Rumah mbak Alya bagus sekali, terletak di tepi jalan besar lagi. Mas Bara memang paling jitu menentukan pilihan, kecuali memilih istri.
Aku semakin tidak percaya saja pada keadilan Tuhan, mengapa mbak Alya yang dikasih rezeki secara bertubi-tubi. Terus mana bagianku? Dari zaman dahulu kehidupan pahit ini yang kurasakan, tidak ada perubahan sama sekali."Wah, bagus sekali rumahmu, Mbak. Bolehkan aku menginap disini."Aku tak bosan-bosannya melihat ke sana dan ke mari. Rumah yang bagus, interior yang cantik dan perabot yang semuanya baru membuatku betah di rumah ini."Boleh saja."Jawab mbak Alya enteng."Kamu ini. Terus ayah sama ibu sama siapa?"Ibu yang menjawabku dengan ketus."Ya ayah sama ibu, memangnya kenapa kalau nggak ada aku."Ucapku tak kalah ketus."Kamu ini kalau dibilang sama orang tua, Mbakmu kan masih pengantin baru.""Lah terus kenapa, Bu. Di sini ada banyak kamar, kan aku tidak mungkin tidur sekamar sama mbak Alya."Ibu sepertinya benar-benar marah padaku, mukanya tampak memerah."Aruna!""Kenapa sih Bu, belum juga jadi menginap sudah marah-marah saja. Lagian kalau aku di sini, ibu lumayan tidak kasih jatah naik angkot. Sekolahku dekat sini, aku bisa jalan kaki."Aku mengajukan banyak argumen, supaya ibu sadar aku ini tidak salah. Kenapa juga harus marah."Sudah, sudah .... jangan begitu sama ibu ya, Aruna. Kamu boleh menginap di sini kapan pun kamu mau.""Horeeee!"Pekikku gembira."Tapi bantu mbak dulu ya. Mbak mau bikin acara syukuran. Banyak yang diundang nanti. Tetangga dan teman-teman mas Bara. Kita akan menjamu mereka, banyak yang harus kita persiapkan."Sebenarnya aku paling benci kalau disuruh-suruh, tapi mau bagaimana lagi. Itu syarat untukku bisa ikut menikmati indahnya dan mewahnya rumah ini."Siap, Mbak!"Mbak Alya tertawa melihatku. Dia tidak tahu aku hanya berpura-pura saja.Hari ini aku harus pulang dulu, besok kembali ke sini lagi bersama ibu untuk membantu mbak Alya mempersiapkan acara syukuran rumah barunya.Kami bertiga menyusul ayah yang sedang melihat-lihat halaman belakang bersama mas Bara."Ayah ayo kita pulang."Teriakku, ayah dan mas Bara menoleh dan kemudian menghampiri kami."Mas antarkan pulang dulu ya. Besok jemput lagi Ibu sama Aruna, ayah biar saja kalau mau kerja. Nanti kalau mau mulai acaranya baru jemput ayah."Nyonya Alya sedang memerintah, aku melengos mendengarnya."Tidak usah dijemput, kalian pasti repot. Nanti ayah ke sini sendiri saja."Ini lagi, dikasih enak tidak mau. Di pikir-pikir memang orang tuaku ini senangnya hidup susah terus. Coba kurang enak apa, ke sana ke mari dijemput mobil tanpa meminta. Malah menolak, mau ke sini sendiri, padahal harus cari angkot atau naik ojek."Baiklah."Jawab mbak Alya.Kami meninggalkan mbak Alya sendirian di rumah barunya, kami harus pulang kecuali mas Bara. Setelah mengantar kami sampai rumah pasti mas Bara akan kembali ke rumah barunya dan mereka ....Mereka akan semakin mesra tanpa rasa segan pada siapa pun. Mendadak aku menjadi muak mengingat kebersamaan mbak Alya dan mas Bara.Sesampainya di rumah, ayah masih terus mengobrol dengan mas Bara. Entah apa yang mereka obrolkan. Perasaan tadi di rumah mbak Alya pun mereka sudah mengobrol sangat lama. Akh, memang mungkin seperti itu kalau mendapatkan menantu yang kaya. Selalu diberikan perhatian dan sikap ramah tamah. Coba kalau menantunya miskin, mungkin akan cuek saja mertuanya."ini diminum Mas, tadi sekalian aku bikin juga."Aku memberikan segelas es teh untuk mas