Naura melangkah masuk ke gedung kantor Tirta seperti biasa, namun begitu tiba di ruangannya dia segera menghempaskan punggungnya ke kursi kerja. Althaf menyadari hal itu, lalu bertanya,"Apa ada sesuatu yang buruk di ruang duka tadi?"Naura menjawab dengan mata terpejam. "Beberapa."Althaf mengerutkan keningnya khawatir. "Ada apa?" Naura membuka matanya, lalu melirik Althaf sekilas. "Beberapa dari mereka berbicara bahwa kematian tuan Bara tidak wajar.""Maksudnya... Dibunuh?" tanya Althaf ragu. Naura mengangguk. "Kemungkinan besar seperti itu, bagaimana menurutmu?"Althaf menaikkan alis kirinya. "Aku bahkan tidak mengenal tuan Bara, dia pebisnis?"Naura mengangguk lagi. "Iya, bahkan seharusnya dia tidak memiliki musuh yang begitu banyak dan serius sampai mengancam nyawa. Tuan Bara adalah pebisnis konglomerat yang jujur, bahkan di antara sembilan keluarga, keluarga Bara yang memiliki tingkat 'kebersihan' tertinggi.""Apa karena itu?" balas Althaf, lalu melanjutkan,"Semakin besar caha
Sesuai dengan pembicaraannya dan Aimee kemarin, wanita itu benar-benar menepati janjinya untuk menemani Naura memeriksa lokasi gedung pernikahan. "Apa tidak ada lahan parkir tambahan di sini? Menurut firasatku mobil-mobil para elite dunia tidak akan benar-benar tertampung semua," tanya Aimee, wanita itu tidak hanya menemani, tetapi juga membantu Naura dalam menilai dan berpendapat. Pemandu yang telah dikirim Arjuna untuk menemani kegiatan mereka pun menggeleng pelan. "Tuan Renjana berkata tidak semua tamu akan datang menggunakan mobil, nyonya. Khususnya tamu-tamu dari negara luar, gedung ini sudah lengkap dengan rooftop sebagai parkiran helikopter." "Bagaimana?" tanya Aimee pada Naura. Naura mengangguk singkat. "Aku setuju, lalu bagaimana dengan pintu masuk utamanya?"Pemandu itu tersenyum tipis. "Dari pengrajinnya sendiri pun belum memulai proses pemolesan, nyonya. Mereka menunggu kabar dari tuan Renjana, sementara beliau memilih untuk menyerahkan pilihannya pada Anda."Kemudian
Suasana Mansion Tirta kembali lengang saat langit menggelap. Kate meninggalkan Mansion tersebut setelah Naura benar-benar beristirahat. Sepanjang perjalanan menuju tempat pertemuannya dengan Damian, wanita itu hanya diam dengan tatapan yang lelah. Kate khawatir masalah ini akan merepotkan Damian, dia tidak ingin menyeret orang lain ke dalam kesulitan hidupnya. Sampai di restoran bintang empat Jakarta, Kate bergegas turun dari mobilnya dan melangkah masuk. Matanya menyapu seluruh bagian restoran ke kanan dan kiri untuk mencari sosok Damian. Hingga tak lama dari arah depan ada satu tangan yang melambai untuknya, pria itu tersenyum ramah ke arahnya, menunggu dengan tenang. Kate mendekat ke meja tersebut dan tersenyum simpul. "Mohon maaf jika Anda menunggu lama."Damian mengangguk singkat. "Aku juga baru datang." Mendengar hal itu Kate tahu Damian berbohong, karena di atas meja mereka sekarang sudah ada dua gelas kosong. "Jadi... Ada apa, nona Kate?" tanya Damian, tatapan mereka b
