Naura melangkah turun dari mobil begitu sampai di Mansion Tirta. Matanya melihat sekilas ke arah deretan mobil yang tak asing di halaman depan Mansion nya. Sepertinya tetua Tirta datang berkunjung. Naura melangkah masuk dengan tenang, sebelum semakin masuk, langkah Naura terhenti kala mendengar percakapan dari ruang tengah. "Anda tahu jelas, nyonya besar. Mengadopsi anak sebagai putra pertama sangatlah berisiko, tidak ada pemimpin Tirta yang pernah melakukan hal seperti ini. Keputusan nyonya Tirta sangat mengkhawatirkan." "Saya setuju, nyonya besar. Anda harus bisa membujuk nyonya Tirta lebih lagi, karena kalau tidak--""Kenapa?" Potong Naura, dia bergegas melangkah masuk dan menatap satu persatu wajah para tetua.Para tetua itu dengan cepat menundukkan pandangannya, namun tak lama mereka kembali menatap Naura perlahan. "Apa itu adalah bayi yang akan Anda adopsi, nyonya?" tanya sang tetua. Naura mengangguk. "Ya, namanya Aran."Tiga orang tetua yang datang berkunjung itu pun sege
"Tapi dengan satu syarat." Naura menatap satu persatu wajah yang telah menentang keputusannya. "Syarat?" ucap salah satu tetua. Naura mengangguk. "Anak ini tetap berstatus sebagai anak angkat ku, tetapi dia akan dirawat jauh dari Mansion ini. Dia akan mendapatkan fasilitas dan tanggungan penuh dari Tirta dan Renjana, namun tidak akan ikut campur dalam hal bisnis keluarga apa lagi kursi pemimpin." Para tetua dengan cepat saling tatap, raut wajah mereka terlihat khawatir meskipun Naura sudah mengatakan akan menempatkannya jauh dari pusat. Tetapi melihat raut wajah Naura yang tidak bisa lagi diajak bernego, ketiga tetua itu pun akhirnya menghela napas tipis. Salah satu dari mereka yang duduk di tengah pun bicara. "Baiklah, nyonya. Sepertinya kami memang tidak bisa membujuk lebih Anda lagi." Naura tidak menjawab, matanya hanya menatap para tetua dengan dingin. Perlahan suasana berubah canggung, Naura pun tiba-tiba berdiri. "Jika tidak ada lagi yang perlu dibahas, silahkan para tet
Keesokan paginya sebelum berangkat ke kantor, Naura bersama Mela dan Kate berdiri di halaman depan Mansion Tirta. Setelah berdiskusi semalaman, mereka sepakat akan menitipkan Aran pada salah satu pelayan senior yang baru saja pensiun. Naura tak melepas pandangannya dari awal ia menggendong Aran pagi ini, perasaannya terasa campur aduk. Mbok Erna, dia lah yang akan merawat Aran menggantikan Naura. Tak lama mobil Arjuna tiba, mereka semua hanya menunggu kedatangan pria itu untuk menyerahkan Aran bersama ke mbok Erna. "Saya titip Aran, mbok Erna," ucap Naura setelah Arjuna mulai bergabung dan kini berdiri tepat di sampingnya. Mbok Erna mengangguk lazim. "Sebuah kehormatan saya, nyonya. Terima kasih telah mempercayakan, saya." Naura balas mengangguk juga, matanya memperhatikan Aran yang kini telah berada di gendongan mbok Erna. "Jika terjadi sesuatu tolong segera hubungi saya," ujar Arjuna sambil menyerahkan kartu namanya. "Baik, tuan," balas mbok Erna sambil menanggapi kartu nam
