Benar saja, sore itu Azlan membawaku ke rumah baru. Rumahnya memang tak sebesar rumah yang dijanjikan waktu itu, hanya saja suasana yang begitu tenang dan nyaman begitu kunikmati. Sebuah rumah modern dengan gaya minimalis, dan yang paling aku suka adalah sebuah taman dan kolam di bagian belakang. Bahkan terdapat rooftop yang dapat digunakan untuk menikmati indahnya senja."Kamu suka rumah ini, Ra? Tanya Azlan dengan senyuman mengembang.Aku mengangguk. "Sangat suka, Azlan. Lihat, dari sini aku bisa melihat matahari yang akan kembali ke peraduan!" seruku dengan penuh rasa bahagia.Sejenak semua derita batin yang selama ini kutanggung, berasa sirna berganti bahagia yang begitu luar biasa."Thanks, My Hubby." Kupeluk Azlan dengan begitu hangat.Debar jantung ini kembali tak teratur. Entahlah ... apakah ini pertanda aku sedang jatuh cinta kepada lelaki tampan ini? Ah, tepatnya lelaki tampan suami orang.Aku merasa penasaran, apakah Azlan juga merasakan hal yang sama? Diam-diam tangan kana
"Terima kasih untuk makan malam yang lezat ini, Sayang." Untuk pertama kali aku mendengar Azlan memanggilku dengan sebutan 'sayang'.Ucapannya mampu melambungkan perasaanku, begitu tinggi dan tak ingin kembali jatuh.Kedua tangan Azlan merangkul pinggangku, dan dia membiarkan kedua tanganku bergelayut manja di lehernya. "Kamu mau berdansa?" tanya Azlan dengan wajah sumringah."Dansa? Tapi aku nggak pernah, dan aku nggak tahu caranya berdansa.""Tak masalah. Kita dansa di rooftop sambil menikmati indahnya langit malam, gimana?"Aku mengangguk setuju. Azlan segera mengambil speaker box kecil yang terletak di sudut ruangan dekat televisi, kemudian membawanya ke rooftop. Tak lupa tangan kanannya menggandeng jemariku.Sesampainya di atas, Azlan menyalakan musik romantis. Cocok sekali dengan suasana malam yang cerah, langit bertaburan bintang dan cahaya bulan separuh. Selama sekian tahun di Jakarta, baru kali ini aku menyadari indahnya langit malam.Kubentangkan kedua tangan, memejamkan ma
[Mas, kamu jangan lama-lama dengan wanita murahan itu!][Ingat, tugas kamu hanya menghamili saja. Kita hanya butuh rahim dia, jadi jangan ambil kesempatan lebih dari itu.]Membaca dua baris pesan dari Elina itu saja, dadaku terasa sangat nyeri. Dugaanku benar, Azlan hanya menjalankan perintah istrinya yang egois itu.Rasanya aku sudah tak sanggup membaca chat berikutnya. Bisa jadi hanya akan lebih menyakitkan, dan mungkin akan membuat sisi gelapku memberontak lebih parah."Elina, lo akan lihat apa yang bisa gue lakuin ke Azlan. Jangan salahin gue kalau suami lo akhirnya jatuh ke pelukan gue ... untuk selamanya," gumamku dengan hati yang geram, bahkan tangan ini pun turut mengepal.Kembali kutatap Azlan. Wajah tampan tapi sayang ... bisa dipermainkan oleh istrinya. Kurasa ... hmm ... aku punya cara untuk membuka mata hati dan pikiran lelaki itu.Sejenak otakku berpikir, mulai menyusun rencana agar pertarungan dimenangkan olehku, bukan Elina si nenek sihir itu. Wanita siluman lebih tepa
"Lo mau ngomong apa, Ra? Ada masalah dengan si Azlan?" tanya Flora sembari duduk di dekatku."Kaga. Cuman coba lo liat ini," ujarku seraya menyodorkan ponselku."Apaan?""Liat aja sendiri."Sengaja aku rekam semua chat Elina tadi pagi, agar Flora cepat tanggap dan paham apa yang akan aku lakukan."Gila tuh ya wanita setan. Dia yang butuh lo, tapi kenapa dia yang ngerendahin lo? Emang kudu dikasih pelajaran tuh orang!" ucap Flora dengan penuh emosi, tangan kanannya mengepal dan memukul telapak tangan kirinya."So, gue ke sini karena butuh bantuan lo. Bantu gue kasih pelajaran ke tuh cewek."Sejenak Flora terdiam, dia mencoba berpikir dengan serius. Setelah beberapa saat berpikir, Flora menatapku. "Lo punya rencana apa?"Haissh ... setelah sekian purnama menanti dia berpikir, kenapa malah balik tanya? Emang dasar geblek nih teman kaga ada akhlak! umpatku dalam hati seraya tepuk jidat.Melihat sikapku, Flora malah tertawa. Tingkahnya justru membuat aku mendelik."Oke, kita serius sekaran