Satu hari setelah pertemuan canggung penuh perasaan yang tak pernah Kate kenali dengan Damian, wanita itu mulai terlihat lebih gelisah. Seperti sekarang, ini pertama kalinya dia meminta izin kembali lebih cepat dengan raut wajah gelisah. "Nyonya, seluruh berkas sudah saya letakkan di atas meja dan file yang Anda butuhkan telah saya kirim ke email Anda," ucap Kate, wanita itu berdiri seperti patung di depan Naura. Naura mengangguk tanpa menoleh sedikitpun dari layar monitor. "Baiklah, terima kasih banyak Kate."Kate mengangguk, kemudian kepalanya sedikit menunduk, jari-jarinya bermain gelisah. "Nyonya...."Naura hanya mengangkat kedua alisnya sebagai respon, kedua tangannya masih sibuk mengetik sesuatu di keyboard. Setelah menunggu beberapa detik, Naura masih belum juga mendengar apa yang ingin disampaikan Kate. Matanya melirik bingung ke arah Kate, saat mendapati wanita itu berdiri kaku seperti patung, Naura mulai menaruh perhatian penuh pada Kate. "Ada apa?" tanya Naura bingun
"Apa ada kotak P3K di sini?" tanya Damian, melirik ibu Kate. Ibu Kate mengerutkan keningnya. "Untuk ap--""Ada." Kate menyela, membuat Damian kembali menatapnya. "Bisa berdiri?" tanya Damian. Kate mengangguk kecil dan berdiri, lalu membawa Damian ke dalam kamarnya diikuti sang ibu. "Apa perlu diobati segitunya? Itu hanya luka kecil," ucap sang ibu, lalu melanjutkan,"Maafkan ya, nak Damian. Kate merepotkan."Kate hanya diam dan duduk selagi Damian sibuk memilih obat di kotak P3K-nya. Damian tersenyum. "Tidak masalah, tante. Sekecil apa pun lukanya jika dibiarkan maka akan berisiko menjadi parah." Ibu Kate tersenyum dalam mendengarnya. "Baiklah, kalau begitu aku memeriksa makan malam di dapur dulu, ya." Kemudian matanya melirik Kate. "Jika sudah selesai cepat turun."Kate mengangguk kecil. "Iya."Sepeninggalan ibu Kate, Damian perlahan tersenyum dan tertawa tipis. "Apa kamu mengalami ini setiap hari? Ah--maaf, maksudku--""Iya, jangan meledekku!" Potong Kate sambil melototinya ke
"Mereka mengirim pesan apa?" tanya Ronald, raut wajahnya berkali-kali lipat lebih serius. Melihat sosok Ronald yang memegang, Naura pun ikut terbawa suasana. "Mereka menawarkan kerjasama dan mengungkit hutang. Hutang apa, kak?" tanya Naura. Ronald menarik tatapannya dari Naura untuk mengingat-ingat, lalu kedua matanya menyipit seolah baru mengingat sesuatu. "Ayah." Naura mengerutkan keningnya tak mengerti. "Ayah?" "Kamu adalah hutang mereka, Naura," jawab Ronald, membuat Naura semakin menatapnya bingung. "Aku hutang mereka? Maksudmu aku adalah...?" Ronald mengangguk. "Iya, ayah menjadikanmu salah satu 'alat' transaksi pada Phantom."Naura terdiam. Ayahnya? Ayah yang sangat dia kagumi? "Sejak kapan?" tanya Naura, matanya menatap kosong penuh emosi ke arah meja. "Bahkan sebelum kamu lahir, pernikahan ayah dan ibumu memang diatur untuk hal ini," jawab Ronald, matanya menatap dalam wajah adiknya yang terlihat syok. "Kenapa tidak ada yang memberitahuku mengenai hal ini?" tanya
Naura beranjak bangun dari duduknya, bibirnya masih tersenyum tipis ke arah Ronald meski tatapannya sudah sangat lelah. "Kalau begitu aku kembali dulu, jaga kesehatanmu, kak," ucap Naura. Ronald hanya mengangguk singkat, namun saat Naura berjalan melewatinya, pria itu menoleh dan berbicara. "Pastikan tidak ada kursi penguasa yang bergeser, Naura."Naura berhenti dan ikut menoleh, kemudian dia mengangguk. "Aku mengerti."Saat dirinya hendak melanjutkan langkah, suara Ronald lagi-lagi menghentikan gerakannya. "Dan...."Naura hanya menatap Ronald yang kini telah memunggunginya, menunggu pria itu melanjutkan kalimatnya. "Jaga kesehatanmu juga." Naura tersenyum tipis, lalu menatap lurus lagi ke depan. "Iya, terima kasih banyak." Setelahnya ia benar-benar melangkah keluar dari ruang pertemuan tertutup. "Sudah?" tanya Althaf yang sejak awal menunggu di luar. Naura mengangguk. "Ya, ayo kembali.""Bagaimana?" tanya Althaf sembari keduanya berjalan beriringan. "Ini tentang hutang Tirta
