Deni berjalan perlahan sambil memunguti satu persatu pakaian yang berserakan dengan mata tetap pokus menatap Mila yang terlihat menyedihkan.
"Sudah biarkan Den. Biar nanti Ibu yang bereskan," ucap Mila.
"Tapi ada apa sebenarnya Bu. Ibu habis bertengkar?" tanya Deni. Pakaian yang diambilnya, Deni masukkan kembali ke dalam lemari setelah melipatnya.
"Udah Den. Gak usah dibereskan. Sini, Ibu mau curhat" pinta Mila.
Deni kemudian mendekati Mila dan duduk berjongkok di depan Mila.
"Katakan Bu? Ibu baik-baik saja, kan?"
"Ibu tidak apa-apa Den. Ibu hanya kesal dengan suami Ibu."
Berkata terbata- bata sambil menangis, Mila mencurahkan semua isi hatinya pada Deni. Deni duduk termangu mendengar semua keluh kesah Mila. Ia mulai iba dengan keadaannya. Tenyata hidup berumah tangga tidak mudah. Meski materi mencukupi, ada saja kekurangan yang menjadi pemicu pertengkaran suami istri.
Mendengar keluhan Mila, sekilas ia teringat akan tante Rohana, wanita blasteran keturunan Belanda.
Saat itu umur Deni lima belas tahun ketika tante Rohana membeli keperjakaannya.
Ya. Karena himpitan ekonomi. Deni yang berwajah tampan, di jual pamannya untuk melayani hasrat tante kesepian yang butuh lelaki muda dan kuat untuk memuaskan nafsu birahinya.
Tante Rohana Begitu keji memperlakukan Deni. Wanita itu ternyata seorang hiper. Bahkan jika melakukan hubungan intim dengan Deni. Tak jarang tante Rohana memakai alat bantu pecut untuk bisa memuaskannya. Hingga di sekujur tubuh Deni dipenuhi luka lebam. Jika sudah melakukan itu.
Hampir empat tahun. Deni melayani wanita hiper itu, meski sebenarnya ia sudah tidak tahan dengan tindakannya yang berperangai kasar dan aneh jika melakukan kontak fisik.
Dengan uang hasil menjual dirinya. Deni kemudian melarikan diri, dan selama setahun bersembunyi di Bogor. Hingga akhirnya bertemu Mila.
Itulah, meski usia Deni masih sangat muda. Ia tahu betul bagaimana cara memuaskan seorang wanita. Dimana titik kelemahan wanita, agar merasakan nikmatnya surga dunia. Deni dengan mudah bisa menguasainya.
Pertama berhubungan dengan Mila. Wanita itu ternyata begitu bernafsu. Hingga tak jarang Deni harus membekap mulut Mila. Karena saat akan mencapai puncaknya, Mila selalu menjerit histeris karena kenikmatan yang di berikan Deni.
Sepertinya apa yang di berikan Deni, tak ia dapatkan dari suaminya.
Mungkin itulah mengapa Mila begitu tergila- gila dengan permainan Deni di atas ranjang. Demikian pula yang dirasakan Deni. Dengan Mila. Deni merasa menjadi seorang lelaki sejati. Sebagaimana ia berhubungan normal dengan pasangannya.
Pagi itu, Mila mengungkapkan semua isi hatinya terhadap Deni. Betapa dalam cintanya terhadap Samsul. Tapi sayang, lelaki itu mempunyai kekurangan.
Entah mengapa, setelah Deni mendengar curahan hati Mila. Hati Deni merasa terketuk untuk menolong Mila dari keterpurukan nya. Deni merasa iba dengan keadaan Mila. Wanita itu butuh cinta suaminya. Penderitaan Mila selama berumah tangga dengan Samsul suaminya. Membuat Deni terharu.
Deni harus melakukan sesuatu agar Samsul tak bersikap acuh terhadap istrinya.
Untuk itu. Deni ingin mengenal Samsul lebih jauh. Selama Deni menempati rumah itu. Tak pernah sekalipun ia bertegur sapa dengan Samsul. Bagaimana sifat Samsul dan kesehariannya memperlakukan Mila. Deni jadi penasaran dan ingin mengetahuinya.
"Bu. Jangan bersedih. Ayo, hari ini. Deni akan bantu Ibu beres- beres rumah. Sebelum suami Ibu pulang, Deni tak kan beranjak dari rumah ini," kata Deni menyemangati Mila yang begitu memprihatinkan.
"Untuk apa Den. Bagaimana kalau suamiku pulang, terus melihat kita berdua," lirih Mila menatap sendu wajah Deni.
