Terdengar suara ledakkan dari lantai tiga dan dalam sekejap kanopi yang dipijak Dean runtuh, semua tim penyelamat yang berada di sekitar bangunan segera menjauh. Dua orang perawat menyeret Hanna agar menjauh dari lokasi."DEAN! DEAN!" teriak Hanna histeris.Hanna berusaha lari tapi kekuatan dua orang yang menahannya tidak sebanding dengannya. Hanna terisak dengan air mata berlinang setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri Dean terjatuh dan tertimpa reruntuhan bangunan."Tenanglah, Nona! Tim pemadam akan membantu mengeluarkan temanmu." Salah seorang perawat mencoba menenangkan Hanna.Beberapa petugas pemadam kebakaran berlari menghampiri tempat jatuhnya Dean dan menyingkirkan reruntuhan yang menimpa tubuhnya."Kami butuh brangkar, cepat!" teriak salah seorang petugas yang berhasil menemukan tubuh Dean.Tim medis segera berlari membawa brangkar ambulan, sedangkan dua perawat yang awalnya memegangi Hanna bersiap memasang oksigen. Hanna berlari menghampiri petugas yang sedang menyela
Di pinggir tempat tidur pasien, Hanna menyandarkan tubuh dengan lengan yang menopang kepalanya. Sudah dua malam dia tidak bisa memejamkan mata karena khawatir dengan kondisi Dean. Meski dokter bilang sudah banyak kemajuan, namun setelah tiga malam di ruang perawatan Dean belum juga sadarkan diri.Cahaya matahari yang menyusup dari balik tirai membelai kelopak kedua mata Dean. Pemilik mata hazel itu mengerjap karena terusik dengan hangatnya sinar matahari pagi yang menyorot ke dalam kamar.Ketika Dean berhasil membuka matanya dengan sempurna, dia berusaha mengingat apa yang telah terjadi dengan dirinya. Dean memandangi langit-langit putih ruang perawatan rumah sakit, bau khas rumah sakit membawa ingatannya pada Hanna.Teriakan Hanna, suara sirine ambulan juga suara hiruk pikuk tim medis yang berusaha menyelamatkannya berputar kembali di kepalanya."Han ... Hanna ...." Dean berusaha menggerakkan tangannya, dia tahu Hanna ada di dekatnya. Dengan ujung jemarinya dia bisa merasakan bulatan
"Sudah mendapatkan rumah untukku, Kevin?" Kevin datang ke rumah sakit tepat ketika Dean sedang menyantap makan siangnya."Fawaz Al Hokair akan menjual propertinya." Kevin mengeluarkan ipad dan menunjukkan gambar-gambar properti yang dimaksud pada Dean.Sebuah penthouse dengan interior yang sangat megah. Dindingnya didominasi kaca dengan pemandangan tiga ratus enam puluh derajat kota New York, termasuk Central Park.Apartemen tersebut berada di 432 Park Avenue, Midtown Manhattan, New York. Pemilik apartemen tersebut adalah Fawaz Alhokair, seorang pengusaha real estate asal Saudi."Hanna memiliki acrophobia¹, sedangkan apartemen itu terletak di lantai sembilan puluh enam, apa menurutmu itu aman untuknya?" tanya Dean dengan mata yang masih sibuk melihat-lihat interior apartemen itu."Ah, terkait itu. Kurasa kamu perlu membawa Hanna konseling ke psikolog. Menurutku dia perlu terapi untuk mengobati anxiety yang dideritanya. Dia juga pasti memiliki trauma dengan pernikahannya."Dean lantas m