Seperti biasa, pagi ini Naura sudah sibuk di meja kerjanya. Namun berbeda dari biasanya yang sibuk menatap layar monitor dengan tangan yang mengetik kesana kemari, Naura kini hanya termenung di meja kerjanya. Matanya sesekali memperhatikan halaman yang sama sejak awal dirinya duduk di kursi kerja, email Phantom. Setelah merenung cukup lama, akhirnya Naura membetulkan kembali posisi duduknya dan membalas email tersebut. Dia setuju untuk bertemu. Tak perlu waktu lama, bahkan kurang dari satu menit, email-nya sudah dibalas. Naura spontan berdiri, lalu meneruskan link lokasi yang dikirim oleh email tersebut pada Kate. "Bersiap, kita pergi sekarang." Kemudian dia melirik ke arah Kate. "Lacak lokasi itu."Kate mengangguk cepat, tangannya pun dengan gesit melaksanakan perintah Naura. Tak butuh waktu lama, Kate pun membalas,"Sudah, nyonya."Mereka bertiga masuk ke dalam mobil, kali ini Althaf yang menyetir. "Anda menerima tawaran pertemuan itu?" tanya Kate dari kursi depan. Naura men
Setelah menolak permintaan Tiara untuk bercerai, sang presiden pun meninggalkan kediaman Bara. Asisten pribadi Tiara, Vivi, dengan cepat berlarian ke arah atasannya dan membantu wanita itu berdiri. Vivi menangis deras, sejak awal dia dilarang masuk oleh penjaga pintu dan langsung syok begitu pintu terbuka melihat Tiara yang terkapar lemas penuh darah di lantai. "Nyonya, hati-hati..." Vivi berusaha menahan air matanya agar tidak menangis lagi. Tiara tersenyum tipis ke arah Vivi, saat menyadari bawahannya itu menangis, Tiara dengan cepat berkata,"Aku belum mati."Vivi tidak menjawab, dia tahu hal itu. Tetapi melihat sosok Tiara yang terkapar lemas dengan darah tentu saja dia sangat cemas. Ketika hendak melangkah keluar, tiba-tiba saja Sela mendekat ke arahnya. "Nyonya, Anda baik-baik saja?" tanya Sela dengan raut wajah polos. "Sela, kemari. Tidak perlu mempedulikan wanita itu, dia sudah berbuat jahat padamu," ujar Jovan yang berdiri tak jauh dari mereka. Sela menggeleng cepat. "
Keringat dingin menetes di lantai kediaman keluarga Bara.Tiara berlutut denga kepala tertunduk dalam, di depannya duduk seorang pria paruh baya dengan badan gempal yang memegang cambuk. Di sebelahnya terdapat Jovan yang duduk di sofa, Sela ikut duduk di sana sambil memeluk erat lengan suaminya dengan wajah ketakutan. Jovan tersenyum puas melihat Tiara yang berlutut tak berkutik, inilah akibat dari melawan kata-katanya. "Aku sudah pernah memberi peringatan padamu sebelumnya, bukan? Mengapa kamu melanggar perintah ku?" ucap presiden dengan nada bicara yang dingin. Tak pernah ada yang tahu sosok mengerikan kepala negara yang satu ini. Dia selalu tersenyum ramah di hadapan para rakyat, bahkan jika Tiara berteriak lari keluar untuk meminta pertolongan tak akan ada yang percaya. "Saya tidak mengerti maksud Anda, bapak Presiden." CTAK!Presiden mengayuhkan kasar cambuk itu ke lantai, membuat Tiara mengepalkan kedua tangannya dengan mata terpejam. "Tidak tahu malu!" ucap presiden sam
