Kediaman Keluarga Susanto,
“APA? Dijodohkan? Ben nggak mau. Ini zaman apa, Pa, Ma? Yang bener aja masih main jodoh-jodohan. Pokoknya Ben nggak bakalan terima dijodohin, titik." Ben Sander Susanto menolak keras hendak dijodohkan oleh kedua orang tuanya.
"Tapi ini demi kebaikanmu, Ben. Kamu harus menikah dengan Caroline," tanggap Ernanda.
"Ben nggak mau, Ma. Siapa lagi Caroline, Ben nggak kenal. Gimana bisa Ben menikah sama perempuan yang nggak Ben cintai sama sekali? Kalaupun Ben harus menikah, Ben hanya mau nikah sama Gaby, pacar Ben," tolaknya sekali lagi.
"Tidak! Sampai kapanpun Mama nggak akan pernah merestui hubungan Kamu dengan Gaby. Gaby bukan wanita baik-baik, Caroline lebih cocok untukmu, percaya sama Mama."
"Mama selalu saja bicara seperti ini, Mama selalu jelek-jelekin Gaby. Memangnya apa salah Gaby sih, Ma? Gaby juga wanita baik-baik kok. Wanita yang mencintai Ben, dan satu hal lagi yang paling penting, Ben juga mencintai Gaby."
Tristan Susanto yang sejak tadi menyimak perdebatan Istri dan putranya mulai panas. Dia pun tak dapat lagi menahan diri untuk tetap diam.
"Hei, Ben ...," sebut Tristan dengan suara pelan tapi mengandung tekanan. "Dengar baik-baik, kalau Kau merasa sudah hebat dan tidak mau mendengarkan saran papa dan mama lagi, silahkan angkat kaki dari rumah ini sekarang juga!" usirnya.
"Pa …," sebut Ernada reflek agak kaget seraya menyentuh lengan suaminya. Dia tidak menyangka Tristan akan mengucapkan kalimat sekasar ini, pastinya ia juga cemas Ben terpancing emosi. Tristan nampak mengusap lembut punggung telapak tangan istrinya mencoba menenangkan istrinya itu seolah-olah sedang berkata tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja.
Ben tak kalah terkejutnya dengan Ernanda mendapatkan perlakuan demikian dari ayahnya. Walaupun hubungannya dengan ayahnya memang tidak begitu baik, tapi hingga saat ini Tristan belum pernah mengusirnya dari rumah. Kedua mata Ben sontak membesar mendengar ucapannya itu.
"Oh ... jadi Papa ngusir Ben?" Pria berparas rupawan itu berkomentar.
"Keputusan ada di tanganmu. Kalau Kamu membantah, silahkan pergi!" tegas Tristan.
"Ok! Kalau itu mau Papa, Ben akan pergi dari rumah ini," tantang Ben seraya menatap tajam sepasang mata tegas Tristan. Ia segera berbalik setelahnya tanpa memedulikan lagi suara Ernanda yang memanggil namanya berusaha menahan agar Ben tidak pergi.
Sikap Ben yang seperti ini membuat Tristan semakin murka saja. Ia berpikir perlu memberikan pelajaran pada putranya ini.
"Tunggu!" tahan Tristan.
Ben menghentikan langkahnya, tapi tidak membalikkan lagi wajahnya.
"Tinggalkan dompet dan kunci mobilmu!" titah Tristan.
Sekali lagi, kedua mata Ben membesar dan kali ini ia sontak membalikkan badan menatap papanya lagi. Selama ini Ben hidup dalam kelimpahan, bertabur kemewahan yang berasal dari keluarganya, mengandalkan semua fasilitas yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Rasanya sangat tidak mungkin ia bisa hidup tanpa semua fasilitas itu. Tentu dia akan berusaha mempertahankan semuanya.
"Apa-apaan ini, Pa?" protes Ben.
"Ayo keluarkan semuanya!" cecar Tristan tanpa memedulikan aksi protes putranya itu. "Bukannya Kamu sudah merasa hebat berani menerima tantanganku?"
Huuuh!