Tok tok tok!"Hanna?""Ya, Dean. Tunggu sebentar." Hanna segera memasangkan pin di kerudungnya, kemudian beranjak membukakan pintu untuk Dean.Lima menit kemudian Hanna keluar dari kamarnya dan mendapati Dean sedang berdiri di depan pintu kamar hotel. Dean memandangi Hanna dari ujung kepala sampai ujung kaki."Dimana mantelmu?" tanya Dean setelah mendapati ada yang kurang di tubuh Hanna."Astaghfirullah, maaf aku lupa." Hanna menepuk keningnya lalu masuk kembali untuk mengambil mantelnya.Setelah Hanna siap dengan mantelnya kemudian mereka bergegas masuk ke dalam lift."Kita akan kemana?" tanya Hanna."Aku ingin mengajakmu makan malam di luar." Dean memencet tombol lift yang akan membawa mereka ke lantai dasar."Kenapa bukan makan malam di hotelmu saja? Bukankah lebih hemat?" usul Hanna."Hahaha ... Hanna kita sudah terlalu lama di dalam hotel, aku butuh suasana baru. Apa kamu kedinginan? Di luar sedang turun salju." Dean mengikatkan simpul pada syal Hanna."Sedikit, aku harus terbias
'Kreeek'Dua pintu kamar yang bersebelahan itu terbuka secara bersamaan. Hanna menatap Dean dengan setelan jas yang sangat rapi. Pria itu lalu mengenakan mantel coklat tua yang dipegangnya. Nampaknya Dean akan pergi ke suatu tempat pagi-pagi sekali."Hanna, maaf aku harus terbang ke Kanada," kata Dean sambil mengancingkan mantelnya."Hemm ...."Hanna bergumam menanggapi perkataan Dean. Dia merasa tidak punya wewenang untuk bertanya lebih jauh mengingat dia belum menjadi istrinya."Safe flight." Hanya dua kata itu yang terucap dari bibirnya."Cuma itu?" Dean merengut mendengar ucapan Hanna, yang dia harapkan adalah rentetan pertanyaan dari wanita yang sebentar lagi akan menjadi istrinya."Memangnya aku harus berkata apa?" Hanna dengan sebelah tangannya yang masih memegang handle pintu bertanya.Dean menghampiri Hanna lebih dekat, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana lalu mencondongkan tubuhnya."Aku ingin mendengar pertanyaan, pergi untuk apa? pergi dengan siapa? bla bla bla
Dada Hanna mulai terasa sesak, di tengah kesadarannya yang menipis dia berusaha meraup udara di sekelilingnya, meski bau apek dari kayu yang sudah lapuk terasa menggerogoti paru-parunya.Hanna memejamkan matanya, merasakan kebas di jari-jari tangannya dan sensasi dingin yang menusuk sampai ke dalam tulang. Dia mengingat kembali masa-masa yang telah dilaluinya. Wajah ibu dan adiknya melintas di pikirannya, dia ingin tetap hidup untuk mereka tapi dingin yang menusuk membuat napasnya semakin tercekik.Dengan bibir yang bergetar dia berusaha melafazhkan kalimat tauhid. Dia mungkin pernah lolos dari maut, namun kali ini dia tak yakin dirinya akan selamat.*****Di parkiran Nick berkali-kali menengok jam tangannya, hampir tiga puluh menit tapi majikannya belum juga kembali dari toilet. Salju mulai turun lagi, sehingga Nick memutuskan untuk masuk ke dalam supermarket.Nick mengedarkan pandangannya berharap bisa menemukan sosok Hanna, tapi wanita dengan kerudung hitam itu tak nampak batang hid
"AAAAAAAAA ... HANTUUU?!"Lexy mundur beberapa langkah dari tempatnya berdiri. Kakinya tersangkut di permadani sehingga membuat tubuhnya limbung dan terjatuh ke lantai.Brukk ...Lexy jatuh terduduk dengan ponsel yang masih menyala di dalam genggamannya. Napasnya tersengal, dadanya naik turun serta kedua matanya terbelalak. Tangannya yang gemetar mengangkat ponsel yang digenggamnya."Aku harus menghubungi seseorang ...." Peluh membanjiri wajah Lexy, kedua kakinya masih terasa lemas karena ketakutan sehingga dia tak mampu bangkit dari tempatnya terjatuh.Lexy berusaha mundur dengan menyeret bokongnya, mencari tempat agak jauh tapi masih tetap bisa melihat sosok yang masih terduduk di kursi itu. Lexy takut jika sosok itu tiba-tiba bangun dan membunuhnya.Dia menatap ponselnya hendak menghubungi 911, namun ternyata dia justru mendapat panggilan telepon dari Kevin."Ha-hallo K-Kevin," ucap Lexy gagap. Napasnya masih terengah-engah hingga menimbulkan kecurigaan pada Kevin."Kamu kenapa, L
