Suara erangan semakin terdengar jelas saat ia memasuki kamar, perasaan Ben mulai tidak nyaman. Ia merasa ada sesuatu yang terjadi di depan sana, tepatnya di balik sofa bed yang terhalang sandaran.
Ben terus melangkah pelan sembari menyiapkan diri untuk menerima kenyataan jika saja dugaannya memang benar. Jujur saja otaknya sudah kemana-mana saat ini. Dan ...
“Gaby!?” sergah Ben. Matanya melotot seketika saat ia sungguh melihat Gaby sedang berduaan dengan pria lain di balik sofa bed. Pria yang sedang menindih Gaby nampak segera beranjak.
“Be-Ben ….” Gaby jauh lebih terkejut, ia segera meraih apa saja yang ada di dekatnya untuk menutupi bagian sensitif tubuhnya.
“Kau …," sebut Ben tertahan. Ia marah sekali tentunya. "Kau keterlaluan!" bentaknya kemudian. "Aku nggak nyangka, Kau tega berbuat begini sama aku.” Ben menatap tajam Gaby dan kekasih gelapnya itu bergantian.
Gaby segera beranjak menghampiri Ben. Ia meraih lengan Ben, dan berkata, “maafkan aku, Ben, tolong dengarkan aku dulu."
Wuss
Ben menepis tangan perempuan itu.
“Apalagi yang perlu dijelaskan? Kita putus!" tegas Ben. Setelahnya ia segera berbalik lalu melangkah pergi dari kos Gaby. Panggilan perempuan itu yang mencoba mencegah kepergiannya tak lagi dia pedulikan.
***
Duak! Krantang klenting.
Ben menendang sebuah kaleng bekas soft drink yang kebetulan berada di depannya untuk sekedar menghilangkan kekesalannya.
“Aaargh! Sial! Dasar wanita brengsek!” makinya.
2 tahun sudah, Ben menjalin hubungan dengan Gaby, dia sangat mencintai perempuan itu. Walaupun Ben bukan pria yang baik akhlaknya, tapi dia pria yang sangat setia. Selama menjalin hubungan dengan Gaby, Ben tidak pernah selingkuh. Tentu saja dia sangat kecewa ternyata justru Gaby yang menduakannya.
Huuuh!
“Tidur dimana gue malam ini?” Ben berkata sambil bersandar pada sebuah bangunan ruko di dekatnya.
Ben lalu merogoh saku celana jeans yang dikenakannya, mengambil ponselnya hendak melihat jam berapa saat itu.
Saat layar gawainya menyala, bukan angka penunjuk waktu yanng menjadi pusat perhatiannya melainkan belasan panggilan tak terjawab dan 2 pesan masuk dari telepon rumah yang jauh lebih menarik perhatian. Ia agak kaget saat menemukan ternyata belasan panggilan tak terjawab itu adalah dari rumah.
Ben lalu segera membuka salah satu pesan teratas yang dikirimkan Bi Ina siang tadi dan membacanya segera. Netranya membulat seketika. “Jadi Mama sakit?” sebut Ben terkesiap.
Dan dia jauh lebih kaget lagi ketika membaca pesan kedua yang terkirim ke ponselnya sekitar pukul 19.01 barusan. Tanpa berpikir panjang, Ben bergegas berlari dengan sangat cepat mengerahkan seluruh kemampuannya menuju ke suatu tempat yang tertera pada pesan masuk.
***
Setelah kurang lebih 1 jam kemudian Ben tiba di rumah sakit Permata Hati. Ya, Ernanda masuk rumah sakit sekitar jam 7 tadi.
Ernanda terjatuh di lantai saat hendak turun mengambil minum, dan Tristan begitu kaget saat ia yang baru pulang kerja dan menemukan istrinya itu terkapar di lantai. Tristan pun segera membopong Ernanda keluar dari kamar menuju rumah sakit. Ketika melewati Bi Ina, Tristan berpesan pada Bi Ina supaya ia menghubungi Ben. Bi Ina pun mengirimkan pesan kedua pada majikannya itu.
Ben mengatur nafasnya yang ngos-ngosan, menghirup dalam-dalam udara, lalu menghembuskannya pelan sebanyak beberapa kali. Merasa nafasnya mulai teratur, dia pun menghampiri meja informasi.
