Naura menghela napas lega setelah mereka berhasil naik ke dalam bus. Arjuna berdiri tepat di belakangnya, tangan kanan pria itu berpegang erat pada genggaman tangan menggantung di bus, sedangkan tangan kirinya berada di atas bahu Naura untuk melindungi wanitanya dari keramaian. Bus sangat penuh, bahkan AC nya sama sekali tak terasa, angin hanya muncul ketika pintu bus dibuka untuk naik dan turun penumpang. "Kamu baik-baik saja?" tanya Arjuna, berbisik. Naura tersenyum tipis sambil mengangguk singkat. "Iya, aku baik-baik saja."Rasa khawatir Arjuna dapat dirasakan langsung oleh Naura, pria itu sering sekali bertanya mengenai keadaannya. Hal ini tak pernah gagal membuatnya tersenyum samar. Naura kemudian mendongak untuk melihat wajah Arjuna yang agak kelelahan, pria itu bercucuran keringat di sekitar dahi. Dengan cepat Naura membuka tas-nya dan mencari sapu tangan, lalu mengelap dahi Arjuna perlahan. "Terima kasih, sayang," ucap Arjuna, membuat Naura tiba-tiba terkekeh. Bahkan s
Naura dan Arjuna tiba di rumah sakit, saat ini keduanya tengah duduk berhadapan dengan dokter. Sang dokter baru saja selesai memeriksa keadaan sang bayi. Setelah menjelaskan apa yang terjadi antara mereka dan bayi itu, sang dokter mengangguk mengerti. "Memang banyak kasus seperti ini di sini," ucap sang dokter wanita paruh baya itu dengan helaan napas di ujungnya. "Banyak? Lalu bagaimana anak-anak mereka?" tanya Naura, ia terkejut bercampur miris. "Macam-macam, nyonya. Ada yang meninggal saat baru dilahirkan, dititipkan ke panti asuhan, atau dibiarkan begitu saja hingga meninggal sendiri." Sang dokter menjawabnya sambil menuliskan resep obat di secarik kertas. Naura mengerutkan keningnya, lalu menatap bayi laki-laki tanpa nama di gendongannya lagi. Mengapa banyak orang yang tak bertanggungjawab seperti itu di dunia ini? Makhluk mungil ini tidak memiliki salah, mereka suci. "Bayinya sehat, saya sudah menuliskan nutrisi yang sekiranya dibutuhkan untuk sang bayi. Pastikan nurtisin
Kembali ke Mansion Renjana, Naura turun dari mobil dibantu Arjuna. "Hati-hati," ucap Arjuna, matanya sibuk memperhatikan sosok Naura yang sibuk menggendong bayi, khawatir wanita itu akan terjatuh dari langkahnya. Naura tersenyum. "Terima kasih."Helena memperhatikan anak dan calon menantunya, bibirnya tersenyum. Apakah ini gambaran untuk satu tahun kemudian? "Butuh bantuan?" tanya Arjuna, dia tidak bisa berhenti khawatir. "Terima kasih, aku baik-baik saja," jawab Naura, kedua tangannya penuh menggendong bayi. Tiba di ruang tengah, mereka semua duduk. Semua mata tertuju pada bayi yang digendong Naura, bahkan para pelayan pun kesulitan menahan rasa penasarannya. Beberapa pelayan ada yang berdiri di balik dinding-dinding tinggi untuk mengintip bayi tersebut. Kedatangan mereka bersama Naura yang menggendong bayi dengan mudah menyebar ke seluruh bagian Mansion dalam hitungan menit. Tidak ada yang berbicara, hanya ada suara tangis bayi yang perlahan mulai mengeras. "Jadi bagaimana