Di hari kedua Hanna sudah sadar sepenuhnya, namun kondisi tubuhnya masih lemah. Dokter memberi perintah pada perawat untuk melepas kabel dan selang yang menempel di tubuh Hanna, mereka kemudian memindahkan gadis itu ke ruang perawatan biasa.Dean menghampiri Hanna yang sedang memejamkan matanya. Hanna tidak sedang terlelap sehingga dia tahu seseorang mendekatinya."Maafkan aku, Hanna. Ini semua karena aku. Aku adalah penyebab hingga kamu seperti ini"Bulir-bulir hangat meluncur dari sudut mata Hanna, masih dengan mata terpejam dia bergumam, "Terlalu mahal harga yang harus kubayar untuk bisa bersamamu, Dean."Kepala Dean tertunduk, kedua matanya memanas, dadanya bergemuruh. Dia berusaha sekuat tenaga menahan dirinya agar tidak meneteskan air mata . Dari lubuk hatinya yang paling dalam, Dean sangat takut Hanna akan menyerah lalu meninggalkannya. Tapi dia juga tidak ingin membuat gadis itu menderita karenanya.Hanna membuka matanya, menatap Dean yang sedang tertunduk lesu. Seolah-olah ga
Assalamu'alaikum. Hallo Readers, Terimakasih telah membaca novel "Berdamai dengan Takdir". Kisah di dalam novel ini semata-mata hanyalah fiksi belaka, mohon maaf jika ada kesamaan nama dan tempat. Namun, salah satu tokoh utama di dalam novel ini terinspirasi dari seorang sahabat pena author yang tinggal di Tampa, Florida. Meski dia seorang mualaf tapi pemahaman agamanya tidak diragukan, bahkan author yang muslim sejak lahir banyak belajar agama dari dia. Sejak tahun 2005 author lost contact dengan dia. Terakhir author melihat keberadaannya sekitar tahun 2018 di fanpage sebuah perusahaan di Tampa, tapi sayangnya author tidak berhasil mendapatkan kontaknya. Author sempat menyesal karena tidak banyak bertanya tentang perjalanan hidupnya. Padahal itu bisa author jadikan novel true story. Jadi, mohon maaf author hanya bisa menyajikan cerita fiksi hasil imajinasi author sendiri. Satu harapan author, semoga dia masih dalam keadaan sehat dan istiqomah dengan keislamannya. Salam Lit
Suasana di pemakaman pagi itu tampak suram. Sebagian besar tamu memandang penuh rasa iba pada dua anak yang sedang berdiri bersisian. Mereka baru saja ditinggal kedua orangtuanya di usia yang masih sangat belia. Alexander Slavik, anak tertua Ivander Slavik dengan Alicia Sashenka secara otomatis menjadi kepala keluarga Slavik menggantikan posisi ayahnya. Meski usianya yang baru menginjak delapan belas tahun, Alex harus terjun langsung mengurus beberapa perusahaan peninggalan Ivander Slavik. Di bawah bimbingan Mikhailov Dmitry-asisten mendiang ayahnya, Alex akan memimpin perusahaan minyak terbesar di Rusia. Beruntung selama ini Alex banyak menghabiskan waktunya belajar bisnis bersama ayahnya di tengah kesibukannya mengikuti homeschooling. Alex bersama adik kandungnya-Ruslan Slavik yang usianya hanya terpaut dua tahun maju ke sisi pusara di mana ayah dan ibunya dimakamkan secara berdampingan. Dia kemudian meletakkan rangkaian bunga tulip di atas makam kedua orangtuanya. Begitu juga Rusl