“Mba, apa di sini ada pasien yang bernama Ernanda Pratiwi? Kronologinya pasien terjatuh di lantai kamar.”
“Sebentar, saya cek dulu ya, Mas,” tanggap wanita yang bertugas.
Ben mengangguk gelisah.Ini adalah rumah sakit kedua yang dimasuki Ben. Bi Ina tidak memberitahukan pada Ben dimana Ernanda dirawat. Ben hanya mengira-ngira rumah sakit langganan keluarganya. Kalau bukan Family Hospital, berarti Permata Hati. Sebelumnya Ben sudah mampir di Family Hospital terlebih dahulu, karena tak menemukan ibunya disana, dia pun menuju ke rumah sakit permata hati. Beruntung, jarak kedua rumah sakit ini cukup berdekatan. Hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit saja baginya untuk mencapai rumah sakit itu sehabis dari rumah sakit yang satunya.
Sesaat setelah mengotak-atik komputernya, wanita itu bersuara,
“Apakah maksud Anda, Ernanda Pratiwi yang beralamat di The Rose Village?”“Iya, benar, Mba,”
“Pasien ada di ruang VVIP nomor 1,”
“Baik, makasih, Mba.
Ben pun bergegas melanjutkan langkahnya dengan berlari menuju ruangan yang dikatakan oleh wanita itu.
***
Ben berdiri di hadapan pintu VVIP nomor 1, ia menatap intens ke arah tulisan yang tertempel di atasnya. Agak ragu hendak mengetuk pintu itu atau tidak, tapi tentu sesaat kemudian, dia tetap mengetuk pintu itu.
Tok tok!
Jegrek!
Tristan yang membukakan pintu untuk Ben. Ayah dan anak itu saling menatap untuk sejenak. Sementara dari tempat tidur, Ernanda bersuara, “Siapa, Pa?”
Ben pun menerobos masuk tanpa menyapa ayahnya sama sekali. Dia masih marah pada Tristan. Ia sangat keras kepala, tidak mungkin memaafkan ayahnya itu begitu saja.
“Ma …, “ sapa Ben.
“Ben?!” Wajah Ernanda sontak berseri-seri. “Kamu disini, Nak? Mama sangat merindukanmu,” lirih Ernanda.
Ben yang sudah berada di dekat ibunya menundukkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya ke arah wajah ibunya.
Cup, cup, Ben mengecup pipi kanan dan pipi kiri ibunya, tak lupa juga dengan keningnya.“Maafin Ben, Ma."Ernanda mengangguk pelan. “Tidak apa-apa, Ben.”
Ernanda lalu memperhatikan Ben secara seksama seraya memegang kedua lengan putranya itu.
“Lihat saja dirimu, baru pergi beberapa hari saja sudah sekurus ini. Kamu pasti tidak makan dengan benar, iya kan?”
Ben tersenyum kecil, juga memperhatikan dirinya sendiri. “Mama ini bisa aja, mana ada kurus, Ma, Ben makan dengan baik kok. Buktinya, Ben sehat-sehat aja, kan? Mama tu yang tidak makan dengan baik, sampai sakit seperti ini.”
“Makanya, Kamu juga sih, hobinya melawan Mama.” Ernada terdiam sejenak, beberapa detik kemudian, dia kembali berucap, “Ben, mengenai perjodohan itu … Mama masih berharap Kamu menerimanya,” tambah Ernanda.
“Mama … kenapa masih ngomongin tentang itu?”
“Sshh!” desis Ernanda tetiba sambil memegang kepalanya.
“Mama … Mama kenapa?” tanya Ben panik.
Dari kejauhan, Tristan tampaknya ikut panik, dia langsung berlari menuju ke tempat tidur Ernanda.
“Minggir Kamu,” usir Tristan menggeser posisi putranya dengan lengannya.
“Ma … Mama tidak apa-apa, kan? Apa kepalanya sakit lagi?” selidik Tristan khawatir sekali.“Iya, Pa. Kepala mama sakit banget,” lirih Ernanda. Ernanda membuka salah satu matanya. Tristan mengerutkan dahi, Ernanda memberinya kode supaya ia mengikuti sandiwaranya. Tristan yang sebelumnya panik sungguhan pun mengerti, dan mengikuti drama yang sedang diperankan oleh istrinya itu.
