Aku semakin ingin selalu dekat dengan mas Bara. Aku ingin merebut perhatiannya yang selalu saja hanya diberikan pada mbak Alya. Apa kurangnya aku hingga aku tidak mendapatkan perhatian dari mas Bara. Mas Bara saja yang belum menyadari kelebihan yang kumiliki dibandingkan dengan mbak Alya.Hari ini aku mendapatkan kesempatan untuk menginap di rumah mbak Alya dengan alasan aku takut terlambat karena mulai hari ini aku menjadi peserta ujian nasional. Selama tiga hari aku diizinkan oleh ayah dan ibu untuk tinggal dirumah mbak Alya.Otakku tak lagi tertuju pada soal ujian yang akan kuhadapi mulai besok tapi aku berpikir bagaimana caranya mencuri perhatian mas Bara. takkan ku sia-siakan kesempatan ini. Aku harus berhasil mendapatkan sesuatu dalam waktu tiga hari ini."Kamu harus jaga dirimu selama di sana, Aruna. Jangan lupa pakai pakaian tertutup dan sopan. Dan belajarlah yang giat agar nilai ujianmu bagus. Jangan kecewakan kakakmu yang akan membiayai kuliahmu nanti.""Iya, Bu. Aku memang h
Sungguh aku tidak bisa lagi melawan rasa yang ada dalam hatiku. Gejolak cintaku pada mas Bara semakin menyala, akan sulit untuk dipadamkan. Bahkan mungkin tidak akan bisa. Aku tahu rasa ini salah, tapi hatiku selalu ingin dan ingin .... dan saat ini semakin ingin. Berawal dari sentuhan-sentuhan kecil yang tidak sengaja, aku semakin dimabukkan oleh perasaan cintaku kepada mas Bara.Apa yang harus kulakukan untuk mendapatkan cinta kakak iparku ini? Tidak mungkin aku memintanya secara baik-baik pada si pemilik. "Ada apa melamun, Aruna?"Tanya mbak Alya yang tiba-tiba datang ke kamarku."Tidak apa-apa, Mbak. Mbak apa perlu bantuan ku?"Tanyaku seolah-olah aku ini adik yang sangat baik kepada kakaknya."Ah, tidak. Sudah selesai pekerjaanku. Malahan aku bingung mau ngapain makanya ke sini. Bagaimana ujianmu, ada kesulitan?""Tidak Mbak, sebelumnya sudah dipelajari semua kok.""Kamu tidak belajar sekarang?""Nanti saja, Mbak. Masih panas otakku ini, nanti terjadi korsleting di kepalaku, Mba
Nasib baik memang sedang berpihak padaku. Di malam terakhir aku menginap di rumah mbak Alya, terjadi sebuah insiden yang tiba-tiba saja terjadi tanpa aku merencanakannya. Ceritanya begini.Sore itu mbak Alya dijemput oleh teman kerjanya dulu untuk acara reuni. Katanya mbak Alya sudah berpamitan pada mas Bara dan mas Bara sepulang kerja akan langsung menjemputnya. Aku di rumah sendirian, awalnya mbak Alya akan meminta anak tetangga untuk menemaniku tapi aku bilang kalau aku tidak takut. Jadilah aku tinggal sendirian di rumah besar ini.Sehabis Maghrib aku langsung membaca buku dan mempelajari mata pelajaran untuk besok. Besok adalah hari terakhir, dan aku akan pulang ke rumahku sendiri. Sepulang dari sekolah aku harus segera bersiap untuk pulang dan mbak Alya sudah berjanji akan mengantarku.Pintu depan di ketuk dan terdengar suara mas Bara memanggil namaku. Kok mas Bara pulang secepat ini, bukannya tadi bilang akan langsung menjemput mbak Alya?Terserahlah, mungkin ini kesempatanku un