Jet pribadi milik Dean mendarat di Moskow menjelang siang. Istri dan kedua anaknya sudah memakai mantel mereka mengingat saat ini Rusia sudah memasuki musim dingin.Beberapa bodyguard dengan mantel hitam yang diutus Alex tampak berbaris di samping tiga mobil SUV hitam. Mereka menunggu Dean beserta keluarganya turun dari pesawat dan mengantarnya ke mansion Slavik."Kita akan menginap di mana?" bisik Hanna pada suaminya. Mereka berjalan melewati para bodyguard yang membungkukkan badan penuh hormat."Mansion Slavik," jawab Dean sambil mengangguk pada para bodyguard milik Alex. Hanna cukup terkejut dengan jawaban suaminya, tapi dia hanya bisa menurut meski ada rasa takut yang merasuki jiwanya. Dia membayangkan Alexander Slavik adalah sosok yang dingin dan kejam.Iring-iringan mobil itu meninggalkan bandara dan melaju di jalanan kota Moskow yang ditutupi salju putih. Mobil sempat berhenti di depan gerbang besar berwarna hitam sebelum dua orang penjaga membukakan pintu untuk mereka. Setelah
"Berikan tanganmu!" pinta Hanna pada suaminya. Dean mengulurkan tangannya, dan Hanna memasukkan tangan kanan suaminya ke dalam lengan baju. Kemudian memasukkan lengan kiri dan merapikan bagian depannya. Dia lalu menyematkan butir-butir kancing bagian depan dan pergelangan tangannya. Hanna mengambil sebuah dasi berwarna biru metalik dari dalam salah satu laci, kemudian memasangkannya di leher Dean dengan apik. "Sampai jam berapa rapatnya?" tanya Hanna sambil membuat simpul dasi di leher suaminya. Dean tampak menawan dalam balutan jas dan kemeja berwarna biru tua senada dengan dasinya. Rambut halus di dagunya menambah kemaskulinan dalam dirinya. "Aku usahakan tidak sampai malam." Dean membingkai wajah Hanna lalu memberikan kecupan yang dalam di keningnya. Dia tahu istrinya sedang mengkhawatirkan dirinya, maka dia melakukan hal itu untuk menenangkannya. "Pastikan dua bodyguard mu selalu bersamamu. Aku tidak ingin kejadian kemarin terulang lagi." Dean terkekeh mendengar nada cemas istr
Samar-samar Dean bisa mendengar suara dengung di depan bangunan tempat dia dan Noura disekap. Setelah hening beberapa saat, telinga Dean kembali menangkap suara gemerincing rantai yang membelenggu pintu.Sinar matahari yang menyilaukan masuk ke dalam ruangan hingga membuat Dean menyipitkan mata. Kedua tangannya secara refleks mengangkat untuk menghalangi cahaya yang menyorot matanya.Dean bisa melihat dua sosok anak kecil memasuki satu-satunya pintu."Menjauhlah dari perempuan itu, Dad! Kami tidak suka melihatmu dekat-dekat dengan dia," kata Ethan dengan suara tegasnya. Sedangkan Elena memberengut sambil mengepalkan kedua tangannya.Melihat betapa marahnya kedua anak itu lantas Dean mengangkat kepala Noura dan meletakkannya di lantai. Dia lalu menggeser tubuhnya agar menjauh dari wanita itu.Setelah ayahnya membuat jarak dengan Noura lantas Elena membuka tasnya, mengambil sebotol air mineral dan meminumkannya pada Dean. Ethan memeriksa kondisi ayahnya dan segera mencari alat untuk mem
"Saya sudah menemukannya." Mark berhasil memindai lokasi terakhir mobil Dean. Dia lalu menyimpannya di ponsel dan bergegas meninggalkan apartemen."Aku akan menemanimu, Mark." Nick hendak bangkit mengikuti langkah Mark."Kau terluka, Nick. Tetaplah di sini," pinta Hanna yang merasa tidak tega melihat kondisi Nick."Tidak apa-apa, Nyonya. Berbahaya jika Mark pergi sendiri. Jika terjadi sesuatu, salah satu dari kami bisa pergi mencari bantuan." Nick berusaha meyakinkan Hanna dengan argumennya."Baik. Tetaplah berhati-hati, segera berkabar jika sudah menemukan suamiku."Hanna kemudian melepas kepergian dua pengawalnya. Apartemen mulai terasa hening kembali setelah kepergian Nick dan Mark. Sedangkan Grace membenahi segala peralatan yang baru saja dipakai untuk mengobati luka Nick."Ingin kubuatkan teh, Nyonya? Atau Anda ingin istirahat dulu?" tanya Grace sebelum meninggalkan Hanna di ruang tengah sendirian."Tolong buatkan aku teh hijau, Grace. Aku masih ingin di sini menunggu dua pengawal