“Sakit banget ya, Ma? Gimana ini? Bagian mana yang sakit?” tanya Tristan tetap memperlihatkan kepanikannya.
“Ma, bertahanlah. Atau Ben panggilkan dokter ya,” sambung Ben.
“Tidak, tidak perlu, Ben,” tolak Ernanda. “Kemarilah!” tambahnya, Tristan menyingkir memberikan ruang bagi Ben.
“Sshh!” desisnya lagi setelah Ben menggantikan posisi Tristan.
“Bagian mana yang sakit, Ma?” ben terlihat sangat khawatir.
“Disini, Ben.” Ernanda memegang kepala bagian kirinya.
“Lebih baik, Ben panggilkan dokter saja ya,” saran Ben lagi.
“Tidak, tidak perlu, Ben."
“Terus, apa yang harus Ben lakukan, Ma? Mama kesakitan begini hanya dokter yang tau cara ngilanginnya.” Entahlah dia tiba-tiba menyesal pernah menolak saat ditawarkan ibunya berkuliah di bidang kedokteran dulunya. Pikiran Ben sungguh sedang sangat kacau saat ini.
"Mama tidak memerlukan dokter, mama hanya butuh Kamu, Ben."
"Maksud Mama?"
Ernanda tersenyum awkward melihat ekspresi Ben yang tampak begitu panik. Ia jelas senang sandiwaranya itu ternyata berhasil.
“Terimalah perjodohan itu, Ben,” pinta Ernanda kemudian.
Ben melengkungkan alisnya sekarang, sepertinya dia bisa mencium bau-bau drama yang sedang dimainkan oleh Ernanda. Mana mungkin sakit kepala bisa dihilangkan dengan urusan perjodohan. Sungguh terlalu aneh.
Ben memang tidak mudah ditipu. Namun Ernanda jauh lebih gesit, dia bergegas memperdalam perannya.
“Sshh! Aduh … sakit sekali, ssshh …,” desisnya memperdalam sandiwara.
“Ma, Ma, Mama tidak apa-apa, kan? Mana yang sakit, Ma?” Ben kembali panik.
Tak hanya Ben, Tristan juga sedikit panik, sandiwara Ernanda memang sangat sempurna.“Te-ri-ma-lah per-jo-dohan itu. Sshh ….”
Kalimat Ernanda sungguh terdengar aneh, apa hubungannya sakit kepala dengan perjodohan. Ingin sekali Ben mengungkapkan isi kepalanya ini tapi juga tidak tega. Ben masih diam tak menjawab hingga Ernanda harus memperdalam sandiwaranya sekali lagi. Dan kali ini lebih sempurna lagi hingga Ben segera menanggapi kalimatnya itu.
“Baik, Ma. Baik. Ben terima perjodohan itu."
Bersambung ....
Ben sangat mencintai ibunya, apapun akan dia lakukan demi keselamatan ibunya. Walaupun rasanya sangat tidak masuk akal, permintaan ibunya itu jelas-jelas tidak ada hubungannya dengan penyakitnya, Ben tetap memilih mengalah. Mendengar jawaban putranya itu, Ernanda sontak membuka kedua matanya, “benarkah?" Ben menanggapu dengan mengangguk pasti. Ernanda pun menyudahi dramanya dengan beranjak segera dari posisi baringnya memeluk Ben membuat putranya itu tersadar seketika ternyata dia sudah dikerjai oleh ibunya. "Makasih ya, Ben sudah mau menerima perjodohan itu," ucapnya Ernanda tersenyum bahagia. *** Minggu pagi, Keluarga Susanto sedang mempersiapkan diri akan mengunjungi kediaman Caroline. Mereka akan meramal gadis itu untuk putra mereka. Namun sebelum menempuh perjalanan yang cukup jauh ini, mereka sarapan terlebih dulu. Hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit saja bagi mereka untuk menuntaskan aktivitas makan pagi. Usai itu, mereka p
