Share

Berikan Suamimu Untukku, Mbak
Berikan Suamimu Untukku, Mbak
Author: Tutyas

1. Aruna

Author: Tutyas
last update Last Updated: 2023-10-09 20:25:30

"Aruna itu cantik, tinggi dan pandai bergaul."

"Iya, dia itu si bungsu penyempurna kakak-kakaknya. Alifia cantik tapi pendek. Alya kurang menarik, postur tubuhnya saja yang bagus."

"Dan Aruna punya sisi positif keduanya ditambah sifatnya yang ceria dan enerjik."

Tetangga sibuk menggunjingkanku saat usiaku menginjak dewasa ini, dan aku suka sekali dengan pujian mereka.

Namaku Aruna, aku kelas tiga SMA. Aku adalah anak bungsu, kakak pertamaku sudah menikah dan kakak kedua juga akan segera menikah.

Pernikahan mbak Alifia dan mas Bilal yang diadakan di rumah ini enam tahun yang lalu belum juga terhapus dalam ingatanku. Pesta yang lumayan meriah dan sangat mengesankan. Kakak sulungku mendapatkan suami dari luar pulau, hubungan mereka terjalin karena perkenalan melalui sosial media. Tidak ada yang menduga jika mas Bilal benar-benar serius mempersunting mbak Alifia menjadi istrinya. Seminggu setelah pesta, pasangan pengantin baru itu harus meninggalkan rumah ini. Semua karena pekerjaan mas Bilal yang tidak bisa ditinggalkan lama-lama.

Katanya Mas Bilal mempunyai kebun sawit yang luasnya berhektar-hektar, semuanya digarap oleh orang. Mas Bilal tetap bekerja mengawasi pekerjaan mereka. Selain itu mas Bilal mempunyai pondok pesantren yang dipimpinnya langsung. Meskipun tidak terlalu besar tapi mas Bilal tidak bisa meninggalkan santrinya. Para santri itu membutuhkannya sebagai pimpinan pondok.

Satu tahun menikah mereka dikaruniai putra yang diberi nama Bahir. Menurutku kehidupan mbak Alifia sudah terjamin di sana. Mas Bilal mampu memberikan kesejahteraan untuk keluarga kecilnya.

"Jangan pakai celana pendek seperti itu, tidak baik dilihat oleh calon keluarga besar Ibu," seperti biasa ibu selalu mengaturku. Padahal aku ingin tampil seksi disaat acara pertunangannya mbak Alya.

"Iya, iya."

Aku bersungut dan masuk ke kamar untuk menuruti ibu.

Mbak Alya adalah putri kedua keluarga kami, sama seperti mbak Alifia, mbak Alya juga mempunyai sifat pendiam dan pemalu. Aku juga tidak habis fikir, gadis lugu seperti mbak Alya bisa memikat hati mas Bara.

"Kenapa bukan aku saja yang dipilih Mas Bara untuk jadi istrinya, ya? Aku kan lebih cantik dari Mbak Alya."

Aku bicara sendiri saat tahu hubungan mereka benar-benar sudah masuk kejenjang serius.

Mas Bara adalah putra tunggal dari keluarga kaya yang terkenal sangat baik hati dan dermawan. Usia mas Bara sama dengan mbak Alifia, tiga puluh tahun. Sementara mbak Alya berusia dua puluh lima tahun. Perkenalan mereka berawal dari saat mbak Alya bekerja di salah satu toko milik keluarga mas Bara. Setelah lulus sekolah mbak Alya memang memutuskan untuk langsung bekerja. Takdir baik menyapa mbak Alya, putra bos besarnya ternyata menaruh hati padanya.

Mbak Alya menerima cinta mas Bara dan kemudian mereka memutuskan untuk menikah. Empat tahun mbak Alya bekerja dengan giat dan jujur di toko mas Bara. Ternyata mbak Alya mendapatkan perhatian khusus dari mas Bara dan kedua orang tuanya. Mereka sepakat untuk melamar mbak Alya yang hanya dari keluarga ekonomi kelas menengah ke bawah. Mbak Alya sangat beruntung, menjadi menantu keluarga kaya raya. Selain tampan dan baik, mas Bara adalah pewaris tunggal kekayaan keluarganya.

