"Aruna...."
Terdengar suara mbak Alya di luar kamar, aku malas menjawab. Terdengar ketukan pintu sebanyak tiga kali."Aruna .... Apa kamu tidur?"Kembali mbak Alya memanggilku disertai pertanyaan yang tidak masuk akal, masa iya orang tidur ditanyai."Aruna, ayo makan. Tadi aku beli lauk dari rumah makan kesukaanmu."Nah, kan. Aku tidak menyahut masih saja dipanggil, tapi tawaran mbak Alya meluluhkan rasa malasku berinteraksi dengannya."iya, Mbak."Masih dengan keadaan yang berantakan aku bukakan pintu untuk mbak Alya."Kamu ini tidur apa nggak sih, aku panggil dari tadi diam saja." Protes mbak Alya. Aku nyengir kuda."Mau tidur, tapi nggak jadi. Ayo kita makan saja Mbak.""Ya, ayo tapi benerin dulu itu pakaianmu. Itu, tu .... kancingnya ada yang belum betul."Mbak Alya menunjuk ke arah bajuku yang memang tidak benar aku memakainya tadi."Hehehehe."Aku tertawa sembari mengancingkan bajuku dan membenarkan posisi celanaku yang agak melorot."Rambutnya ditali, jangan seperti itu, nanti masuk kuah. Aku tunggu di ruang makan ya?"Haduh, baru beberapa hari menikah mbak Alya sudah mengaturku seperti ibu.Beberapa saat kemudian aku menyusul mbak Alya yang saat aku sampai di meja makan sedang menambahkan sayur ke piring mas Bara yang sudah terisi nasi dan ayam bumbu."Aku ambil yang dada ya Mbak," kataku sambil menyendok nasi."Iya, ambil saja."Mbak Alya masih saja sibuk melayani suaminya makan siang, dia sepertinya tidak mempedulikan ku. Tak apalah, yang penting aku kenyang dan puas makan hidangan dari rumah makan favoritku.Sesekali ada rasa tidak nyaman ikut makan semeja dengan pasangan yang sedang mesra-mesranya ini. Bagaiman tidak, mereka suap-suapan, saling mencicip makanan yang ada di piring masing-masing, ah! ada-ada saja. Sudah tahu menunya sama masih tukeran. Ada kuah yang menempel sedikit saja di ujung bibir mbak Aliya, mas Bara langsung membersihkannya dengan tisu.Dasar, seperti tidak pernah pacaran saja. Sudah menikah pun gayanya masih seperti baru pacaran. Aku terus saja mengomel dalam hati, sementara mulutku terus saja mengunyah nasi dan lauk yang mempunyai cita rasa amat sedap."Aku sudah selesai, mbak. Mau ke kamar dulu, ngerjain PR."Aku pamit seraya meninggalkan tempat. Mbak Alya dan mas Bara sama-sama menyahut "iya".Sesuai dengan yang kukatakan tadi, aku mulai berkutat dengan tugas sekolahku. Walau pun aku tidak mempunyai prestasi istimewa tapi setidaknya aku tidak mau menjadi siswa paling bodoh di kelas.Terdengar suara ketukan di pintu kamarku, kok tanpa memanggil. Siapa ya?.Dengan malas aku beranjak dari kursi, ternyata ibu."Kau sedang apa?""Ngerjain tugas sekolah, Bu. Ada apa ya Bu, ayo masuk ke dalam.."Tidak usah, Ibu hanya mau memberikan ini, uang bayaran sekolahmu. Besok cepat kamu bayarkan ya, mumpung ibu ada uang ini sekalian untuk tiga bulan ke depan."Tumben sekali ibu memberikanku uang sebanyak ini, o .... mungkin ibu punya simpanan uang dari uang amplop tamu undangan pernikahan Mbak Alya. Aku menerima uang yang diberikan ibu."Terima kasih, Bu. Ayo kita mengobrol di dalam Bu. PR-ku tinggal sedikit lagi kok.""Tidak usah, Ibu mau makan. Lapar. Mbakmu apa masih ada di ruang makan?""Tadi aku duluan, Bu. Mbak Alya sama mas Bara masih di sana tapi entah kalau sekarang.""Ya, sudah. Tutuplah kembali pintumu."Aku tersenyum dan mengangguk. Ibu sudah memunggungi aku, kulihat tubuhnya yang tidak