"Ada apa, nyonya?" tanya Kate penasaran saat mereka telah berada di dalam mobil menuju Mansion Tirta. "Nyonya Bara menitipkan pesan pada pelayan tadi menggunakan kertas ini," ucapnya sambil menunjukkan kertas yang sudah dia remas kuat tadi. "Dia hanya mengatakan ada sesuatu yang berada di luar perkiraan serta memintaku untuk terus percaya serta dan tidak khawatir," lanjut Naura. Kate mengerutkan keningnya. "Jadi 'beliau' yang dimaksud pelayan tadi adalah nyonya Bara?" tanyanya syok dan menambahkan,"Lalu bagaimana dengan luka memar dan cambuknya? Itu juga nyonya Bara?"Naura mengangguk singkat, hatinya semakin merasa khawatir. "Nyonya, bukankah ini sudah masuk ke dalam tindakan kekerasan?" tanya Kate khawatir. Naura tidak menjawab, dia juga tahu hal itu.Melihat Naura yang tidak merespon, Kate yang sudah kalut khawatir pun kembali bicara. "Sepertinya masalah ini memang sangat berbahaya, nyonya. Mengingat Presiden bahkan mampu membungkam keluarga Bara yang berada diurutan kelima,
Naura melangkah masuk ke dalam Mansion Tirta begitu tiba. Malam ini otaknya tidak bersahabat untuk diajak beristirahat, kepalanya masih penuh dengan Tiara. Meskipun masalah itu bukan urusannya, Naura tetap merasa tidak tenang untuk Tiara. Dia pernah berada di posisi rumit seperti itu seorang diri, tidak ada yang membantunya hingga rasanya seperti tercekik ingin mati. Menghela napas tipis, Naura duduk di kursi kerjanya. Malam ini terasa jauh lebih hening dibanding biasanya. Kate sudah pamit pergi sebelum Naura masuk ke dalam ruang kerja, kini dirinya benar-benar sendirian mengurus pekerjaan. Naura memeriksa ponselnya terlebih dahulu sebelum memulai fokusnya pada layar komputer. Tidak ada pesan atau panggilan apa pun dari Arjuna, sepertinya pria itu mulai kembali sibuk.Meletakkan ponselnya kembali ke atas meja, Naura meregangkan tubuhnya sebelum bekerja. Tiga jam lebih, wanita itu bahkan tidak menggeser pandangannya dari layar komputer selain untuk menyeruput teh yang sempat di
Naura melangkah masuk ke sebuah gedung restoran bintang lima tak jauh dari lokasi pertemuan sembilan pilar negara sebelumnya. Saat hampir tiba di area Mansion Tirta, Naura tiba-tiba menerima panggilan dari Tiara. Wanita itu meminta pertemuan secara mendadak malam ini juga. Sampai di dalam restoran, Naura dibawa oleh seorang pelayan wanita menuju ruang VIP tempat Tiara berada. Mereka saling melempar senyum setelah saling melihat. "Selamat datang, nyonya Tirta. Maaf karena saya meminta waktu Anda secara tiba-tiba seperti ini," ucap Tiara dengan raut wajah dan nada bicara tak enak. Naura mengangguk singkat. "Bukan masalah besar, kebetulan sejujurnya saya juga khawatir dengan kondisi Anda."Mendengar Naura yang selalu memperlakukannya dengan baik, senyum dan tatapan mata Tiara berubah sedikit mengabu. Kepalanya tertunduk lemah. "Saya... Merasa malu karena Anda dapat melihat sosok tidak berdaya saya. Saya seorang kepala keluarga wanita, seperti Anda. Tetapi saya lemah dan tidak--""A
"Nyonya Bara." Beberapa penjaga yang bertugas di depan pintu ruang rumah sakit Jovan membungkuk menyapa Tiara. Tiara masuk tanpa menjawab sapaan mereka, raut wajahnya suram menahan amarah. Di dalam dia melihat Jovan tengah mengunyah buah pisang, mata pria itu melirik kedatangan Tiara dengan malas. Mata Tiara menelusuri ruangan itu dengan dingin, sosok Sela entah berada di mana. Wanita itu sepertinya ditahan petugas agar tidak mendekat pada Jovan untuk sementara waktu. "Nyonya Bara yang terhormat mengunjungiku?" ucap Jovan dengan nada sarkas. Tiara tidak membalas dan memilih duduk dengan tenang di sofa. "Bagaimana kondisimu?""Apa itu penting? Bukankah ini yang kau mau?" balas Jovan, menatap penuh kebencian pada Tiara. Tiara mengepalkan kedua tangannya. "Kamulah yang memancing emosi tuan Wajendra, semua orang tahu bahwa pria itu masih memiliki perasaan pada nyonya Tirta.""Tidak, bukan salahku. Jika sejak awal kamu tidak mengizinkan nyonya Tirta ikut campur, maka kejadian ini ti