Di usianya yang masih muda mas Bara pun sudah terjun ke dunia bisnis. Mengelola beberapa toko di bawah bimbingan dan pengawasan Pak Hardiyanto, nama papanya mas Bara. Nama yang sangat terkenal di daerah kami juga beberapa daerah sekitarnya. Pengusaha sukses yang memiliki toko yang berada di beberapa tempat.

Sementara keluargaku hanyalah keluarga sederhana dan tidak mempunyai keistimewaan apa-apa. Ayahku bekerja sebagai buruh harian lepas dan ibuku penjual kue keliling. Kami tiga bersaudara dari kecil sudah diajari hidup hemat, supaya kami bisa bersekolah seperti teman yang lainnya.

Ayah dan ibu bekerja keras setiap hari hanya demi mencukupi kebutuhan keluarga yang sangat sederhana ini. Kami hanya memikirkan bagaimana caranya bisa makan sehari-hari dan membayar uang sekolah. Masalah membeli pakaian belum tentu kami mampu selain membeli seragam sekolah dan pakaian lebaran.

Kendaraan pribadi pun kami tidak memilikinya meskipun hanya sepeda motor. Pergi ke mana-mana kami menggunakan jasa kendaraan umum.

Setelah mbak Alifia tinggal di Kalimantan barulah ayah bisa membeli sepeda motor. Kendaraan satu-satunya itu digunakannya untuk pulang dan pergi bekerja. Tempat kerja ayah tidak menentu, tergantung di mana tenaganya dibutuhkan. Mas Bilal dan mbak Alifia mengirim sejumlah uang yang katanya hasil dari panen sawitnya. Ayah kemudian menggunakan uang itu untuk membeli satu unit sepeda motor. Aku ingin sekali memakai sepeda motor itu ke sekolah tapi tak seorang pun di rumah ini mengizinkan.

Menjelang pernikahan mbak Alya timbul masalah baru, ayah tidak mau menggunakan uang tabungan mbak Alya yang nyata-nyata sudah diserahkannya. Aneh sekali. Aku tidak mengerti mengapa ayah lebih memilih menjual sepeda motornya untuk mengadakan pesta pernikahan mbak Alya. Padahal uang tabungan mbak Alya sudah lebih dari cukup. Apa lagi kalau hanya untuk mengadakan acara seperti acara pernikahan mbak Alifia dulu. Menurutku aku juga sudah besar tapi sampai saat ini aku tidak mengerti dengan keputusan ayah itu.

"Jangan dijual motornya, Yah. Aruna saja tidak boleh pakai, ini malah mau dipakai buat biaya pernikahan mbak Alya."

"Diam, Aruna. Kamu belum tahu apa-apa."

"Aku pakai tidak boleh, malah mau dijual. Mbak Alya kan punya uang sendiri, calon suaminya juga kaya. Kok malah Ayah yang sibuk keluarkan biaya."

"Aruna!"

"Huh!"

Aku merasa dongkol, awas nanti!

Sampailah pada hari yang sangat dinantikan oleh mbak Alya dan keluarga ini. Pernikahan mbak Alya dan mas Bara berlangsung. Acara demi acara berjalan lancar, dan yang terpenting mereka sudah sah menjadi suami istri. Mbak Alifia, mas Bilal dan keponakan terganteng bernama Bahir pun akhirnya berpamitan pulang sehari setelah acara usai.

"Kenapa pakai kaos yang ketat seperti itu, nanti kita makan malam ada Bara juga."

"Memang kenapa, Bu. Mas Bara kan sudah jadi saudaraku, aku ini adiknya juga."

Aku tidak mempedulikan ibu, tetap memakai kaos dan celana yang ketat. Aku suka memakainya, tubuhku akan terlihat seksi dan lebih menarik.

Rumah kembali sepi, tidak ada lampu yang bersinar terang benderang, acara musik yang menggema dan hiruk pikuk para tetangga yang berpartisipasi menyelenggarakan pesta. Pesta pernikahan mbak Alya sudah berakhir. Tinggallah lima orang yang sedang menikmati makan malam dengan saling diam, ayah, ibu, mbak Alya, mas Bara dan aku. Tidak ada seorang pun diantara kami yang membuka pembicaraan. Hanya sesekali terdengar suara denting sendok yang beradu dengan piring. Mungkin karena masih dalam suasana baru, mas Bara pun hanya diam sambil menikmati makan malamnya.