Ben nampak geram sekali, ia menghela napas kasar. Benar kata Tristan, dia berani mengambil keputusan untuk pergi. Dan demi gengsinya yang tinggi dia tidak mungkin menarik kembali keputusannya itu. Apapun yang terjadi, ia tetap harus menunjukkan kehebatannya agar tidak dipandang rendah Tristan.
Mau tidak mau, Ben pun menuruti permintaan ayahnya. Pertama-tama, Ben mengeluarkan Dompet miliknya yang berisikan uang cash cukup banyak, beberapa kartu ATM, juga kartu kredit di dalamnya, lalu meletakkan semua itu di atas meja ruang tengah tempat mereka sedang berada saat ini. Usai itu, Ben mulai berbalik hendak pergi. Namun, Tristan kembali menahannya.
"Tunggu! Kunci mobil!" ucap Tristan sembari menjulurkan tangan.
Entah karena lupa atau sengaja, Ben yang tampak memasang wajah yang sangat masam itu bergegas merogoh saku celana bagian belakangnya,
Trak!
Ben meletakan kunci mobilnya di atas meja yang berlapis kaca agak kuat hingga menimbulkan bunyi. Setelah itu, dia pun kembali berbalik untuk sekali lagi dan melangkah pergi meninggalkan kedua orang tuanya. Ernanda hendak menahannya, tapi segera dicegah oleh Tristan.
Brak!
Di depan sana, setelah keluar dari rumah, Ben menutup pintu rumah dengan cukup kuat membuat kedua orang tuanya terlonjak kaget, dan saling memandang. Ben sungguh pergi dari rumah itu. Tentunya, Ernanda tidak bisa terima begitu saja.
"Pa …," panggil Ernanda kemudian.
Tristan mengerti, Ernanda pasti sedang mengkhawatirkan Ben. Ia segera melingkarkan tangan merangkul istrinya penuh kasih. Kemudian berkata, "tidak apa-apa, percayalah dia pasti pulang nanti. Mana mungkin putramu yang manja itu mampu hidup tanpa semua fasilitas yang kita berikan."
"Tapi, gimana kalau dia kelaparan di luar sana, gimana kalau dia tidak kembali, tidur di mana dia? Dan …."
"Tenanglah, Ma. Ben sudah dewasa, dia pasti bisa menjaga dirinya sendiri. Kita tidak boleh terus memanjakannya.
Tristan benar, mereka memang tidak boleh terus-menerus memanjakan Ben. Akhirnya Ernanda pun berusaha tegar dan berusaha menerima kepergian Ben berharap putranya ini sungguh hanya pergi sebentar saja.
***
Tok tok!
Ben sedang berdiri berhadapan dengan papan pembatas pada kamar kos Gaby, ia berada di tempat Gaby saat ini. Gaby yang baru saja keluar dari kamar mandi, selesai melakukan aktivitas mandi pagi, bergegas menghampiri pintu.
Jegrek!
"Eh, Sayang … tumben nggak ngabarin." Gaby sedikit kaget mendapatkan kekasihnya itu berada di depan pintu kamar kosnya.
Ben tersenyum tipis, senyuman yang sedikit ia paksakan.
"Boleh aku masuk?" tanyanya dengan suara berat khasnya yang selalu terdengar begitu seksi bagi para wanita.
"Sure, Honey."
Setelah mendapatkan ijin, Ben segera melanjutkan langkahnya memasuki kamar kos Gaby.
"Ada masalah apa, Sayang?" selidik Gaby. "Kamu kok kelihatan lesu nggak seperti biasanya," cecar perempuan itu seraya bergelayut manja.
"Biasalah, aku bertengkar sama papa mamaku," tanggap Ben malas.
"Oh …."
Ben lalu melepaskan tangan Gaby yang melingkar pada bahunya. Entalah dia sedang tidak ingin disentuh. Setelahnya melangkah menjauhi Gaby menuju ke arah sofa bed di dalam kos tersebut. Sofa bed yang dibeli oleh beberapa waktu lalu atas permintaan Gaby sendiri.
Brug!