Caroline terbengong sejenak di depan pintu. Dia baru saja tiba di rumah, dan tanpa sengaja mendengar ucapan Tristan yang menyebut kata perjodohan. Namun ia tidak langsung menanyakan perihal tersebut seolah-olah ia tidak mendengar apapun. “Eh, Carol … kamu sudah pulang, Nak?” Anita beranjak dari tempat duduknya namun tak melangkah, melainkan Caroline yang menghampiri perkumpulan kecil itu. Keadaan sedikit menghening saat ini. Tap tap tap. Perlahan, Carol melangkah memasuki rumahnya, langkahnya langsung tertuju ke arah ruang tamu. Tiba di dekat meja tamu, Carol menatap Ben penuh arti, Ben melirik Carol kilas kemudian segera beralih pada layar pipih yang masih menyala. "Yang bener saja, jadi dia cewek yang akan dijododin ke gue? Ya ampun, cewek kampungan begini akan dijodohkan ke gue? Apa kata dunia?" batinnya tak terima. “Hai, Sayang, ternyata Kamu sudah bertumbuh jadi wanita cantik,” puji Ernanda yang membuat Ben mengernyitkan wajahnya sambil
“Ben nggak capek, mau jalan-jalan di luar saja,” ujar Ben “Kalau begitu, biar Carol yang menemanimu, Nak Ben,” saran Galih yang membuat Carol mengangkat kedua alisnya. Ben melirik Caroline sekilas, lalu bersuara, “tidak perlu, Om. Ben bisa sendiri kok.” “Jangan, nanti Kamu tersesat. Biar Carol saja yang menemanimu, Nak Ben,” sambung Anita. “Iya, bener. Kalian berdua juga bisa saling mengenal lebih dekat. Pergilah sama Carol, Ben.” Ernanda ikut bersuara. Ben pun terdiam sekarang. Apalagi Carol juga sejak tadi hanya diam saja. Ben tak memiliki alasan untuk terus melakukan penolakan. “Ben keluar dulu ya, Ma, Pa.” Ia memilih pamit segera, lalu berbalik secepat mungkin tanpa menjawab setuju atau tidak akan saran para orang tua itu. Sementara pastinya Caroline masih terdiam di tempat, dia tidak tak tau harus melakukan apa sebab tak ada jawaban dari pria itu. Ernanda segera memberi kode padanya supaya gadis polos itu mengejar Ben yang
Ben dan Carol berjalan saling berdampingan. Saat mereka berdua tiba di depan dekat rumah, Galih dan Anita tak sengaja melihat mereka. Kedua orang tua Carol saling menatap, lalu tersenyum bersama. Mereka senang melihat kedekatan pasangan itu. Sejujurnya, ayah dan ibu Carol juga mengharapkan Carol mau menerima perjodohan itu. Hanya saja mereka tak ingin memaksakan kehendak, sehingga memberikan hak pada putri mereka untuk memilih. Pastinya mereka sangat berharap bisa besanan dengan sahabat mereka. "Ma, Pa ...," sapa Carol. Sedangkan Ben tersenyum tipis seraya mengangguk sopan. Perubahan sikap Ben sangat jauh berbeda setelah pulang dari jalan-jalan. Anita memperlebar senyumannya, "Kalian sudah kembali?" sambutnya. "Tadi, apa kehujanan?" tanya Anita sambil memegang kedua tangan Caroline. Carol ikut tersenyum, bahkan menyerupai tawa kecil, "Mama ada-ada saja. Iya nggaklah, Ma. Kalo kami hujan-hujanan, ga mungkin masih kering begini, kan?" "B
Beberapa saat kemudian, aktivitas makan malam pun usai. Caroline masih saja bergulat dengan pikirannya yang tak berkesudahan. Carol tampak sangat gelisah hingga membuat Anita sedikit heran. “Carol, Kamu kenapa?” tanyanya. Deg! “Hah? hmm … ti-tidak apa-apa,” jawab Carol gelagapan. Anita mengerutkan dahinya sembari mengedarkan pandangannya melirik ke yang lain. Kini, tak hanya Anita yang heran dengan sikap Carol yang demikian, semua yang ada di meja makan ikut merasa heran, lebih-lebih si Ben. Semua mata menatap Carol, membuat Carol sedikit terintimidasi. “Atau jangan-jangan, Kamu sakit?” khawatir Ernanda. “Nggak kok, Tan. Aku hanya ….” “Hanya apa, Carol?” sambung Galih. “Tidak biasanya Kamu bersikap seperti ini,” sambungnya. “Aku … aku mau ….” Carol menghentikan ucapannya, tatapannya tertuju pada Ben yang juga sedang melihat ke arahnya. “Mau apa, Carol?” tanya Anita penasaran. “Hmm ... Um ….” Sika