Sesekali aku melirik ipar baruku yang orang kaya itu. Dalam hati aku berkata, apa cocok makan malam ini di lidahnya dan betah kah dia tinggal di rumah yang sempit dan minim fasilitas ini?

Ayah dan ibu meninggalkan meja setelah menyelesaikan makannya, biasanya mereka akan duduk berdua di teras sambil mengobrol. Aku tidak tahu topik pembicaraan mereka.

"Mas Bara sudah selesai makannya, sini biar aku bereskan. "

Aku mencoba mencuri perhatian ipar baruku yang tampan ini, eh ... mas Bara malah cuek saja.

"Tidak usah, aku bisa sendiri."

Jawabnya tanpa memandang ke arahku. Padahal tadi aku sengaja memakai kaos ketat yang menunjukkan lekuk tubuhku supaya mas Bara melihat aku lebih menarik dari mbak Alya.

Aku pun meninggalkan ruang makan menuju ruang tengah yang bersebelahan dengan ruang makan ini.

Aku melihat mbak Alya membereskan peralatan makan dan membersihkan meja. Tunggu .... tunggu, apa yang kulihat ini? Saat mbak Alya membersihkan meja, mas Bara yang mencuci piring, sendok dan gelas kotor bekas makan malam kami. Aku pura-pura melihat ke televisi saat mata mbak Alya memergokiku. Aku malu sudah memperhatikan kedua pasangan pengantin baru itu.

"Kamu tidak belajar?"

Tanya mbak Alya sambil menghampiriku, kemudian dia duduk di sebelahku.

Aku mengatur posisi dudukku agar menarik perhatian mas Bara dan dia akan ikut duduk bergabung denganku dan mbak Alya. Aku mencari keberadaan mas Bara.

"Kamu lihat apa?"

Mbak Alya mengagetkanku. Aku tergagap.

Kulihat dari ekor mataku mas Bara sudah masuk kamar mbak Alya, eh kamar mereka. Hah, gagal deh!

"Nggak lah Mbak, nggak ada PR kok."

Jawabku seperti biasanya, dan seperti biasanya juga mbak Alya hanya tersenyum.

"Ya sudah, tapi jangan malam-malam tidurnya. Besok kesiangan. Habis matiin tv, shalat isya langsung tidur ya. Jangan begadang, jangan mainan hape."

"Iya, Mbak."

Dari pada ada perdebatan, lebih baik aku iyakan saja nasihat basi mbak Alya.

"Mbak mau ke kamar dulu ya, Aruna?"

Aku mengangguk.

Wah, pengantin baru nih. Mbak Alya pasti sangat bahagia menghabiskan malam ini bersama mas Bara. Duh, enak ya kalau sudah menikah. Pasti mbak Alya tidak akan mau bekerja lagi setelah menikah. Mas Bara pasti akan memberikan uang yang banyak setiap bulannya, pasti terjamin hidup mbak Alya nanti.

"Mengapa bukan aku saja yang mendapatkan nasib baik seperti mbak Alya, huh!"

Mbak Alifia sudah menikah dan mendapatkan kehidupan lebih baik, begitu pun dengan mbak Alya. Terus aku?

Related chapters

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   2. Mas Bara

    Sial sekali aku pagi ini, setelah menunggu mbak Alya yang mandi pagi lama sekali malah ganti mas Bara yang masuk kamar mandi. Aku menghentakkan kaki dengan kesal, sangat tidak berperasaan. Aku juga mau sekolah dan hari ini piketku, aku harus datang ke sekolah lebih awal. Ini aku malah dihadapkan pada proses menunggu untuk yang kedua kalinya. Mana mas Bara pun ternyata mandinya juga lama seperti mbak Alya. Apa sih yang mereka bersihkan sampai begitu lamanya di kamar mandi yang hanya satu-satunya di rumah ini.Mas Bara keluar kamar mandi hanya memakai celana pendek dan handuk yang melingkar di lehernya. Dadanya hampir terlihat sempurna, gila! Aku membuang muka. Tanpa bicara aku pun ngeloyor masuk ke kamar mandi.Bayangan tubuh mas Bara yang atletis menggodaku. Rambutnya yang basah dan tetesan air yang membasah di pundaknya kemudian mengalir ke lengannya yang kekar terus saja membayangiku. Sial, kenapa aku jadi memikirkan fisik suami kakakku.Air dingin mengguyur tubuhku. Rasa dingin bers