Setelah kepergian Helena, Naura dan Arjuna pun ikut berpisah. Naura memutuskan untuk tidur satu kamar dengan bayi tersebut, sedangkan Arjuna masih perlu pergi ke ruang kerjanya untuk mengurus pekerjaan. Tiba di kamar sang bayi, Naura mempercepat langkahnya mendekati ranjang besar di kamar tersebut karena sang bayi telah menangis sangat kencang. Kamar itu belum dihias apa pun selayaknya kamar bayi pada umumnya, hanya dipastikan bersih dan layak untuk ditiduri. "Dia terus menangis setelah berpisah dari Anda, nyonya," ucap pelayan yang tadi menanggapi bayi tersebut sebelum Naura mulai berdiskusi. Naura menatap bayi tersebut semakin khawatir, namun saat ia mencoba menggendongnya perlahan, isak tangisnya pun menghilang. "Sepertinya bayi ini sangat menyukai Anda, sudah lebih dari sepuluh pelayan yang bergantian kemari untuk menenangkannya tetapi tidak ada satupun yang berhasil membuatnya tenang," ucap sang pelayan lagi. "Apa pihak dapur sudah menyiapkan resep makanan yang disarankan
Di tengah momen penuh bahagia keduanya, suara ketukan pintu dan laporan seorang pelayan untuk Arjuna terdengar. Arjuna terpaksa meninggalkan kamar itu dan Naura, dia memang sedang sibuk mengurus bisnis makanan kemasan baru dengan pihak luar internasional. Tepat setelah Arjuna pergi, suara tangis Aran kembali terdengar. Naura dengan cepat menghampiri anak tersebut dan menggandongnya, perlahan mulai menimang-nimang. "Tidak apa-apa sayang," ucap Naura lembut pada Aran, sesekali ia menghela napas karena sejujurnya dia mulai merasa lelah. Naura terus menimang Aran, sekeliling kamar telah ia jejaki namun anak itu tak kunjung tertidur. Tangisnya sudah tidak sekencang sebelumnya, namun mata Aran tak kunjung terpejam. Lelah, Naura mengambil duduk di sofa besar seberang kasur. Dia bersandar sambil memejamkan mata singkat. "Tidurlah, sayang," ucap Naura lagi dengan lembut. Perlahan, kedua matanya terpejam. Naura mulai terlelap tanpa sadar, sedangkan Aran masih terus terjaga. Tetapi per
Naura membuka matanya perlahan setelah merasakan cahaya matahari mulai masuk ke dalam ruangan. Dia mengambil posisi duduk dan tertegun setelah mendapatkan pengelihatan utuh secara sadar. Arjuna tertidur dengan posisi duduk sambil menggendong Aran di sofa. Aran juga masih tidur terlelap di gendongan pria itu, keduanya terlihat sangat menggemaskan. Nuara tersenyum hampir menahan tawa, lalu buru-buru mencari ponselnya untuk mengabadikan momen tersebut. Cekrek!Setelah tombol dipencet, flash kamera muncul secara tiba-tiba. Naura lupa mematikannya, membuat tidur Arjuna terusik hingga akhirnya bangun. "Kamu bangun?" tanya Arjuna, matanya masih sangat memerah karena kekurangan tidur. Naura turun dari kasur, lalu hendak mengambil alih Aran. "Jangan." Tahan Arjuna, tidak membiarkan Naura menyentuh Aran. "Kenapa?" tanya Naura bingung. "Dia akan terbangun lagi nanti, aku baru tidur jam lima tadi," jawab Arjuna khawatir sambil mengeluhkan deritanya. Naura terkekeh pelan, lalu akhirnya
"Maaf aku tidak bisa membantumu menemui ibu," ucap Arjuna saat mereka telah tiba di halaman depan Tirta. Naura mengangguk, dia masih terus menggendong bayi angkat mereka sejak awal meninggalkan Mansion Renjana. "Tidak apa-apa, serahkan padaku. Aku pasti bisa meyakinkan ibuku," jawab Naura. Arjuna mengecup kening Naura lama sebelum berpisah. "Aku akan mampir kemari setelah selesai mengurus pekerjaan."Naura sekali lagi mengangguk. "Iya, hati-hati." Dia menikmati setiap sentuhan kecil Arjuna yang penuh lembut. Setelah turun dari mobil dan mengucapkan dua hingga tiga kalimat perpisahan, mobil Arjuna pun mulai meninggalkan kawasan Mansion Tirta. Begitu menoleh, Naura tertegun melihat sosok ibunya di ambang pintu masuk mengenakan kursi roda dengan perawat pribadi di belakangnya. "Ibu." Sapa Naura sambil tersenyum hangat. Mela menatap putrinya penuh kebingungan, tepatnya pada bayi yang digendong Naura. "Kamu harus menjelaskan ini, Naura," ucap Mela, dari nada bicaranya dia terdengar