(POV Elina)Aku Elina, istri dari pewaris tunggal kekayaan keluarga Wijaya Pratama. Sebuah keberuntungan bagiku, bisa membuat seorang Azlan Pratama jatuh cinta. Azlan mencintaiku sejak kami sama-sama kuliah. Dia adalah kakak tingkat, dan aku dua tingkat di bawahnya.Selain tampan, Azlan terkenal sebagai anak konglomerat. Sudah pasti tajir parah. Meskipun dari golongan atas, Azlan bukanlah lelaki sombong yang sok jaga image. Dia begitu ramah dan baik ke siapa saja. sudah pasti, dia menjadi idola di kampus.Waktu itu, aku harus bersaing dengan ribuan gadis. Ya ... anggap saja ribuan, karena nyatanya memang begitu banyak fans Azlan. Apalagi Azlan adalah aktivis yang sering tampil di depan umum.Pertemuanku dengan Azlan bukan sebuah kebetulan, tepatnya memang sudah aku rencanakan. Sejak awal melihat dia ketika masa ospek, aku sudah menjadikan Azlan sebagai target. Tentu saja bukan sembarang menargetkan, aku memilihnya karena sudah pasti dia bisa menjamin masa depanku yang terang benderang
"Pak Derry, saya ingin wanita yang special dan tolong juga pastikan kesehatan dia. Tahu sendiri kan, wanita yang dipakai banyak orang tuh rentan penyakit." Begitu pesanku pada lelaki mucikari itu.Dia mengangguk paham, kemudian mengajakku ke sebuah tempat clubbing. Cukup berkelas, karena yang datang ke sana adalah manusia yang memiliki strata sosial tinggi. Bisa dibilang tempat itu pusatnya para sugar daddy mencari peliharaan.Dari kejauhan, Derry menunjukkan dua orang gadis yang sedang duduk menikmati minuman di sana. Katanya sih, dua orang gadis itu termasuk primadona di sini. Bayarannya cukup tinggi dan customernya bukan orang sembarangan."Mereka paling special di sini, Nyonya Luna. Tidak sembarang lelaki mereka terima, tarifnya pun tidak murah," ujar Derry.Sengaja aku memperkenalkan nama samaran, karena aku tidak ingin siapapun tahu apa yang kulakukan ini."Siapa yang memakai gaun biru itu, Pak?" tanyaku yang lebih tertarik dengan wajah kalem gadis bergaun biru."Dia Flora.""Ak
Hari ini adalah pemeriksaan kedua wanita itu. Aku sengaja tidak turut serta ke rumah sakit. Bagiku, berdekatan lama-lama dengan wanita seperti mereka bisa membuat martabatku turun. Jadi, hanya Mas Azlan saja yang mengurus semuanya.Cukup lama aku menanti. Hingga lewat tengah hari, barulah mobil Azlan datang. Bergegas aku keluar rumah, datang menghampiri dia yang baru saja turun dari mobil."Gimana hasilnya, Mas?" tanyaku tidak sabaran ingin tahu hasil pemeriksaan kedua wanita itu."Kita bicara di dalam, Sayang. Mas haus dan laper, jadi mau makan dulu, ya."Aku mendengkus. Sungguh tidak asyik suamiku ini. Lagi kepo kepo-nya malah dengan santai meninggalkan aku dengan rasa penasaran tingkat dewa.Aku berharap, Flora yang terpilih. Entah kenapa, aku merasa kurang cocok dengan wanita yang satunya. Wanita itu tampak terlalu menggoda bagi Azlan, aura sensual itu begitu kuat. Sebagai seorang istri, tentu saja aku takut jika Azlan benar-benar tergoda.Setengah berlari, aku susul Azlan. "Mas m
Benar kata Azlan, kepergian kami ke Bali justru membuat hati ini semakin sakit. Aku harus mengantarkan suamiku ke kamar wanita lain, hanya demi menikmati malam pertama mereka.Jujur, aku tidak bisa membayangkan bagaimana mereka menikmati percintaan itu. Aku tidak mampu membayangkan bagaimana wanita itu mendesah keenakan, menikmati setiap sentuhan Azlan."Kamu yakin, El?" tanya Azlan saat aku hendak mengantarnya ke kamar Nara."Mas ... dari hati yang terdalam, aku memang belum bisa menerima semua ini. Tapi kalau aku tidak merelakan kamu dengan Nara, maka rumah tangga kita akan hancur. Saat ini aku berada di antara dua jurang, aku tidak memiliki pilihan lagi, Mas."Tangisku kembali pecah. Aku menangis tersedu di bahu Azlan, dia merengkuhku, memeluk dengan erat. Aku bisa merasakan bahwa dia pun sangat berat melakukan itu semua.Azlan memang laki-laki yang sangat berbeda. Kesetiaannya, rasa cintanya, kasih sayangnya, semua benar-benar telah teruji dan begitu besar padaku."Dengar, Elina.