Setelah berpamitan dengan Arjuna, Naura turun dari mobil dan hendak melangkah masuk. Di pintu lobby sudah muncul Kate yang tiba sepuluh menit lebih cepat, entah kecepatan seperti apa yang wanita itu gunakan karena perlu mengantar Damian dulu ke kantor Renjana. "Nyonya," sapa Kate seperti biasa, Naura pun hanya mengangguk karena suasana hatinya masih belum begitu baik. Mereka bergegas melangkah masuk, di tengah jalan keduanya berpapasan dengan wajah yang tak asing. Stave? Tangan kanan Zafir, untuk apa dia di sini?"Nyonya Tirta," sapa Stave dengan senyum dan sedikit membungkuk. Naura berhenti melangkah, kepalanya mengangguk singkat untuk menerima sapaan Stave. "Apa ada pembahasan yang belum tuntas mengenai pembatalan kerjasama Tirta dan Wajendra?" tanya Naura langsung. Stave tersenyum karier lebih dalam, lalu menggeleng pelan. "Kebetulan sekali saya bertemu nyonya di sini, namun tujuan saya kemari bukan untuk membahas pembatalan kerjasama, nyonya.""Lalu?" tanya Naura lagi langs
Jam pulang kerja tiba, Naura dijemput oleh Arjuna. Arjuna membukakan pintu untuk Naura dari dalam mobil, Naura pun tersenyum menyapanya. "Kamu sudah menungguku lama?" tanya Naura khawatir. Arjuna menggeleng. "Bukan hal penting." Bibirnya balas tersenyum tipis. Setelah Naura menutup pintu dan memakai aman seat belt-nya, Arjuna pun mulai menginjak pedal gas untuk keluar dari kawasan kantor Tirta. Di dalam mobil, Arjuna menyodorkan air putih untuk Naura. "Kamu terlihat lelah hari ini, semuanya berjalan baik-baik saja?" tanya Arjuna, matanya masih fokus menatap ke jalanan. Naura mengangguk. "Aku baik-baik saja, benarkah seterlihat lelah itu?"Arjuna balas mengangguk juga. "Lumayan. Apa jadwalmu setelah ini?" "Mengurus urusan yang tersisa, masih ada tiga jadwal rapat lagi sampai akhirnya rencana matang dan proses produksi benar-benar berjalan. Bagaimana denganmu?" jawab Naura. Arjuna menoleh sekilas ke arah Naura sebelum menjawab. "Dalam waktu dua minggu ini sepertinya kita tidak
Suasana ballroom hotel terasa sangat ramai dan megah. Naura berbincang dengan beberapa tamu yang ia kenal, setelah menginjakkan kaki di dalam gedung, Naura sengaja memisahkan diri dari Zafir. Saat ia tengah menikmati minuman yang disuguhkan pelayan yang berkeliling, tiba-tiba suara keributan yang nyaring terdengar muncul. Suara gelas yang dilempar kasar ke lantai hingga pecah tak terbentuk itu berhasil mencuri perhatian seluruh tamu. Mereka berusaha mencari asal sumber suara bantingan gelas tersebut. Belum selesai terkejut, suara teriakan wanita penuh amarah pun muncul. "BERANI-BERANINYA KAMU MUNCUL DI HADAPANKU! RENDAHAN!" Naura melipat keningnya, dia kenal suara itu. Tiara Bara. Tapi kenapa wanita itu berteriak marah?"MENJAUH DARI SUAMIKU SEKARANG JUGA!""KAU! KEMARI! KAMU LEBIH MEMILIH WANITA ITU DARIPADA AKU, ISTRIMU?!""BERHENTI MENJADI GILA, TIARA!" balas sang pemilik suara berat dengan tak kalah tinggi, pria itu adalah suami Tiara Bara. Naura menaikkan alis kirinya. Ap
"Baiklah, sudah cukup." Zafir tiba-tiba berdiri, membuat semua yang duduk menatapnya termasuk Naura. "Nyonya Tirta sudah cukup memberikan kesaksiannya, kami juga tidak bisa mencampuri masalah ini lebih dalam lagi. Saya juga merasa keberatan jika acara besar Wajendra terganggu, mohon pengertiannya," timpal Zafir lagi, lalu menatap Naura dan mengulurkan tangan ke arahnya. "Mari, nyonya." Zafir tersenyum menatap Naura. Naura menatap dingin uluran Zafir, namun dia tidak bisa menolak karena jika ditolak, Naura lah yang akan dianggap tidak sopan. Naura menerima uluran tangan Zafir, dia ikut berdiri dan kemudian melangkah bersama meninggalkan ruangan. Belum tiba di ambang pintu, Naura dengan cepat melepas genggaman tangan Zafir. "Terima kasih," ucap Naura singkat, lalu hendak berjalan lebih cepat. Tetapi siapa yang menyangka, Zafir justru mengimbangi langkah cepatnya. "Bagaimana kabarmu?" tanya Zafir saat mereka berjalan cepat beriringan, nada dan gaya bicara pria itu telah berubah.