Sedetik kemudian, Ben menjatuhkan diri di atas sofa bed itu, sedangkan Gaby masih berdiri di tempat menatap heran kekasihnya ini, tidak seperti biasanya ia bersikap demikan tentu membuat Gaby heran.
Sejenak berselang Gaby baru menghampiri Ben. Gaby ikut duduk di dekat Ben, mengusap pelan rambut Ben, pria itu memejamkan matanya tak menghiraukan sentuhan yang diberikan oleh Gaby padanya sama sekali.
"Sayang, daripada Kamu galau gini, lebih baik kita jalan yuk. Ke Mall kek, nonton, atau kemana aja," anjur Gaby.
"Aku tidak punya uang, Beb. Dompetku dan semua kartu kredit, kartu debit disita sama Papa."
"Apa?" Gaby sedikit terlonjak mendengar itu. "Kok bisa sih?"
"Karena aku bertengkar hebat sama mereka."
"Kamu yang sabar ya, Sayang. Atau kalau tidak, kita jalan-jalan ke taman saja, biar aku traktir es krim. Gimana? Biar moodmu baikan lagi," saran Gaby lagi.
"Taman mana? Memangnya ada taman di dekat-dekat sini?"
"Di taman biasa kita sering pergi. Gimana?"
"Itu kan jauh banget dari sini."
"Iya, kan bisa pakai mobil."
"Mobilku juga disita," ungkap Ben malas.
Gaby mengangkat kedua alisnya seakan tak percaya, "What? Mobil juga? Kok papa Kamu setega itu sih? Memangnya kalian terlibat masalah kayak apa sih?" teliti Gaby semakin penasaran saja.
"Mereka mau menjodohkan aku dengan seorang perempuan yang aku nggak kenal siapa dia. Aku menolak, dan begitulah. Papa menyita semua fasilitas yang ada, termasuk dompet, semua kartu kredit, debet, dan juga mobilku," jelas Ben tanpa memperhatikan ekspresi Gaby yang saat itu sepasang retinanya hampir meloncat keluar saking terkejutnya.
***
Hai, GN lovers, ini buku pertamaku di sini. Dukung aku ya, ikuti terus cerita ini. Jangan lupa tinggalkan jejak. Makasih.
"Tunggu, tunggu ... j-jadi, Tante Nanda sama Om Tristan mau menjodohkan Kamu dengan perempuan pilihan mereka? "Iya, Sayang, tapi aku menolak, aku hanya mau denganmu saja," ujar Ben menatap kedua mata Gaby. Gaby tersenyum kaku identik dengan senyuman yang dipaksakan. "Terus, setelah ini apa yang akan Kamu lakukan?" Tepatnya dia sedang memikirkan Ben yang sudah tidak memiliki apapun lagi. "Aku akan coba cari kerja. Memulai semuanya dari nol. Kamu mau mendukung aku, kan?" Gaby memalingkan wajahnya sejenak, dan berkata tanpa mengeluarkan suara, "what?" Kemudian berbalik lagi menghadap Ben, dan berusaha tersenyum senormal mungkin. "Apa Kamu yakin mampu melakukan semua itu?" tanyanya lagi. "Tentu saja. Aku ingin membuktikan ke mama sama papa aku kalau aku bisa tanpa mereka. Kamu mau kan, Sayang ... memulai semuanya dari nol sama aku?" ulang Ben. Gaby mengangkat kedua alisnya, dengan ekspresi sedikit aneh, tapi tetap ber
Suara erangan semakin terdengar jelas saat ia memasuki kamar, perasaan Ben mulai tidak nyaman. Ia merasa ada sesuatu yang terjadi di depan sana, tepatnya di balik sofa bed yang terhalang sandaran. Ben terus melangkah pelan sembari menyiapkan diri untuk menerima kenyataan jika saja dugaannya memang benar. Jujur saja otaknya sudah kemana-mana saat ini. Dan ... “Gaby!?” sergah Ben. Matanya melotot seketika saat ia sungguh melihat Gaby sedang berduaan dengan pria lain di balik sofa bed. Pria yang sedang menindih Gaby nampak segera beranjak. “Be-Ben ….” Gaby jauh lebih terkejut, ia segera meraih apa saja yang ada di dekatnya untuk menutupi bagian sensitif tubuhnya. “Kau …," sebut Ben tertahan. Ia marah sekali tentunya. "Kau keterlaluan!" bentaknya kemudian. "Aku nggak nyangka, Kau tega berbuat begini sama aku.” Ben menatap tajam Gaby dan kekasih gelapnya itu bergantian. Gaby segera beranjak menghampiri Ben. Ia meraih lengan Ben, dan berkata, “maafk