Bara. Suasana mendadak terasa panas dan aku tidak tahan untuk tidak membuat minuman dingin."Terima kasih ya."Mas Bara menerimanya dengan tersenyum manis.Aku ingin sekali duduk bersama mereka, maksud sebenarnya duduk di dekat mas Bara. Belum juga aku menghempaskan pantatku di sofa, ayah sudah menyuruhku pergi. Menyebalkan sekali."Aruna bantu ibumu sana, tadi ayah lihat banyak pakaian yang belum diangkat dari jemuran."Ada saja alasan ayah ini untuk membuatku menggerutu. Kenapa sih selalu saja menghalangi kemauanku untuk senang sedikit saja.Aku pergi membawa rasa dongkol di hati. Merebahkan diri di kursi ruangan tengah dengan semauku sendiri."Masya Allah, Aruna!"Ibu meneriakiku sambil menghempaskan sebelah kakiku yang naik ke sandaran kursi dengan sangat kasar."Ibu ini apa-apaan sih!"Aku marah dengan perlakuan ibu, matakumenatap nyalang ke arah ibu. Di ruang tamu aku diusir, di ruang tengah aku dimarahi. Sebenarnya aku ini suruh bagaimana sih, apa-apa salah!"Belum juga sadar, sudah diingatkan berkali-kali. Ibu sudah bilang kalau ada Bara kau jangan pakai celana sependek itu. Ini lagi, kaki di taruh atas. Kalau Bara masuk dan melihatmu bagaimana?!"Halah, ternyata cuma masalah celana pendek dan kaki yang cari tempat nyaman saja sudah seperti masalah perang dunia.Ibu, ibu .... aku ini sudah seperti anak orang yangmenumpang di rumah ini saja. Apa-apa serba salah."Bilang baik-baik bisa kan Bu. Nggak harus pakai dorong kaki Aruna juga."Protesku. Terlihat dada ibu tersengal seperti menahan amarah.Tensi naik baru menyesal nanti, cuma masalah kecil saja diambil hati."Sudah berapa kali ibu bil ....""Bu, Bu ... ini Bara mau pulang."Kalimat ibu yang sudah tentu membosankan itu terpotong oleh teriakan ayah.Ibu meninggalkanku dan bergegas ke ruang tamu, menemui menantu tersayang yang mau berpamitan.Dengan tanpa rasa bersalah aku pun mengekor, takut nanti menyesal jika tidak melihat wajah tampan mas Bara yang baru bisa ketemui lagi besok siang.Mas Bara berpamitan dengan sangat sopan."Bara pulang dulu ya Pak, Bu ..... Aruna. Sampai jumpa besok."Namaku juga disebutkan juga, aku semakin pede untuk berdiri di depan ibu. Semula ibu menutupi tubuhku tapi sekarang mas Bara bisa melihatku dengan utuh.Mas Bara tersenyum padaku, rasa hati sangat bahagia. Melupakan sejenak ucapan ibu yang pedas tadi.Punggung mas Bara masih saja terlihat indah dipandang mata, aku terus saja melihatnya sampai mas Bara menghilang terhalang mobilnya."Aruna."Ayah mengagetkanku. Apa lagi ini, apa mau memarahi aku seperti ibu?"Kenapa, Yah?""Pakailah baju yang sopan Jika ada kakak iparmu. Berikan kesan yang baik padanya, bukankah dia juga kakakmu. Kamu harus sopan padanya, bukan hanya dalam bersikap tapi juga cara berpakaian.""Iya, Yah."Lebih baik aku mengalah dari pada berdebat, rasanya capek untuk hari ini.Ayah tidak bicara lagi, berarti aku bisa pergi dari hadapannya. Aku masuk kamar dan menghempaskan tubuh lelah ini di kasur yang sudah lebih dari sepuluh tahun tidak diganti dengan yang baru. Rasanya bikin pegal di punggung saja, tidak seperti kasur yang ada di rumah mbak Alya tadi. Baru mencobanya semenit saja aku sudah tau kalau kasur itu bisa membuat nyaman orang yang tidur di atasnya.Ah, rasa hatiku ingin selalu mengajak ke rumah mbak Alya terus. Kalau bisa tinggal di sana saja sekalian. Pasti lebih nyaman. Aku pun bisa merasa bangga jika ada teman-temanku yang datang berkunjung. Tidak seperti di sini. Bagian mana dari rumah ini