Ben dan Carol berjalan saling berdampingan. Saat mereka berdua tiba di depan dekat rumah, Galih dan Anita tak sengaja melihat mereka. Kedua orang tua Carol saling menatap, lalu tersenyum bersama.
Mereka senang melihat kedekatan pasangan itu. Sejujurnya, ayah dan ibu Carol juga mengharapkan Carol mau menerima perjodohan itu. Hanya saja mereka tak ingin memaksakan kehendak, sehingga memberikan hak pada putri mereka untuk memilih. Pastinya mereka sangat berharap bisa besanan dengan sahabat mereka.
"Ma, Pa ...," sapa Carol.
Sedangkan Ben tersenyum tipis seraya mengangguk sopan. Perubahan sikap Ben sangat jauh berbeda setelah pulang dari jalan-jalan.
Anita memperlebar senyumannya, "Kalian sudah kembali?" sambutnya. "Tadi, apa kehujanan?" tanya Anita sambil memegang kedua tangan Caroline.
Carol ikut tersenyum, bahkan menyerupai tawa kecil, "Mama ada-ada saja. Iya nggaklah, Ma. Kalo kami hujan-hujanan, ga mungkin masih kering begini, kan?"
"Bener juga sih."
"Kami berteduh di pondok tadi," terang Carol.
"Oh …." Anita melirik Galih, mereka lalu tersenyum bersama.
Kedua orang tua itu senang, mungkin mereka juga membayangkan betapa romantisnya Carol dan Ben di pondok hanya berduaan saja.
"Oh iya, Om, Tante … Mama dan Papa di mana? Apa mereka belum bangun?" Alih Ben.
"Tadi sih belum, tapi entah kalo sekarang. Mereka belum keluar kamar, mungkin memang belum bangun." Anita menjawab.
"Gitu ya, kenapa tidur lama sekali." Ben berkata-kata pelan yang masih bisa didengar oleh yang lain.
"Mungkin Om dan Tante kelelahan," sambung Carol.
"Mungkin begitu,” tanggap Ben singkat.
"Ini sudah hampir jam 5 sore, lebih baik kalian berdua mandi sore dulu aja," saran Anita.
"Iya, bener. Sana mandi!" dukung Galih.
"Baik, Ma, Pa.” Caroline menanggapi.
Caroline melirik ke arah Ben, memberinya kode supaya dia segera memasuki rumah. Sedangkan pikiran Ben saat itu yang sedikit ngaco melototi Caroline.
"Ayo!" Caroline terpaksa bersuara karena Ben hanya terus melototinya tanpa bergerak.
Ben pun dengan ragu mengikuti langkah Caroline setelah mengangguk pada Galih dan Anita.***
Berada di dalam rumah, Ben bersuara.
"Hei … Kamu serius mau mengajakku mandi bareng?"
Caroline sontak membesarkan matanya ketika mendengar itu. Carol melirik kiri kanan, wajahnya tersipu malu, kalimat seperti itu sungguh membuat seorang gadis polos seperti Carol menjadi sangat malu. "Maksudmu apa?" Carol bertanya balik.
"Tadi waktu di depan, Kamu memaksaku ke dalam untuk apa? Mengajakku mandi, kan?"
“I-iya … memangnya kenapa?”
“Serius? Elu mau ngajak gue mandi bareng?”
Caroline reflek mengangkat salah satu tangan menutup mulutnya. Pastinya ia tak menyangka, pemikiran Ben bisa sejauh itu. " Ya ampun, soal itu ... ya maksudnya bukan mandi bareng, tapi bergantian,” jelas Caroline tergelak kecil.
"Oh … kirain ngajak mandi bareng, Hehe." Sesungguhnya Ben juga sedang mengejek gadis itu saja. Melihat ekspresi Carol yang demikian, Ben tiba-tiba melihat sisi lain dari gadis itu. Carol sangat manis. "Dia cantik juga," puji Ben dalam hati.
"Dasar MESUM!" tuding Caroline sejenak kemudian.
Pada saat mereka terlihat begitu akrab, tiba-tiba Tristan dan Ernanda muncul di belakang mereka.
Ehem ….
"Aaah!"
Breg!
Suara Ernanda yang berdehem berhasil membuat Caroline sedikit tersentak, dia langsung membalikkan badannya. Pada saat ia berbalik badan, ternyata ada air pada lantai di dekat tempatnya berdiri. Caroline menginjak air pada lantai, dan tergelincir seketika. Lalu Ben dengan sigap menangkap tubuh Caroline.
