Mila terus merengek pada Samsul untuk mencegah Deni pergi. Tapi Samsul malah diam terpaku. Menyadari bahwa matanya selama ini tertutup. Ia tak kuasa menahan amarah yang berkecamuk di dalam dada. Kedua tangannya mengepal. Giginya gemeretak. Begitu banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan pada Mila dan Deni saat itu juga.
Tapi situasi dan kondisi tak mendukung. Ditambah Deni dengan wajah pucat pergi terburu- buru setelah meninggalkan kunci di atas meja."Den!!" Mila memekik memanggil Deni dengan lantang.Tapi lekas Samsul menyeretnya keluar untuk membawa nya pulang.Sementara Deni telah pergi dengan motor maticnya."Pah! Lepasin Mama Pa!" Mila semakin menjadi membuat Samsul kewalahan dengan tindakan istrinya yang meronta sambil berteriak- teriak memanggil Deni.Para tetangga satu- persatu mulai berdatangan untuk melihat kejadian yang tengah berlangsung di depan mata mereka. Membuat Samsul malu dan dengan sigap, Samsul membekMila masih membisu. Wajahnya tampak pucat saat menatap wajah suaminya. Ia menghela nafas panjang dengan mata terpejam seraya berkata. "Mengapa Papa tanyakan itu? Apa Papa sudah tak percaya lagi sama Mama?" tegur Mila akhirnya buka suara. Mata Samsul mendelik mendengar perkataanya. Dengan tatapan dingin lantas ia menjawabnya."Papa lihat cinta di mata Mama. Cinta yang dulu pernah Papa rasakan, dan cinta itu Papa lihat. Saat Mama mencegah pemuda itu pergi," ucap Samsul.Mila tertunduk sambil menggigit bibirnya. Memang ia akui. Deni telah membuatnya jatuh hati. Tapi tak mungkin ia berterus terang pada suaminya.Samsul kemudian beranjak dari duduknya lalu membuka lemari untuk mengganti pakaiannya. Setelah rapih berpakaian. Samsul kemudian menyambar jaket yang tergantung dekat pintu. "Papa pergi dulu ke kantor Ma."Tak ada lagi pertanyaan. Percuma, Mila tak mungkin mengakuinya. Dengan melihat sikap istrinya. Samsul yakin,
Melihat raut wajah kesedihan yang tergambar di wajah Samsul. Pak Dadang merasa iba."Ada masalah apa Pak. Dari tadi, saya lihat Bapak duduk melamun?" tanya Pak Dadang. "Tidak Pak. Tidak apa- apa. Saya hanya tidak enak badan," kelit Samsul beralasan. "Jangan begitu Pak. Kita ini kan teman baik dari dulu. Ayo, ceritakan ada apa?" "Tidak Pak. Tidak apa- apa. Hanya saja ada yang ingin saya tanyakan pada Bapak," tambah Samsul. "Baiklah. Kalau begitu kita ngobrolnya di kantin saja. Sambil makan siang." Pak Dadang dan Samsul kemudian keluar dari kantor menuju kantin. Tempat para karyawan menghabiskan waktu istirahatnya sambil memesan beraneka makanan yang tersedia banyak disana. Mereka lalu duduk di sudut ruangan dekat jendela. Agar bisa leluasa mengobrol. "Ohiya Pak. Bapak mau pesan apa? Biar saya pesankan," tawar Pak Dadang. "Tidak Pak. Hari ini saya tak selera makan. Nanti saja, saya makan di rumah
Pak Dadang dan Samsul menghabiskan jam istirahatnya di kantin. Mereka berdua saling berbagi pengalaman hidup berumah tangga. "Nah. Begitu Pak, saran dari saya. Bapak sebaiknya mulai sekarang, beri istri Bapak perhatian penuh. Dan kalau bisa, Bapak temui dokter ahli, agar penyakit Bapak bisa di atasi dengan baik. Kasian kan, istri Bapak hahaha ... " jelas Pak Dadang sambil tertawa terbahak membuat Samsul malu. "Iya Pak. Mulai sekarang, saya akan merubah sikap saya. Saya akan membahagiakan istri saya." Percakapan mereka pun selesai sampai disitu. Mereka kembali ke ruang kerjanya masing- masing. Lega rasanya, Samsul mendengar nasehat dari Pak Dadang. Sedikit ada pencerahan untuk dijadikan pelajaran agar rumah tangganya tidak kandas begitu saja. Hanya karena materi yang selalu ia kejar. *** Menjelang sore hari. Mila bergegas pulang ke rumahnya. "Den. Ibu pulang dulu, ya? Suami Ibu takut pulang sore." "Baiklah Bu. Inga