yang patut kubanggakan? Semua yang ada hanya barang usang saja.Mas Bara mungkin sudah sampai rumahnya. Seperti biasanya, anganku menerawang. Mbak Alya pasti menyambutnya dengan mesra. Begitu pun mas Bara yang sangat memanjakan istrinya, seketika aku merasa muak lagi.Acara syukuran rumah barunya mbak Alya dan mas Bara sudah selesai. Ibu dan ayah pulang karena pagi-pagi sekali ayah harus berangkat kerja bersama teman-temannya. Ibu harus memasak bekal untuk ayah."Kasihan Mbak Alya kalau harus sendirian membereskan ini semua, Bu."Aku mencari alasan untuk diizinkan menginap di rumah mbak Aya."Tapi kamu nggak bawa seragam sekolahmu, tas dan juga sepatumu bagaimana?""Aku nanti telepon Arum, Bu. Besok Arum akan membawakannya ke sini."Akhirnya ibu menyerah, bisa jadi bukan karena rengekanku tapi karena kasihan melihat mbak Alya yang pasti nanti kelelahan untuk membereskan perabot rumahnya.Ibu dan ayah pulang diantarkan oleh mas Bara, sementara aku dan mbak Alya memulai pekerjaan yang sebenarnya tidak aku sukai ini. Tapi mau bagaimana lagi karena pekerjaan ini aku diizinkan ibu menginap di rumah baru yang bagus ini.Aku dan mbak Alya mengelap piring, gelas, sendok dan lain-lainnya. Kemudian memasukkannya ke kotaknya masing-masing dan menyimpannya di t
Sebenarnya tadi aku mau langsung pulang ke rumah dengan menumpang sepeda motor Arum tetapi aku teringat baju kotorku yang masih kutinggal di dalam kamar rumah mbak Alya. Aku harus mengambilnya.Cuaca terik membuatku sedikit pusing, mungkin juga karena semalam aku kurang tidur.Aku memasuki halaman rumah, sepi. Sedang apa mbak Alya di dalam? Aku memanggilnya tapi tidak ada sahutan. Mungkin mbak Alya sedang di belakang atau sedang tidur siang.Bahkan di dalam rumah pun sepi juga, suara televisi juga tidak terdengar.Langkahku pelan menuju kamar yang kupakai. Belum sampai tujuan, aku mendengar suara dari arah kamar mbak Alya yang memang harus kulewati untuk mencapai kamarku yang terletak agak di belakang.Suara-suara yang membuat telingaku memanas. Memang dasar keterlaluan, ini kan siang hari, mana panas lagi. Mbak Alya pasti sedang bersama mas Bara, tut ... kena sensor. Aku sudah dewasa, aku sudah tau apa arti suara-suara itu. Kuhentakkan kaki ke lantai dengan kesal. Mas Bara begitu say
Sudah sepuluh hari aku tidak bertemu mas Bara, aku merindukannya. Di rumah aku selalu terbayang wajah tampannya. Apa lagi mengingat kenangan bertabrakan malam itu, dalam hatiku kembali berdesir. Aku ingin sekali memeluk mas Bara, pasti akan terasa nyaman dan hangat. Hah, mas Bara kan suami mbak Alya. Dia pasti sudah damai di dalam pelukan istri tercintanya. Aku saja yang konyol.Semakin aku menepiskan rasa itu dan berusaha berpikir rasional, semakin rasa hatiku bergejolak. Hatiku mengatakan kalau yang sedang kurasakan ini sangat manusiawi. Aku perempuan yang menginjak dewasa, normal kan kalau aku mempunyai perasaan tertarik dengan lawan jenis.Terlebih lagi mas Bara memang lelaki idamanku. Yang ada dalam diri mas Bara semua adalah yang kusuka dari seorang lelaki. Jangan salahkan aku, aku sudah mempunyai poin-poin tersendiri untuk lelaki yang mendekatiku dan itu sudah kutetapkan dari dulu sebelum mengenal mas Bara.Aku juga tidak habis pikir, kriteria lelaki idamanku kok bisa semuanya a