    Last Updated : 2023-10-09
  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   3.Abid

    "Hai Aruna, siapa yang mengantarmu?"Abid menyambut kedatanganku di depan pagar sekolah dengan pertanyaannya, aku melengos."Mbak Alya dan suaminya."Jawabku sambil terus melangkah dan tanpa menoleh sedikit pun. Abid berjalan sejajar denganku, menyamai langkahku."Mbak Alya yang kemarin menikah ya?"Tanyanya lagi, aku mengangguk. Aku sudah cuek pada Abid tapi terus saja dia bicara di sampingku. Dan kurasa pembicaraannya sangat tidak penting dan menggangguku."Bisa nggak sih kamu diam?"Terlontar juga akhirnya kata yang kusimpan sejak tadi untuk Abid. Aku sebenarnya sudah jengkel, tapi aku hanya diam. Berharap Abid akan mengerti dan menjauhiku. Ternyata tidak, dia terus saja berceloteh sambil mengiringi langkahku. Abid berhenti, aku melihat ke arahnya. Walaupun hanya sekilas aku bisa melihat kekecewaan di raut wajahnya."Maaf Bid, Aku buru-buru mau piket."Kataku kemudian, aku hendak melanjutkan langkahku yang terhenti."Aku akan membantumu."Tak bisa lagi aku berkata-kata, membiarkan A

    Last Updated : 2023-10-09
  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   4. Perasaan Apa Ini

    "Aruna...."Terdengar suara mbak Alya di luar kamar, aku malas menjawab. Terdengar ketukan pintu sebanyak tiga kali."Aruna .... Apa kamu tidur?"Kembali mbak Alya memanggilku disertai pertanyaan yang tidak masuk akal, masa iya orang tidur ditanyai."Aruna, ayo makan. Tadi aku beli lauk dari rumah makan kesukaanmu."Nah, kan. Aku tidak menyahut masih saja dipanggil, tapi tawaran mbak Alya meluluhkan rasa malasku berinteraksi dengannya. "iya, Mbak."Masih dengan keadaan yang berantakan aku bukakan pintu untuk mbak Alya. "Kamu ini tidur apa nggak sih, aku panggil dari tadi diam saja." Protes mbak Alya. Aku nyengir kuda."Mau tidur, tapi nggak jadi. Ayo kita makan saja Mbak.""Ya, ayo tapi benerin dulu itu pakaianmu. Itu, tu .... kancingnya ada yang belum betul."Mbak Alya menunjuk ke arah bajuku yang memang tidak benar aku memakainya tadi."Hehehehe."Aku tertawa sembari mengancingkan bajuku dan membenarkan posisi celanaku yang agak melorot."Rambutnya ditali, jangan seperti itu, nanti

    Last Updated : 2023-10-09
  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   5. Pindah Rumah

    Hari ini mas Bara mulai bekerja kembali, ia terlihat semakin tampan dengan pakaian resminya. Aku menelan ludah saat mencuri pandang ke arah iparku yang terasa istimewa ini. Mbak Alya tampak sibuk membantu mas Bara bersiap."Apa kamu mau berangkat bersama Mas Bara, Aruna?"Tanya mbak Alya saat kami berada dalam satu meja makan, menikmati sarapan buatan ibu. Ibu sengaja memasak pagi-pagi supaya semua bisa sarapan. Ibu sendiri sudah sarapan bersama bapak tadi, untuk kemudian berangkat berjualan.Sebenarnya aku senang sekali dengan penawaran ini, tapi aku tidak ingin terlihat murahan dengan menumpang kendaraan mas Bara."Mbak Alya bisa saja, tujuan kami beda Mbak. Nanti Mas Bara bisa terlambat kalau harus mengantarku dulu.""Tidak apa-apa, cuma sedikit masuk gang saja, mungkin cuma butuh waktu tujuh menit."Aku tidak menyangka mas Bara bicara seperti itu, berarti mas Bara mau mengantarku ke sekolah, yess!"Baiklah, kalau tidak merepotkan."Jawabku dengan rasa girang di dalam hati. Kali ini