lagi tegap. Iya, ibuku sudah mulai tua. Tapi semangatnya untuk mengurus anak-anaknya masih tetap membara. Dan satu lagi sikap ibu yang belum bisa kupahami sampai saat ini, ibu tetap saja merasa segan walaupun kepada anak-anaknya sendiri.Seperti tadi yang ditanyakan padaku, ibu pasti tidak jadi makan kalau masih ada mas Bara dan mbak Alya yang sedang bersikap mesra di sana. Begitu pun dulu sewaktu mbak Alifia masih tinggal di sini, ibu selalu menghindar saat mbak Alifia sedang berduaan dengan mas Bilal.Kututup semua buku dan kususun rapi di atas meja belajarku, tugas sudah selesai. Kuraih botol minum karena rasa haus yang kurasa, ah enteng! ternyata kosong. Aku beranjak pergi ke dapur untuk mengisinya.Tanpa sengaja aku melihat mbak Alya yang sedang berpelukan dengan mas Bara di kamar, pintu kamar mereka terbuka sedikit saat aku melaluinya tadi. Mereka tampak sekali sedang menikmati saat bahagia mereka. Sial, tiba-tiba aku ingin sekali menikah dan seperti mbak Alya.Kehidupan yang kulalui selama ini seperti tidak ada bahagia-bahagianya sama sekali. Mana tahu setelah menikah nanti, aku akan merasakan hidup yang berbeda, hidup yang lebih menyenangkan. Tapi aku masih sekolah, dan dengan siapa juga aku akan menikah? Itulah aku yang cepat sekali baper, kadang ingin cepat menikah, kadang ingin bekerja mencari uang biar bisa beli apa-apa sendiri, kadang juga ingin sekolah tinggi dan memperoleh gelar yang akan mengangkat namaku menjadi lebih baik dari kakak-kakakku.Setelah minum air dari gelas kemudian mengisi botol minumku dengan penuh, aku pun kembali ke kamar."Kamu cantik Alya, aku sangat mencintaimu. Jangan pernah berpaling dariku ya Sayang."Aku mendengar suara mas Bara yang begitu mesra sedang merayu mbak Alya, aku menghentikan langkahku.Cantik apanya mbak Alya, tentu saja lebih cantik aku. Bodoh sekali mas Bara dalam menilai seorang wanita."Besok sudah mulai kerja, awas saja kalau kamu melirik wanita lain di luar."Bha hahaha, aku ingin sekali meledakkan tawaku saat mendengar ucapan mbak Alya pada mas Bara. Tidak mungkin mas Bara tidak akan melirik wanita lain kalau penampilan mbak Alia hanya seperti itu, sangat tidak seimbang dengan mas Bara yang super keren."Tidak akan Sayang, cup .... cup ....cup"Buset, apa yang kudengar ini. Apa yang sedang dilakukan mereka setelah saling merayu. Aku melanjutkan langkahku dengan tergesa-gesa.Kututup pintu kamarku dengan kasar, dan kuhempaskan badanku di kasur dengan kesal.Apa aku merasa iri dengan mbak Alya? Entahlah, aku sangat tidak suka melihat kemesraan mereka.Mbak Alya adalah saudara kandungku, dia baik dan perhatian padaku. Selama kerja dia sering memberiku uang jajan, membelikan baju atau sepatu, bahkan alat kecantikan dan pulsa hapeku, semua dia yang menanggung. Kini dia sudah menikah, aku tidak boleh berburuk sangka kalau mbak Alya akan berubah dan mengabaikanku. Tidak, mbak Alya tidak seperti itu tapi entahlah .... aku tidak suka saja melihat kebahagiaan mbak Alya dengan mas Bara.Seharusnya kalau mereka bahagia, aku juga bahagia dong. Lha ini, aku hanya bisa merasakan hati yang merasa sebal dan tidak suka melihat kemesraan saudaraku sendiri.Hari ini mas Bara mulai bekerja kembali, ia terlihat semakin tampan dengan pakaian resminya. Aku menelan ludah saat mencuri pandang ke arah iparku yang terasa istimewa ini. Mbak Alya tampak sibuk membantu mas