"Jangan takut Bu. Itu urusan Deni. Kalau suami Ibu pulang, turuti apa yang Deni katakan."
Deni kemudian membisikkan sesuatu pada telinga Mila.
"Hah!!"
"Iya Bu. Lakukan apa yang Deni katakan barusan."
"Tapi Ibu takut, Den."
"Jangan takut Bu. Mulai sekarang Ibu harus tegas."
Mila terdiam beberapa saat.
Haruskah ia menuruti kata- kata Deni?
Tapi demi cintanya pada Samsul. Mila akan lakukan apa saja. Agar suaminya merubah sikapnya selama ini, acuh dan tak pernah mengerti apa yang diinginkan Mila.
Hari itu. Mila dan Deni sepakat akan melakukan sesuatu terhadap Samsul. Deni ingin tahu reaksi Samsul saat pulang nanti. Melihat Mila berdua dengannya.
Bukan itu saja. Deni sengaja menampakkan diri berdiri di teras depan rumah Samsul agar para tetangga melihatnya.
Dan benar saja. Mang Ujang tukang sayur langganan Mila begitu terkejut saat melihat Deni berdiri sambil berkacak pinggang memperhatikan suasana pagi di komplek itu.
"Sayur ... sayur ... "
Mang Ujang berteriak menjajakan dagangannya agar ibu- ibu komplek pada keluar dari persembunyiannya.Tak berapa lama. Dua orang Mama muda muncul dan langsung memburunya.
"Mang Ujang ada tahu, gak?"
"Waduh Bu. Tukang tahu pada demo semua. Yang ada aja Bu," ujar Mang Ujang sambil memainkan kumisnya.
Deni masih berdiri mematung di luar. Di dalam rumah jantung Mila berdegup kencang melihat ulah Deni. Tapi ia terlanjur menyetujui rencana Deni.
Mang Ujang dan kedua Mama muda mulai memperhatikan Deni dengan tatapan aneh.
"Eh, siapa itu yang berdiri di depan rumah Pa Samsul," bisik salah satu Mama muda yang bernama Siska.
"Entahlah ... tapi wajahnya tampan sekali, mungkin keponakan Bu Mila," jawab Sarah. Mama muda satunya.
"Bukan, itu selingkuhan Bu Mila ... " potong Mang Ujang.
"Hus, Mang Ujang ini, ada-ada saja. Jangan bicara sembarangan Mang," tegur Siska sambil menepuk bahu Mang Ujang.
"Mang pernah lihat Bu Mila masuk ke rumah pemuda itu," ungkap Mang Ujang bersungut- sungut.
"Lho. Memangnya rumah pemuda itu dimana?" sahut Sarah menyela.
"Nah ini ... makanya jangan kebanyakan nonton sinetron. Rumah pemuda itu dengan rumah Bu Mila bersebelahan."
"Hah!!"
Siska dan Sarah tersentak kaget mendengar pengakuan Mang Ujang.Seorang pemuda tampan tinggal di samping rumah Bu Mila. Dan mereka baru mengetahuinya.
Tatapan Siska dan Sarah langsung beralih pada Deni yang tengah berdiri tegak di depan teras. Menatap mereka berdua.
Wajah Siska dan Sarah langsung merah merona tersipu malu. Kedua nya mendadak genit di depan Mang Ujang. Membuat Mang Ujang geleng- geleng kepala melihat tingkah Mama muda genit itu.
"Inget Neng ... Neng udah pada punya suami," celetuk Mang Ujang.
"Ih apaan, sih! Mang Ujang ini, ngomongnya gitu, sih!" ketus Siska sambil memilih dan memilah sayuran yang akan di belinya.
"Habis ... Neng dari tadi ngacak- ngacak sayuran Mang. Sebenarnya Neng mau beli apa, sih?" tanya Mang Ujang kesal. Dari tadi Mama muda ini hanya mengacak dagangannya tapi tak ada satupun yang di beli. Malah asyik memandangi pemuda yang berdiri di dalam rumah Bu Mila.
"Ih, si Mang meni sewot. Sabar atuh Mang, kan saya harus pikir- pikir dulu. Masak apa kira- kira hari ini," kelit Siska sambil tersenyum tipis pada Deni.
Mang Ujang mendengus kasar mendapati sikap Siska yang mendadak sok manja. Tidak seperti biasanya.
Deni tersenyum menyeringai menanggapi percakapan mereka bertiga. Sengaja Deni menampakkan diri di depan mereka, agar mereka menyebar gosip dan pasti mereka akan melaporkannya pada Samsul.
Dan itulah yang Deni inginkan.