Aku tidak tahan lagi untuk tidak bertemu mas Bara, apa lagi sejak ujian nasional berakhir. Aku tidak punya kesempatan lagi untuk berkunjung ke rumah mbak Alya.Kepalaku menjadi sering sakit, dan aku selalu saja marah-marah. Marah kepada siapa pun bahkan tanpa alasan. Ibu jadi sering menghindar dariku, mungkin malas dengan sikap anehku."Benarkah Alya? Selamat kalau begitu. Jaga kesehatanmu, banyak makan dan minum vitaminmu."Aku tak sengaja mendengarkan ibu yang bercakap dengan seseorang di hpnya.Aku tadi kurang jelas mendengarnya, siapa yang disuruh ibu minum vitamin ya? Mungkinkah Bahir? Mereka jarang menelepon, biasanya kalau mbak Alifia melakukan panggilan video call agar bisa melihat semua orang."Kata dokter bayimu sehatkan, Alya?"Apa? Apa aku tidak salah dengar ini, mbak Alya hamil? Bagaimana ini bisa terjadi? Mbak Alya baru saja membangun toko alat kecantikan dan alat sekolah di depan rumahnya, itu pun aku mendengarnya dari ibu. Dan kami semua belum sempat ke sana untuk meli
Sayangnya aku tidak bisa meneruskan misiku pada kesempatan ini, aku harus mengikuti serentetan tes untukku bisa masuk ke universitas pilihanku.Tak mengapa, ini juga salah satu jalanku untuk bisa tinggal abadi di rumah impianku ini.Untuk sementara aku redupkan api yang menyala dalam dadaku. Aku yakin mas Bara sudah mulai mengerti akan diriku. Tergantung dirinya saja bagaimana. Apa dia akan menyambutku atau menolakku. Dan aku janji padamu mas, saat aku kembali akan kuberikan yang lebih hot lagi padamu. Agar kau tahu aku lebih menantang dan lebih menggoda dari saudara tuaku itu.Aku pulang dari kampus dengan rasa yang sangat lelah sekali."Mbak, aku tidak bisa bantu mbak ya. Aku lelah sekali hari ini. Maaf ya Mbak."Terlebih dulu aku akan bilang pada mbak Alya, jadi sebelum pulang ke rumah aku menemui mbak Alya di toko. Mbak Alya merespon dengan sangat santai padahal aku sudah merasa tak enak hati tadi."Tidak apa-apa, aku tahu kau lelah. Istirahatlah. Nanti malam mas Bara akan pulang d
Aku mengelus rambut mbak Alya yang basah oleh keringat, wajahnya pucat pasi dan keadaannya lemah sekali."Yang sabar, Mbak. Aku ikut sedih Mbak. Ini kecelakaan, jangan menyalahkan diri sendiri."Mbak Alya menyesali diri, merasa tidak bisa menjaga calon bayinya. Merasa ceroboh dan tidak hati-hati. Mbak Alya sudah tahu kalau mbak Siti baru saja mengepel lantai tapi dia lewat dengan santai seperti biasanya saja. Tapi tetap saja semua itu kecelakaan bukan? Tidak mungkin mbak Siti ingin membuat mbak Alya celaka atau Mbak Alya sengaja membiarkan dirinya dalam bahaya.Mas Bara masih saja meneteskan air matanya meski berulang kali aku sudah menghiburnya. Tampak sekali ia juga menyesali yang telah terjadi. Ia terlalu berharap banyak pada mbak Alya, ia sangat mendamba kehadiran bayi buah cinta mereka. Dia merasa tidak bisa menjaga istrinya yang sedang mengandung.Ternyata hanya satu hari saja mbak Alya memerlukan pengobatan dan perawatan selanjutnya ia bisa dibawa pulang dengan syarat istirahat
Akhirnya aku merasakan juga hangatnya bibir mas Bara. Dadaku kian bergolak, begitu pun tubuh mas Bara yang menegang. Aku begitu menikmati sentuhannya dan dia begitu juga.Tiba-tiba saja mas Bara mendorong tubuhku, tidak kasar tapi aku merasa sangat tersinggung. Mas Bara munafik, aku tahu dia juga menikmatinya tapi sekarang ia menjauhkan tubuhku dari rengkuhannya tadi. Mas Bara terduduk di lantai. Kulihat diremasnya rambutnya hingga acak-acakan, kudengar juga suara yang keluar dari mulutnya seperti geraman.Marahkah mas Bara padaku? "Pulanglah, Aruna. Alya menunggumu."Ternyata dia masih mau bicara dengan nada lembut padaku, syukurlah mas Bara tidak marah.Aku berlalu meninggalkannya. Pusing, pusinglah situ! Aku tidak peduli. Yang aku tahu, mas Bara tidak menolakku dan aku suka itu.Aku berjalan menuju kamar mbak Alya. Tampaknya dia sudah mandi, penampilannya sudah sedikit segar. Tapi matanya tetap saja sembab. Teruslah begitu, Mbak. Dan mas Bara akan semakin menyadari kalau istrinya