Bara bersiap."Apa kamu mau berangkat bersama Mas Bara, Aruna?"Tanya mbak Alya saat kami berada dalam satu meja makan, menikmati sarapan buatan ibu. Ibu sengaja memasak pagi-pagi supaya semua bisa sarapan. Ibu sendiri sudah sarapan bersama bapak tadi, untuk kemudian berangkat berjualan.Sebenarnya aku senang sekali dengan penawaran ini, tapi aku tidak ingin terlihat murahan dengan menumpang kendaraan mas Bara."Mbak Alya bisa saja, tujuan kami beda Mbak. Nanti Mas Bara bisa terlambat kalau harus mengantarku dulu.""Tidak apa-apa, cuma sedikit masuk gang saja, mungkin cuma butuh waktu tujuh menit."Aku tidak menyangka mas Bara bicara seperti itu, berarti mas Bara mau mengantarku ke sekolah, yess!"Baiklah, kalau tidak merepotkan."Jawabku dengan rasa girang di dalam hati. Kali ini
Rumah mbak Alya bagus sekali, terletak di tepi jalan besar lagi. Mas Bara memang paling jitu menentukan pilihan, kecuali memilih istri.Aku semakin tidak percaya saja pada keadilan Tuhan, mengapa mbak Alya yang dikasih rezeki secara bertubi-tubi. Terus mana bagianku? Dari zaman dahulu kehidupan pahit ini yang kurasakan, tidak ada perubahan sama sekali."Wah, bagus sekali rumahmu, Mbak. Bolehkan aku menginap disini."Aku tak bosan-bosannya melihat ke sana dan ke mari. Rumah yang bagus, interior yang cantik dan perabot yang semuanya baru membuatku betah di rumah ini."Boleh saja."Jawab mbak Alya enteng."Kamu ini. Terus ayah sama ibu sama siapa?"Ibu yang menjawabku dengan ketus."Ya ayah sama ibu, memangnya kenapa kalau nggak ada aku."Ucapku tak kalah ketus."Kamu ini kalau dibilang sama orang tua, Mbakmu kan masih pengantin baru.""Lah terus kenapa, Bu. Di sini ada banyak kamar, kan aku tidak mungkin tidur sekamar sama mbak Alya."Ibu sepertinya benar-benar marah padaku, mukanya tamp
Acara syukuran rumah barunya mbak Alya dan mas Bara sudah selesai. Ibu dan ayah pulang karena pagi-pagi sekali ayah harus berangkat kerja bersama teman-temannya. Ibu harus memasak bekal untuk ayah."Kasihan Mbak Alya kalau harus sendirian membereskan ini semua, Bu."Aku mencari alasan untuk diizinkan menginap di rumah mbak Aya."Tapi kamu nggak bawa seragam sekolahmu, tas dan juga sepatumu bagaimana?""Aku nanti telepon Arum, Bu. Besok Arum akan membawakannya ke sini."Akhirnya ibu menyerah, bisa jadi bukan karena rengekanku tapi karena kasihan melihat mbak Alya yang pasti nanti kelelahan untuk membereskan perabot rumahnya.Ibu dan ayah pulang diantarkan oleh mas Bara, sementara aku dan mbak Alya memulai pekerjaan yang sebenarnya tidak aku sukai ini. Tapi mau bagaimana lagi karena pekerjaan ini aku diizinkan ibu menginap di rumah baru yang bagus ini.Aku dan mbak Alya mengelap piring, gelas, sendok dan lain-lainnya. Kemudian memasukkannya ke kotaknya masing-masing dan menyimpannya di t
Sebenarnya tadi aku mau langsung pulang ke rumah dengan menumpang sepeda motor Arum tetapi aku teringat baju kotorku yang masih kutinggal di dalam kamar rumah mbak Alya. Aku harus mengambilnya.Cuaca terik membuatku sedikit pusing, mungkin juga karena semalam aku kurang tidur.Aku memasuki halaman rumah, sepi. Sedang apa mbak Alya di dalam? Aku memanggilnya tapi tidak ada sahutan. Mungkin mbak Alya sedang di belakang atau sedang tidur siang.Bahkan di dalam rumah pun sepi juga, suara televisi juga tidak terdengar.Langkahku pelan menuju kamar yang kupakai. Belum sampai tujuan, aku mendengar suara dari arah kamar mbak Alya yang memang harus kulewati untuk mencapai kamarku yang terletak agak di belakang.Suara-suara yang membuat telingaku memanas. Memang dasar keterlaluan, ini kan siang hari, mana panas lagi. Mbak Alya pasti sedang bersama mas Bara, tut ... kena sensor. Aku sudah dewasa, aku sudah tau apa arti suara-suara itu. Kuhentakkan kaki ke lantai dengan kesal. Mas Bara begitu say