Aku semakin ingin selalu dekat dengan mas Bara. Aku ingin merebut perhatiannya yang selalu saja hanya diberikan pada mbak Alya. Apa kurangnya aku hingga aku tidak mendapatkan perhatian dari mas Bara. Mas Bara saja yang belum menyadari kelebihan yang kumiliki dibandingkan dengan mbak Alya.Hari ini aku mendapatkan kesempatan untuk menginap di rumah mbak Alya dengan alasan aku takut terlambat karena mulai hari ini aku menjadi peserta ujian nasional. Selama tiga hari aku diizinkan oleh ayah dan ibu untuk tinggal dirumah mbak Alya.Otakku tak lagi tertuju pada soal ujian yang akan kuhadapi mulai besok tapi aku berpikir bagaimana caranya mencuri perhatian mas Bara. takkan ku sia-siakan kesempatan ini. Aku harus berhasil mendapatkan sesuatu dalam waktu tiga hari ini."Kamu harus jaga dirimu selama di sana, Aruna. Jangan lupa pakai pakaian tertutup dan sopan. Dan belajarlah yang giat agar nilai ujianmu bagus. Jangan kecewakan kakakmu yang akan membiayai kuliahmu nanti.""Iya, Bu. Aku memang h
Sungguh aku tidak bisa lagi melawan rasa yang ada dalam hatiku. Gejolak cintaku pada mas Bara semakin menyala, akan sulit untuk dipadamkan. Bahkan mungkin tidak akan bisa. Aku tahu rasa ini salah, tapi hatiku selalu ingin dan ingin .... dan saat ini semakin ingin. Berawal dari sentuhan-sentuhan kecil yang tidak sengaja, aku semakin dimabukkan oleh perasaan cintaku kepada mas Bara.Apa yang harus kulakukan untuk mendapatkan cinta kakak iparku ini? Tidak mungkin aku memintanya secara baik-baik pada si pemilik. "Ada apa melamun, Aruna?"Tanya mbak Alya yang tiba-tiba datang ke kamarku."Tidak apa-apa, Mbak. Mbak apa perlu bantuan ku?"Tanyaku seolah-olah aku ini adik yang sangat baik kepada kakaknya."Ah, tidak. Sudah selesai pekerjaanku. Malahan aku bingung mau ngapain makanya ke sini. Bagaimana ujianmu, ada kesulitan?""Tidak Mbak, sebelumnya sudah dipelajari semua kok.""Kamu tidak belajar sekarang?""Nanti saja, Mbak. Masih panas otakku ini, nanti terjadi korsleting di kepalaku, Mba
Nasib baik memang sedang berpihak padaku. Di malam terakhir aku menginap di rumah mbak Alya, terjadi sebuah insiden yang tiba-tiba saja terjadi tanpa aku merencanakannya. Ceritanya begini.Sore itu mbak Alya dijemput oleh teman kerjanya dulu untuk acara reuni. Katanya mbak Alya sudah berpamitan pada mas Bara dan mas Bara sepulang kerja akan langsung menjemputnya. Aku di rumah sendirian, awalnya mbak Alya akan meminta anak tetangga untuk menemaniku tapi aku bilang kalau aku tidak takut. Jadilah aku tinggal sendirian di rumah besar ini.Sehabis Maghrib aku langsung membaca buku dan mempelajari mata pelajaran untuk besok. Besok adalah hari terakhir, dan aku akan pulang ke rumahku sendiri. Sepulang dari sekolah aku harus segera bersiap untuk pulang dan mbak Alya sudah berjanji akan mengantarku.Pintu depan di ketuk dan terdengar suara mas Bara memanggil namaku. Kok mas Bara pulang secepat ini, bukannya tadi bilang akan langsung menjemput mbak Alya?Terserahlah, mungkin ini kesempatanku un
Aku tidak tahan lagi untuk tidak bertemu mas Bara, apa lagi sejak ujian nasional berakhir. Aku tidak punya kesempatan lagi untuk berkunjung ke rumah mbak Alya.Kepalaku menjadi sering sakit, dan aku selalu saja marah-marah. Marah kepada siapa pun bahkan tanpa alasan. Ibu jadi sering menghindar dariku, mungkin malas dengan sikap anehku."Benarkah Alya? Selamat kalau begitu. Jaga kesehatanmu, banyak makan dan minum vitaminmu."Aku tak sengaja mendengarkan ibu yang bercakap dengan seseorang di hpnya.Aku tadi kurang jelas mendengarnya, siapa yang disuruh ibu minum vitamin ya? Mungkinkah Bahir? Mereka jarang menelepon, biasanya kalau mbak Alifia melakukan panggilan video call agar bisa melihat semua orang."Kata dokter bayimu sehatkan, Alya?"Apa? Apa aku tidak salah dengar ini, mbak Alya hamil? Bagaimana ini bisa terjadi? Mbak Alya baru saja membangun toko alat kecantikan dan alat sekolah di depan rumahnya, itu pun aku mendengarnya dari ibu. Dan kami semua belum sempat ke sana untuk meli