Naura menatap Aran sedikit kelabu, sesekali ia menghela napas tipis. Diam-diam kepalanya sibuk memikirkan kalimat Helena dan Mela, kedua wanita itu menentang keputusannya mengadopsi seorang anak. Apa salah anak ini? Mengapa mereka menghakimi sebegitunya? Jalan hidup setiap orang berbeda-beda, jangan hanya karena kasus satu dan dua mereka memukul rata seluruhnya. Naura mengelus lembut lengan mungil Aran, bayi itu tertidur lelap setelah sebelumnya kenyang meminum susu. "Maafkan aku..." gumam Naura pada Aran, sejujurnya dia merasa sedih karena anak itu mendapatkan banyak penolakan. Tak lama suara ketukan pintu terdengar, Naura mengizinkan masuk tanpa menoleh. Kate masuk sambil membawa dua map file yang berisi pekerjaan. "Nyonya, maaf mengganggu waktu Anda. Tetapi ini adalah laporan dari--""Taruh saja di meja kerjaku, Kate. Terima kasih banyak." Potong Naura dengan tatapan lesu pada Aran. Kate mengangguk mengerti, lalu ia memperhatikan raut wajah lemas Naura dan mulai merasa kha
Setelah menolak permintaan Tiara untuk bercerai, sang presiden pun meninggalkan kediaman Bara. Asisten pribadi Tiara, Vivi, dengan cepat berlarian ke arah atasannya dan membantu wanita itu berdiri. Vivi menangis deras, sejak awal dia dilarang masuk oleh penjaga pintu dan langsung syok begitu pintu terbuka melihat Tiara yang terkapar lemas penuh darah di lantai. "Nyonya, hati-hati..." Vivi berusaha menahan air matanya agar tidak menangis lagi. Tiara tersenyum tipis ke arah Vivi, saat menyadari bawahannya itu menangis, Tiara dengan cepat berkata,"Aku belum mati."Vivi tidak menjawab, dia tahu hal itu. Tetapi melihat sosok Tiara yang terkapar lemas dengan darah tentu saja dia sangat cemas. Ketika hendak melangkah keluar, tiba-tiba saja Sela mendekat ke arahnya. "Nyonya, Anda baik-baik saja?" tanya Sela dengan raut wajah polos. "Sela, kemari. Tidak perlu mempedulikan wanita itu, dia sudah berbuat jahat padamu," ujar Jovan yang berdiri tak jauh dari mereka. Sela menggeleng cepat. "
Keringat dingin menetes di lantai kediaman keluarga Bara.Tiara berlutut denga kepala tertunduk dalam, di depannya duduk seorang pria paruh baya dengan badan gempal yang memegang cambuk. Di sebelahnya terdapat Jovan yang duduk di sofa, Sela ikut duduk di sana sambil memeluk erat lengan suaminya dengan wajah ketakutan. Jovan tersenyum puas melihat Tiara yang berlutut tak berkutik, inilah akibat dari melawan kata-katanya. "Aku sudah pernah memberi peringatan padamu sebelumnya, bukan? Mengapa kamu melanggar perintah ku?" ucap presiden dengan nada bicara yang dingin. Tak pernah ada yang tahu sosok mengerikan kepala negara yang satu ini. Dia selalu tersenyum ramah di hadapan para rakyat, bahkan jika Tiara berteriak lari keluar untuk meminta pertolongan tak akan ada yang percaya. "Saya tidak mengerti maksud Anda, bapak Presiden." CTAK!Presiden mengayuhkan kasar cambuk itu ke lantai, membuat Tiara mengepalkan kedua tangannya dengan mata terpejam. "Tidak tahu malu!" ucap presiden sam