Ernanda dan Caroline telah mencapai ambang pintu. Anita yang baru selesai menyiapkan bingkisan muncul dari arah dapur. “Nanda, ini untuk kalian!” ucap Anita seraya menyodorkan sebuah bingkisan yang terbungkus rapi di dalam sebuah dus kecil seukuran dus mie instan. “Ya ampun, Nit … tidak perlu serepot ini,” tanggap Ernanda sambil menyambut pemberian Anita. Ernanda juga melirik dus yang terlakban sempurna itu sekilas. “Nggak apa-apa, Nanda. Maaf, hanya bisa memberikan ini saja,” jawab Anita sambil tersenyum. “Ya ampun, ini juga sudah banyak. Seharusnya Kamu tidak perlu melakukan ini,” “Kamu ini, ini bukan apa-apa. Hanya sedikit jajanan murahan saja. Lagian kalian pulang secepat ini, ini pun masih untung kebetulan ada stok di dapur,” “Makasih ya, Nit. Aku juga lupa menyiapkan sedikit oleh-oleh untuk kalian tadi.” Ernanda menggaruk-garuk kepalanya dengan jari telunjuknya merasa tak nyaman. “Tidak apa-apa, Nanda. Kalian sudah
Panggilan tersebut tak lain adalah dari Gaby. Ben masih marah pada kekasihnya itu, ia mengabaikan panggilan tersebut. Dia lebih memilih kembali menatap layar komputer di hadapannya. Kali ini Ben tak lagi melanjutkan pekerjaannya, sudah terlalu lama dirinya menatap layar, kedua matanya bahkan terasa perih. Ben sedang menyimpan data yang ia kerjakan, juga menyimpan beberapa file hasil tulisannya pada masing-masing folder tanpa lupa memberikan nama. Usai itu, Ben mematikan perangkat perangnya satu per satu. Dari LCD, berlanjut pada CPU. Drrrt … drrrt. Baru saja Ben menekan tombol on off pada CPU, benda persegi miliknya kembali bergetar. Tentu saja peneleponnya masih sama dengan yang tadi, yakni Gaby. Huuuh! “Mau apa sih dia?" Ben menatap layar yang menyala cukup lama kali ini. Dia sebenarnya sedikit merindukan Gaby, hanya saja dia juga sangat sakit hati pada Gaby. Tit! Ben mereject panggilan dari Gaby.
Sekitar setengah jam menempuh perjalanan dari bar menuju tempat mereka membooking kamar, akhirnya Ben dan Sandi beserta ketiga wanita malam yang mereka bawa serta tiba di sebuah hotel di kota Jakarta. Dua wanita yang merupakan pasangan satu malam Ben merengkuh manja pada sisi kiri dan kanan Ben. Sedangkan satu wanita lainnya adalah milik Sandi. Mereka berlima kemudian menuju ke arah kamar mereka masing-masing setelah selesai dari meja resepsionis. Tiba di depan kamar nomor 126, Ben dan kedua wanitanya menghentikan langkah mereka. Ben mengangkat salah satu tangannya, menempelkan tangannya itu pada gagang pintu, lalu menekannya ke bawah untuk membukakan pintu baginya, juga bagi kedua wanita di sisi kiri-kanannya itu. Tap tap tap! Langkah Ben Sander masih cukup mantap, dia belum begitu dipengaruhi oleh alkohol. Ben memang cukup kuat minum alkohol, hingga ia tak mudah tumbang. Bug! Ben mendorong salah satu wanitanya hingga terjatuh di temp