"Aku baru saja selesai menghadiri acara pertemuan sembilan pilar negara, sekarang hendak kembali ke Mansion," ucap Naura di telefon untuk Arjuna sambil terus melangkah menjauh dari ruangan Zafir."Pasti lelah. Pastikan segera beristirahat begitu tiba di Mansion, jika membutuhkan sesuatu aku akan segera--""Tidak perlu khawatir." Potong Naura dengan senyum tipis. "Kamu bisa tenang dan fokus mengurus pekerjaanmu." Hatinya menghangat saat Arjuna masih berusaha selalu ada untuknya meskipun jarak dan waktu mereka yang sangat berbeda. Belum lagi dengan urusan penting pria itu. "Tidak ada pekerjaan yang jauh lebih penting dari dirimu. Tetap hubungi aku jika kamu merasa kesulitan." Arjuna tetap kekeuh pada kalimatnya. Naura menghela napas tipis diam-diam, bibirnya masih tersenyum. Berbicara dengan Arjuna meskipun hanya melalui telefon rasanya berhasil melepas beban berat di pundaknya. Kehangatan pria itu selalu berhasil menyentuhnya di manapun dirinya berada. "Iya..." jawab Naura dengan
Petugas keamanan merangsek masuk, mereka berusaha melerai Zafir yang memukuli Jovan secara membabi buta. Naura mematung di posisinya, memandang syok ke arah Zafir. Kedua tangannya mengepal erat, jantungnya berdegup kencang. "Nyonya Tirta, Anda baik-baik saja?" tanya Tiara setelah menyusul posisi berdiri Naura. Naura tetap mematung memandangi Zafir, tidak menjawab pertanyaan Tiara. Setelah keduanya berhasil dilerai, Zafir dibawa ke ruangan lain untuk diobati. Wajah pria itu dua hingga tiga tempat mengalami memar. Sementara Jovan, hidung dan pelipisnya telah berdarah tak karuan, membuat pria itu perlu dibawa ke rumah sakit. "Tuan!" Suara isak tangis Sela yang menyayat hati menghiasi keributan di hari itu. Tak lama ia menghampiri Tiara setelah dipaksa mundur oleh petugas untuk mendekati Jovan. "Nyonya! Nyonya! Saya mohon... Ini semua... Ini semua salah saya. Jangan lampiaskan--"PLAK!"Tidak tahu malu!" ucap Tiara sambil menampar pipi Sela, kemudian saat hendak menoleh lagi ke N
"Mama papa keren! Keren! Itu mama papa Zevan!" Suara riang anak kecil terdengar begitu musik dansa berhenti. Naura menggenggam erat tangan Zafir, sementara tangannya yang lain memegang bahu pria itu. Zafir pun sama, dia merangkul erat pinggang rampung Naura dan tangan wanita itu. Keduanya saling tatap, Naura masih menatapnya penuh kebencian. Zafir lagi-lagi tidak keberatan.Zevan berlari lincah ke arah mereka, membuat Naura tersadar dan segera melepas pegangannya dari Zafir. "Mama! Mama cantik sekali!" Puji Zevan dengan senyum lebar, membuat Naura tak bisa menahan senyum. "Jangan berlari lagi, Zevan." Naura mencubit hidung anak itu. Tak lama suara tepuk tangan mulai terdengar, lalu menjadi jauh lebih ramai dan meriah dibandingkan tepuk tangan dansa sebelumnya. Naura mulai sadar dan memperhatikan sekitar, semua orang menatap mereka dengan senyuman. Konyol, ini konyol. Saat hendak memutuskan untuk pergi, tiba-tiba saja tak jauh dari posisi mereka terdengar suara teriakan wanit