"Ada apa, nyonya?" tanya Kate penasaran saat mereka telah berada di dalam mobil menuju Mansion Tirta. "Nyonya Bara menitipkan pesan pada pelayan tadi menggunakan kertas ini," ucapnya sambil menunjukkan kertas yang sudah dia remas kuat tadi. "Dia hanya mengatakan ada sesuatu yang berada di luar perkiraan serta memintaku untuk terus percaya serta dan tidak khawatir," lanjut Naura. Kate mengerutkan keningnya. "Jadi 'beliau' yang dimaksud pelayan tadi adalah nyonya Bara?" tanyanya syok dan menambahkan,"Lalu bagaimana dengan luka memar dan cambuknya? Itu juga nyonya Bara?"Naura mengangguk singkat, hatinya semakin merasa khawatir. "Nyonya, bukankah ini sudah masuk ke dalam tindakan kekerasan?" tanya Kate khawatir. Naura tidak menjawab, dia juga tahu hal itu.Melihat Naura yang tidak merespon, Kate yang sudah kalut khawatir pun kembali bicara. "Sepertinya masalah ini memang sangat berbahaya, nyonya. Mengingat Presiden bahkan mampu membungkam keluarga Bara yang berada diurutan kelima,
Naura melangkah masuk ke dalam Mansion Tirta begitu tiba. Malam ini otaknya tidak bersahabat untuk diajak beristirahat, kepalanya masih penuh dengan Tiara. Meskipun masalah itu bukan urusannya, Naura tetap merasa tidak tenang untuk Tiara. Dia pernah berada di posisi rumit seperti itu seorang diri, tidak ada yang membantunya hingga rasanya seperti tercekik ingin mati. Menghela napas tipis, Naura duduk di kursi kerjanya. Malam ini terasa jauh lebih hening dibanding biasanya. Kate sudah pamit pergi sebelum Naura masuk ke dalam ruang kerja, kini dirinya benar-benar sendirian mengurus pekerjaan. Naura memeriksa ponselnya terlebih dahulu sebelum memulai fokusnya pada layar komputer. Tidak ada pesan atau panggilan apa pun dari Arjuna, sepertinya pria itu mulai kembali sibuk.Meletakkan ponselnya kembali ke atas meja, Naura meregangkan tubuhnya sebelum bekerja. Tiga jam lebih, wanita itu bahkan tidak menggeser pandangannya dari layar komputer selain untuk menyeruput teh yang sempat di
Naura melangkah masuk ke sebuah gedung restoran bintang lima tak jauh dari lokasi pertemuan sembilan pilar negara sebelumnya. Saat hampir tiba di area Mansion Tirta, Naura tiba-tiba menerima panggilan dari Tiara. Wanita itu meminta pertemuan secara mendadak malam ini juga. Sampai di dalam restoran, Naura dibawa oleh seorang pelayan wanita menuju ruang VIP tempat Tiara berada. Mereka saling melempar senyum setelah saling melihat. "Selamat datang, nyonya Tirta. Maaf karena saya meminta waktu Anda secara tiba-tiba seperti ini," ucap Tiara dengan raut wajah dan nada bicara tak enak. Naura mengangguk singkat. "Bukan masalah besar, kebetulan sejujurnya saya juga khawatir dengan kondisi Anda."Mendengar Naura yang selalu memperlakukannya dengan baik, senyum dan tatapan mata Tiara berubah sedikit mengabu. Kepalanya tertunduk lemah. "Saya... Merasa malu karena Anda dapat melihat sosok tidak berdaya saya. Saya seorang kepala keluarga wanita, seperti Anda. Tetapi saya lemah dan tidak--""A
"Nyonya Bara." Beberapa penjaga yang bertugas di depan pintu ruang rumah sakit Jovan membungkuk menyapa Tiara. Tiara masuk tanpa menjawab sapaan mereka, raut wajahnya suram menahan amarah. Di dalam dia melihat Jovan tengah mengunyah buah pisang, mata pria itu melirik kedatangan Tiara dengan malas. Mata Tiara menelusuri ruangan itu dengan dingin, sosok Sela entah berada di mana. Wanita itu sepertinya ditahan petugas agar tidak mendekat pada Jovan untuk sementara waktu. "Nyonya Bara yang terhormat mengunjungiku?" ucap Jovan dengan nada sarkas. Tiara tidak membalas dan memilih duduk dengan tenang di sofa. "Bagaimana kondisimu?""Apa itu penting? Bukankah ini yang kau mau?" balas Jovan, menatap penuh kebencian pada Tiara. Tiara mengepalkan kedua tangannya. "Kamulah yang memancing emosi tuan Wajendra, semua orang tahu bahwa pria itu masih memiliki perasaan pada nyonya Tirta.""Tidak, bukan salahku. Jika sejak awal kamu tidak mengizinkan nyonya Tirta ikut campur, maka kejadian ini ti