Sebenarnya apa, ya? Tujuan Deni, melakukan itu semua.Seharian Deni berada di rumah Mila. Ia membantu Mila membereskan semua pekerjaan Mila termasuk membersihkan kepingan kaca bekas bingkai Poto yang di banting Mila. Pakaian Samsul pun semua Deni lipat dengan rapih seperti sedia kala.Dari mencuci piring sampai memasak, Deni menemani kegiatan Mila hari itu. Mereka berdua tertawa bersama sambil menikmati makanan yang baru saja di masaknya. Sambel pedas dan ikan gurame. Kesukaan Samsul, yang tak sempat di masak karena suaminya selalu sibuk dengan pekerjaan. Mila begitu bahagia. Andai saja Samsul. Sehari saja luangkan waktu bersamanya. Membantunya memasak, beres beres rumah dan makan berdua. Seperti yang Deni lakukan hari itu. Tentu Mila sangat bahagia. Tapi.Suaminya tak pernah ada waktu untuknya. Dirinya hanya termenung sedih di kamar. Samsul tak pernah sedikitpun memberinya waktu agar bisa habiskan masa bersama. Suaminya punya dunia sendiri. Dunia p
Suara cekcok Mila dan Samsul sedikit terdengar oleh Deni di ruang tamu. Sengaja Deni tak beranjak dari rumah itu. Diam membisu mendengarkan percakapan Mila dan Samsul. "Ma. Mama mau, kan? Tunggu Papa, paling satu jam Ma. Mama jangan pergi sama berondong itu," bisik Samsul. "Tidak Pa. Mama tidak mau!" bentak Mila. "Aduh Ma. Bicaranya jangan keras- keras, malu kan di dengar pemuda itu," protes Samsul kemudian. "Pokoknya Mama mau nonton!" "Baiklah Ma. Ayo kita nonton. Biar Papa antar, ya?" Mata Mila membola menatap wajah suaminya. Tak percaya. "Hah! Papa serius!" "Iya Ma. Papa serius." Mila langsung merangkul tubuh suaminya dengan erat sambil menangis tersedu. "Terima kasih Pa ... " ucap Mila mengeratkan pelukannya pada Samsul. "Tunggu sebentar ya, Ma." Samsul kemudian berjalan ke luar rumah untuk mengambil sesuatu dari begasi motornya. Tas warna hitam diambilnya. Lalu ia
Deni segera beranjak dari tempat tidur. Memunguti satu persatu pakaiannya dengan wajah terlihat kesal. "Den. Dengarkan dulu Ibu!" Mila mencoba membujuknya.Tapi Deni tak bergeming. Ia sudah tak mau terjerumus lagi semakin dalam ke jurang kenistaan. Berapa lama ia harus memuaskan Mila. Sementara wanita itu telah bersuami. Sampai ia sembunyikan dosa besar yang dilakukannya bersama Mila. "Den!" Mila membenamkan wajahnya di dada Deni. Deni tak bergerak diam membisu. "Tolong beri Ibu waktu. Bagaimana mungkin Ibu melepas suami Ibu tanpa ada alasan yang jelas," bujuk Mila melirih. Deni masih diam. Cinta Mila terhadap Samsul. Deni akui sangat besar. Lalu mengapa ia mengkhianati cinta suaminya. Lemah. Ok. Deni akui itu juga faktor utama mengapa Mila mencari kepuasan dengannya. Deni mengerti bagaimana jika seorang wanita tak pernah merasakan orgasme saat bersetubuh dengan suaminya karena suaminya lemah. Dan itu mem
Semalaman Samsul dan Mila disibukkan dengan keadaan barang Samsul yang tak juga kembali normal. Berbagai cara di tempuh Mila agar barang suaminya normal, tapi tetap saja gagal. Samsul hanya menangis menyesali ulahnya. Minum obat kuat tanpa mengetahui kondisi stamina nya yang memang tak kuat menahan dosis dari obat itu sendiri. Hingga menjelang pagi. Mila dan Samsul tambah panik. Mila kemudian mendatangi rumah Deni untuk minta pertolongan. Karena tak mungkin memanggil tetangga sekitar rumahnya. Apa nanti kata mereka. Dan tentunya Samsul pasti malu. Tampak Deni tengah membereskan pakaiannya ke dalam koper hendak pergi. "Den! Tolong Ibu!" pekik Mila mengejutkan Deni. "Ada apa Bu?" balas Deni penasaran. "Itu suami Ibu! Ayo cepat Den! Ibu gak bisa jelasin disini!" Mila kemudian menarik tangan Deni untuk membawanya menemui Samsul. Deni tersentak kaget melihat keadaan Samsul yang terbaring kaku dengan wajah di