Apa yang harus kulakukan untuk membuat mas Bara semakin tertarik padaku. Rasanya sangat tidak sabar menunggu datangnya waktu untuk mengungkapkan isi hatiku pada mas Bara. Aku sudah tidak mau peduli lagi pada sesuatu yang mungkin akan terjadi jika aku benar-benar memulai hubungan terlarang ini.Kalau mas Bara sudah membalas perasaanku apa lagi yang membuat suatu hubungan terlarang? Orang lain yang akan melarang dan orang lain itu tidak ada hubungannya dengan kami, ya kami itu aku dan mas Bara. Terserah kami mau apa.Aku memeluk mas Bara dari belakang, mas Bara sepertinya terkejud. Dia memegang tanganku yang melingkar di pinggangnya. Perlahan di lepaskan tanganku dengan lembut. Mas Bara membuatku menjadi berhadapan dengannya. Siang ini aku tahu mas Bara akan pulang, jadi aku sudah mengatur semuanya. Mbak Alya yang salah, dia yang memberikan kesempatan ini. Dia meneleponku saat aku masih di kampus. Mbak Alya bilang akan mengajak mbak Siti untuk belanja, katanya banyak barang di toko yang
"Apakah itu kewajibanku, Ayah? Apakah aku harus tinggal bersama Ayah?"Pertanyaan Afnan membuat aku tercekat."Aku ayahmu, Nak. Dan aku ingin sekali merawat dan membesarkanmu. Aku ingin mengurusmu sampai kau dewasa, sampai kau bisa meraih semua yang kau inginkan. Aku tahu kau disini tinggal bersama dengan ibumu. Aku yakin kau tidak kekurangan kasih sayang dari ayahmu. Dan kebahagiaanmu semakin lengkap saat hadirnya adik perempuanmu. Tapi lihatlah ayah, Nak. Aku juga ingin bersama dirimu. Ayah hanya punya Ibu Antika, Oma dan Opa. Ayah ingin ada anak kecil di rumah ayah. Ayah ingin ada yang meneruskan nama ayah kelak. Apa kau merasa keberatan atau ada yang melarangmu untuk ikut dengan ayahmu ini?"Mas Bara sudah memulainya, itu membuat hatiku kian teriris. Aku tidak tega menempatkan Afnan kecilku di posisi ini. Aku yakin dia sedang kebingungan untuk memberikan jawaban untuk ayahnya. Maafkan Ibu Afnan, ibu sudah menyeretmu ke dalam urusan orang dewasa yang seharusnya kau belum boleh menge
"Kenapa Ibu terus memelukku, apa ibu akan pergi meninggalkanku?"Tanya Afnan. "Ibu mau ke mana? Ibu yang takut jika kamu meninggalkan ibu.""Aku anak kecil, Bu. Aku mau ke mana? Kalau aku besar nanti mungkin aku akan meninggalkan ibu untuk pergi ke sekolah tinggi atau pergi bekerja. Kalau sekarang mana mungkin aku pergi Bu. Naik bus sendiri saja aku belum berani."Celoteh Afnan membuatku tersenyum tapi hanya di bibir, nyatanya terasa terluka di hati. Apakah Afnan akan mengucapkan itu saat mas Bara datang menjemputnya besok? Aku tidak berani berharap, mas Bara adalah ayahnya. Mungkin Afnan juga sedang mendamba untuk bisa dekat dekat dengan sosok ayahnya. Meski dia tak pernah mengatakan padaku tapi aku tahu Afnan juga sangat menyayangi ayahnya.Masih terngiang di telingaku kalimat Antika tadi pagi."Hari ini kami menjemput mas Bara, Mbak. Dan tunggu kabar selanjutnya. Kami akan segera datang untuk menjemput Afnan."Aku tidak menjawab Antika. Dan kemudian Antika memutuskan sambungan te
