak pernah belajar. Ia lebih sering latihan bersama Yudi dan pengawal yang lain ketimbang membuka buku pelajaranBanyak yang mengira kalau setelah Vanela berhijab gadis itu akan berubah jadi lembut seperti yang terlihat jelas diwajahnya. Namun sayang hal itu hanya harapan semata. Nyatanya Vanela masih suka sadis, apalagi saat sedang kesal. Gadis itu belum bisa yang satu itu.Beberapa kali saat emosi, Vanela menggunakan salah satu pengawal untuk menjadi tempatnya menaruh objek sasaran saat olahraga lempar pisau atau panahan. Seperti saat ini. Tadi Vanela secara random memanggil salah satu pengawal yang sedang duduk asyik sembari merokok. Pengawal itu tadinya tenang-tenang saja sampai di ajak ke tempat latihan, ia langsung panas dingin.Ketika Eleanora sudah bersiap menarik busurnya, tiba-tiba Keenan datang."Diego Lim datang," bisik Keenan yang langsung dibalas lirikan oleh Vanela."Cukup kasih tah
"Papa, Nela kangen," lirih Vanela sembari mengelap tubuh ayahnya. Padahal ia tahu sudah ada yang bertugas menjaga dan merawat orang tuanya, tapi ia tetap ingin berbakti meski sedikit."Nela."Vanela menoleh. Zia datang dengan membawakan makanan untuknya. Vanela menyudahi menyeka tubuh Devan, ia menghampiri Zia yang menata makanannya di meja."Padahal Tante nggak usah repot-repot antar ke sini. Aku kan bisa ambil makan sendiri." Vanela duduk di samping Zia. Ia mengambil air putih yang Zia siapkan, menghabiskannya hingga nyaris tandas."Kapan? Nanti malam?"Vanela tertawa kecil. Zia sudah mengenal Vanela dari kecil. Zia sudah hapal dengan kelakuan Vanela yang kalau sudah masuk ke ruang perawatan orang tuanya ini susah keluar lagi. Kecuali ada buku pelajarannya yang harus dia ambil."Kamu sudah kelas tiga, apa tidak lebih nyaman belajar di kamar?""Iya ini belajar di kamar kan?" Vanela tersenyum menbuat Zia merasa gemas.Padahal maksud Zia, Zia ingin Vanela punya kehidupan lain selain di
"Sayang! Kamu bikin apa?" Devan melongok dari semak-semak, melihat Eleanora memetik bunga. "Kenapa kamu petik?" Devan menyayangkan tindakan Eleanora."Bunga-bunganya sudah jelek. Kalau mau tumbuh bunga bunga baru yang segar, bunga yang lama harus disingkirkan. Begitu juga kehidupan Vanela."Vanela terkejut namanya dipanggil ia kira ia sedang bermimpi sekarang, tapi mimpinya cukup indah karena orangnya sadar akan kehadiarannya."Kamu harus membuang kenangan, agar hidupmu terus berjalan."Tiba-tiba pemandangan orang tuanya yang sedang ditaman bunga kini berganti menjadi pemandangan yang setipa hari ini lihat, orang tuanya terbaring tak berdaya dengan tak sadarkan diri.Lalu tiba-tiba lagi pemadangan itu hilang tergantikan ruang putih yang kosong. Vanela berlari ke tempat orang tuanya tadi berada, tapi sepanjang berlari ia hanya menemukan ruang putih yang terasa hampa."Maamaaaa! Papaaaaaaa!" Vanela berteriak sekuat tenaga sampai tenggorokannya habis. Sampai ia terbangun seketika dari ti
"Jadi bagaimana, Mas? Apa perlu kita mengirim orang untuk mengecek ke sana?""Jangan, jangan." Keenan menggeleng, tidak menyutujui saran Yudi. "Lebih baik jangan, terlalu berbahaya. Kita tidak tahu situasi di sana seperti apa. Jangan sampai masih ada yang berusaha untuk masuk, atau mungkin lebih parah, kita tidak tahu. Saya tidak mau kalian kenapa-kenapa."Keenan menarik napas sejenak, ia menatap teman-temannya satu persatu. Tidak semua berada di dalam ruangan itu karena beberapa harus tetap berjaga di luar, tapi masing masing dari mereka bisa mendengar percakapan ini dan juga bisa mengutarakan pendapat."Dengar, kalian semua yang ada di sini adalah orang orang yang dipilih langsung oleh Tuan, itu tandanya beliau sangat percaya kalian bisa menjaga anak, menantu dan cucunya. Paham?"Semua serentak mengatakan paham."Jadi saya tidak mau kalian kenapa-kenapa. Apalagi sekarang dua tuan kalian dalam keadaan yang tidak baik, kalau terjadi sesuatu sama kalian, siapa yang akan menjaga dan me
Mendengar penuturan Ibu, Zia hanya bisa menghela napas. Sementara itu Devan bersama Yudi mendatangi penjara bawah tanah yang berada di bawah rumah salah satu pengawal. Di sana Damar dikurung. "Siapa namanya?" "Damar, Mas." Keenan menaikkan alisnya. Nama itu terdengar tidak asing, tapi ia tidak ingat siapa orang itu. Ia juga tidak bisa menduga hal gila apa yang sudah ia dan Eleanora lakukan sampai laki-laki itu membalas dendam dengan menculik Vanela. Ketika sampai di penjara itu, barulah Keenan ingat dan mengerti. Damar adalah laki-laki hidung belang yang pernah ia buang atas suruhan Eleanora karena mengganggu ketenangan kos-kosannya dulu dengan Devan. Keenan mendengkus keras, harusnya dulu ia tidak memberi ampun pada laki-laki itu sekalipun memohon sampai menangis darah. "Halo," sapa Damar dengan ekspresi yang menjengkelkan. "Tidak dapat anaknya, dapat suaminya, hmm lumayan," ucap Damar di akhiri tawa yang terdengar sangat memuakkan. Keenan hanya bisa mengepalkan tangan dengan
Keenan sampai di ruang rawat inap Zia dengan napas terengah. Ia di sambut Desi di depan pintu. Zia sudah keluar dari Icu, sudah sempat sadar tapi tapi langsung tidur lagi efek pengaruh obat. Keenan bernapas lega, masuk dengan mata sayu. Ia melihat ke arah sofa bed. Keenan bersyukur Desi cukup peka dengan tidak ragu-ragu memilih kamar inap, sehingga Baruna bisa beristirahat dengan nyenyak meski sedang berada di rumah sakit. Keenan menghampiri Baruna lebih dulu, mengecup kening anaknya cukup lama lalu menghampiri Zia. Lama Keenan memperhatikan wajah Zia yang tampak damai. Meski demikian wajah itu sedang tidak baik-baik saja, ada beberapa memar kecil dan luka gores menghiasi wajah cantik Zia. Mata Keenan memanas. Ia tidak tahu kalau rindunya pada Zia sebesar ini. Ia tahan tangisnya agar tidak terdengar. Dengan ragu-ragu ia mengecup satu persatu luka yang ada di wajah Zia. Berharap luka-luka itu cepat sembuh dan tidak meninggalkan bekas. Bukan karena ia tidak terima jika Zia punya bekas