Ben sangat mencintai ibunya, apapun akan dia lakukan demi keselamatan ibunya. Walaupun rasanya sangat tidak masuk akal, permintaan ibunya itu jelas-jelas tidak ada hubungannya dengan penyakitnya, Ben tetap memilih mengalah. Mendengar jawaban putranya itu, Ernanda sontak membuka kedua matanya, “benarkah?" Ben menanggapu dengan mengangguk pasti. Ernanda pun menyudahi dramanya dengan beranjak segera dari posisi baringnya memeluk Ben membuat putranya itu tersadar seketika ternyata dia sudah dikerjai oleh ibunya. "Makasih ya, Ben sudah mau menerima perjodohan itu," ucapnya Ernanda tersenyum bahagia. *** Minggu pagi, Keluarga Susanto sedang mempersiapkan diri akan mengunjungi kediaman Caroline. Mereka akan meramal gadis itu untuk putra mereka. Namun sebelum menempuh perjalanan yang cukup jauh ini, mereka sarapan terlebih dulu. Hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit saja bagi mereka untuk menuntaskan aktivitas makan pagi. Usai itu, mereka p
Caroline terbengong sejenak di depan pintu. Dia baru saja tiba di rumah, dan tanpa sengaja mendengar ucapan Tristan yang menyebut kata perjodohan. Namun ia tidak langsung menanyakan perihal tersebut seolah-olah ia tidak mendengar apapun. “Eh, Carol … kamu sudah pulang, Nak?” Anita beranjak dari tempat duduknya namun tak melangkah, melainkan Caroline yang menghampiri perkumpulan kecil itu. Keadaan sedikit menghening saat ini. Tap tap tap. Perlahan, Carol melangkah memasuki rumahnya, langkahnya langsung tertuju ke arah ruang tamu. Tiba di dekat meja tamu, Carol menatap Ben penuh arti, Ben melirik Carol kilas kemudian segera beralih pada layar pipih yang masih menyala. "Yang bener saja, jadi dia cewek yang akan dijododin ke gue? Ya ampun, cewek kampungan begini akan dijodohkan ke gue? Apa kata dunia?" batinnya tak terima. “Hai, Sayang, ternyata Kamu sudah bertumbuh jadi wanita cantik,” puji Ernanda yang membuat Ben mengernyitkan wajahnya sambil
“Ben nggak capek, mau jalan-jalan di luar saja,” ujar Ben “Kalau begitu, biar Carol yang menemanimu, Nak Ben,” saran Galih yang membuat Carol mengangkat kedua alisnya. Ben melirik Caroline sekilas, lalu bersuara, “tidak perlu, Om. Ben bisa sendiri kok.” “Jangan, nanti Kamu tersesat. Biar Carol saja yang menemanimu, Nak Ben,” sambung Anita. “Iya, bener. Kalian berdua juga bisa saling mengenal lebih dekat. Pergilah sama Carol, Ben.” Ernanda ikut bersuara. Ben pun terdiam sekarang. Apalagi Carol juga sejak tadi hanya diam saja. Ben tak memiliki alasan untuk terus melakukan penolakan. “Ben keluar dulu ya, Ma, Pa.” Ia memilih pamit segera, lalu berbalik secepat mungkin tanpa menjawab setuju atau tidak akan saran para orang tua itu. Sementara pastinya Caroline masih terdiam di tempat, dia tidak tak tau harus melakukan apa sebab tak ada jawaban dari pria itu. Ernanda segera memberi kode padanya supaya gadis polos itu mengejar Ben yang