"Ada yang bisa saya bantu?" Seorang pegawai apotik menyapanya ramah. Mila diam mematung lidahnya terasa kelu saat ingin mengatakan 'TESPEK'. Seumur hidupnya dia belum pernah membeli barang seperti itu. "Ada yang bisa saya bantu?" pegawai apotik itu kembali bertanya dengan wajah heran. Memperhatikan Mila yang masih diam dengan wajah bimbang. "Aku ingin membeli tespek," ucapnya pelan menahan rasa malu. "Apa? Beli apa?" Pegawai itu tak mendengar suara Mila yang nyaris tak terdengar. "Aku ingin membeli tespek," ucap Mila kembali dengan suara yang lebih kencang. "Oh tespek, tunggu sebentar saya ambilkan." Pegawai itu bergegas mengambilkan barang yang di minta Mila. Tak lama setelahnya Mila pulang. Tapi Mila akan menggunakan barang itu jika Samsul sedang bekerja. Tapi sayang, lelaki itu cuti tiga selama tiga hari. Tapi biarlah. Nanti malam, jika Samsul tidur. Mila akan menggunakan barang itu malam hari. Tapi Menurut impormas
Jantung Deni berdebar- debar karena sebentar lagi ia akan segera menjadi seorang ayah. Tapi bagaimana dengan Mila. Wanita itu belum juga mengabulkan keinginannya. Agar sesegera mungkin meminta cerai terhadap suaminya. "Bu, apa Suami Ibu mengetahui bahwa Ibu sedang hamil?" Mila menggeleng. "Belum Den. Ibu takut," ucap Mila sambil terduduk, pandangannya mulai berputar dan semakin buram, detik berikutnya Mila merasakan pandanganya menjadi gelap hanya samar terdengar suara Deni yang berulang kali memanggil namanya. ***Perlahan Mila melebarkan kedua matanya, sejenak pandangannya masih buram, sebelum akhirnya benar- benar menjadi jelas, Mila memandangi langit- langit ruangan yang berwarna putih. Indra penciumannya bau obat- obatan yang menyengat, langsung bisa di simpulkan bahwa ia tengah berada di rumah sakit saat ini. "Bu," tanya Deni yang berdiri di sisi ranjang. Terlihat senyum lega mengembang di bibirnya. "Kenapa a
"Ya Allah ... Aku telah berbuat dosa. Kenapa suamiku terlalu baik, sedangkan aku! Aku begitu tega menyakitinya ... " tangis Mila membatin. Mila tidur meringkuk di kamar. Sementara suaminya sibuk di dapur menyiapkan bubur untuk dirinya. "Ma! Papa buatin buburnya sedikit saja, ya!" teriak Samsul dari arah dapur. "Iya Pa! Terserah Papa saja!" balas Mila sambil berusaha bangun dari tempat tidur. Cepat Mila menyambar ponsel yang ia simpan di bawah bantalnya. Dua pesan masuk dari Deni. Yang mengatakan tentang keadaannya dirinya setelah sampai di rumah. Dengan sigap Mila langsung membalasnya. Menjawab pesan Deni bahwa ia baik baik saja tak ada yang perlu di cemaskan. Setelah membalas pesan Deni, cepat Mila menghapusnya lalu meletakkan kembali ponselnya di bawah bantal. Dan ia kembali berbaring. "Ma, ini buburnya sudah siap, ayo di makan Ma. Biar Mama lekas sembuh." Samsul terlihat membawa satu mangkuk bubur di atas nampan. Dan dengan t
Untuk pertama kali. Sejak berumah tangga dengan Samsul, ia merasakan hangatnya belaian suaminya. Bahkan Mila tersenyum sendiri di depan cermin. Masih tak percaya, dan untuk kedua kalinya, ia jatuh cinta kembali pada suaminya. Sambil menguyur seluruh tubuhnya. Mila masih terbayang saat- saat suaminya memberi banyak kelembutan nan mesra. "Krettt!!Pintu kamar mandi terbuka di dorong Samsul, setelah itu Samsul mendorong Mila yang masih polos tanpa busana menuju ke kamar. Sebuah tangan putih nan halus menepuk lembut wajah Samsul, kemudian Mila berkata dengan nada menggoda."Pah ... ah ... lepasih Mama ... " Desahan dari mulut istrinya yang manja, membuat Samsul tak bisa lagi mengendalikan hasratnya yang terus memburu sejak ia mengkonsumsi obat dari dokter. Samsul menyipitkan matanya, kemudian membalikkan tubuhnya, hingga posisi keduanya bertukar. Samsul di atas, menindih tubuh istrinya yang ada dibawahnya.