    Last Updated : 2023-10-09
  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   6. Selalu Ingin ke Sana

    Rumah mbak Alya bagus sekali, terletak di tepi jalan besar lagi. Mas Bara memang paling jitu menentukan pilihan, kecuali memilih istri.Aku semakin tidak percaya saja pada keadilan Tuhan, mengapa mbak Alya yang dikasih rezeki secara bertubi-tubi. Terus mana bagianku? Dari zaman dahulu kehidupan pahit ini yang kurasakan, tidak ada perubahan sama sekali."Wah, bagus sekali rumahmu, Mbak. Bolehkan aku menginap disini."Aku tak bosan-bosannya melihat ke sana dan ke mari. Rumah yang bagus, interior yang cantik dan perabot yang semuanya baru membuatku betah di rumah ini."Boleh saja."Jawab mbak Alya enteng."Kamu ini. Terus ayah sama ibu sama siapa?"Ibu yang menjawabku dengan ketus."Ya ayah sama ibu, memangnya kenapa kalau nggak ada aku."Ucapku tak kalah ketus."Kamu ini kalau dibilang sama orang tua, Mbakmu kan masih pengantin baru.""Lah terus kenapa, Bu. Di sini ada banyak kamar, kan aku tidak mungkin tidur sekamar sama mbak Alya."Ibu sepertinya benar-benar marah padaku, mukanya tamp

    Last Updated : 2023-10-18
  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   7. Aku Benar-Benar Jatuh Cinta

    Acara syukuran rumah barunya mbak Alya dan mas Bara sudah selesai. Ibu dan ayah pulang karena pagi-pagi sekali ayah harus berangkat kerja bersama teman-temannya. Ibu harus memasak bekal untuk ayah."Kasihan Mbak Alya kalau harus sendirian membereskan ini semua, Bu."Aku mencari alasan untuk diizinkan menginap di rumah mbak Aya."Tapi kamu nggak bawa seragam sekolahmu, tas dan juga sepatumu bagaimana?""Aku nanti telepon Arum, Bu. Besok Arum akan membawakannya ke sini."Akhirnya ibu menyerah, bisa jadi bukan karena rengekanku tapi karena kasihan melihat mbak Alya yang pasti nanti kelelahan untuk membereskan perabot rumahnya.Ibu dan ayah pulang diantarkan oleh mas Bara, sementara aku dan mbak Alya memulai pekerjaan yang sebenarnya tidak aku sukai ini. Tapi mau bagaimana lagi karena pekerjaan ini aku diizinkan ibu menginap di rumah baru yang bagus ini.Aku dan mbak Alya mengelap piring, gelas, sendok dan lain-lainnya. Kemudian memasukkannya ke kotaknya masing-masing dan menyimpannya di t

    Last Updated : 2023-10-18
  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   8. Cemburu

    Sebenarnya tadi aku mau langsung pulang ke rumah dengan menumpang sepeda motor Arum tetapi aku teringat baju kotorku yang masih kutinggal di dalam kamar rumah mbak Alya. Aku harus mengambilnya.Cuaca terik membuatku sedikit pusing, mungkin juga karena semalam aku kurang tidur.Aku memasuki halaman rumah, sepi. Sedang apa mbak Alya di dalam? Aku memanggilnya tapi tidak ada sahutan. Mungkin mbak Alya sedang di belakang atau sedang tidur siang.Bahkan di dalam rumah pun sepi juga, suara televisi juga tidak terdengar.Langkahku pelan menuju kamar yang kupakai. Belum sampai tujuan, aku mendengar suara dari arah kamar mbak Alya yang memang harus kulewati untuk mencapai kamarku yang terletak agak di belakang.Suara-suara yang membuat telingaku memanas. Memang dasar keterlaluan, ini kan siang hari, mana panas lagi. Mbak Alya pasti sedang bersama mas Bara, tut ... kena sensor. Aku sudah dewasa, aku sudah tau apa arti suara-suara itu. Kuhentakkan kaki ke lantai dengan kesal. Mas Bara begitu say

    Last Updated : 2023-10-19
  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   9. Rindu Suami Orang