Begitu tiba di Mansion Tirta, Naura bergegas hendak turun, namun gerakannya tertahan karena tiba-tiba Kate memanggilnya. "Nyonya, maaf tunggu sebentar." Dari arah kursi kemudi Kate menatapnya dengan kening terlipat. "Ada apa?" tanya Naura bingung. "Ada sesuatu di bagian belakang Anda," jawab Kate, membuat Naura menaikkan alis kirinya dan kembali mengubah posisinya.Kate berusaha meraih benda itu dari Naura, lalu dia menatap bingung ke benda tersebut. "Gelang?" ucapnya heran. Naura menanggapi gelang itu saat Kate menyodorkannya, matanya memperhatikan gelang tersebut tak kalah heran. Dari mana munculnya gelang perak ini? Namun saat sisi satunya dibalik, ukiran nama yang tak asing pun muncul. Naura menghela napas gusar setelah membacanya. Zevan Wajendra. Bagaimana bisa gelang anak itu bisa menyangkut di bajunya?"Gelang ini milik tuan muda Wajendra?" tanya Kate tak mengerti, kemudian mendengus tipis. "Kenapa tuan Wajendra tidak mengajarkan putranya sopan santun? Anda bukan lagi
Setelah menolak permintaan Tiara untuk bercerai, sang presiden pun meninggalkan kediaman Bara. Asisten pribadi Tiara, Vivi, dengan cepat berlarian ke arah atasannya dan membantu wanita itu berdiri. Vivi menangis deras, sejak awal dia dilarang masuk oleh penjaga pintu dan langsung syok begitu pintu terbuka melihat Tiara yang terkapar lemas penuh darah di lantai. "Nyonya, hati-hati..." Vivi berusaha menahan air matanya agar tidak menangis lagi. Tiara tersenyum tipis ke arah Vivi, saat menyadari bawahannya itu menangis, Tiara dengan cepat berkata,"Aku belum mati."Vivi tidak menjawab, dia tahu hal itu. Tetapi melihat sosok Tiara yang terkapar lemas dengan darah tentu saja dia sangat cemas. Ketika hendak melangkah keluar, tiba-tiba saja Sela mendekat ke arahnya. "Nyonya, Anda baik-baik saja?" tanya Sela dengan raut wajah polos. "Sela, kemari. Tidak perlu mempedulikan wanita itu, dia sudah berbuat jahat padamu," ujar Jovan yang berdiri tak jauh dari mereka. Sela menggeleng cepat. "
Keringat dingin menetes di lantai kediaman keluarga Bara.Tiara berlutut denga kepala tertunduk dalam, di depannya duduk seorang pria paruh baya dengan badan gempal yang memegang cambuk. Di sebelahnya terdapat Jovan yang duduk di sofa, Sela ikut duduk di sana sambil memeluk erat lengan suaminya dengan wajah ketakutan. Jovan tersenyum puas melihat Tiara yang berlutut tak berkutik, inilah akibat dari melawan kata-katanya. "Aku sudah pernah memberi peringatan padamu sebelumnya, bukan? Mengapa kamu melanggar perintah ku?" ucap presiden dengan nada bicara yang dingin. Tak pernah ada yang tahu sosok mengerikan kepala negara yang satu ini. Dia selalu tersenyum ramah di hadapan para rakyat, bahkan jika Tiara berteriak lari keluar untuk meminta pertolongan tak akan ada yang percaya. "Saya tidak mengerti maksud Anda, bapak Presiden." CTAK!Presiden mengayuhkan kasar cambuk itu ke lantai, membuat Tiara mengepalkan kedua tangannya dengan mata terpejam. "Tidak tahu malu!" ucap presiden sam