Sudah sepuluh hari aku tidak bertemu mas Bara, aku merindukannya. Di rumah aku selalu terbayang wajah tampannya. Apa lagi mengingat kenangan bertabrakan malam itu, dalam hatiku kembali berdesir. Aku ingin sekali memeluk mas Bara, pasti akan terasa nyaman dan hangat. Hah, mas Bara kan suami mbak Alya. Dia pasti sudah damai di dalam pelukan istri tercintanya. Aku saja yang konyol.Semakin aku menepiskan rasa itu dan berusaha berpikir rasional, semakin rasa hatiku bergejolak. Hatiku mengatakan kalau yang sedang kurasakan ini sangat manusiawi. Aku perempuan yang menginjak dewasa, normal kan kalau aku mempunyai perasaan tertarik dengan lawan jenis.Terlebih lagi mas Bara memang lelaki idamanku. Yang ada dalam diri mas Bara semua adalah yang kusuka dari seorang lelaki. Jangan salahkan aku, aku sudah mempunyai poin-poin tersendiri untuk lelaki yang mendekatiku dan itu sudah kutetapkan dari dulu sebelum mengenal mas Bara.Aku juga tidak habis pikir, kriteria lelaki idamanku kok bisa semuanya a
Aku semakin ingin selalu dekat dengan mas Bara. Aku ingin merebut perhatiannya yang selalu saja hanya diberikan pada mbak Alya. Apa kurangnya aku hingga aku tidak mendapatkan perhatian dari mas Bara. Mas Bara saja yang belum menyadari kelebihan yang kumiliki dibandingkan dengan mbak Alya.Hari ini aku mendapatkan kesempatan untuk menginap di rumah mbak Alya dengan alasan aku takut terlambat karena mulai hari ini aku menjadi peserta ujian nasional. Selama tiga hari aku diizinkan oleh ayah dan ibu untuk tinggal dirumah mbak Alya.Otakku tak lagi tertuju pada soal ujian yang akan kuhadapi mulai besok tapi aku berpikir bagaimana caranya mencuri perhatian mas Bara. takkan ku sia-siakan kesempatan ini. Aku harus berhasil mendapatkan sesuatu dalam waktu tiga hari ini."Kamu harus jaga dirimu selama di sana, Aruna. Jangan lupa pakai pakaian tertutup dan sopan. Dan belajarlah yang giat agar nilai ujianmu bagus. Jangan kecewakan kakakmu yang akan membiayai kuliahmu nanti.""Iya, Bu. Aku memang h
Sungguh aku tidak bisa lagi melawan rasa yang ada dalam hatiku. Gejolak cintaku pada mas Bara semakin menyala, akan sulit untuk dipadamkan. Bahkan mungkin tidak akan bisa. Aku tahu rasa ini salah, tapi hatiku selalu ingin dan ingin .... dan saat ini semakin ingin. Berawal dari sentuhan-sentuhan kecil yang tidak sengaja, aku semakin dimabukkan oleh perasaan cintaku kepada mas Bara.Apa yang harus kulakukan untuk mendapatkan cinta kakak iparku ini? Tidak mungkin aku memintanya secara baik-baik pada si pemilik. "Ada apa melamun, Aruna?"Tanya mbak Alya yang tiba-tiba datang ke kamarku."Tidak apa-apa, Mbak. Mbak apa perlu bantuan ku?"Tanyaku seolah-olah aku ini adik yang sangat baik kepada kakaknya."Ah, tidak. Sudah selesai pekerjaanku. Malahan aku bingung mau ngapain makanya ke sini. Bagaimana ujianmu, ada kesulitan?""Tidak Mbak, sebelumnya sudah dipelajari semua kok.""Kamu tidak belajar sekarang?""Nanti saja, Mbak. Masih panas otakku ini, nanti terjadi korsleting di kepalaku, Mba