    Sudah sepuluh hari aku tidak bertemu mas Bara, aku merindukannya. Di rumah aku selalu terbayang wajah tampannya. Apa lagi mengingat kenangan bertabrakan malam itu, dalam hatiku kembali berdesir. Aku ingin sekali memeluk mas Bara, pasti akan terasa nyaman dan hangat. Hah, mas Bara kan suami mbak Alya. Dia pasti sudah damai di dalam pelukan istri tercintanya. Aku saja yang konyol.Semakin aku menepiskan rasa itu dan berusaha berpikir rasional, semakin rasa hatiku bergejolak. Hatiku mengatakan kalau yang sedang kurasakan ini sangat manusiawi. Aku perempuan yang menginjak dewasa, normal kan kalau aku mempunyai perasaan tertarik dengan lawan jenis.Terlebih lagi mas Bara memang lelaki idamanku. Yang ada dalam diri mas Bara semua adalah yang kusuka dari seorang lelaki. Jangan salahkan aku, aku sudah mempunyai poin-poin tersendiri untuk lelaki yang mendekatiku dan itu sudah kutetapkan dari dulu sebelum mengenal mas Bara.Aku juga tidak habis pikir, kriteria lelaki idamanku kok bisa semuanya a

    Last Updated : 2023-10-19

Latest chapter

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   131. Kau Putraku, Afnan.

    "Apakah itu kewajibanku, Ayah? Apakah aku harus tinggal bersama Ayah?"Pertanyaan Afnan membuat aku tercekat."Aku ayahmu, Nak. Dan aku ingin sekali merawat dan membesarkanmu. Aku ingin mengurusmu sampai kau dewasa, sampai kau bisa meraih semua yang kau inginkan. Aku tahu kau disini tinggal bersama dengan ibumu. Aku yakin kau tidak kekurangan kasih sayang dari ayahmu. Dan kebahagiaanmu semakin lengkap saat hadirnya adik perempuanmu. Tapi lihatlah ayah, Nak. Aku juga ingin bersama dirimu. Ayah hanya punya Ibu Antika, Oma dan Opa. Ayah ingin ada anak kecil di rumah ayah. Ayah ingin ada yang meneruskan nama ayah kelak. Apa kau merasa keberatan atau ada yang melarangmu untuk ikut dengan ayahmu ini?"Mas Bara sudah memulainya, itu membuat hatiku kian teriris. Aku tidak tega menempatkan Afnan kecilku di posisi ini. Aku yakin dia sedang kebingungan untuk memberikan jawaban untuk ayahnya. Maafkan Ibu Afnan, ibu sudah menyeretmu ke dalam urusan orang dewasa yang seharusnya kau belum boleh menge

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   130. Tenangkan aku

    "Kenapa Ibu terus memelukku, apa ibu akan pergi meninggalkanku?"Tanya Afnan. "Ibu mau ke mana? Ibu yang takut jika kamu meninggalkan ibu.""Aku anak kecil, Bu. Aku mau ke mana? Kalau aku besar nanti mungkin aku akan meninggalkan ibu untuk pergi ke sekolah tinggi atau pergi bekerja. Kalau sekarang mana mungkin aku pergi Bu. Naik bus sendiri saja aku belum berani."Celoteh Afnan membuatku tersenyum tapi hanya di bibir, nyatanya terasa terluka di hati. Apakah Afnan akan mengucapkan itu saat mas Bara datang menjemputnya besok? Aku tidak berani berharap, mas Bara adalah ayahnya. Mungkin Afnan juga sedang mendamba untuk bisa dekat dekat dengan sosok ayahnya. Meski dia tak pernah mengatakan padaku tapi aku tahu Afnan juga sangat menyayangi ayahnya.Masih terngiang di telingaku kalimat Antika tadi pagi."Hari ini kami menjemput mas Bara, Mbak. Dan tunggu kabar selanjutnya. Kami akan segera datang untuk menjemput Afnan."Aku tidak menjawab Antika. Dan kemudian Antika memutuskan sambungan te

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   129. Kubawa Pada Siapa Luka ini