Ben dan Carol berjalan saling berdampingan. Saat mereka berdua tiba di depan dekat rumah, Galih dan Anita tak sengaja melihat mereka. Kedua orang tua Carol saling menatap, lalu tersenyum bersama. Mereka senang melihat kedekatan pasangan itu. Sejujurnya, ayah dan ibu Carol juga mengharapkan Carol mau menerima perjodohan itu. Hanya saja mereka tak ingin memaksakan kehendak, sehingga memberikan hak pada putri mereka untuk memilih. Pastinya mereka sangat berharap bisa besanan dengan sahabat mereka. "Ma, Pa ...," sapa Carol. Sedangkan Ben tersenyum tipis seraya mengangguk sopan. Perubahan sikap Ben sangat jauh berbeda setelah pulang dari jalan-jalan. Anita memperlebar senyumannya, "Kalian sudah kembali?" sambutnya. "Tadi, apa kehujanan?" tanya Anita sambil memegang kedua tangan Caroline. Carol ikut tersenyum, bahkan menyerupai tawa kecil, "Mama ada-ada saja. Iya nggaklah, Ma. Kalo kami hujan-hujanan, ga mungkin masih kering begini, kan?" "B
Beberapa saat kemudian, aktivitas makan malam pun usai. Caroline masih saja bergulat dengan pikirannya yang tak berkesudahan. Carol tampak sangat gelisah hingga membuat Anita sedikit heran. “Carol, Kamu kenapa?” tanyanya. Deg! “Hah? hmm … ti-tidak apa-apa,” jawab Carol gelagapan. Anita mengerutkan dahinya sembari mengedarkan pandangannya melirik ke yang lain. Kini, tak hanya Anita yang heran dengan sikap Carol yang demikian, semua yang ada di meja makan ikut merasa heran, lebih-lebih si Ben. Semua mata menatap Carol, membuat Carol sedikit terintimidasi. “Atau jangan-jangan, Kamu sakit?” khawatir Ernanda. “Nggak kok, Tan. Aku hanya ….” “Hanya apa, Carol?” sambung Galih. “Tidak biasanya Kamu bersikap seperti ini,” sambungnya. “Aku … aku mau ….” Carol menghentikan ucapannya, tatapannya tertuju pada Ben yang juga sedang melihat ke arahnya. “Mau apa, Carol?” tanya Anita penasaran. “Hmm ... Um ….” Sika
Ernanda dan Caroline telah mencapai ambang pintu. Anita yang baru selesai menyiapkan bingkisan muncul dari arah dapur. “Nanda, ini untuk kalian!” ucap Anita seraya menyodorkan sebuah bingkisan yang terbungkus rapi di dalam sebuah dus kecil seukuran dus mie instan. “Ya ampun, Nit … tidak perlu serepot ini,” tanggap Ernanda sambil menyambut pemberian Anita. Ernanda juga melirik dus yang terlakban sempurna itu sekilas. “Nggak apa-apa, Nanda. Maaf, hanya bisa memberikan ini saja,” jawab Anita sambil tersenyum. “Ya ampun, ini juga sudah banyak. Seharusnya Kamu tidak perlu melakukan ini,” “Kamu ini, ini bukan apa-apa. Hanya sedikit jajanan murahan saja. Lagian kalian pulang secepat ini, ini pun masih untung kebetulan ada stok di dapur,” “Makasih ya, Nit. Aku juga lupa menyiapkan sedikit oleh-oleh untuk kalian tadi.” Ernanda menggaruk-garuk kepalanya dengan jari telunjuknya merasa tak nyaman. “Tidak apa-apa, Nanda. Kalian sudah