Nasib baik memang sedang berpihak padaku. Di malam terakhir aku menginap di rumah mbak Alya, terjadi sebuah insiden yang tiba-tiba saja terjadi tanpa aku merencanakannya. Ceritanya begini.Sore itu mbak Alya dijemput oleh teman kerjanya dulu untuk acara reuni. Katanya mbak Alya sudah berpamitan pada mas Bara dan mas Bara sepulang kerja akan langsung menjemputnya. Aku di rumah sendirian, awalnya mbak Alya akan meminta anak tetangga untuk menemaniku tapi aku bilang kalau aku tidak takut. Jadilah aku tinggal sendirian di rumah besar ini.Sehabis Maghrib aku langsung membaca buku dan mempelajari mata pelajaran untuk besok. Besok adalah hari terakhir, dan aku akan pulang ke rumahku sendiri. Sepulang dari sekolah aku harus segera bersiap untuk pulang dan mbak Alya sudah berjanji akan mengantarku.Pintu depan di ketuk dan terdengar suara mas Bara memanggil namaku. Kok mas Bara pulang secepat ini, bukannya tadi bilang akan langsung menjemput mbak Alya?Terserahlah, mungkin ini kesempatanku un
"Apakah itu kewajibanku, Ayah? Apakah aku harus tinggal bersama Ayah?"Pertanyaan Afnan membuat aku tercekat."Aku ayahmu, Nak. Dan aku ingin sekali merawat dan membesarkanmu. Aku ingin mengurusmu sampai kau dewasa, sampai kau bisa meraih semua yang kau inginkan. Aku tahu kau disini tinggal bersama dengan ibumu. Aku yakin kau tidak kekurangan kasih sayang dari ayahmu. Dan kebahagiaanmu semakin lengkap saat hadirnya adik perempuanmu. Tapi lihatlah ayah, Nak. Aku juga ingin bersama dirimu. Ayah hanya punya Ibu Antika, Oma dan Opa. Ayah ingin ada anak kecil di rumah ayah. Ayah ingin ada yang meneruskan nama ayah kelak. Apa kau merasa keberatan atau ada yang melarangmu untuk ikut dengan ayahmu ini?"Mas Bara sudah memulainya, itu membuat hatiku kian teriris. Aku tidak tega menempatkan Afnan kecilku di posisi ini. Aku yakin dia sedang kebingungan untuk memberikan jawaban untuk ayahnya. Maafkan Ibu Afnan, ibu sudah menyeretmu ke dalam urusan orang dewasa yang seharusnya kau belum boleh menge
"Kenapa Ibu terus memelukku, apa ibu akan pergi meninggalkanku?"Tanya Afnan. "Ibu mau ke mana? Ibu yang takut jika kamu meninggalkan ibu.""Aku anak kecil, Bu. Aku mau ke mana? Kalau aku besar nanti mungkin aku akan meninggalkan ibu untuk pergi ke sekolah tinggi atau pergi bekerja. Kalau sekarang mana mungkin aku pergi Bu. Naik bus sendiri saja aku belum berani."Celoteh Afnan membuatku tersenyum tapi hanya di bibir, nyatanya terasa terluka di hati. Apakah Afnan akan mengucapkan itu saat mas Bara datang menjemputnya besok? Aku tidak berani berharap, mas Bara adalah ayahnya. Mungkin Afnan juga sedang mendamba untuk bisa dekat dekat dengan sosok ayahnya. Meski dia tak pernah mengatakan padaku tapi aku tahu Afnan juga sangat menyayangi ayahnya.Masih terngiang di telingaku kalimat Antika tadi pagi."Hari ini kami menjemput mas Bara, Mbak. Dan tunggu kabar selanjutnya. Kami akan segera datang untuk menjemput Afnan."Aku tidak menjawab Antika. Dan kemudian Antika memutuskan sambungan te
