"Mas. Apa sebaiknya kita kembalikan gadis ini pada keluarganya," saran Intana
"Tidak! Aku tidak mau kembali pada bapakku! Dia jahat!" ujar Zahra menyela.Samsul dan Intana menoleh bersamaan mendengar pengakuan gadis itu.Gadis itupun beringsut bangkit dari ranjang hendak turun meski tubuhnya terlihat lemah. Tapi Intana cepat mencegahnya."Apa yang kamu lakukan? Kondisimu masih lemah, memangnya kamu mau cari dimana ibumu. Ini kota besar!" bentak Intana mulai kesal.Zahra menangis lirih dan terus memanggil- manggil ibunya. Membuat Intana dan Samsul semakin panik."Ok. Kalau kamu tidak mau kembali pada keluargamu, sebaiknya ikut aku saja pulang ke rumah. Sampai kita menemukan alamat ibumu," bujuk Samsul berusaha menenangkannya.* * *Deni terus membujuk Mila agar menghentikan tangisannya."Sudahlah sayang ... sampai kapan kamu nangis terus. Ada aku disini," rayu Deni sambil memeluk eZahra sedikit kaget saat tiba- tiba Samsul sudah berdiri di belakangnya. Saat itu juga Zahra menghentikan kegiatannya. "Ma, maaf tuan. Ini saya lihat piring kotor, jadi saya mencucinya," ucap Zahra ketakutan. "Sudah biarkan saja. Ayo makan dulu," ajak Samsul sambil berjalan keluar menuju ruang makan. Dua bungkus nasi Padang ia simpan di atas meja. Kemudian Samsul mengambil dua buah piring untuk alas nasi bungkusnya. Dengan cepat Zahra menyelesaikan cuciannya. Selesai mengerjakan semuanya. Zahra pun bergegas menuju ruang makan. Samsul sudah duduk di meja makan sambil menyantap nasi Padang yang baru saja ia beli. "Ayo duduk sini. Habiskan nasi Padang ini. Kamu pasti lapar," tawar Samsul. "Ba, baik tuan." Zahra pun duduk di kursi, lalu mengambil nasi Padang itu dengan tangan gemetaran. Kemudian sedikit demi sedikit ia memakannya sampai habis tak tersisa. Begitupun dengan Samsul. Selesai makan Zah
Samsul pergi ke kantor dengan terburu-buru. Hari ini pekerjaan di kantor menumpuk. Dari kemarin masalah yang tengah di hadapi datang bertubi- tubi. Menyelesaikan masalah rumah tangganya, belum lagi Intana yang berhasil di temukan suaminya belum lagi masalah Zahra. Gadis belia yang ingin menemukan ibu kandungnya. Pergi menggunakan mobil baru ke kantor. Samsul di hadang kemacetan. Membuat ia sedikit terlambat ke kantor. Tepat pukul sembilan pagi. Samsul akhirnya tiba juga di kantor dan langsung masuk ke ruang manajer. Ya, sejak ia di angkat jadi manajer. Samsul diberi fasilitas khusus. "Pagi Pak." Pak Dadang muncul di sebalik pintu. "Eh Pak Dadang, kebetulan. Sini Pak, banyak yang ingin aku ceritakan," ucap Samsul sambil menyuruh Pak Dadang duduk."Wah ... ada masalah apa lagi Pak. Sepertinya serius," ucap Pak Dadang. "Ini sangat serius Pak. Kita ngobrolnya sambil berkerja saja ya Pak. Ngomong- ngomong hari ini Pak Dadang sibu
Samsul mulai terangsang dengan perkataan Pak Dadang mengenai perawan yang katanya enak. Hasrat birahinya tiba- tiba timbul. Miliknya pun tak terasa sudah menegang. Keringat dingin mulai menitik di dahinya. Jantungnya berdebar- debar, sejak mengkonsumsi obat kuat dari dokter. Samsul selalu ingin melakukan kontak fisik. Tapi apalah daya. Istrinya Mila sudah pergi dari sisinya. Pada siapa ia harus lampiaskan hasrat nya hari itu. Pikirannya semakin kalut. Pekerjaan di atas meja yang seabreg, ia abaikan begitu saja. Samsul lalu beranjak berdiri dan melangkah menghadap jendela kaca kantornya. Ia mulai melakukan olah raga kecil agar bisa menyeimbangi hawa nafsunya. Kedua tangannya diangkat ke atas kemudian ia mengatur nafasnya agar stabil. Tapi tetap saja burungnya menegang. Samsulpun duduk bersila sambil memejamkan matanya. Tapi justru yang terbayang wajah istrinya yang sedang bercumbu dengan berondong muda. Deg! Sekilas Samsul mengingat sesuatu. Barangkali ini yang di rasakan Mila sa
Tak lama. Deni pun pamit kepada Zahra sambil terus berucap maaf karena gadis itu terlihat sedih saat Deni menegurnya tadi. Di perjalanan Deni masih mengingat wajah gadis manis itu. Berbekal kunci rumah yang di berikan Mila. Tadinya Deni hendak mengambil mukena milik Mila yang menurut pengakuan Mila. Mukena itu adalah salah satu mas kawin saat Samsul menikahinya dulu. Tapi Deni tidak menyangka, di rumah itu ternyata ada saudara Samsul. Pikir Deni Samsul tidak berada di rumah siang itu. Untung tadi Deni ketuk pintu terlebih dahulu. Coba kalau Deni langsung membuka pintu dengan kunci pemberian Mila. Sudah dipastikan gadis cantik itu akan mengira ia perampok. Di sisi lain. Zahra sungguh tidak mengerti dengan kejadian yang baru saja dialaminya. Mengapa istri Samsul harus menyuruh saudaranya untuk mengambil sesuatu dari rumahnya sendiri..Sebenarnya apa yang tengah terjadi dengan rumah tangga Samsul. Sejak ia menginjakkan kakinya di rumah itu. Sosok wanita yang ada di Poto itu. Tidak pern
