"Cukup Intana! Ada apa ini sebenarnya?"
Samsul mulai kesal dengan sikap Intana. Tiba- tiba berdiri dan memukuli dadanya sendiri, membuat Samsul panik.Intana lalu menghentikan kegiatannya lalu berjalan perlahan mendekati Samsul seraya berkata."Apa kamu yakin, istrimu hamil anakmu?" ujar Intana dengan sorot mata tajam menatap Samsul.Amarah Samsul sudah meluap. Dari tadi arah pembicaranya selalu memojokkan istrinya membuat Samsul geram dan tak tahan lagi dengan sikapnya."Pergi kamu dari sini sekarang juga!" Mata Samsul berkilat menunjuk satu jarinya tepat di wajah Intana.Intana sudah tak tahan lagi. Sakit rasanya menerima perlakuan Samsul.Harus kah ia katakan yang sebenarnya pada Samsul mengenai pernikahan siri Mila?Tapi tak tega rasanya ia melakukan itu semua. Situasi dan kondisi nya tidak tepat jika ia harus berterus terang hari itu. Intana butuh waktu dan bukti."Baiklah ... aku akan perSelesai ijab qobul. Mila dan Deni kini bisa bernafas lega. Kini mereka resmi menjadi suami istri. Tak ada lagi yang perlu di cemaskan. Terutama Deni. Wanita yang berhasrat tinggi itu kini telah sah menjadi istrinya. Meski mereka menikah secara siri. Tapi bagi Deni ia bisa dengan leluasa melayani kebutuhan wanita itu tanpa merasa berdosa. Meski Mila masih berstatus istri orang. Tapi tak mengapa, yang penting ia kini bisa memperlakukan Mila sebagaimana layaknya suami terhadap istrinya. Apalagi kini wanita yang terpaut jauh umurnya itu. Sedang mengandung anaknya. Siang itu tampak Mila duduk bersandar di dada Deni dengan hati berbunga- bunga. Pemuda tampan idamannya itu, kini sudah menjadi miliknya seutuhnya. "Sayang ... kamu bahagia ... ucap Mila dengan suara syahdunya. "Tentu saja sayang ... aku sangat bahagia sekali. Apalagi kamu kini tengah mengandung buah cintaku ... " ucap Deni sambil membelai rambut Mila dengan lembut. "Sayang ...
Dan. Mila tepaksa harus berhenti bersuara, ketika tanpa di duga ia menyaksikan sebuah tontonan panas yang dilakukan suaminya dengan wanita yang diakui suaminya itu sebagai Siti. Samsul berdiri tepat di depan pintu dan menggandeng Intana. Seakan mereka tak menyadari bahwa saat ini ada seseorang yang sedang berdiri menyaksikan, pria yang tak lain adalah suaminya sendiri. Tanduk- tanduk transparan sudah mulai muncul di kepala Mila, seolah dia sudah siap menyeruduk dua manusia laknat yang telah berani membodohi nya. Yang sepertinya memang tidak sadar akan keadaan di sekitarnya. Menciptakan aura kemurkaan yang terpancar begitu kentara di raut wajah Mila. Sampai ketika Mila sudah tidak tahan lagi dalam menyaksikan kemesraan suaminya dengan wanita licik itu. Sontak Mila meraih sesuatu yang terjangkau oleh tangannya dan berjalan ke arah mereka berdua. Tanpa pikir panjang, ia lantas bersiap memukulkan sebuah vas bunga ke arah k
Melihat sikap kasar Mila terhadap Intana. Gegas Samsul bergerak dan menarik tangan Mila dengan kuat. "Lepaskan dia Ma?" pekik Samsul sambil meraih tangan Mila. "Kurang ajar! Papa bela dia?" Mila semakin tak terkendali. Ia meronta dan berusaha mengejar Intana yang berlari masuk ke dalam kamar. "Cukup Ma!" pekik Samsul sambil mendorong tubuh Mila ke belakang hingga Mila jatuh sempoyongan terjerembab ke lantai. Rupanya teriak Mila mulai mengusik tetangga depan rumahnya yang sudah berdiri dengan wajah heran melihat kejadian yang tengah berlangsung di depan rumah mereka. Cepat Samsul mengunci rapat pintu rumahnya. "Dengar! Papa tak mau berdebat lagi. Mulai sekarang Mama harus terima dia sebagai madu mu. Jika tidak! Mama boleh tinggalkan tempat ini!" Mila mengepalkan tangan menahan amarah. Dia tidak menyangka suaminya sejahat itu. Hatinya seperti diiris- iris silet yang begitu tajam, mengeluarkan darah yang tidak terlih