Ben lari terbirit-birit saat Carol melangkah ke arah pintu utama gedung apartemen. Dia memasuki gedung dengan langkah seribu, lalu menuju lift dan mulutnya komat-kamit berharap pintu lift menutup cepat.Ungtungnya pintu lift tertutup persis saat Carol memutar badan menghadap lift. Gadis itu masih bisa melihat kilas sosok yang ada di dalam sana.“Bukankah itu Ben? Ah mungkin aku salah lihat.”Ting!Ketika tiba di atas, Ben bergegas keluar dari dalam lift kembali ke unitnya.Brak!Saking terburu-burunya dia, Ben menutup pintu dengan membanting pintu tersebut hingga menimbulkan bunyi yang cukup nyaring. Usai itu, ia bersandar di balik pintu untuk mengatur napasnya yang ngos-ngosan.Perlahan pikirannya membawanya menuju kejadian barusan, kejadian yang dia saksikan di luar tadi.“Siapa pria tadi? Jadi dia telat pulang karena pergi dengan pria itu?“Atau jangan-jangan itu pacarnya? Berani sekali dia ber
“Sayang, kamu mau minum apa? Jus jeruk atau alpukat?” tanya Gaby sambil membuka kulkas.Ben tidak menjawab, yang ada juga sih Ben sedang sibuk mikirin Carol.Mau kemana dia? Pakai acara dandan segala lagi.Rumah masih berantakan, udah main pergi ajaa, dia pikir dia siapa?Awas kalau pulang malam. Telat masak, dia yang aku masak!“Sayang … Sayang …,” panggil Gaby berulang. Karena Ben tak kunjung menjawab, Gaby pun memekiknya. “Sayang!”“I-iiiya. Kenapa?”“Aku yang harus bertanya, Kamu kenapa ngelamun gitu? Dari tadi aku manggil-manggil Kamu tapi Kamu nggak jawab-j
Perlahan Carol mengangkat wajahnya, dan ternyata itu adalah Leon. Pria yang menolongnya pagi tadi.“Loh, Kamu mau kemana?” tanya Leon heran.“A-aku mau … akum au pergi karena barusan aku dipecat karena datang terlambat,” jelas Carol.“Dipecat? Sama siapa?”“Sama Bu Riris.”Leon mengangkat kedua alisnya.“Aku permisi ya. Makasih udah nganterin aku tadi!”Carol kembali menunduk, dan melangkahkan kaki.“Tunggu!” tahan Leon.“Jangan pergi, ayo ikut aku kembali!” Leon bahkan langsung menarik tangan Carol mengajaknya kembali ke gedung kantor. Jelas hal itu membuat Carol sangat terkejut.“Kamu mau bawa aku kemana? Lepaskan!” berontak Carol. “Aku udah dipecat, buat apa kembali? Lepaskan aku!”“Tenang aja, aku akan mengurus semuanya. Kamu nggak akan dipecat,”“Maksudmu?”
Carol melangkah ragu menuju gedung seraya menundukkan wajah, dia hanya mengangkat wajah sesekali saja.“Selamat pagi, Mbak Carol!” Seorang pria yang berprofesi sebagai satpam di kantor itu menyapanya. Si satpam ini membuat Carol agak terpelanggat.“Eh … pagi, Pak!” balas Fiona.“Baru datang?”“I-iya … hehehe.”“Itu kenapa pakaiannya kotor begitu, Mbak? Habis terjatuh atau gimana?”“Hm … oh, ini tadi kecipratan,”“Oh … kurang ajar banget yang melakukan itu,”Carol mengangguk, menyetujui perkataan bapak satpam.“Tapi nggak apa-apa, nanti saya coba cuci di toilet. Saya … masuk dulu ya, Pak!”“Oh … iya. Silakan, Mbak!”“Mari!”Carol bergegas memasuki gedung, dan berjalan secepat mungkin menuju ruangan para admin. Beruntung mejanya terletak
Ben meneriaki Carol setelah Carol melewatinya. Carol tak menghiraukan teriakan Ben hingga ia mencapai pintu keluar dengan langkah seribu.“Maaf, aku harus pergi. Aku sudah terlambat!” sahut Carol setelah ia selesai mengenakan sepatu flat di rak sepatu yang ada di dekat pintu dengan tergesa-gesa.“Kau!”“Aaargh!! Sial!! Dia sungguh berani padaku!”Ben hanya bisa megumpat kesal seraya menatap kepergian Carol. Akhirnya bukan dia yang pergi duluan, tapi Carol yang pergi duluan.***Di pinggir jalan, Carol menunggu angkot dengan hati gelisah. Sebenatar-sebentar Carol melirik jam tangannya sekedar ingin tau seterlambat apa dia saat ini. Padahal apa yang dilakukannya itu justru membuatnya semakin gelisah saja.“Gimana ini? Kenapa nggak ada angkot yang lewat?” keluhnya seraya memiringkan badan ke arah depan berharap menemukan angkot yang lewat.Namun bukan angkot yang lewat, j