Ernanda dan Tristan yang sebelumnya hampir jantungan menyaksikan Caroline yang hampir terjatuh, memperlebar senyuman mereka ketika adegan kecelakaan itu kini justru berganti menjadi adegan romantis.
Bagaimana kedua orang tua itu tak bahagia? Saat itu, Ben dan Carol saling menatap sekian detik dengan posisi tubuh Carol yang terjatuh di lengan kekar Ben. Begitu romantis, seperti cerita di novel-novel saja.
Deg deg deg.
Detak jantung Carol berpacu cepat tak karuan.
"Ma-maaf!" ucap Caroline setelah memperbaiki posisinya. Wajahnya memerah menyerupai tomat, lebih-lebih saat dia menyadari kedua orang tua Ben menyaksikan kejadian memalukan itu.
Carol berusaha bersikap senormal mungkin dengan berusaha tersenyum pada kedua orang tua Ben, juga menyapa mereka.
"Katamu mau mandi, sana mandi! Aku juga mau mandi," alih Ben.
"Ah, iya. Aku permisi dulu ya." Carol menanggapi Ben. Lalu juga beralih pada kedua orang tua Ben. "Om, Tante ... Carol mandi dulu," pamit Carol, segera ngacir secepat kilat tanpa menunggu jawaban dari Tristan dan Ernanda lagi.
Fiuh!Kali ini Caroline benar-benar merasa beruntung, dia sangat berterima kasih pada Ben di dalam hatinya, merasa Ben telah menolongnya terbebas dari rasa malu.
***
Waktu berlalu cukup cepat. Siang berganti sore, dan kini malam pun tiba. Saat ini jarum jam menunjukkan pukul 19.00 waktu setempat. Mereka semua sedang duduk di meja makan, perjamuan makan malam akan berlangsung.
Di meja makan, terjadi banyak sekali percakapan. Suara ibu-ibu lebih mendominasi pastinya. Ernanda dan Anita saling bertukar ceritanya, lalu juga menceritakan banyak hal tentang masa kecil Carol dan Ben yang sewaktu masih berusia sekitar 5 tahunan, mereka berdua pernah bermain bersama.
Ben dan Caroline mendengarkan keseruan yang diceritakan oleh Ernanda dan Anita secara seksama. Sesekali mereka tertawa kecil, juga sangat ingin memungkiri ketika cerita memalukan terungkap di hadapan mereka.
Seperti sewaktu Ben dan keluarganya menginap di rumah keluarga Caroline di masa itu, Caroline memperkenalkan Ben pada teman mainnya, bahwa Ben adalah pacarnya. Begitupun dengan Ben yang setelah pulang ke Jakarta, ia juga bercerita pada teman-teman mainnya bahwa ia memiliki pacar di Bandung, namanya Carol. Dan karena hal ini jugalah kalimat candaan tentang perjodohan itu tercipta di antara orang tua mereka.
"Memangnya itu sungguhan terjadi, Ma? Jangan-jangan hanya karangan Mama saja," protes Ben.
"Ya iyalah, Ben. Itu beneran. Atau jangan-jangan Kamu masih ingat tentang itu? Dan Kamu berpura-pura melupakannya," sindir Ernanda.
"Ah, Mama … ada-ada saja. Ya, tidak mungkinlah. Ben bahkan ga yakin itu benar-benar terjadi. Kalau iya pun lagian itu hanya cerita masa kecil saja."
"Dasar Kamu ini. Cerita masa kecil itu justru sangat berharga."
Selanjutnya, mereka pun melanjutkan aktivitas makan mereka tanpa bersuara lagi. Hanya ada suara dentingan sendok dan garpu yang saling bertemu.
Semua orang tampak sangat menikmati jamuan makan malam itu, kecuali Carol. Jika yang lainnya hanya berkonsentrasi pada makanan mereka, menikmati berbagai cita rasa dari makanan yang mereka santap, Carol lebih kepada memikirkan tentang masalah perjodohan. Sesekali, Carol juga melirik mereka semua yang ada di meja makan satu per satu pada saat yang lain tidak menyadarinya.
Tatapan Carol terhenti pada Ben, sambil bergumam dalam hatinya, "apa lebih baik aku terima saja ya perjodohan itu?"
Bersambung ....