Tiba di kontrakan Deni. Suasana rumah masih tampak sepi. Lekas Mila membuka pintu rumah dengan kunci cadangan yang diberikan Deni. Sambil menunggu Deni pulang dari mencari pekerjaan. Mila merapihkan satu persatu pakaian Deni yang masih ada di dalam koper. Setelah itu ia membereskan kamar yang hanya di alasi sehelai karpet. Setelah rapih semua yang pekerjaan rumah. Mila bergegas keluar dari kontrakan untuk membeli kasur dan perkakas rumah tangga. Hari itu Mila menghabiskan sebagian uangnya untuk membeli kebutuhan rumah tangga beserta perabotan guna melengkapi kebutuhan nya kelak jika sudah menjadi istri Deni. Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul sebelas siang. Deni tampak sudah datang bersama motor maticnya. Wajahnya terlihat lusuh dan lelah. Mila langsung menyambutnya dengan ciuman hangat. "Gimana Den? Kamu sudah dapat pekerjaan?" tanya Mila tak sabar mendengar jawaban Deni. "Belum Bu. Susah sekali cari pekerjaan di kota
"Bu kenapa, Abi?"Zahra berteriak cukup keras karena Samsul mendadak diam, menggantungkan kalimatnya begitu saja. Mau tidak mau, pikiran Zahra jadi menerawang ke mana-mana."Mila harus di bawa ke rumahsakit, perutnya dari semalam katanya sakit.""Kenapa bisa, Abi? Tadi pagi Bu Mila masih baik-baik aja, kan?" ucap Zahra dengan cepat. Sungguh, Zahra sangat kaget mendengar pengakuan suaminya."Iya. tadi dia ngeluh perutnya sakit, tapi nggak mau kubawa ke rumah sakit, katanya cuma efek batuk. Terus sekitar jam tujuh tadi tiba-tiba Mila meringis kesakitan." Tubuh Zahra makin gemetar saat mendengar penuturan Samsul. Sakit yang di derita Mila bukan hal sepele. Jika tidak mendapat penangangan yang tepat, nyawa taruhannya. Tidak! Jangan sampai terjadi sesuatu dengan Mila. Mantan suaminya itu tengah mengandung dan Zahra tidak ingin ada hal buruk menimpa bayi yang di kandung Mila."Sebaiknya bawa ke dokter, Ibu Mila bisa sembuh, kan?" tanya Zahra sambil mengusap air mata yang terus saja menete
Pintu terbuka. Dengan langkah tergesa Samsul berjalan masuk sembari menarik kopernya. Dia tampak kerepotan tetapi tidak meminta bantuan Zahra.Sesampainya di ruang tengah Samsul langsung merebahkan tubuhnya di sofa. Zahra berdiri di dekatnya. Dia menatapnya cukup lama. Zahra tahu suaminya sedang mengamati bekas luka di sudut bibir Zahra, Sebab merasa tidak nyaman, Zahra langsung menutupinya dengan tangan kanannya. Tanpa sadar justru Zahra tampakkan buku jari yang masih menyisakan warna kebiruan."Zahra, Mila duduklah ... aku ingin bicara pada kalian berdua," titah Samsul pada Zahra dengan Mila yang masih berdiri kaku. Lalu Zahra duduk di samping Samsul sementara Mila duduk di hadapannya. "Zahra, mulai hari ini, Mila akan tinggal disini sampai bayi ini lahir," ucap Samsul.Zahra tertunduk. "Kamu jangan khawatir, Abi dan Mila tidak ada hubungan apa-apa, Abi hanya ingin menolongnya saja, Abi tidak rela jika Mila dibawa si Deni bajingan itu. Lebih baik dia tinggal disini, Abi harap kamu