Sayangnya aku tidak bisa meneruskan misiku pada kesempatan ini, aku harus mengikuti serentetan tes untukku bisa masuk ke universitas pilihanku.Tak mengapa, ini juga salah satu jalanku untuk bisa tinggal abadi di rumah impianku ini.Untuk sementara aku redupkan api yang menyala dalam dadaku. Aku yakin mas Bara sudah mulai mengerti akan diriku. Tergantung dirinya saja bagaimana. Apa dia akan menyambutku atau menolakku. Dan aku janji padamu mas, saat aku kembali akan kuberikan yang lebih hot lagi padamu. Agar kau tahu aku lebih menantang dan lebih menggoda dari saudara tuaku itu.Aku pulang dari kampus dengan rasa yang sangat lelah sekali."Mbak, aku tidak bisa bantu mbak ya. Aku lelah sekali hari ini. Maaf ya Mbak."Terlebih dulu aku akan bilang pada mbak Alya, jadi sebelum pulang ke rumah aku menemui mbak Alya di toko. Mbak Alya merespon dengan sangat santai padahal aku sudah merasa tak enak hati tadi."Tidak apa-apa, aku tahu kau lelah. Istirahatlah. Nanti malam mas Bara akan pulang d
"Apakah itu kewajibanku, Ayah? Apakah aku harus tinggal bersama Ayah?"Pertanyaan Afnan membuat aku tercekat."Aku ayahmu, Nak. Dan aku ingin sekali merawat dan membesarkanmu. Aku ingin mengurusmu sampai kau dewasa, sampai kau bisa meraih semua yang kau inginkan. Aku tahu kau disini tinggal bersama dengan ibumu. Aku yakin kau tidak kekurangan kasih sayang dari ayahmu. Dan kebahagiaanmu semakin lengkap saat hadirnya adik perempuanmu. Tapi lihatlah ayah, Nak. Aku juga ingin bersama dirimu. Ayah hanya punya Ibu Antika, Oma dan Opa. Ayah ingin ada anak kecil di rumah ayah. Ayah ingin ada yang meneruskan nama ayah kelak. Apa kau merasa keberatan atau ada yang melarangmu untuk ikut dengan ayahmu ini?"Mas Bara sudah memulainya, itu membuat hatiku kian teriris. Aku tidak tega menempatkan Afnan kecilku di posisi ini. Aku yakin dia sedang kebingungan untuk memberikan jawaban untuk ayahnya. Maafkan Ibu Afnan, ibu sudah menyeretmu ke dalam urusan orang dewasa yang seharusnya kau belum boleh menge
"Kenapa Ibu terus memelukku, apa ibu akan pergi meninggalkanku?"Tanya Afnan. "Ibu mau ke mana? Ibu yang takut jika kamu meninggalkan ibu.""Aku anak kecil, Bu. Aku mau ke mana? Kalau aku besar nanti mungkin aku akan meninggalkan ibu untuk pergi ke sekolah tinggi atau pergi bekerja. Kalau sekarang mana mungkin aku pergi Bu. Naik bus sendiri saja aku belum berani."Celoteh Afnan membuatku tersenyum tapi hanya di bibir, nyatanya terasa terluka di hati. Apakah Afnan akan mengucapkan itu saat mas Bara datang menjemputnya besok? Aku tidak berani berharap, mas Bara adalah ayahnya. Mungkin Afnan juga sedang mendamba untuk bisa dekat dekat dengan sosok ayahnya. Meski dia tak pernah mengatakan padaku tapi aku tahu Afnan juga sangat menyayangi ayahnya.Masih terngiang di telingaku kalimat Antika tadi pagi."Hari ini kami menjemput mas Bara, Mbak. Dan tunggu kabar selanjutnya. Kami akan segera datang untuk menjemput Afnan."Aku tidak menjawab Antika. Dan kemudian Antika memutuskan sambungan te