Beberapa saat kemudian, aktivitas makan malam pun usai. Caroline masih saja bergulat dengan pikirannya yang tak berkesudahan. Carol tampak sangat gelisah hingga membuat Anita sedikit heran. “Carol, Kamu kenapa?” tanyanya. Deg! “Hah? hmm … ti-tidak apa-apa,” jawab Carol gelagapan. Anita mengerutkan dahinya sembari mengedarkan pandangannya melirik ke yang lain. Kini, tak hanya Anita yang heran dengan sikap Carol yang demikian, semua yang ada di meja makan ikut merasa heran, lebih-lebih si Ben. Semua mata menatap Carol, membuat Carol sedikit terintimidasi. “Atau jangan-jangan, Kamu sakit?” khawatir Ernanda. “Nggak kok, Tan. Aku hanya ….” “Hanya apa, Carol?” sambung Galih. “Tidak biasanya Kamu bersikap seperti ini,” sambungnya. “Aku … aku mau ….” Carol menghentikan ucapannya, tatapannya tertuju pada Ben yang juga sedang melihat ke arahnya. “Mau apa, Carol?” tanya Anita penasaran. “Hmm ... Um ….” Sika
Ernanda dan Caroline telah mencapai ambang pintu. Anita yang baru selesai menyiapkan bingkisan muncul dari arah dapur. “Nanda, ini untuk kalian!” ucap Anita seraya menyodorkan sebuah bingkisan yang terbungkus rapi di dalam sebuah dus kecil seukuran dus mie instan. “Ya ampun, Nit … tidak perlu serepot ini,” tanggap Ernanda sambil menyambut pemberian Anita. Ernanda juga melirik dus yang terlakban sempurna itu sekilas. “Nggak apa-apa, Nanda. Maaf, hanya bisa memberikan ini saja,” jawab Anita sambil tersenyum. “Ya ampun, ini juga sudah banyak. Seharusnya Kamu tidak perlu melakukan ini,” “Kamu ini, ini bukan apa-apa. Hanya sedikit jajanan murahan saja. Lagian kalian pulang secepat ini, ini pun masih untung kebetulan ada stok di dapur,” “Makasih ya, Nit. Aku juga lupa menyiapkan sedikit oleh-oleh untuk kalian tadi.” Ernanda menggaruk-garuk kepalanya dengan jari telunjuknya merasa tak nyaman. “Tidak apa-apa, Nanda. Kalian sudah
Panggilan tersebut tak lain adalah dari Gaby. Ben masih marah pada kekasihnya itu, ia mengabaikan panggilan tersebut. Dia lebih memilih kembali menatap layar komputer di hadapannya. Kali ini Ben tak lagi melanjutkan pekerjaannya, sudah terlalu lama dirinya menatap layar, kedua matanya bahkan terasa perih. Ben sedang menyimpan data yang ia kerjakan, juga menyimpan beberapa file hasil tulisannya pada masing-masing folder tanpa lupa memberikan nama. Usai itu, Ben mematikan perangkat perangnya satu per satu. Dari LCD, berlanjut pada CPU. Drrrt … drrrt. Baru saja Ben menekan tombol on off pada CPU, benda persegi miliknya kembali bergetar. Tentu saja peneleponnya masih sama dengan yang tadi, yakni Gaby. Huuuh! “Mau apa sih dia?" Ben menatap layar yang menyala cukup lama kali ini. Dia sebenarnya sedikit merindukan Gaby, hanya saja dia juga sangat sakit hati pada Gaby. Tit! Ben mereject panggilan dari Gaby.