"Ada apa, nyonya?" tanya Kate penasaran saat mereka telah berada di dalam mobil menuju Mansion Tirta. "Nyonya Bara menitipkan pesan pada pelayan tadi menggunakan kertas ini," ucapnya sambil menunjukkan kertas yang sudah dia remas kuat tadi. "Dia hanya mengatakan ada sesuatu yang berada di luar perkiraan serta memintaku untuk terus percaya serta dan tidak khawatir," lanjut Naura. Kate mengerutkan keningnya. "Jadi 'beliau' yang dimaksud pelayan tadi adalah nyonya Bara?" tanyanya syok dan menambahkan,"Lalu bagaimana dengan luka memar dan cambuknya? Itu juga nyonya Bara?"Naura mengangguk singkat, hatinya semakin merasa khawatir. "Nyonya, bukankah ini sudah masuk ke dalam tindakan kekerasan?" tanya Kate khawatir. Naura tidak menjawab, dia juga tahu hal itu.Melihat Naura yang tidak merespon, Kate yang sudah kalut khawatir pun kembali bicara. "Sepertinya masalah ini memang sangat berbahaya, nyonya. Mengingat Presiden bahkan mampu membungkam keluarga Bara yang berada diurutan kelima,
Naura melangkah masuk ke dalam Mansion Tirta begitu tiba. Malam ini otaknya tidak bersahabat untuk diajak beristirahat, kepalanya masih penuh dengan Tiara. Meskipun masalah itu bukan urusannya, Naura tetap merasa tidak tenang untuk Tiara. Dia pernah berada di posisi rumit seperti itu seorang diri, tidak ada yang membantunya hingga rasanya seperti tercekik ingin mati. Menghela napas tipis, Naura duduk di kursi kerjanya. Malam ini terasa jauh lebih hening dibanding biasanya. Kate sudah pamit pergi sebelum Naura masuk ke dalam ruang kerja, kini dirinya benar-benar sendirian mengurus pekerjaan. Naura memeriksa ponselnya terlebih dahulu sebelum memulai fokusnya pada layar komputer. Tidak ada pesan atau panggilan apa pun dari Arjuna, sepertinya pria itu mulai kembali sibuk.Meletakkan ponselnya kembali ke atas meja, Naura meregangkan tubuhnya sebelum bekerja. Tiga jam lebih, wanita itu bahkan tidak menggeser pandangannya dari layar komputer selain untuk menyeruput teh yang sempat di
Naura melangkah masuk ke sebuah gedung restoran bintang lima tak jauh dari lokasi pertemuan sembilan pilar negara sebelumnya. Saat hampir tiba di area Mansion Tirta, Naura tiba-tiba menerima panggilan dari Tiara. Wanita itu meminta pertemuan secara mendadak malam ini juga. Sampai di dalam restoran, Naura dibawa oleh seorang pelayan wanita menuju ruang VIP tempat Tiara berada. Mereka saling melempar senyum setelah saling melihat. "Selamat datang, nyonya Tirta. Maaf karena saya meminta waktu Anda secara tiba-tiba seperti ini," ucap Tiara dengan raut wajah dan nada bicara tak enak. Naura mengangguk singkat. "Bukan masalah besar, kebetulan sejujurnya saya juga khawatir dengan kondisi Anda."Mendengar Naura yang selalu memperlakukannya dengan baik, senyum dan tatapan mata Tiara berubah sedikit mengabu. Kepalanya tertunduk lemah. "Saya... Merasa malu karena Anda dapat melihat sosok tidak berdaya saya. Saya seorang kepala keluarga wanita, seperti Anda. Tetapi saya lemah dan tidak--""A
"Nyonya Bara." Beberapa penjaga yang bertugas di depan pintu ruang rumah sakit Jovan membungkuk menyapa Tiara. Tiara masuk tanpa menjawab sapaan mereka, raut wajahnya suram menahan amarah. Di dalam dia melihat Jovan tengah mengunyah buah pisang, mata pria itu melirik kedatangan Tiara dengan malas. Mata Tiara menelusuri ruangan itu dengan dingin, sosok Sela entah berada di mana. Wanita itu sepertinya ditahan petugas agar tidak mendekat pada Jovan untuk sementara waktu. "Nyonya Bara yang terhormat mengunjungiku?" ucap Jovan dengan nada sarkas. Tiara tidak membalas dan memilih duduk dengan tenang di sofa. "Bagaimana kondisimu?""Apa itu penting? Bukankah ini yang kau mau?" balas Jovan, menatap penuh kebencian pada Tiara. Tiara mengepalkan kedua tangannya. "Kamulah yang memancing emosi tuan Wajendra, semua orang tahu bahwa pria itu masih memiliki perasaan pada nyonya Tirta.""Tidak, bukan salahku. Jika sejak awal kamu tidak mengizinkan nyonya Tirta ikut campur, maka kejadian ini ti