Akhirnya aku bisa bernapas lega, Azlan mampu mengatasi kecurigaan istrinya Om Fadli. Hampir saja bertambah masalah baru, dan aku yakin kalau sampai wanita tahu, mungkin akan terjadi hal lain juga.Azlan kembali melajukan mobil menuju ke rumah kediaman keluarga Wijaya Pratama. Sepanjang jalan aku merasa seperti seekor belut yang mengantar diri untuk dijadikan sate. Namun, aku sudah mempersiapkan diri. Apapun yang terjadi, aku siap menghadapi.Mobil memasuki area parkir depan istana mewah, jantungku semakin berdetak kencang. Umpatan dan caci maki sudah memenuhi pikiran, bahkan saat ini kedua tanganku telah menjadi dingin karena pikiran-pikiran itu.Azlan yang melihatku dilanda kecemasan, dia segera menggenggam jemariku dan memberikan penguatan. Perlahan aku turun dari mobil, kemudian melangkah menuju teras rumah. Genggaman tangan Azlan kurasakan semakin erat saat kaki kami menginjak lantai depan pintu.Baru saja hendak menekan bel, terdengar sebuah teriakan. "Aku sudah bilang, sampai ma
Azlan membuntutiku hingga ke kamar. Setelah dia membersihkan diri, dia pun duduk di tepi ranjang. Tatapannya penuh tanda tanya, tetapi tak ada sirat kemarahan atas sikapku. Aku tahu, Azlan pasti paham akan kekhawatiranku."Nara, apa kamu sudah pikirkan matang-matang tindakan kamu ini?" tanya Azlan sembari menyingkirkan anak rambutku ke belakang telinga."Aku sudah pertimbangkan semuanya, Azlan. Aku tahu, Mama akan mengusirku. Aku tahu Mama akan memisahkan aku dari kamu dan anak-anak. Jika aku tidak mengantisipasi dari sekarang, justru akan semakin sulit menyelamatkan rumah tangga kita." Suaraku terdengar bergetar, menahan perihnya batin yang terhempas oleh badai kenyataan."Maafkan aku ya, Ra. Aku gagal menjaga rahasia siapa diri kamu," ucap Azlan dengan tampang sedih.Aku pun tersenyum, kemudian meraih tangannya. "Azlan ... suamiku yang paling aku cintai. Jangan pernah menyalahkan dirimu. Aku tahu, selama ini kamu telah melakukan banyak hal untukku. Kamu adalah anugerah dari Tuhan, k
Entah karena apa, pikiranku berubah. Rasanya aku belum siap untuk bicara dengan wanita yang saat ini tergolek lemah di atas brankar."Azlan, kita pergi aja!" ujarku seraya berusaha memutar kursi roda.Azlan segera mendorong kursi roda, mengikuti permintaanku.Baru saja hendak keluar, muncul gadis muda dari kamar mandi."Mas Azlan ... kamu ngapain ke sini? A ... apa ... apa ini Mbak Nara?" tanya gadis muda yang aku sendiri tak tahu siapa."Iya, ini Nara." Aku menoleh ke arah Azlan, mencoba meminta penjelasan. "Dia siapa, Azlan?""Dia Della, Ra. Sepupu kamu juga, dia yang selama ini merawat Bu Rosmala."Sejenak aku mencoba mengingat. "Apa kamu Della keponakan Ibu?""Iya, Mbak Nara.""Ooh ... iya, aku ingat. Waktu itu kamu masih kecil. Tidak menyangka bisa ketemu. Bagaimana keluarga di kampung?" tanyaku untuk basa-basi, karena sebenarnya mereka tak pernah peduli padaku."Semua baik, Mbak. Hanya saja, keadaan Budhe Ros ....""Iya, tadi aku sudah melihat. Hanya saja Ibu tidur, besok saja