Pagi-pagi sekali, Carol sudah bangun. Sebelum pergi kerja, ia harus menyiapkan sarapan untuk Ben, juga mengerjakan pekerjaan rumah lainnya, seperti membersihkan rumah, mencuci piring, mencuci pakaian, Ben telah memperingatinya sejak awal memasuki apartemen.Tidak ada asisten rumah tangga disana, jadi sebagai seorang istri yang baik, Carol harus bisa melakukan semua itu. Padahal, Ben sengaja memecat Bi Ondang yang biasa membantu disana. Ben ingin mengerjai Carol, membuat wanita itu lebih cepat menyerah dengan pernikahan palsu itu.Carol sangat penurut, sesuai dengan pesan mamanya, dia akan menuruti semua keinginan suaminya. Sekalipun pernikahannya tidak sesuai dengan keinginan, dia tetap akan melakukan kewajibannya selama statusnya dengan Ben masih menikah.“Masak apa, ya?”
Ben dan Carol barusan tiba di apartemen milik Ben. Carol menurunkan koper dan barang-barang miliknya seorang diri dari dalam mobil."Jalan yang cepet!" sergah Ben.Carol menatap sinis Ben yang memunggunginya usai memberi titah. Ia melangkah dengan cepat."Ngomen aja yang Lo bisa. Bantuin kek. Barang sebanyak ini, gue yang bawa sendiri, terus Lo suruh gue cepat. Dasar nggak waras!" dumel Carol menyerupai berbisik.Setibanya ia di depan pintu gedung apartemen, Ben berbalik hanya sekedar memastikan Carol sudah berjalan sejauh mana. Tentu saja posisi Carol masih cukup jauh."Heh, Manusia siput … lambat amat sih kalau jalan. Cepetan, aku nggak suka menunggu lama," cetus Ben.Car
“Ya … seperti yang Mama lihat saat ini. Ben dan wanita murahan ini tidur di tempat terpisah,” sinis Ben.Kalimat Ben jelas membuat Tristan naik pitam.“Kurang ajar! Kau benar-benar ingin membuatku marah ternyata!”Pria paruh baya itu langsung beranjak dari tempat duduk dan mencengkram kerah pakaian Ben. Tangan kanannya terkepal dan terangkat hendak melayangkan pukulan pada wajah putranya itu.“Pa … tenanglah. Jangan gegabah!” Ernanda ikut bangkit melerai ayah dan anak ini.“Lihat saja putramu ini, Kau terlalu memanjakannya,”“Lalu mau Kau apakan dia, Pa? Mau membunuhnya, hah?”Glek!Tristan menelan ludah, wajahnya memerah padam menahan emosi yang beruap-uap.“Tolong dengarkan aku untuk sekali ini saja. Tenanglah, dan biarkan aku yang mengatasi semua ini.”Nafas Tristan terdengar memburu, perlahan ia menurunkan tangann
Keesokan harinya, ternyata Ernanda tidak jadi datang mengunjungi Ben karena harus menemani suaminya melakukan perjalanan bisnis mendadak ke Eropa. Namun, Ernanda meninggalkan pesan seabrek pada Ben agar lebih memperhatikan Carol.“Jangan biarkan Carol kerja. Kenapa dia harus kerja? Bukankah duit yang mama dan papa kirim untuk setiap bulan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan kalian?”“Kalau butuh duit lebih pun seharusnya Kamu yang kerja, bukan istrimu. Kamu kepala keluarga, Ben.”“Pokoknya mama nggak mau tau, kalau Carol masih kerja disana, mama akan meminta kalian kembali kerumah!”Pagi-pagi sekali Ben harus mendengar ocehan mamanya melalui sambungan telepon.“Males banget. Bel