"Aku baru saja selesai menghadiri acara pertemuan sembilan pilar negara, sekarang hendak kembali ke Mansion," ucap Naura di telefon untuk Arjuna sambil terus melangkah menjauh dari ruangan Zafir."Pasti lelah. Pastikan segera beristirahat begitu tiba di Mansion, jika membutuhkan sesuatu aku akan segera--""Tidak perlu khawatir." Potong Naura dengan senyum tipis. "Kamu bisa tenang dan fokus mengurus pekerjaanmu." Hatinya menghangat saat Arjuna masih berusaha selalu ada untuknya meskipun jarak dan waktu mereka yang sangat berbeda. Belum lagi dengan urusan penting pria itu. "Tidak ada pekerjaan yang jauh lebih penting dari dirimu. Tetap hubungi aku jika kamu merasa kesulitan." Arjuna tetap kekeuh pada kalimatnya. Naura menghela napas tipis diam-diam, bibirnya masih tersenyum. Berbicara dengan Arjuna meskipun hanya melalui telefon rasanya berhasil melepas beban berat di pundaknya. Kehangatan pria itu selalu berhasil menyentuhnya di manapun dirinya berada. "Iya..." jawab Naura dengan
Petugas keamanan merangsek masuk, mereka berusaha melerai Zafir yang memukuli Jovan secara membabi buta. Naura mematung di posisinya, memandang syok ke arah Zafir. Kedua tangannya mengepal erat, jantungnya berdegup kencang. "Nyonya Tirta, Anda baik-baik saja?" tanya Tiara setelah menyusul posisi berdiri Naura. Naura tetap mematung memandangi Zafir, tidak menjawab pertanyaan Tiara. Setelah keduanya berhasil dilerai, Zafir dibawa ke ruangan lain untuk diobati. Wajah pria itu dua hingga tiga tempat mengalami memar. Sementara Jovan, hidung dan pelipisnya telah berdarah tak karuan, membuat pria itu perlu dibawa ke rumah sakit. "Tuan!" Suara isak tangis Sela yang menyayat hati menghiasi keributan di hari itu. Tak lama ia menghampiri Tiara setelah dipaksa mundur oleh petugas untuk mendekati Jovan. "Nyonya! Nyonya! Saya mohon... Ini semua... Ini semua salah saya. Jangan lampiaskan--"PLAK!"Tidak tahu malu!" ucap Tiara sambil menampar pipi Sela, kemudian saat hendak menoleh lagi ke N
"Mama papa keren! Keren! Itu mama papa Zevan!" Suara riang anak kecil terdengar begitu musik dansa berhenti. Naura menggenggam erat tangan Zafir, sementara tangannya yang lain memegang bahu pria itu. Zafir pun sama, dia merangkul erat pinggang rampung Naura dan tangan wanita itu. Keduanya saling tatap, Naura masih menatapnya penuh kebencian. Zafir lagi-lagi tidak keberatan.Zevan berlari lincah ke arah mereka, membuat Naura tersadar dan segera melepas pegangannya dari Zafir. "Mama! Mama cantik sekali!" Puji Zevan dengan senyum lebar, membuat Naura tak bisa menahan senyum. "Jangan berlari lagi, Zevan." Naura mencubit hidung anak itu. Tak lama suara tepuk tangan mulai terdengar, lalu menjadi jauh lebih ramai dan meriah dibandingkan tepuk tangan dansa sebelumnya. Naura mulai sadar dan memperhatikan sekitar, semua orang menatap mereka dengan senyuman. Konyol, ini konyol. Saat hendak memutuskan untuk pergi, tiba-tiba saja tak jauh dari posisi mereka terdengar suara teriakan wanit