Ponsel Mila biarkan tergeletak di atas meja berdering saat Mila sedang istirahat sambil menyantap makanan yang di sediakan pihak rumah sakit. Sekilas Mila melirik layar ponsel menyala yang hanya menampilkan nomor tak dikenal. Lalu digeser layar untuk menolak panggilan itu.Beberapa saat Mila abaikan, nomor tak dikenal itu terus saja missed call. Membuat ponselnya terus berdering sampai harus disenyapkan dan meletakannya dengan posisi terbalik sebab mengganggu.Sudah hampir sepekan Deni tidak menghubunginya. Mendadak Mila jadi teringat dengannya dan langsung membuka ponselnya. Barangkali nomor tidak dikenal yang sedari tadi meneleponnya adalah Deni.Benar saja dugaannya. Saat panggilan terhubung, langsung terdengar suara Deni."Ini aku Deni."Mila terdiam beberapa saat tidak langsung menjawab. Kesal rasanya berhari-hari menunggu kabar dari Deni. Namun, baru sekarang dia menghubunginya."Den ....Deni," panggil Mila lembut. "Ya, Bu." "Asyik ya, liburannya sampai tidak sempat menghubu
"Hai.. hentikan! Lepaskan dia!" "Diam disana dan tunggu! Jangan mengganggu!" Titah Samsul pada supir pribadi istrinya. Seperti pecut yang mencambuk hatinya yang sudah terluka. Retinanya sudah membentuk aliran anak sungai yang mengalir deras. Isak tangisnya sudah tidak terbendung lagi.Rasanya akal sehatnya tak mampu menerima semua yang terlihat oleh retinanya. Bagaimana mungkin Zahra pergi begitu saja tanpa kabar berita. Menurut supir. Istrinya terakhir minta di turunkan di swalayan. Setelah itu, Zahra menghilang bak di telan bumi. Ponselnya pun susah dihubungi."Kenapa Bapak ijinkan Istriku pergi ke swalayan sendirian! Kalau terjadi pada istriku, saya akan pecat bapak!" ancam Samsul saat mendengar pengakuan Pak Asep, supir pribadi istrinya.Ancaman itu sukses membuat tubuh Pak Asep membeku. Hatinya memang tak mengerti sama sekali. Zahra yang meminta untuk menunggunya di tempat parkiran. tetapi otaknya masih cukup mampu mencerna dengan baik, kejadian yang di alami Zahra.“Apa kamu l
Sambil menunggu hujan Reda. Zahra bermaksud mampir ke swalayan di dekat dengan rumah sakit. "Pak, tunggu disini, ya? Aku mau belanja dulu," ucap Zahra pada si supir Zahra pun berjalan menuju swalayan itu. Sementara supir pribadinya menunggu di tempat parkiran. Zahra menyusut air hujan yang menetes di wajahnya. Pagi itu, hujan tidak begitu deras. Zahra bahkan tidak bisa menyeka tetesan air hujan yang terus membasahi pipinya saking banyaknya. Satu jam yang lalu, dia baru saja memeriksakan kandungannya yang berjalan empat bulan. Menurut Dokter, kandungan Zahra baik- baik saja. “Nyonya, kandungan nyonya bagus, detak jantung bayi nyonya juga normal. Tapi usahakan nyonya harus makan buah-buahan secara teratur, ya?" Saat teringat kembali perkataan Dokter, hati Zahra terasa lega. Sungguh ia begitu bahagia. Sebentar lagi, ia akan menjadi seorang ibu.Suara guntur menggelegar, hujan pun turun semakin deras.Zahra cepat berlari kecil menyebrang ke jalanan dimana di depannya ada swalayan
“Zahra? Tenang. Abi akan selalu ada disini,” batin Samsul.Hal yang paling tidak ingin Anna lakukan dalam hidupnya adalah kembali ke tempat yang menorehkan banyak luka untuknya. Namun, takdir sekali lagi membuat lelucon untuknya. Ia harus kembali ke tempat yang sangat tidak ingin ia datangi.Selalu ada pilihan sulit dalam hidupnya, tapi demi orang yang sangat penting untuknya ia tidak akan ragu untuk memilih.Dan di sini lah ia berada saat ini, di sebuah Desa yang tujuh belas tahun lalu ia tinggalkan. Mendapat penolakan dari Zahra. Sungguh hati Anna merasa terpukul. Untuk itulah Anna pergi ke desa dimana dulu dirinya meninggalkan Zahra bersama mantan suaminya. Deni ikut mengantarkan. Tapi di tengah perjalanan, ia mengurungkan niatnya. "Den .... ayo kita kembali saja," ucapnya dengan tatapan mata kosong lurus ke depan, air mata nyapun tidak berhenti berderai karena luka lama seakan kembali terbayang. Darso mantan suaminya tidak mungkin menerima dirinya dan itu akan memambah kekecewaa