Sekitar setengah jam menempuh perjalanan dari bar menuju tempat mereka membooking kamar, akhirnya Ben dan Sandi beserta ketiga wanita malam yang mereka bawa serta tiba di sebuah hotel di kota Jakarta. Dua wanita yang merupakan pasangan satu malam Ben merengkuh manja pada sisi kiri dan kanan Ben. Sedangkan satu wanita lainnya adalah milik Sandi. Mereka berlima kemudian menuju ke arah kamar mereka masing-masing setelah selesai dari meja resepsionis. Tiba di depan kamar nomor 126, Ben dan kedua wanitanya menghentikan langkah mereka. Ben mengangkat salah satu tangannya, menempelkan tangannya itu pada gagang pintu, lalu menekannya ke bawah untuk membukakan pintu baginya, juga bagi kedua wanita di sisi kiri-kanannya itu. Tap tap tap! Langkah Ben Sander masih cukup mantap, dia belum begitu dipengaruhi oleh alkohol. Ben memang cukup kuat minum alkohol, hingga ia tak mudah tumbang. Bug! Ben mendorong salah satu wanitanya hingga terjatuh di temp
Jegrek! Langkah Ben tertuju pada kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Ben ingin membersihkan dirinya lebih dulu sebelum melanjutkan tidurnya lagi. Badannya itu terlalu lengket, bau alkohol lagi. Ben tidak mungkin membiarkan tempat tidur pribadinya terkontaminasi oleh semua itu. Walau dia agak berandalan, tapi dia sangatlah bersih. Desiran air terdengar jelas dari kamar mandi, Ben melakukan kegiatannya itu cukup cepat. Sekitar 5 menit kemudian Ben sudah keluar dari kamar mandi dengan handuk putih yang menutupi bagian bawah dari tubuhnya. Bug! Usai mengganti pakaian, Ben menjatuhkan dirinya di atas tempat tidurnya. Huuuh! "Nyamannya," gumam Ben. Zzttt …. Dalam sekejap saja, Ben telah terlelap kembali. Hanya membutuhkan waktu selama 3 menit, Ben telah memasuki dunia mimpi. Gaby hadir di dalam mimpinya. Ben yang baru saja keluar dari kamar mandi tersentak saat melihat Gaby tiba-tiba berada di kamarnya. "Hei, baga
"Heh, aku peringatkan ya sama Kamu. Bukan berarti setelah Kamu menerima perjodohan itu Kamu bisa berbuat seenaknya atas hidupku. Lagian Kau juga sudah tau kan, aku sudah punya pacar dan aku nggak akan pernah mau dijodohkan denganmu," kecam Ben. Pada saat bersamaan ketika ia mengucapkan kalimat ancaman tersebut, Ernanda hadir di hadapan mereka. "Apa maksudmu berkata sepeerti itu, Ben? Bukankah Kamu sudah berjanji sama mama akan menerima dinikahkan sama Carol?" "Mama ...," sebut Ben kaget bukan main. "Bu-bukan begitu, Ma. Tapi ...." "Tapi apa, Ben? Kamu mau membuat mama jatuh sakit lagi, begitukah?" Ben menggeleng-geleng tanpa dapat mengeluarkan sepatah kata pun lagi. Selalu cara ini yang digunakan Ernanda untuk menaklukan putranya itu dan sialnya selalu ampuh. "Mama kecewa sama Kamu, Ben. Awas saja kalau Kamu berani macam-macam. Pokoknya Kamu tidak boleh lari dari semua ini. Kamu dan Carol akan segera menikah minggu depan," tekan Ernand
"Baik, Tuan." Bi Ina menjawab sambil mengangguk sopan. Baru saja Bi Ina akan berbalik, Ben tiba-tiba bersuara membuat Bi Ina kaget. Tentu saja penyakit latahnya kumat. Jika Tristan dan Ernanda bersikap biasa saja, lain halnya dengan Carol yang baru pertama kali menyaksikan Bi Ina bersikap demikian. Pastinya Carol tertawa kecil dibuatnya. "Malam, Pa! Tumben jam segini sudah di rumah," ucap Ben basa-basi. "Papa sengaja pulang cepat supaya bisa makan malam bareng dengan Caroline," sahut Tristan. "Kamu mau kemana sudah rapi begitu?" Tristan memandang Ben dari atas ke bawah, begitupun sebaliknya. "Keluar, Pa. Mau ke …," terang Ben terjeda. "Ngumpul sama temen, Pa. Iya ngumpul sama Sandi dan yang lainnya," bohong Ben. Sebenarnya dia mau menemui Gaby. Tadi siang batal karena kehilangan mood. Tristan menatap tajam ke arah Ben sembari melengkungkan alis. "Tidak boleh!" ucapnya. "Kamu tidak boleh pergi kemanapun. Duduk, dan temani kami makan malam!" tit