"Satu Minggu lagi aku pulang, Aruna."Kalimat yang seharusnya biasa saja di terima oleh telingaku demikian pun saat tersampaikan ke syaraf otakku. Tetapi tidak seperti yang kurasakan. Di dalam kalimat sederhana itu tersimpan ribuan pertanyaan, kemungkinan, harapan dan lain-lain dan itu berkecamuk jadi satu di dalam hatiku."Iya, Mas."Jawabku lemah."Kau sudah tahu maksudku bukan?""Iya, tahu.""Kau sudah bilang pada Afnan.""Belum."Aku menjawab dengan jujur pertanyaan mas Bara. Aku memang belum mengatakan apa pun terkait tentang permintaan mas Bara untuk membawa Afnan ke rumahnya. Aku tidak tahu harus mengatakan apa pada Afnan. Ada kalanya aku ingin menyinggungkan masalah ini, menyisipkan sedikit saat kami mengobrol bersama tapi sungguh hati ini tidak tega sama sekali. Apa lagi saat kulihat betapa Afnan semakin menyayangi adiknya yang sudah pandai di ajaknya bermain bersama, terlebih saat kudengar untaian doa yang selalu di panjatkan Afnan saat sedang shalat di rumah. Tidak henti-
Pagi ini aku sudah tidak melihat Afnan di tempat tidurnya, hatiku berdebar. Mengapa sepagi ini dia sudah meninggalkan tempat tidurnya?Aku mencoba melihat kamar mandinya, juga sudah kosong tapi lantainya sudah basah dan suhu ruangannya terasa hangat, berarti Afnan sudah mandi pagi.Aku tidak memanggilnya tapi aku terus mencarinya. Sampai lah aku ke halaman depan, aku mengira dia ada janji dengan temannya untuk jalan lagi. Ternyata tidak ada. Sandal yang biasa dipakainya untuk ke luar rumah masih tergeletak di tempatnya. Aku kembali masuk. Terdengar sayup suara lantunan ayat suci Alquran. Siapa yang mengaji, Abid kah? Tentu bukan karena aku tahu Abid belum bangun dari tidurnya."Aamiin ..."Aku melihat Afnan mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajahnya, dia mengakhiri bacaannya."Ya, Allah ... Semoga Ayah dan ibuku selalu Kau beri kesehatan, lindungi lah mereka selalu. Semoga mereka selalu menyayangiku, aku tidak ingin kehilangan cinta ayah dan Ibuku. Jika aku ada kesalahan, semoga m
Abid belum juga kembali. Dadaku terasa penuh sesak. Aku menatap kedua buah hatiku yang sedang terlelap. Wajah-wajah polos tanpa dosa. Haruskah nanti mereka hidup terpisah, apa yang akan aku katakan pada mereka kelak?Aku menghapus air mata yang mengalir begitu saja. Tidak seharusnya aku menangis lagi. Apa kurang cukup untukku bersedih selama ini?Aku bangkit, aku harus melakukan sesuatu sejak dini untuk Afnan. Afnan akan terpisah dariku, dia harus bisa melakukan apa pun tanpaku. Kembali aku meratap. Antara menerima dan melawan perasaan hatiku."Ayo Afnan, kau harus segera bangun. Jangan bermalas-malasan begitu. Saat kau sudah membuka mata, jangan sampai kau menghabiskan waktu dengan berbaring saja. Kau harus segera mengerjakan apa yang seharusnya kau kerjakan.""Tapi aku masih mengantuk, Bu.""Kau sudah bangun dan nanti malam lagi kau bisa tidur dengan waktu yang lebih lama. Kau harus makan dan bersiap ke tempat les.""Iya, Bu."Sebenarnya hatiku sangat sakit saat mengucapkan itu. Bias
Abid menggendong Amayra yang sepertinya mulai mengantuk, sebotol susu mengantarkan tidur Amayra dalam gendongan ayahnya.Aku enggan beranjak meninggalkan Afnan yang sedang bersama mas Bara. Detak jantungku seakan terus berpacu mengiringi obrolan demi obrolan ayah dan anak yang tak satu pun terlewatkan olehku. Aku tidak mau mas Bara mempengaruhi Afnan untuk ikut bersamanya. Sungguh aku tidak akan rela.Sejauh ini sudah banyak yang mereka obrolkan tetapi belum sampai pada kalimat permintaan mas Bara. Aku tidak tahu kenapa. Apa belum saat ini, karena mas Bara merasa masih harus meneruskan masa tahanannya terlebih dahulu. Aku tidak menanyakan kapan dia akan resmi ke luar. Aku membatasi komunikasiku seperti membatasi hubunganku dengannya atau keluarganya."Sudah kamu tidurkan?"Tanyaku pada Abid yang kembali tanpa membawa Amayra."Iya, sudah. Kenapa kau tidak ke belakang sama sekali.""Itu," jawabku sambil mengarahkan daguku pada Afnan yang sedang duduk di pangkuan ayahnya."Kenapa, Afnan t