Samsul menghela nafas panjang melihat sikap Pak Dadang yang selalu saja mengejeknya.Tampak Zahra duduk di sofa meringis kesakitan sambil memegang kakinya. Segera Samsul menghampiri dan langsung meraih kaki Zahra untuk melihat di bagian mana kakinya terkilir."Mana yang sakit?" tanya Samsul seraya memandangi wajah Zahra yang meringis kesakitan. Lalu Samsul berjongkok di hadapannya untuk melihat luka yang dialami gadis itu. Tapi saat Samsul memegang kakinya. Zahra berusaha menepis tangan Samsul dengan kasar. "Jangan Tuan. Saya tidak apa-apa, hanya sedikit lecet," ucap Zahra sambil mengalihkan tatapan Samsul. Pak Dadang pun ikut memperhatikan luka lecet yang dialami Zahra. Sedikit lebam tapi tidak begitu parah. "Pak. Sebaiknya pake Betadine saja," usul Pak Dadang. "Iya betul. Tapi saya tidak punya obat itu," jawab Samsul kemudian. "Tidak Tuan, saya baik-baik saja," sela Zahra. Dengan sekuat tenaga Zahra berusaha berdiri dari duduknya meski rasa nyeri dikakinya semakin ngilu teras
Mengapa Samsul tidak menjelaskan pada istrinya, apa dan mengapa ia sampai berada di rumah itu? "Tu ... Tuan, mengapa Tuan diam saja. Saya mohon Tuan. Sebenarnya apa yang sedang terjadi disini?" Samsul berbalik badan menatap sekilas Zahra lalu berjalan mendekatinya. "Kaki kamu masih sakit?" tanya Samsul sambil duduk di tepi ranjang di samping Zahra. Zahra tertunduk dan diam. "Dia itu istriku. Tiga tahun kami berumah tangga. Hingga badai itu datang menerjang kehidupan kami berdua," ucap Samsul dengan netra mata sendu. "Maksud Tuan?" "Zahra ... kamu masih sangat muda untuk mengetahui hal yang tidak akan kau mengerti. Berumah tangga itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak kekurangan yang harus kami jaga dan pahami. Dan kekurangan itu, membuat istriku pindah ke lain hati ..." ucap Samsul kemudian. "Tuan ... kita ini manusia biasa. Tempatnya sedih kecewa hancur dan menderita. Tuan jangan pendam sendirian masalah Tuan, mulai sekarang anggap saya adik Tuan. Tuan boleh ber
Deni diam seribu bahasa begitupun dengan Mila. Rasa kecewa tengah menyelimuti mereka berdua. Karena nafsu sesaat. Hidup mereka bagai berada dalam perahu yang tidak pernah sampai ke tepian. Terombang ambing di laut lepas di mainkan ombak. Pasrah dengan gelombangnya. Entah kemana perahu itu membawanya. Tak tentu arah dan tujuan. "Den ... apakah ini karma ... " Mila buka suara. Deni masih diam membisu sambil bergerak menjauh dari duduknya lalu ia membenamkan wajahnya di sela kedua lututnya. Mila menoleh teratur memandangi wajah Deni. "Kenapa Den? Kamu menyesal telah menikahi Ibu," ucap Mila dengan mata berkaca. Deni masih membisu menyimpan jauh kesedihannya di dalam sana. "Mengapa seorang wanita selalu saja di salahkan. Kami ini mahluk lemah dan tak berdaya. Sebagai istri kami butuh perhatian dan kasih sayang penuh dari suaminya. Dan itu tidak saya dapatkan dari suamiku. Kamu tahu itu. Dan kasih sayang itu tidak juga saya dapatkan dari suamiku," Mila berkeluh kesah dengan wajah mem
Satu dosa besar yang dilakukan Mila. Yaitu berzinah dengan seorang lelaki yang bukan mahramnya. Dan kesalahan itu tidak mungkin Samsul maafkan. Meski hatinya masih menyimpan rasa sayang terhadap Mila istrinya. Selesai makan. Samsul sendiri yang membereskan semua sampai mencuci piring dan mengelap meja makan sampai bersih. Zahra hanya duduk di sofa memperhatikan kegiatan Samsul. Pria itu sangat baik dan perhatian. Tapi mengapa istrinya begitu tega meninggalkannya demi pria lain. Sungguh malang nasibnya. "Oh ya, nanti malam akan ada tamu. Mau lihat rumah ini," ucap Samsul seraya duduk di sofa berhadapan dengan Zahra. "Jadi Tuan mau menjual rumah ini?" tanya Zahra."Benar, saya tidak mau istri saya datang lagi kemari. Saya tidak ingin mengenang dia lagi. Begitu banyak kenangan pahit di rumah ini. Dan saya ingin membuangnya," ucap Samsul dengan mata yang sudah berkaca. "Tuan. Kalau Tuan mau pindah rumah, saya akan pulang saja ke rumah orang tua saya Tuan ..." keluh Zahra dengan wajah