"Aku baru saja selesai menghadiri acara pertemuan sembilan pilar negara, sekarang hendak kembali ke Mansion," ucap Naura di telefon untuk Arjuna sambil terus melangkah menjauh dari ruangan Zafir."Pasti lelah. Pastikan segera beristirahat begitu tiba di Mansion, jika membutuhkan sesuatu aku akan segera--""Tidak perlu khawatir." Potong Naura dengan senyum tipis. "Kamu bisa tenang dan fokus mengurus pekerjaanmu." Hatinya menghangat saat Arjuna masih berusaha selalu ada untuknya meskipun jarak dan waktu mereka yang sangat berbeda. Belum lagi dengan urusan penting pria itu. "Tidak ada pekerjaan yang jauh lebih penting dari dirimu. Tetap hubungi aku jika kamu merasa kesulitan." Arjuna tetap kekeuh pada kalimatnya. Naura menghela napas tipis diam-diam, bibirnya masih tersenyum. Berbicara dengan Arjuna meskipun hanya melalui telefon rasanya berhasil melepas beban berat di pundaknya. Kehangatan pria itu selalu berhasil menyentuhnya di manapun dirinya berada. "Iya..." jawab Naura dengan
Petugas keamanan merangsek masuk, mereka berusaha melerai Zafir yang memukuli Jovan secara membabi buta. Naura mematung di posisinya, memandang syok ke arah Zafir. Kedua tangannya mengepal erat, jantungnya berdegup kencang. "Nyonya Tirta, Anda baik-baik saja?" tanya Tiara setelah menyusul posisi berdiri Naura. Naura tetap mematung memandangi Zafir, tidak menjawab pertanyaan Tiara. Setelah keduanya berhasil dilerai, Zafir dibawa ke ruangan lain untuk diobati. Wajah pria itu dua hingga tiga tempat mengalami memar. Sementara Jovan, hidung dan pelipisnya telah berdarah tak karuan, membuat pria itu perlu dibawa ke rumah sakit. "Tuan!" Suara isak tangis Sela yang menyayat hati menghiasi keributan di hari itu. Tak lama ia menghampiri Tiara setelah dipaksa mundur oleh petugas untuk mendekati Jovan. "Nyonya! Nyonya! Saya mohon... Ini semua... Ini semua salah saya. Jangan lampiaskan--"PLAK!"Tidak tahu malu!" ucap Tiara sambil menampar pipi Sela, kemudian saat hendak menoleh lagi ke N
"Mama papa keren! Keren! Itu mama papa Zevan!" Suara riang anak kecil terdengar begitu musik dansa berhenti. Naura menggenggam erat tangan Zafir, sementara tangannya yang lain memegang bahu pria itu. Zafir pun sama, dia merangkul erat pinggang rampung Naura dan tangan wanita itu. Keduanya saling tatap, Naura masih menatapnya penuh kebencian. Zafir lagi-lagi tidak keberatan.Zevan berlari lincah ke arah mereka, membuat Naura tersadar dan segera melepas pegangannya dari Zafir. "Mama! Mama cantik sekali!" Puji Zevan dengan senyum lebar, membuat Naura tak bisa menahan senyum. "Jangan berlari lagi, Zevan." Naura mencubit hidung anak itu. Tak lama suara tepuk tangan mulai terdengar, lalu menjadi jauh lebih ramai dan meriah dibandingkan tepuk tangan dansa sebelumnya. Naura mulai sadar dan memperhatikan sekitar, semua orang menatap mereka dengan senyuman. Konyol, ini konyol. Saat hendak memutuskan untuk pergi, tiba-tiba saja tak jauh dari posisi mereka terdengar suara teriakan wanit