Ben lari terbirit-birit saat Carol melangkah ke arah pintu utama gedung apartemen. Dia memasuki gedung dengan langkah seribu, lalu menuju lift dan mulutnya komat-kamit berharap pintu lift menutup cepat.Ungtungnya pintu lift tertutup persis saat Carol memutar badan menghadap lift. Gadis itu masih bisa melihat kilas sosok yang ada di dalam sana.“Bukankah itu Ben? Ah mungkin aku salah lihat.”Ting!Ketika tiba di atas, Ben bergegas keluar dari dalam lift kembali ke unitnya.Brak!Saking terburu-burunya dia, Ben menutup pintu dengan membanting pintu tersebut hingga menimbulkan bunyi yang cukup nyaring. Usai itu, ia bersandar di balik pintu untuk mengatur napasnya yang ngos-ngosan.Perlahan pikirannya membawanya menuju kejadian barusan, kejadian yang dia saksikan di luar tadi.“Siapa pria tadi? Jadi dia telat pulang karena pergi dengan pria itu?“Atau jangan-jangan itu pacarnya? Berani sekali dia ber
“Sayang, kamu mau minum apa? Jus jeruk atau alpukat?” tanya Gaby sambil membuka kulkas.Ben tidak menjawab, yang ada juga sih Ben sedang sibuk mikirin Carol.Mau kemana dia? Pakai acara dandan segala lagi.Rumah masih berantakan, udah main pergi ajaa, dia pikir dia siapa?Awas kalau pulang malam. Telat masak, dia yang aku masak!“Sayang … Sayang …,” panggil Gaby berulang. Karena Ben tak kunjung menjawab, Gaby pun memekiknya. “Sayang!”“I-iiiya. Kenapa?”“Aku yang harus bertanya, Kamu kenapa ngelamun gitu? Dari tadi aku manggil-manggil Kamu tapi Kamu nggak jawab-j
Perlahan Carol mengangkat wajahnya, dan ternyata itu adalah Leon. Pria yang menolongnya pagi tadi.“Loh, Kamu mau kemana?” tanya Leon heran.“A-aku mau … akum au pergi karena barusan aku dipecat karena datang terlambat,” jelas Carol.“Dipecat? Sama siapa?”“Sama Bu Riris.”Leon mengangkat kedua alisnya.“Aku permisi ya. Makasih udah nganterin aku tadi!”Carol kembali menunduk, dan melangkahkan kaki.“Tunggu!” tahan Leon.“Jangan pergi, ayo ikut aku kembali!” Leon bahkan langsung menarik tangan Carol mengajaknya kembali ke gedung kantor. Jelas hal itu membuat Carol sangat terkejut.“Kamu mau bawa aku kemana? Lepaskan!” berontak Carol. “Aku udah dipecat, buat apa kembali? Lepaskan aku!”“Tenang aja, aku akan mengurus semuanya. Kamu nggak akan dipecat,”“Maksudmu?”
Carol melangkah ragu menuju gedung seraya menundukkan wajah, dia hanya mengangkat wajah sesekali saja.“Selamat pagi, Mbak Carol!” Seorang pria yang berprofesi sebagai satpam di kantor itu menyapanya. Si satpam ini membuat Carol agak terpelanggat.“Eh … pagi, Pak!” balas Fiona.“Baru datang?”“I-iya … hehehe.”“Itu kenapa pakaiannya kotor begitu, Mbak? Habis terjatuh atau gimana?”“Hm … oh, ini tadi kecipratan,”“Oh … kurang ajar banget yang melakukan itu,”Carol mengangguk, menyetujui perkataan bapak satpam.“Tapi nggak apa-apa, nanti saya coba cuci di toilet. Saya … masuk dulu ya, Pak!”“Oh … iya. Silakan, Mbak!”“Mari!”Carol bergegas memasuki gedung, dan berjalan secepat mungkin menuju ruangan para admin. Beruntung mejanya terletak
Ben meneriaki Carol setelah Carol melewatinya. Carol tak menghiraukan teriakan Ben hingga ia mencapai pintu keluar dengan langkah seribu.“Maaf, aku harus pergi. Aku sudah terlambat!” sahut Carol setelah ia selesai mengenakan sepatu flat di rak sepatu yang ada di dekat pintu dengan tergesa-gesa.“Kau!”“Aaargh!! Sial!! Dia sungguh berani padaku!”Ben hanya bisa megumpat kesal seraya menatap kepergian Carol. Akhirnya bukan dia yang pergi duluan, tapi Carol yang pergi duluan.***Di pinggir jalan, Carol menunggu angkot dengan hati gelisah. Sebenatar-sebentar Carol melirik jam tangannya sekedar ingin tau seterlambat apa dia saat ini. Padahal apa yang dilakukannya itu justru membuatnya semakin gelisah saja.“Gimana ini? Kenapa nggak ada angkot yang lewat?” keluhnya seraya memiringkan badan ke arah depan berharap menemukan angkot yang lewat.Namun bukan angkot yang lewat, j