"Oek ....oek ...."Tepatnya tujuh tahun yang lalu telingaku mendengar jerit tangis bayi yang kulahirkan dan hari ini untuk kedua kalinya aku mendengar jerit tangis itu kembali. Adik Afnan sudah menghirup udara bebas, tangisnya melengking memecah malam. Tepat jam tiga dini hari, bayi mungil berjenis kelamin perempuan hadir ke dunia ini dan menyandang status sebagai putri dari pasangan suami istri Abid dan Aruna.Tidak ada perasaan sedih dan duka nestapa sepeti waktu dulu, hanya ada rasa syukur dan bahagia yang tiada tara untuk kelahiran putri cantikku ini. Abid tidak meninggalkanku barang sedetik pun dari awal aku mulai merasakan kontraksi, dia selalu berada disisiku untuk selalu memberiku support.""Wati, jika bangun nanti bilang pada Afnan, adiknya sudah lahir, perempuan. Minta mang Arman untuk mengantarkan kalian ke rumah sakit ya?"Aku segera menghubungi Wati yang kutinggal di rumah karena harus menjaga Afnan. Aku mengajak Ibu untuk membantuku, ibunya Abid tidak bisa menemaniku kare
Aku hanya bisa menggigit bibir dan sesekali memejamkan mataku, semua terjadi karena pemandangan yang berada di depan mataku. Tingkah Selin membuatku ingin sekali melukis mukanya dengan ribuan s*ya*an. Di dalam dadaku terdengar gemuruh amarah yang saling bersahutan. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Abid berusaha menghindari Selin, Abid tahu aku memperhatikannya dari tempatku ini. Tapi memang Selin yang sengaja bertingkah seperti *alang. Dari pintu masuk kulihat tangan Selin sudah bergelayut manja seperti Abid yang berjalan di sisinya itu adalah suami atau kekasihnya. Aku pun tahu dia sedang menebar pesonanya pada suamiku. "Ini tempat umum, tidak pantas kau seperti ini, Selin.""Ini masih termasuk wilayah pabrik kita. Apa salahnya, bukankah ini ibarat rumah kita sendiri.""Tapi apa kau tak malu, akan banyak yang berpikir negatif tentang kita. Kita ini rekan kerja dan aku adalah pria yang sudah beristri.""Sudah jadi hal yang biasa jika pengusaha muda sepertimu tidak c
Aku mengajak mama masuk, aku ingin segera bertemu mas Bara dan mengakhiri pertemuan hari ini. Aku juga tidak tahu kapan akan bisa bertemu kembali. Tapi yang jelas hari ini aku harus bertemu dengan mas Bara, mantan suamiku. Mas Bara tidak lagi berambut panjang, penampilannya sedikit rapi. Tapi badannya semakin kurus dan tatapannya begitu layu. Mas Bara tersenyum melihat kedatanganku."Apa kabar, Mas?""Seperti.yang kau lihat, bagaimana denganmu?""Sama, seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Aku ke sini karena ingin meminta maaf padamu, aku tidak bisa hadir di persidanganmu Mas. Aku sedang dalam masalah waktu itu.""Tidak apa-apa Aruna, semua sudah selesai.""Dan aku tidak bisa memberikan bantuan untukmu sedikitpun."Mas Bara berdecak, entah kesal entah menyesal. Aku melirik nama Resti yang duduk di sampingku sementara mas Bara ada di hadapanku."Sepertinya tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan mas, aku tadi sudah panjang lebar bercerita dengan Mama. Mama bisa menyambungnya de