    "Satu Minggu lagi aku pulang, Aruna."Kalimat yang seharusnya biasa saja di terima oleh telingaku demikian pun saat tersampaikan ke syaraf otakku. Tetapi tidak seperti yang kurasakan. Di dalam kalimat sederhana itu tersimpan ribuan pertanyaan, kemungkinan, harapan dan lain-lain dan itu berkecamuk jadi satu di dalam hatiku."Iya, Mas."Jawabku lemah."Kau sudah tahu maksudku bukan?""Iya, tahu.""Kau sudah bilang pada Afnan.""Belum."Aku menjawab dengan jujur pertanyaan mas Bara. Aku memang belum mengatakan apa pun terkait tentang permintaan mas Bara untuk membawa Afnan ke rumahnya. Aku tidak tahu harus mengatakan apa pada Afnan. Ada kalanya aku ingin menyinggungkan masalah ini, menyisipkan sedikit saat kami mengobrol bersama tapi sungguh hati ini tidak tega sama sekali. Apa lagi saat kulihat betapa Afnan semakin menyayangi adiknya yang sudah pandai di ajaknya bermain bersama, terlebih saat kudengar untaian doa yang selalu di panjatkan Afnan saat sedang shalat di rumah. Tidak henti-

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   128. Maafkan Ibu

    Pagi ini aku sudah tidak melihat Afnan di tempat tidurnya, hatiku berdebar. Mengapa sepagi ini dia sudah meninggalkan tempat tidurnya?Aku mencoba melihat kamar mandinya, juga sudah kosong tapi lantainya sudah basah dan suhu ruangannya terasa hangat, berarti Afnan sudah mandi pagi.Aku tidak memanggilnya tapi aku terus mencarinya. Sampai lah aku ke halaman depan, aku mengira dia ada janji dengan temannya untuk jalan lagi. Ternyata tidak ada. Sandal yang biasa dipakainya untuk ke luar rumah masih tergeletak di tempatnya. Aku kembali masuk. Terdengar sayup suara lantunan ayat suci Alquran. Siapa yang mengaji, Abid kah? Tentu bukan karena aku tahu Abid belum bangun dari tidurnya."Aamiin ..."Aku melihat Afnan mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajahnya, dia mengakhiri bacaannya."Ya, Allah ... Semoga Ayah dan ibuku selalu Kau beri kesehatan, lindungi lah mereka selalu. Semoga mereka selalu menyayangiku, aku tidak ingin kehilangan cinta ayah dan Ibuku. Jika aku ada kesalahan, semoga m

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   127. Bersiap Untuk Berpisah

    Abid belum juga kembali. Dadaku terasa penuh sesak. Aku menatap kedua buah hatiku yang sedang terlelap. Wajah-wajah polos tanpa dosa. Haruskah nanti mereka hidup terpisah, apa yang akan aku katakan pada mereka kelak?Aku menghapus air mata yang mengalir begitu saja. Tidak seharusnya aku menangis lagi. Apa kurang cukup untukku bersedih selama ini?Aku bangkit, aku harus melakukan sesuatu sejak dini untuk Afnan. Afnan akan terpisah dariku, dia harus bisa melakukan apa pun tanpaku. Kembali aku meratap. Antara menerima dan melawan perasaan hatiku."Ayo Afnan, kau harus segera bangun. Jangan bermalas-malasan begitu. Saat kau sudah membuka mata, jangan sampai kau menghabiskan waktu dengan berbaring saja. Kau harus segera mengerjakan apa yang seharusnya kau kerjakan.""Tapi aku masih mengantuk, Bu.""Kau sudah bangun dan nanti malam lagi kau bisa tidur dengan waktu yang lebih lama. Kau harus makan dan bersiap ke tempat les.""Iya, Bu."Sebenarnya hatiku sangat sakit saat mengucapkan itu. Bias

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   126. Permintaan yang Berat

    Abid menggendong Amayra yang sepertinya mulai mengantuk, sebotol susu mengantarkan tidur Amayra dalam gendongan ayahnya.Aku enggan beranjak meninggalkan Afnan yang sedang bersama mas Bara. Detak jantungku seakan terus berpacu mengiringi obrolan demi obrolan ayah dan anak yang tak satu pun terlewatkan olehku. Aku tidak mau mas Bara mempengaruhi Afnan untuk ikut bersamanya. Sungguh aku tidak akan rela.Sejauh ini sudah banyak yang mereka obrolkan tetapi belum sampai pada kalimat permintaan mas Bara. Aku tidak tahu kenapa. Apa belum saat ini, karena mas Bara merasa masih harus meneruskan masa tahanannya terlebih dahulu. Aku tidak menanyakan kapan dia akan resmi ke luar. Aku membatasi komunikasiku seperti membatasi hubunganku dengannya atau keluarganya."Sudah kamu tidurkan?"Tanyaku pada Abid yang kembali tanpa membawa Amayra."Iya, sudah. Kenapa kau tidak ke belakang sama sekali.""Itu," jawabku sambil mengarahkan daguku pada Afnan yang sedang duduk di pangkuan ayahnya."Kenapa, Afnan t