Pagi-pagi sekali, Carol sudah bangun. Sebelum pergi kerja, ia harus menyiapkan sarapan untuk Ben, juga mengerjakan pekerjaan rumah lainnya, seperti membersihkan rumah, mencuci piring, mencuci pakaian, Ben telah memperingatinya sejak awal memasuki apartemen.Tidak ada asisten rumah tangga disana, jadi sebagai seorang istri yang baik, Carol harus bisa melakukan semua itu. Padahal, Ben sengaja memecat Bi Ondang yang biasa membantu disana. Ben ingin mengerjai Carol, membuat wanita itu lebih cepat menyerah dengan pernikahan palsu itu.Carol sangat penurut, sesuai dengan pesan mamanya, dia akan menuruti semua keinginan suaminya. Sekalipun pernikahannya tidak sesuai dengan keinginan, dia tetap akan melakukan kewajibannya selama statusnya dengan Ben masih menikah.“Masak apa, ya?”
Ben dan Carol barusan tiba di apartemen milik Ben. Carol menurunkan koper dan barang-barang miliknya seorang diri dari dalam mobil."Jalan yang cepet!" sergah Ben.Carol menatap sinis Ben yang memunggunginya usai memberi titah. Ia melangkah dengan cepat."Ngomen aja yang Lo bisa. Bantuin kek. Barang sebanyak ini, gue yang bawa sendiri, terus Lo suruh gue cepat. Dasar nggak waras!" dumel Carol menyerupai berbisik.Setibanya ia di depan pintu gedung apartemen, Ben berbalik hanya sekedar memastikan Carol sudah berjalan sejauh mana. Tentu saja posisi Carol masih cukup jauh."Heh, Manusia siput … lambat amat sih kalau jalan. Cepetan, aku nggak suka menunggu lama," cetus Ben.Car
“Ya … seperti yang Mama lihat saat ini. Ben dan wanita murahan ini tidur di tempat terpisah,” sinis Ben.Kalimat Ben jelas membuat Tristan naik pitam.“Kurang ajar! Kau benar-benar ingin membuatku marah ternyata!”Pria paruh baya itu langsung beranjak dari tempat duduk dan mencengkram kerah pakaian Ben. Tangan kanannya terkepal dan terangkat hendak melayangkan pukulan pada wajah putranya itu.“Pa … tenanglah. Jangan gegabah!” Ernanda ikut bangkit melerai ayah dan anak ini.“Lihat saja putramu ini, Kau terlalu memanjakannya,”“Lalu mau Kau apakan dia, Pa? Mau membunuhnya, hah?”Glek!Tristan menelan ludah, wajahnya memerah padam menahan emosi yang beruap-uap.“Tolong dengarkan aku untuk sekali ini saja. Tenanglah, dan biarkan aku yang mengatasi semua ini.”Nafas Tristan terdengar memburu, perlahan ia menurunkan tangann
Keesokan harinya, ternyata Ernanda tidak jadi datang mengunjungi Ben karena harus menemani suaminya melakukan perjalanan bisnis mendadak ke Eropa. Namun, Ernanda meninggalkan pesan seabrek pada Ben agar lebih memperhatikan Carol.“Jangan biarkan Carol kerja. Kenapa dia harus kerja? Bukankah duit yang mama dan papa kirim untuk setiap bulan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan kalian?”“Kalau butuh duit lebih pun seharusnya Kamu yang kerja, bukan istrimu. Kamu kepala keluarga, Ben.”“Pokoknya mama nggak mau tau, kalau Carol masih kerja disana, mama akan meminta kalian kembali kerumah!”Pagi-pagi sekali Ben harus mendengar ocehan mamanya melalui sambungan telepon.“Males banget. Bel