“Tidak, Ma. Maafin Ben, Ben harus pergi sekarang!” Ben bergegas melangkah menuju ke arah pintu keluar.“BE ….” Tristan baru akan membuka suara menanggapi sikap Ben yang sangat buruk itu.“Sudahlah, Pa. Jangan marah-marah,” potong Ernanda cepat.“Kamu masih mau membela dia, hah? Lihat saja kelakuan anakmu itu. Betapa tidak sopannya dia,” cerocos Tristan.“Bukan begitu, Pa. Di sini ada Caroline. Papa mau membuat Caroline ketakutan dengan sikap kasar Papa?”Seakan baru tersadar akan kehadiran Caroline di sana. Sejak tadi, Trist
Ben lari terbirit-birit saat Carol melangkah ke arah pintu utama gedung apartemen. Dia memasuki gedung dengan langkah seribu, lalu menuju lift dan mulutnya komat-kamit berharap pintu lift menutup cepat.Ungtungnya pintu lift tertutup persis saat Carol memutar badan menghadap lift. Gadis itu masih bisa melihat kilas sosok yang ada di dalam sana.“Bukankah itu Ben? Ah mungkin aku salah lihat.”Ting!Ketika tiba di atas, Ben bergegas keluar dari dalam lift kembali ke unitnya.Brak!Saking terburu-burunya dia, Ben menutup pintu dengan membanting pintu tersebut hingga menimbulkan bunyi yang cukup nyaring. Usai itu, ia bersandar di balik pintu untuk mengatur napasnya yang ngos-ngosan.Perlahan pikirannya membawanya menuju kejadian barusan, kejadian yang dia saksikan di luar tadi.“Siapa pria tadi? Jadi dia telat pulang karena pergi dengan pria itu?“Atau jangan-jangan itu pacarnya? Berani sekali dia ber
“Sayang, kamu mau minum apa? Jus jeruk atau alpukat?” tanya Gaby sambil membuka kulkas.Ben tidak menjawab, yang ada juga sih Ben sedang sibuk mikirin Carol.Mau kemana dia? Pakai acara dandan segala lagi.Rumah masih berantakan, udah main pergi ajaa, dia pikir dia siapa?Awas kalau pulang malam. Telat masak, dia yang aku masak!“Sayang … Sayang …,” panggil Gaby berulang. Karena Ben tak kunjung menjawab, Gaby pun memekiknya. “Sayang!”“I-iiiya. Kenapa?”“Aku yang harus bertanya, Kamu kenapa ngelamun gitu? Dari tadi aku manggil-manggil Kamu tapi Kamu nggak jawab-j
Perlahan Carol mengangkat wajahnya, dan ternyata itu adalah Leon. Pria yang menolongnya pagi tadi.“Loh, Kamu mau kemana?” tanya Leon heran.“A-aku mau … akum au pergi karena barusan aku dipecat karena datang terlambat,” jelas Carol.“Dipecat? Sama siapa?”“Sama Bu Riris.”Leon mengangkat kedua alisnya.“Aku permisi ya. Makasih udah nganterin aku tadi!”Carol kembali menunduk, dan melangkahkan kaki.“Tunggu!” tahan Leon.“Jangan pergi, ayo ikut aku kembali!” Leon bahkan langsung menarik tangan Carol mengajaknya kembali ke gedung kantor. Jelas hal itu membuat Carol sangat terkejut.“Kamu mau bawa aku kemana? Lepaskan!” berontak Carol. “Aku udah dipecat, buat apa kembali? Lepaskan aku!”“Tenang aja, aku akan mengurus semuanya. Kamu nggak akan dipecat,”“Maksudmu?”
Carol melangkah ragu menuju gedung seraya menundukkan wajah, dia hanya mengangkat wajah sesekali saja.“Selamat pagi, Mbak Carol!” Seorang pria yang berprofesi sebagai satpam di kantor itu menyapanya. Si satpam ini membuat Carol agak terpelanggat.“Eh … pagi, Pak!” balas Fiona.“Baru datang?”“I-iya … hehehe.”“Itu kenapa pakaiannya kotor begitu, Mbak? Habis terjatuh atau gimana?”“Hm … oh, ini tadi kecipratan,”“Oh … kurang ajar banget yang melakukan itu,”Carol mengangguk, menyetujui perkataan bapak satpam.“Tapi nggak apa-apa, nanti saya coba cuci di toilet. Saya … masuk dulu ya, Pak!”“Oh … iya. Silakan, Mbak!”“Mari!”Carol bergegas memasuki gedung, dan berjalan secepat mungkin menuju ruangan para admin. Beruntung mejanya terletak