Di dalam kamar, Intana dan Samsul saling bicara satu sama lain mengenai rumah tangga yang tengah mereka hadapi. Keduanya mengabaikan Mila yang terbaring di kamar menangis sepanjang malam membayangkan suaminya tengah bercumbu dengan wanita lain. Walau sebenarnya Samsul dan Intana tak melakukan hal yang buruk seperti yang ada di pikirannya.Betapa hati Mila hancur malam itu. Dia bahkan tidak bisa berpikir dengan baik. Bukankah ia sendiri yang pertama bermain api, dan api itu mulai membakar kehidupan rumah tangganya. *** Jam sudah bergerak pukul delapan pagi. Dan itu artinya Samsul sudah bangun untuk pergi ke kantor. Mila bergegas bangun, ia harus cepat menyediakan sarapan untuk suaminya. Cepat Mila melangkah menuju kamar mandi. Membasuh muka berkumur, menatap pantulan wajahnya di cermin sebentar lalu merapihkan rambutnya. Baru saja kakinya akan melangkah ke arah dapur, sebuah pemandangan yang tak mengenakkan menyapan
Pagi itu Mila berpikir keras. Haruskah ia menerima Intana. Atau pergi saja bersama Deni. Jika ia meninggalkan Samsul. Wanita licik itu pasti akan menguras habis harta Samsul. Ia tahu dengan pasti, suaminya sangat loyal tak pernah perhitungan masalah uang. Dia juga tak pernah ambil pusing mau dipakai apa uang yang telah masuk ke kantong istrinya. Terserah mau gunakan untuk apa. Tapi apa jadinya, jika Wanita licik itu mengadukan semua rahasia dirinya dengan Deni. Untuk itu Mila dengan berat hati, harus menerima Intana sebagai madunya. Agar wanita itu tak membongkar semua perselingkuhannya bersama Deni. "Kenapa masih belum pergi? Biasanya kamu pergi ke tempat senam!" Perkataan Intana menyadarkan lamunannya. Mila mengangkat sedikit kepalanya menatap wanita yang kini akan menjadi madunya. Kemudian Mila berjalan perlahan mendekatinya. "Maafkan aku ..." ucap Mila sambil menundukkan wajahnya di hadapan Intana. "Hah! Maaf!
Samsul mengatakannya sambil berlinang air mata. Rasa sakit di dada karena penghianatan sang istri membuatnya tak berdaya dan pedih. Mila terus memohon padanya untuk memberinya kesempatan agar bisa merajut kembali benang kusut yang ia ciptakan. "Pa! Tolong beri Mama kesempatan sekali lagi Pa. Mama janji akan berubah!" Mila memohon dan menghiba pada suaminya. "Ayo Ma. Hari ini juga, kita selesaikan semua. Bereskan semua bajumu. Aku akan mengantar mu ke tempat berondong itu," ucap Samsul sambil mengambil koper besar yang ada di atas lemari. "Tidak Pa! Mama tidak mau pergi! Mama ingin tetap disini, hidup bersama dengan Papa ... hiks ... hiks ..." rintih Mila seraya mencegah suaminya agar tidak mengusirnya. "Cukup Ma! Sudah cukup! Apa Papa harus iklas menerima wanita yang tubuhnya sudah di jamah orang lain, begitu?" potong Samsul. Kilat amarah tergambar jelas di wajahnya. Mila menggeleng beberapa kali dengan kedua tangan bersim
Samsul kembali duduk bersila di hadapan mereka berdua. Ia menarik nafas berat. Mencoba menetralisir amarahnya agar bisa tenang saat berbicara. Mila masih terisak menangis tak henti- henti di samping Deni. "Ma. Sudah hentikan tangisan mu itu. Tangisanmu itu tidak akan merubah apapun. Semua sudah terjadi. Kita sudah tidak ada hubungan apa- apa lagi. Papa akan segera membebaskan Mama. Papa harap Mama bahagia dengan kehidupan Mama yang baru," ucap Samsul dengan mata berkaca. Perih batin Samsul saat itu. Miris nasibnya harus berakhir seperti itu. "Pa!" jerit Mila tak kuasa ia melihat raut wajah suaminya. Ingin ia memeluk suaminya erat- erat. Tapi tiada guna, tak ada lagi yang tersisa. Semua yang telah ia lakukan harus di bayar dengan rasa pedih yang tak terperi. "Den ... saya harap kamu bisa membahagiakan istriku kelak. Aku tidak mampu memberi apa yang dia inginkan, untuk itu aku mohon. Jangan pernah sakiti istriku. Aku titipkan dia pad
"Mas. Apa sebaiknya kita kembalikan gadis ini pada keluarganya," saran Intana "Tidak! Aku tidak mau kembali pada bapakku! Dia jahat!" ujar Zahra menyela. Samsul dan Intana menoleh bersamaan mendengar pengakuan gadis itu. Gadis itupun beringsut bangkit dari ranjang hendak turun meski tubuhnya terlihat lemah. Tapi Intana cepat mencegahnya. "Apa yang kamu lakukan? Kondisimu masih lemah, memangnya kamu mau cari dimana ibumu. Ini kota besar!" bentak Intana mulai kesal. Zahra menangis lirih dan terus memanggil- manggil ibunya. Membuat Intana dan Samsul semakin panik. "Ok. Kalau kamu tidak mau kembali pada keluargamu, sebaiknya ikut aku saja pulang ke rumah. Sampai kita menemukan alamat ibumu," bujuk Samsul berusaha menenangkannya. * * *Deni terus membujuk Mila agar menghentikan tangisannya. "Sudahlah sayang ... sampai kapan kamu nangis terus. Ada aku disini," rayu Deni sambil memeluk e