"Satu Minggu lagi aku pulang, Aruna."Kalimat yang seharusnya biasa saja di terima oleh telingaku demikian pun saat tersampaikan ke syaraf otakku. Tetapi tidak seperti yang kurasakan. Di dalam kalimat sederhana itu tersimpan ribuan pertanyaan, kemungkinan, harapan dan lain-lain dan itu berkecamuk jadi satu di dalam hatiku."Iya, Mas."Jawabku lemah."Kau sudah tahu maksudku bukan?""Iya, tahu.""Kau sudah bilang pada Afnan.""Belum."Aku menjawab dengan jujur pertanyaan mas Bara. Aku memang belum mengatakan apa pun terkait tentang permintaan mas Bara untuk membawa Afnan ke rumahnya. Aku tidak tahu harus mengatakan apa pada Afnan. Ada kalanya aku ingin menyinggungkan masalah ini, menyisipkan sedikit saat kami mengobrol bersama tapi sungguh hati ini tidak tega sama sekali. Apa lagi saat kulihat betapa Afnan semakin menyayangi adiknya yang sudah pandai di ajaknya bermain bersama, terlebih saat kudengar untaian doa yang selalu di panjatkan Afnan saat sedang shalat di rumah. Tidak henti-
Pagi ini aku sudah tidak melihat Afnan di tempat tidurnya, hatiku berdebar. Mengapa sepagi ini dia sudah meninggalkan tempat tidurnya?Aku mencoba melihat kamar mandinya, juga sudah kosong tapi lantainya sudah basah dan suhu ruangannya terasa hangat, berarti Afnan sudah mandi pagi.Aku tidak memanggilnya tapi aku terus mencarinya. Sampai lah aku ke halaman depan, aku mengira dia ada janji dengan temannya untuk jalan lagi. Ternyata tidak ada. Sandal yang biasa dipakainya untuk ke luar rumah masih tergeletak di tempatnya. Aku kembali masuk. Terdengar sayup suara lantunan ayat suci Alquran. Siapa yang mengaji, Abid kah? Tentu bukan karena aku tahu Abid belum bangun dari tidurnya."Aamiin ..."Aku melihat Afnan mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajahnya, dia mengakhiri bacaannya."Ya, Allah ... Semoga Ayah dan ibuku selalu Kau beri kesehatan, lindungi lah mereka selalu. Semoga mereka selalu menyayangiku, aku tidak ingin kehilangan cinta ayah dan Ibuku. Jika aku ada kesalahan, semoga m
Abid belum juga kembali. Dadaku terasa penuh sesak. Aku menatap kedua buah hatiku yang sedang terlelap. Wajah-wajah polos tanpa dosa. Haruskah nanti mereka hidup terpisah, apa yang akan aku katakan pada mereka kelak?Aku menghapus air mata yang mengalir begitu saja. Tidak seharusnya aku menangis lagi. Apa kurang cukup untukku bersedih selama ini?Aku bangkit, aku harus melakukan sesuatu sejak dini untuk Afnan. Afnan akan terpisah dariku, dia harus bisa melakukan apa pun tanpaku. Kembali aku meratap. Antara menerima dan melawan perasaan hatiku."Ayo Afnan, kau harus segera bangun. Jangan bermalas-malasan begitu. Saat kau sudah membuka mata, jangan sampai kau menghabiskan waktu dengan berbaring saja. Kau harus segera mengerjakan apa yang seharusnya kau kerjakan.""Tapi aku masih mengantuk, Bu.""Kau sudah bangun dan nanti malam lagi kau bisa tidur dengan waktu yang lebih lama. Kau harus makan dan bersiap ke tempat les.""Iya, Bu."Sebenarnya hatiku sangat sakit saat mengucapkan itu. Bias
Abid menggendong Amayra yang sepertinya mulai mengantuk, sebotol susu mengantarkan tidur Amayra dalam gendongan ayahnya.Aku enggan beranjak meninggalkan Afnan yang sedang bersama mas Bara. Detak jantungku seakan terus berpacu mengiringi obrolan demi obrolan ayah dan anak yang tak satu pun terlewatkan olehku. Aku tidak mau mas Bara mempengaruhi Afnan untuk ikut bersamanya. Sungguh aku tidak akan rela.Sejauh ini sudah banyak yang mereka obrolkan tetapi belum sampai pada kalimat permintaan mas Bara. Aku tidak tahu kenapa. Apa belum saat ini, karena mas Bara merasa masih harus meneruskan masa tahanannya terlebih dahulu. Aku tidak menanyakan kapan dia akan resmi ke luar. Aku membatasi komunikasiku seperti membatasi hubunganku dengannya atau keluarganya."Sudah kamu tidurkan?"Tanyaku pada Abid yang kembali tanpa membawa Amayra."Iya, sudah. Kenapa kau tidak ke belakang sama sekali.""Itu," jawabku sambil mengarahkan daguku pada Afnan yang sedang duduk di pangkuan ayahnya."Kenapa, Afnan t
