Pagi itu Mila berpikir keras. Haruskah ia menerima Intana. Atau pergi saja bersama Deni.
Jika ia meninggalkan Samsul. Wanita licik itu pasti akan menguras habis harta Samsul. Ia tahu dengan pasti, suaminya sangat loyal tak pernah perhitungan masalah uang. Dia juga tak pernah ambil pusing mau dipakai apa uang yang telah masuk ke kantong istrinya. Terserah mau gunakan untuk apa.Tapi apa jadinya, jika Wanita licik itu mengadukan semua rahasia dirinya dengan Deni.Untuk itu Mila dengan berat hati, harus menerima Intana sebagai madunya. Agar wanita itu tak membongkar semua perselingkuhannya bersama Deni."Kenapa masih belum pergi? Biasanya kamu pergi ke tempat senam!" Perkataan Intana menyadarkan lamunannya.Mila mengangkat sedikit kepalanya menatap wanita yang kini akan menjadi madunya. Kemudian Mila berjalan perlahan mendekatinya."Maafkan aku ..." ucap Mila sambil menundukkan wajahnya di hadapan Intana."Hah! Maaf!Samsul mengatakannya sambil berlinang air mata. Rasa sakit di dada karena penghianatan sang istri membuatnya tak berdaya dan pedih. Mila terus memohon padanya untuk memberinya kesempatan agar bisa merajut kembali benang kusut yang ia ciptakan. "Pa! Tolong beri Mama kesempatan sekali lagi Pa. Mama janji akan berubah!" Mila memohon dan menghiba pada suaminya. "Ayo Ma. Hari ini juga, kita selesaikan semua. Bereskan semua bajumu. Aku akan mengantar mu ke tempat berondong itu," ucap Samsul sambil mengambil koper besar yang ada di atas lemari. "Tidak Pa! Mama tidak mau pergi! Mama ingin tetap disini, hidup bersama dengan Papa ... hiks ... hiks ..." rintih Mila seraya mencegah suaminya agar tidak mengusirnya. "Cukup Ma! Sudah cukup! Apa Papa harus iklas menerima wanita yang tubuhnya sudah di jamah orang lain, begitu?" potong Samsul. Kilat amarah tergambar jelas di wajahnya. Mila menggeleng beberapa kali dengan kedua tangan bersim
Samsul kembali duduk bersila di hadapan mereka berdua. Ia menarik nafas berat. Mencoba menetralisir amarahnya agar bisa tenang saat berbicara. Mila masih terisak menangis tak henti- henti di samping Deni. "Ma. Sudah hentikan tangisan mu itu. Tangisanmu itu tidak akan merubah apapun. Semua sudah terjadi. Kita sudah tidak ada hubungan apa- apa lagi. Papa akan segera membebaskan Mama. Papa harap Mama bahagia dengan kehidupan Mama yang baru," ucap Samsul dengan mata berkaca. Perih batin Samsul saat itu. Miris nasibnya harus berakhir seperti itu. "Pa!" jerit Mila tak kuasa ia melihat raut wajah suaminya. Ingin ia memeluk suaminya erat- erat. Tapi tiada guna, tak ada lagi yang tersisa. Semua yang telah ia lakukan harus di bayar dengan rasa pedih yang tak terperi. "Den ... saya harap kamu bisa membahagiakan istriku kelak. Aku tidak mampu memberi apa yang dia inginkan, untuk itu aku mohon. Jangan pernah sakiti istriku. Aku titipkan dia pad
"Mas. Apa sebaiknya kita kembalikan gadis ini pada keluarganya," saran Intana "Tidak! Aku tidak mau kembali pada bapakku! Dia jahat!" ujar Zahra menyela. Samsul dan Intana menoleh bersamaan mendengar pengakuan gadis itu. Gadis itupun beringsut bangkit dari ranjang hendak turun meski tubuhnya terlihat lemah. Tapi Intana cepat mencegahnya. "Apa yang kamu lakukan? Kondisimu masih lemah, memangnya kamu mau cari dimana ibumu. Ini kota besar!" bentak Intana mulai kesal. Zahra menangis lirih dan terus memanggil- manggil ibunya. Membuat Intana dan Samsul semakin panik. "Ok. Kalau kamu tidak mau kembali pada keluargamu, sebaiknya ikut aku saja pulang ke rumah. Sampai kita menemukan alamat ibumu," bujuk Samsul berusaha menenangkannya. * * *Deni terus membujuk Mila agar menghentikan tangisannya. "Sudahlah sayang ... sampai kapan kamu nangis terus. Ada aku disini," rayu Deni sambil memeluk e
Zahra sedikit kaget saat tiba- tiba Samsul sudah berdiri di belakangnya. Saat itu juga Zahra menghentikan kegiatannya. "Ma, maaf tuan. Ini saya lihat piring kotor, jadi saya mencucinya," ucap Zahra ketakutan. "Sudah biarkan saja. Ayo makan dulu," ajak Samsul sambil berjalan keluar menuju ruang makan. Dua bungkus nasi Padang ia simpan di atas meja. Kemudian Samsul mengambil dua buah piring untuk alas nasi bungkusnya. Dengan cepat Zahra menyelesaikan cuciannya. Selesai mengerjakan semuanya. Zahra pun bergegas menuju ruang makan. Samsul sudah duduk di meja makan sambil menyantap nasi Padang yang baru saja ia beli. "Ayo duduk sini. Habiskan nasi Padang ini. Kamu pasti lapar," tawar Samsul. "Ba, baik tuan." Zahra pun duduk di kursi, lalu mengambil nasi Padang itu dengan tangan gemetaran. Kemudian sedikit demi sedikit ia memakannya sampai habis tak tersisa. Begitupun dengan Samsul. Selesai makan Zah