"Alexander Slavik," desis Noura dengan mimik wajah ketakutan.Noura tentu mengenal baik pemilik wajah itu. Pria berdarah Rusia dengan iris mata berwarna hijau masih memiliki hubungan darah dengan mantan suaminya, Ruslan Sashenka alias Ruslan Slavik."Noura Al Khudr. Putri tunggal sekaligus ahli waris Rasyid Al Khudr, pendiri perusahaan Mideast Oil Company." Pria dengan setelan jas hitam itu menatap Noura dengan tatapan benci dan merendahkan."Apa lagi yang kau inginkan, Alex? Hubunganku dengan adikmu sudah berakhir. Kau juga tidak perlu melibatkan Dean. Semua ini tidak ada hubungan dengannya." Kedua netra Noura mulai berkaca-kaca sedangkan napasnya mulai menderu, hampir saja dia tidak bisa mengendalikan rasa takutnya.Alexander Slavik? Kakak kandung Ruslan Sashenka? Batin Dean menggaung, mengulang-ulang dua nama itu yang terdengar familiar."Noura Al Khudr ... aku berusaha menerima kenyataan ketika adikku memutuskan untuk memeluk Islam demi bisa menikah denganmu. Aku pun bisa menerima
"Apakah akan pulang malam lagi? tanya Hanna sambil memasangkan dasi di leher suaminya."Semoga tidak, tapi sampai sekarang belum ada keputusan siapa yang akan memimpin perusahaan." Dean menatap lekat wajah istrinya yang tampak fokus dengan dasi di tangannya. Wajah serius Hanna memang sangat menggemaskan hingga Dean tak bisa menahan diri untuk tidak mengecup hidung istrinya."Sabarlah ... sedikit lagi." Hanna berusaha mengelak dari tingkah usil suaminya. Dean hanya terkekeh sambil memandang istrinya."Jangan menunggu jika aku pulang malam. Kau pasti sangat lelah mengurus anak-anak. Kamu harus cukup istirahat." Dean mengalihkan pandanganya ke cermin, menatap dasi yah sudah dipakaikan Hanna."Bagaimana dengan makan malam? Sekarang ini kita lebih sering melewatkan makan malam bersama. Anak-anak sering menanyakan keberadaanmu," keluh Hanna pada suaminya.Dean mengangkat tangan kanannya lalu membelai pipi istrinya. Dia pun merasa bersalah karena terlalu sibuk dengan pekerjaan hingga melewatk
Setelah mengantar Ethan dan Elena pulang ke apartemen mereka, Steve kembali ke hotel tempat pesta itu diselenggarakan. Dia bersikap seolah-olah tidak pernah bertemu dua anak kembar milik Dean dan Hanna.Hal yang pertama kali dilihatnya saat memasuki ballroom adalah sosok cantik Hanna masih duduk sendirian di mejanya, sedangkan Dean masih sibuk berbincang bersama Rasyid dan putrinya. Nampaknya dua orang pengusaha yang tadi membersamai mereka sudah beranjak ke perkumpulan yang lain.Alunan musik Timur Tengah masih menghentak di dalam ruangan. Steve melirik Dean yang masih serius berbincang dengan Rasyid. Nampaknya aman jika Steve menghampiri Hanna barang sejenak. Dia lalu melangkahkan kakinya ke meja tempat Hanna berada.Steve mengambil segelas minuman dari seorang pelayan yang lewat di depannya."Selamat malam, boleh saya duduk di sini?"Mendengar seseorang menyapanya lantas Hanna menoleh. Dia melihat Steve yang berdiri di sisi meja sambil menggenggam segelas minuman."Silakan. Tapi mu