"Oek ....oek ...."Tepatnya tujuh tahun yang lalu telingaku mendengar jerit tangis bayi yang kulahirkan dan hari ini untuk kedua kalinya aku mendengar jerit tangis itu kembali. Adik Afnan sudah menghirup udara bebas, tangisnya melengking memecah malam. Tepat jam tiga dini hari, bayi mungil berjenis kelamin perempuan hadir ke dunia ini dan menyandang status sebagai putri dari pasangan suami istri Abid dan Aruna.Tidak ada perasaan sedih dan duka nestapa sepeti waktu dulu, hanya ada rasa syukur dan bahagia yang tiada tara untuk kelahiran putri cantikku ini. Abid tidak meninggalkanku barang sedetik pun dari awal aku mulai merasakan kontraksi, dia selalu berada disisiku untuk selalu memberiku support.""Wati, jika bangun nanti bilang pada Afnan, adiknya sudah lahir, perempuan. Minta mang Arman untuk mengantarkan kalian ke rumah sakit ya?"Aku segera menghubungi Wati yang kutinggal di rumah karena harus menjaga Afnan. Aku mengajak Ibu untuk membantuku, ibunya Abid tidak bisa menemaniku kare
Aku hanya bisa menggigit bibir dan sesekali memejamkan mataku, semua terjadi karena pemandangan yang berada di depan mataku. Tingkah Selin membuatku ingin sekali melukis mukanya dengan ribuan s*ya*an. Di dalam dadaku terdengar gemuruh amarah yang saling bersahutan. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Abid berusaha menghindari Selin, Abid tahu aku memperhatikannya dari tempatku ini. Tapi memang Selin yang sengaja bertingkah seperti *alang. Dari pintu masuk kulihat tangan Selin sudah bergelayut manja seperti Abid yang berjalan di sisinya itu adalah suami atau kekasihnya. Aku pun tahu dia sedang menebar pesonanya pada suamiku. "Ini tempat umum, tidak pantas kau seperti ini, Selin.""Ini masih termasuk wilayah pabrik kita. Apa salahnya, bukankah ini ibarat rumah kita sendiri.""Tapi apa kau tak malu, akan banyak yang berpikir negatif tentang kita. Kita ini rekan kerja dan aku adalah pria yang sudah beristri.""Sudah jadi hal yang biasa jika pengusaha muda sepertimu tidak c
Aku mengajak mama masuk, aku ingin segera bertemu mas Bara dan mengakhiri pertemuan hari ini. Aku juga tidak tahu kapan akan bisa bertemu kembali. Tapi yang jelas hari ini aku harus bertemu dengan mas Bara, mantan suamiku. Mas Bara tidak lagi berambut panjang, penampilannya sedikit rapi. Tapi badannya semakin kurus dan tatapannya begitu layu. Mas Bara tersenyum melihat kedatanganku."Apa kabar, Mas?""Seperti.yang kau lihat, bagaimana denganmu?""Sama, seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Aku ke sini karena ingin meminta maaf padamu, aku tidak bisa hadir di persidanganmu Mas. Aku sedang dalam masalah waktu itu.""Tidak apa-apa Aruna, semua sudah selesai.""Dan aku tidak bisa memberikan bantuan untukmu sedikitpun."Mas Bara berdecak, entah kesal entah menyesal. Aku melirik nama Resti yang duduk di sampingku sementara mas Bara ada di hadapanku."Sepertinya tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan mas, aku tadi sudah panjang lebar bercerita dengan Mama. Mama bisa menyambungnya de