"Satu Minggu lagi aku pulang, Aruna."Kalimat yang seharusnya biasa saja di terima oleh telingaku demikian pun saat tersampaikan ke syaraf otakku. Tetapi tidak seperti yang kurasakan. Di dalam kalimat sederhana itu tersimpan ribuan pertanyaan, kemungkinan, harapan dan lain-lain dan itu berkecamuk jadi satu di dalam hatiku."Iya, Mas."Jawabku lemah."Kau sudah tahu maksudku bukan?""Iya, tahu.""Kau sudah bilang pada Afnan.""Belum."Aku menjawab dengan jujur pertanyaan mas Bara. Aku memang belum mengatakan apa pun terkait tentang permintaan mas Bara untuk membawa Afnan ke rumahnya. Aku tidak tahu harus mengatakan apa pada Afnan. Ada kalanya aku ingin menyinggungkan masalah ini, menyisipkan sedikit saat kami mengobrol bersama tapi sungguh hati ini tidak tega sama sekali. Apa lagi saat kulihat betapa Afnan semakin menyayangi adiknya yang sudah pandai di ajaknya bermain bersama, terlebih saat kudengar untaian doa yang selalu di panjatkan Afnan saat sedang shalat di rumah. Tidak henti-
Pagi ini aku sudah tidak melihat Afnan di tempat tidurnya, hatiku berdebar. Mengapa sepagi ini dia sudah meninggalkan tempat tidurnya?Aku mencoba melihat kamar mandinya, juga sudah kosong tapi lantainya sudah basah dan suhu ruangannya terasa hangat, berarti Afnan sudah mandi pagi.Aku tidak memanggilnya tapi aku terus mencarinya. Sampai lah aku ke halaman depan, aku mengira dia ada janji dengan temannya untuk jalan lagi. Ternyata tidak ada. Sandal yang biasa dipakainya untuk ke luar rumah masih tergeletak di tempatnya. Aku kembali masuk. Terdengar sayup suara lantunan ayat suci Alquran. Siapa yang mengaji, Abid kah? Tentu bukan karena aku tahu Abid belum bangun dari tidurnya."Aamiin ..."Aku melihat Afnan mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajahnya, dia mengakhiri bacaannya."Ya, Allah ... Semoga Ayah dan ibuku selalu Kau beri kesehatan, lindungi lah mereka selalu. Semoga mereka selalu menyayangiku, aku tidak ingin kehilangan cinta ayah dan Ibuku. Jika aku ada kesalahan, semoga m
Abid belum juga kembali. Dadaku terasa penuh sesak. Aku menatap kedua buah hatiku yang sedang terlelap. Wajah-wajah polos tanpa dosa. Haruskah nanti mereka hidup terpisah, apa yang akan aku katakan pada mereka kelak?Aku menghapus air mata yang mengalir begitu saja. Tidak seharusnya aku menangis lagi. Apa kurang cukup untukku bersedih selama ini?Aku bangkit, aku harus melakukan sesuatu sejak dini untuk Afnan. Afnan akan terpisah dariku, dia harus bisa melakukan apa pun tanpaku. Kembali aku meratap. Antara menerima dan melawan perasaan hatiku."Ayo Afnan, kau harus segera bangun. Jangan bermalas-malasan begitu. Saat kau sudah membuka mata, jangan sampai kau menghabiskan waktu dengan berbaring saja. Kau harus segera mengerjakan apa yang seharusnya kau kerjakan.""Tapi aku masih mengantuk, Bu.""Kau sudah bangun dan nanti malam lagi kau bisa tidur dengan waktu yang lebih lama. Kau harus makan dan bersiap ke tempat les.""Iya, Bu."Sebenarnya hatiku sangat sakit saat mengucapkan itu. Bias
Abid menggendong Amayra yang sepertinya mulai mengantuk, sebotol susu mengantarkan tidur Amayra dalam gendongan ayahnya.Aku enggan beranjak meninggalkan Afnan yang sedang bersama mas Bara. Detak jantungku seakan terus berpacu mengiringi obrolan demi obrolan ayah dan anak yang tak satu pun terlewatkan olehku. Aku tidak mau mas Bara mempengaruhi Afnan untuk ikut bersamanya. Sungguh aku tidak akan rela.Sejauh ini sudah banyak yang mereka obrolkan tetapi belum sampai pada kalimat permintaan mas Bara. Aku tidak tahu kenapa. Apa belum saat ini, karena mas Bara merasa masih harus meneruskan masa tahanannya terlebih dahulu. Aku tidak menanyakan kapan dia akan resmi ke luar. Aku membatasi komunikasiku seperti membatasi hubunganku dengannya atau keluarganya."Sudah kamu tidurkan?"Tanyaku pada Abid yang kembali tanpa membawa Amayra."Iya, sudah. Kenapa kau tidak ke belakang sama sekali.""Itu," jawabku sambil mengarahkan daguku pada Afnan yang sedang duduk di pangkuan ayahnya."Kenapa, Afnan t