Keesokan harinya.Samsul sudah pergi bekerja, sedangkan Zahra masih memikirkan sikap Mila tadi malam. Wanita itu dari dulu memang kurang begitu suka padanya. Zahra menilai, bahwa malam tadi. Mila terbakar api cemburu karena melihat mantan suaminya sudah beristri. Dan Zahra maklumi itu.Entahlah .... itu saja yang ada dipikiran Zahra. Tapi sudahlah, Zahra tidak mau memusingkan masalah itu. Terlebih ia sedang berbadan dua. Saat ia melamun memikirkan nasib, sebuah mobil masuk ke halaman rumahnya. Ia tak tau mobil siapa itu karena tak pernah melihat sebelumnya.Saat pintu mobil terbuka, barulah ia tau siapa yang datang. Ternyata seorang wanita yang kala itu ada di rumah sakit bersama Deni. Tapi untuk apa dia datang ke rumah? Dan ada urusan apa? Sedang Zahra tidak mengenalnya sama sekali. Wanita itu tampak memakai kaca mata hitam dan juga pakaian yang mewah serta tas mahal, wanita itu pun berjalan ke arahnya."Selamat pagi, Mbak" Wanita itu menyapa ramah pada Zahra. "Eh, itu, selamat p
"Iya Bu. Saya belum memikirkan untuk menikah," balas Hadi gugup. Tidak mau terlihat aneh oleh Mila. Hadi pun segera meninggalkan ruangan itu. Tapi sebelum itu, Hadi meminta Mila untuk bersiap melakukan USG. ________Dengan jantung yang berpacu cepat, Zahra menyambut sang suami sembari tersenyum manis. Ia mencium tangan suaminya lalu mengambil alih tas kerja Samsul."Kau senang kan Abi datang cepat?" tanya Samsul berjalan menuju kamar diikuti Zahra di sampingnya yang tengah mengimbangi langkah besar Samsul."I-iya, Abi. Aku sangat senang.""Abi ingin mandi!" Zahra langsung meletakkan tas kerja suaminya di sofa lalu beranjak ke kamar mandi untuk menyiapkan air.Sesekali ia berbalik, takut suaminya sudah ada di belakangnya dan melakukan hal yang mesum. Ini kan mau Maghrib, rasanya sangat tak beradab berhubungan saat Maghrib.Setelah semuanya siap, Zahra keluar dari kamar mandi. Dilihatnya Samsul masih duduk di sofa tanpa membuka baju ataupun sepatu."Abi, katanya mau mandi sekarang," t
Rasa bimbang memenuhi dada Samsul, hatinya begitu sakit ketika dia diminta melakukan sesuatu yang tak pernah terpikirkan olehnya. Namun, demi keharmonisan rumah tangganya bersama Zahra. Terpaksa ia menyanggupi saran Deni.____Zahra menarik malas kakinya menuju kamar. Namun matanya langsung menukik tajam pada sosok yang tengah duduk termangu di tepi ranjang. Sontak Zahra kaget, dilihatnya jam dinding. Waktu baru menunjuk angka lima. "Abi ...." Zahra berguman dalam hati. Tidak percaya apa yang tengah di lihatnya. Tidak biasanya Samsul pulang petang hari itu. Dan itu membuat Zahra bingung sekaligus senang. Perlahan Zahra melangkah masuk dan melihat Samsul mondar-mandir tidak jelas sambil sesekali memperjelas raut wajah bingung, hingga Zahra menutup pintu yang tentunya mencuri perhatian Samsul."Maaf Abi, Abi jam segini kok sudah di rumah?" tanya Zahra sopan mengingat ia seorang istri yang harus menjaga situasi suaminya yang seperti sedang memikirkan sesuatu. "Cepat kesini, ada yang