Mila terus merengek pada Samsul untuk mencegah Deni pergi. Tapi Samsul malah diam terpaku. Menyadari bahwa matanya selama ini tertutup. Ia tak kuasa menahan amarah yang berkecamuk di dalam dada. Kedua tangannya mengepal. Giginya gemeretak. Begitu banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan pada Mila dan Deni saat itu juga. Tapi situasi dan kondisi tak mendukung. Ditambah Deni dengan wajah pucat pergi terburu- buru setelah meninggalkan kunci di atas meja. "Den!!" Mila memekik memanggil Deni dengan lantang. Tapi lekas Samsul menyeretnya keluar untuk membawa nya pulang. Sementara Deni telah pergi dengan motor maticnya. "Pah! Lepasin Mama Pa!" Mila semakin menjadi membuat Samsul kewalahan dengan tindakan istrinya yang meronta sambil berteriak- teriak memanggil Deni. Para tetangga satu- persatu mulai berdatangan untuk melihat kejadian yang tengah berlangsung di depan mata mereka. Membuat Samsul malu dan dengan sigap, Samsul membek
Mila masih membisu. Wajahnya tampak pucat saat menatap wajah suaminya. Ia menghela nafas panjang dengan mata terpejam seraya berkata. "Mengapa Papa tanyakan itu? Apa Papa sudah tak percaya lagi sama Mama?" tegur Mila akhirnya buka suara. Mata Samsul mendelik mendengar perkataanya. Dengan tatapan dingin lantas ia menjawabnya."Papa lihat cinta di mata Mama. Cinta yang dulu pernah Papa rasakan, dan cinta itu Papa lihat. Saat Mama mencegah pemuda itu pergi," ucap Samsul.Mila tertunduk sambil menggigit bibirnya. Memang ia akui. Deni telah membuatnya jatuh hati. Tapi tak mungkin ia berterus terang pada suaminya.Samsul kemudian beranjak dari duduknya lalu membuka lemari untuk mengganti pakaiannya. Setelah rapih berpakaian. Samsul kemudian menyambar jaket yang tergantung dekat pintu. "Papa pergi dulu ke kantor Ma."Tak ada lagi pertanyaan. Percuma, Mila tak mungkin mengakuinya. Dengan melihat sikap istrinya. Samsul yakin,
Melihat raut wajah kesedihan yang tergambar di wajah Samsul. Pak Dadang merasa iba."Ada masalah apa Pak. Dari tadi, saya lihat Bapak duduk melamun?" tanya Pak Dadang. "Tidak Pak. Tidak apa- apa. Saya hanya tidak enak badan," kelit Samsul beralasan. "Jangan begitu Pak. Kita ini kan teman baik dari dulu. Ayo, ceritakan ada apa?" "Tidak Pak. Tidak apa- apa. Hanya saja ada yang ingin saya tanyakan pada Bapak," tambah Samsul. "Baiklah. Kalau begitu kita ngobrolnya di kantin saja. Sambil makan siang." Pak Dadang dan Samsul kemudian keluar dari kantor menuju kantin. Tempat para karyawan menghabiskan waktu istirahatnya sambil memesan beraneka makanan yang tersedia banyak disana. Mereka lalu duduk di sudut ruangan dekat jendela. Agar bisa leluasa mengobrol. "Ohiya Pak. Bapak mau pesan apa? Biar saya pesankan," tawar Pak Dadang. "Tidak Pak. Hari ini saya tak selera makan. Nanti saja, saya makan di rumah
Pak Dadang dan Samsul menghabiskan jam istirahatnya di kantin. Mereka berdua saling berbagi pengalaman hidup berumah tangga. "Nah. Begitu Pak, saran dari saya. Bapak sebaiknya mulai sekarang, beri istri Bapak perhatian penuh. Dan kalau bisa, Bapak temui dokter ahli, agar penyakit Bapak bisa di atasi dengan baik. Kasian kan, istri Bapak hahaha ... " jelas Pak Dadang sambil tertawa terbahak membuat Samsul malu. "Iya Pak. Mulai sekarang, saya akan merubah sikap saya. Saya akan membahagiakan istri saya." Percakapan mereka pun selesai sampai disitu. Mereka kembali ke ruang kerjanya masing- masing. Lega rasanya, Samsul mendengar nasehat dari Pak Dadang. Sedikit ada pencerahan untuk dijadikan pelajaran agar rumah tangganya tidak kandas begitu saja. Hanya karena materi yang selalu ia kejar. *** Menjelang sore hari. Mila bergegas pulang ke rumahnya. "Den. Ibu pulang dulu, ya? Suami Ibu takut pulang sore." "Baiklah Bu. Inga