"Oek ....oek ...."Tepatnya tujuh tahun yang lalu telingaku mendengar jerit tangis bayi yang kulahirkan dan hari ini untuk kedua kalinya aku mendengar jerit tangis itu kembali. Adik Afnan sudah menghirup udara bebas, tangisnya melengking memecah malam. Tepat jam tiga dini hari, bayi mungil berjenis kelamin perempuan hadir ke dunia ini dan menyandang status sebagai putri dari pasangan suami istri Abid dan Aruna.Tidak ada perasaan sedih dan duka nestapa sepeti waktu dulu, hanya ada rasa syukur dan bahagia yang tiada tara untuk kelahiran putri cantikku ini. Abid tidak meninggalkanku barang sedetik pun dari awal aku mulai merasakan kontraksi, dia selalu berada disisiku untuk selalu memberiku support.""Wati, jika bangun nanti bilang pada Afnan, adiknya sudah lahir, perempuan. Minta mang Arman untuk mengantarkan kalian ke rumah sakit ya?"Aku segera menghubungi Wati yang kutinggal di rumah karena harus menjaga Afnan. Aku mengajak Ibu untuk membantuku, ibunya Abid tidak bisa menemaniku kare
Aku hanya bisa menggigit bibir dan sesekali memejamkan mataku, semua terjadi karena pemandangan yang berada di depan mataku. Tingkah Selin membuatku ingin sekali melukis mukanya dengan ribuan s*ya*an. Di dalam dadaku terdengar gemuruh amarah yang saling bersahutan. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Abid berusaha menghindari Selin, Abid tahu aku memperhatikannya dari tempatku ini. Tapi memang Selin yang sengaja bertingkah seperti *alang. Dari pintu masuk kulihat tangan Selin sudah bergelayut manja seperti Abid yang berjalan di sisinya itu adalah suami atau kekasihnya. Aku pun tahu dia sedang menebar pesonanya pada suamiku. "Ini tempat umum, tidak pantas kau seperti ini, Selin.""Ini masih termasuk wilayah pabrik kita. Apa salahnya, bukankah ini ibarat rumah kita sendiri.""Tapi apa kau tak malu, akan banyak yang berpikir negatif tentang kita. Kita ini rekan kerja dan aku adalah pria yang sudah beristri.""Sudah jadi hal yang biasa jika pengusaha muda sepertimu tidak c
Aku mengajak mama masuk, aku ingin segera bertemu mas Bara dan mengakhiri pertemuan hari ini. Aku juga tidak tahu kapan akan bisa bertemu kembali. Tapi yang jelas hari ini aku harus bertemu dengan mas Bara, mantan suamiku. Mas Bara tidak lagi berambut panjang, penampilannya sedikit rapi. Tapi badannya semakin kurus dan tatapannya begitu layu. Mas Bara tersenyum melihat kedatanganku."Apa kabar, Mas?""Seperti.yang kau lihat, bagaimana denganmu?""Sama, seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Aku ke sini karena ingin meminta maaf padamu, aku tidak bisa hadir di persidanganmu Mas. Aku sedang dalam masalah waktu itu.""Tidak apa-apa Aruna, semua sudah selesai.""Dan aku tidak bisa memberikan bantuan untukmu sedikitpun."Mas Bara berdecak, entah kesal entah menyesal. Aku melirik nama Resti yang duduk di sampingku sementara mas Bara ada di hadapanku."Sepertinya tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan mas, aku tadi sudah panjang lebar bercerita dengan Mama. Mama bisa menyambungnya de