Samsul pergi ke kantor dengan terburu-buru. Hari ini pekerjaan di kantor menumpuk. Dari kemarin masalah yang tengah di hadapi datang bertubi- tubi. Menyelesaikan masalah rumah tangganya, belum lagi Intana yang berhasil di temukan suaminya belum lagi masalah Zahra. Gadis belia yang ingin menemukan ibu kandungnya. Pergi menggunakan mobil baru ke kantor. Samsul di hadang kemacetan. Membuat ia sedikit terlambat ke kantor. Tepat pukul sembilan pagi. Samsul akhirnya tiba juga di kantor dan langsung masuk ke ruang manajer. Ya, sejak ia di angkat jadi manajer. Samsul diberi fasilitas khusus. "Pagi Pak." Pak Dadang muncul di sebalik pintu. "Eh Pak Dadang, kebetulan. Sini Pak, banyak yang ingin aku ceritakan," ucap Samsul sambil menyuruh Pak Dadang duduk."Wah ... ada masalah apa lagi Pak. Sepertinya serius," ucap Pak Dadang. "Ini sangat serius Pak. Kita ngobrolnya sambil berkerja saja ya Pak. Ngomong- ngomong hari ini Pak Dadang sibu
Samsul mulai terangsang dengan perkataan Pak Dadang mengenai perawan yang katanya enak. Hasrat birahinya tiba- tiba timbul. Miliknya pun tak terasa sudah menegang. Keringat dingin mulai menitik di dahinya. Jantungnya berdebar- debar, sejak mengkonsumsi obat kuat dari dokter. Samsul selalu ingin melakukan kontak fisik. Tapi apalah daya. Istrinya Mila sudah pergi dari sisinya. Pada siapa ia harus lampiaskan hasrat nya hari itu. Pikirannya semakin kalut. Pekerjaan di atas meja yang seabreg, ia abaikan begitu saja. Samsul lalu beranjak berdiri dan melangkah menghadap jendela kaca kantornya. Ia mulai melakukan olah raga kecil agar bisa menyeimbangi hawa nafsunya. Kedua tangannya diangkat ke atas kemudian ia mengatur nafasnya agar stabil. Tapi tetap saja burungnya menegang. Samsulpun duduk bersila sambil memejamkan matanya. Tapi justru yang terbayang wajah istrinya yang sedang bercumbu dengan berondong muda. Deg! Sekilas Samsul mengingat sesuatu. Barangkali ini yang di rasakan Mila sa
Tak lama. Deni pun pamit kepada Zahra sambil terus berucap maaf karena gadis itu terlihat sedih saat Deni menegurnya tadi. Di perjalanan Deni masih mengingat wajah gadis manis itu. Berbekal kunci rumah yang di berikan Mila. Tadinya Deni hendak mengambil mukena milik Mila yang menurut pengakuan Mila. Mukena itu adalah salah satu mas kawin saat Samsul menikahinya dulu. Tapi Deni tidak menyangka, di rumah itu ternyata ada saudara Samsul. Pikir Deni Samsul tidak berada di rumah siang itu. Untung tadi Deni ketuk pintu terlebih dahulu. Coba kalau Deni langsung membuka pintu dengan kunci pemberian Mila. Sudah dipastikan gadis cantik itu akan mengira ia perampok. Di sisi lain. Zahra sungguh tidak mengerti dengan kejadian yang baru saja dialaminya. Mengapa istri Samsul harus menyuruh saudaranya untuk mengambil sesuatu dari rumahnya sendiri..Sebenarnya apa yang tengah terjadi dengan rumah tangga Samsul. Sejak ia menginjakkan kakinya di rumah itu. Sosok wanita yang ada di Poto itu. Tidak pern
Samsul menghela nafas panjang melihat sikap Pak Dadang yang selalu saja mengejeknya.Tampak Zahra duduk di sofa meringis kesakitan sambil memegang kakinya. Segera Samsul menghampiri dan langsung meraih kaki Zahra untuk melihat di bagian mana kakinya terkilir."Mana yang sakit?" tanya Samsul seraya memandangi wajah Zahra yang meringis kesakitan. Lalu Samsul berjongkok di hadapannya untuk melihat luka yang dialami gadis itu. Tapi saat Samsul memegang kakinya. Zahra berusaha menepis tangan Samsul dengan kasar. "Jangan Tuan. Saya tidak apa-apa, hanya sedikit lecet," ucap Zahra sambil mengalihkan tatapan Samsul. Pak Dadang pun ikut memperhatikan luka lecet yang dialami Zahra. Sedikit lebam tapi tidak begitu parah. "Pak. Sebaiknya pake Betadine saja," usul Pak Dadang. "Iya betul. Tapi saya tidak punya obat itu," jawab Samsul kemudian. "Tidak Tuan, saya baik-baik saja," sela Zahra. Dengan sekuat tenaga Zahra berusaha berdiri dari duduknya meski rasa nyeri dikakinya semakin ngilu teras