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   125. Biarkan Semua Berlalu

    "Oek ....oek ...."Tepatnya tujuh tahun yang lalu telingaku mendengar jerit tangis bayi yang kulahirkan dan hari ini untuk kedua kalinya aku mendengar jerit tangis itu kembali. Adik Afnan sudah menghirup udara bebas, tangisnya melengking memecah malam. Tepat jam tiga dini hari, bayi mungil berjenis kelamin perempuan hadir ke dunia ini dan menyandang status sebagai putri dari pasangan suami istri Abid dan Aruna.Tidak ada perasaan sedih dan duka nestapa sepeti waktu dulu, hanya ada rasa syukur dan bahagia yang tiada tara untuk kelahiran putri cantikku ini. Abid tidak meninggalkanku barang sedetik pun dari awal aku mulai merasakan kontraksi, dia selalu berada disisiku untuk selalu memberiku support.""Wati, jika bangun nanti bilang pada Afnan, adiknya sudah lahir, perempuan. Minta mang Arman untuk mengantarkan kalian ke rumah sakit ya?"Aku segera menghubungi Wati yang kutinggal di rumah karena harus menjaga Afnan. Aku mengajak Ibu untuk membantuku, ibunya Abid tidak bisa menemaniku kare

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   124. Aku Bukan Aruna yang Dulu

    Aku hanya bisa menggigit bibir dan sesekali memejamkan mataku, semua terjadi karena pemandangan yang berada di depan mataku. Tingkah Selin membuatku ingin sekali melukis mukanya dengan ribuan s*ya*an. Di dalam dadaku terdengar gemuruh amarah yang saling bersahutan. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Abid berusaha menghindari Selin, Abid tahu aku memperhatikannya dari tempatku ini. Tapi memang Selin yang sengaja bertingkah seperti *alang. Dari pintu masuk kulihat tangan Selin sudah bergelayut manja seperti Abid yang berjalan di sisinya itu adalah suami atau kekasihnya. Aku pun tahu dia sedang menebar pesonanya pada suamiku. "Ini tempat umum, tidak pantas kau seperti ini, Selin.""Ini masih termasuk wilayah pabrik kita. Apa salahnya, bukankah ini ibarat rumah kita sendiri.""Tapi apa kau tak malu, akan banyak yang berpikir negatif tentang kita. Kita ini rekan kerja dan aku adalah pria yang sudah beristri.""Sudah jadi hal yang biasa jika pengusaha muda sepertimu tidak c

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   123. Pilihan Hidup

    Aku mengajak mama masuk, aku ingin segera bertemu mas Bara dan mengakhiri pertemuan hari ini. Aku juga tidak tahu kapan akan bisa bertemu kembali. Tapi yang jelas hari ini aku harus bertemu dengan mas Bara, mantan suamiku. Mas Bara tidak lagi berambut panjang, penampilannya sedikit rapi. Tapi badannya semakin kurus dan tatapannya begitu layu. Mas Bara tersenyum melihat kedatanganku."Apa kabar, Mas?""Seperti.yang kau lihat, bagaimana denganmu?""Sama, seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Aku ke sini karena ingin meminta maaf padamu, aku tidak bisa hadir di persidanganmu Mas. Aku sedang dalam masalah waktu itu.""Tidak apa-apa Aruna, semua sudah selesai.""Dan aku tidak bisa memberikan bantuan untukmu sedikitpun."Mas Bara berdecak, entah kesal entah menyesal. Aku melirik nama Resti yang duduk di sampingku sementara mas Bara ada di hadapanku."Sepertinya tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan mas, aku tadi sudah panjang lebar bercerita dengan Mama. Mama bisa menyambungnya de

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status