Ben meneriaki Carol setelah Carol melewatinya. Carol tak menghiraukan teriakan Ben hingga ia mencapai pintu keluar dengan langkah seribu.“Maaf, aku harus pergi. Aku sudah terlambat!” sahut Carol setelah ia selesai mengenakan sepatu flat di rak sepatu yang ada di dekat pintu dengan tergesa-gesa.“Kau!”“Aaargh!! Sial!! Dia sungguh berani padaku!”Ben hanya bisa megumpat kesal seraya menatap kepergian Carol. Akhirnya bukan dia yang pergi duluan, tapi Carol yang pergi duluan.***Di pinggir jalan, Carol menunggu angkot dengan hati gelisah. Sebenatar-sebentar Carol melirik jam tangannya sekedar ingin tau seterlambat apa dia saat ini. Padahal apa yang dilakukannya itu justru membuatnya semakin gelisah saja.“Gimana ini? Kenapa nggak ada angkot yang lewat?” keluhnya seraya memiringkan badan ke arah depan berharap menemukan angkot yang lewat.Namun bukan angkot yang lewat, j
Pagi-pagi sekali, Carol sudah bangun. Sebelum pergi kerja, ia harus menyiapkan sarapan untuk Ben, juga mengerjakan pekerjaan rumah lainnya, seperti membersihkan rumah, mencuci piring, mencuci pakaian, Ben telah memperingatinya sejak awal memasuki apartemen.Tidak ada asisten rumah tangga disana, jadi sebagai seorang istri yang baik, Carol harus bisa melakukan semua itu. Padahal, Ben sengaja memecat Bi Ondang yang biasa membantu disana. Ben ingin mengerjai Carol, membuat wanita itu lebih cepat menyerah dengan pernikahan palsu itu.Carol sangat penurut, sesuai dengan pesan mamanya, dia akan menuruti semua keinginan suaminya. Sekalipun pernikahannya tidak sesuai dengan keinginan, dia tetap akan melakukan kewajibannya selama statusnya dengan Ben masih menikah.“Masak apa, ya?”
Ben dan Carol barusan tiba di apartemen milik Ben. Carol menurunkan koper dan barang-barang miliknya seorang diri dari dalam mobil."Jalan yang cepet!" sergah Ben.Carol menatap sinis Ben yang memunggunginya usai memberi titah. Ia melangkah dengan cepat."Ngomen aja yang Lo bisa. Bantuin kek. Barang sebanyak ini, gue yang bawa sendiri, terus Lo suruh gue cepat. Dasar nggak waras!" dumel Carol menyerupai berbisik.Setibanya ia di depan pintu gedung apartemen, Ben berbalik hanya sekedar memastikan Carol sudah berjalan sejauh mana. Tentu saja posisi Carol masih cukup jauh."Heh, Manusia siput … lambat amat sih kalau jalan. Cepetan, aku nggak suka menunggu lama," cetus Ben.Car
“Ya … seperti yang Mama lihat saat ini. Ben dan wanita murahan ini tidur di tempat terpisah,” sinis Ben.Kalimat Ben jelas membuat Tristan naik pitam.“Kurang ajar! Kau benar-benar ingin membuatku marah ternyata!”Pria paruh baya itu langsung beranjak dari tempat duduk dan mencengkram kerah pakaian Ben. Tangan kanannya terkepal dan terangkat hendak melayangkan pukulan pada wajah putranya itu.“Pa … tenanglah. Jangan gegabah!” Ernanda ikut bangkit melerai ayah dan anak ini.“Lihat saja putramu ini, Kau terlalu memanjakannya,”“Lalu mau Kau apakan dia, Pa? Mau membunuhnya, hah?”Glek!Tristan menelan ludah, wajahnya memerah padam menahan emosi yang beruap-uap.“Tolong dengarkan aku untuk sekali ini saja. Tenanglah, dan biarkan aku yang mengatasi semua ini.”Nafas Tristan terdengar memburu, perlahan ia menurunkan tangann
Keesokan harinya, ternyata Ernanda tidak jadi datang mengunjungi Ben karena harus menemani suaminya melakukan perjalanan bisnis mendadak ke Eropa. Namun, Ernanda meninggalkan pesan seabrek pada Ben agar lebih memperhatikan Carol.“Jangan biarkan Carol kerja. Kenapa dia harus kerja? Bukankah duit yang mama dan papa kirim untuk setiap bulan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan kalian?”“Kalau butuh duit lebih pun seharusnya Kamu yang kerja, bukan istrimu. Kamu kepala keluarga, Ben.”“Pokoknya mama nggak mau tau, kalau Carol masih kerja disana, mama akan meminta kalian kembali kerumah!”Pagi-pagi sekali Ben harus mendengar ocehan mamanya melalui sambungan telepon.“Males banget. Bel