Tatapan sinis kedua lelaki itu, menandakan bahwa permusuhan belum usai. Azlan yang melihat kehadiran Ryan di ruanganku, seketika murka. Dia menarik kerah baju Ryan."Masih berani kamu ke sini? Hah?! Dasar bedebah! Tak punya malu!!!" teriak Azlan dan hampir saja melayangkan pukulan ke wajah Ryan."Azlan, cukup!" teriakku menghentikan aksi barbar Azlan.Azlan pun berhenti dan menatapku tajam, sorot penuh kemarahan."Biarkan dia pergi, Azlan. Dia ke sini hanya berpamitan. Setelah ini dia tak akan lagi mengganggu hidup kita!" ujarku agar membuat Azlan lebih tenang.Azlan menatap sejenak pada rivalnya, setelah itu mendorong keras tubuh itu hingga jatuh ke lantai."Menghilanglah dari kehidupan aku dan Nara, menjauh sejauh mungkin. Karena sekali saja aku melihatmu, tak akan ada ampun lagi bagi manusia bedebah sepertimu!"Mendengar ucapan Azlan, Ryan pun bergegas pergi dengan tatapan penuh amarah yang dia tahan. Setelah kepergian lelaki dari masa laluku itu, Azlan pun mendekat. "Jangan perna
POV NaraSudah dua malam aku menginap di ruang VVIP rumah sakit ini. Ada kelegaan karena melihat anak ketiga lahir dengan selamat. Namun, di sisi lain ada pula kekhawatiran mengenai ucapan Ryan.Ya, aku takut jika sampai Azlan termakan oleh ucapan Ryan. Bahkan jika sampai test DNA itu dilakukan, aku pun benar-benar tak siap. Takut jika hasilnya tak sesuai harapanku.Itu sebabnya kenapa aku menangis saat Azlan datang menemuiku. Ada perasaan bersalah telah me menyembunyikan peristiwa malam itu dari Azlan.Hari ini, Azlan pamit untuk mengurus beberapa pekerjaan di kantor. Aku tidak bisa mencegahnya, apalagi menuntut waktunya. Kata Bu Wijaya, aku harus mandiri ketika suami pergi mencari nafkah. Bagiku, ucapan itu benar.Bu Wijaya sudah aku anggap seperti ibuku sendiri. Mungkin cukup ironis, ibu kandung tak bisa menyayangiku. Namun, Bu Wijaya sebagai ibu mertua justru mampu memberikan kasih sayangnya padaku.Hal tersebut yang membuat aku memilih menuruti kemauannya. Anggap saja sebagai bal
Melihat perjuangan Om Fadli, sungguh mengharukan. Siapa sangka, lelaki yang dulu sering bikin masalah justru punya hati nurani yang begitu tulus.Aku yang sedari tadi hanya berdiri di belakang Mama, akhirnya turut maju ke depan dan bicara."Ma, Om Fadli ada benarnya. Mama tidak bisa bertindak semena-mena pada Nara, hanya karena sakit hati Mama pada Bu Rosmala."Mama yang mendengar ucapanku langsung menatap tajam ke arahku. "Jangan pernah lagi kamu sebut nama itu! Kamu harus ingat, Azlan ... seberapa banyak air mata yang jatuh gara-gara wanita bedebah itu?""Aku paham, Ma. Tapi tidak seharusnya Mama menghukum Nara atas perbuatan ibunya! Dia tidak tahu apa-apa, bahkan selama ini dia dibuat menderita oleh ibunya sendiri. Itu sudah lebih dari cukup, Ma!""Kalian ini kenapa sih? Kenapa kalian sulit sekali memahami perasaan ini? Kalian pikir mudah melalui semua itu?""Ma ....""Cukup, Azlan! Mama mau istirahat, Mama tidak ingin bicara apapun!" ucap Mama dengan nada kesal, kemudian berlalu d
POV AzlanKeesokan hari ....Aku berpamitan pada Nara untuk ke kantor sebentar, dengan alasan ada dokumen yang harus aku tanda tangani dan ketemu dengan klien penting. Seperti biasa, Nara tak banyak menuntut waktuku. Dia sangat memahamiku.Sebenarnya aku tidak benar-benar ke kantor. Itu hanyalah alasan yang aku buat-buat agar bisa ke rumah Mama bareng Om Fadli.Hari ini masalah harus segera tuntas. Aku tidak ingin saat Nara pulang, dia harus menghadapi sikap dingin dan ketus Mama. Sesuai kesepakatan, aku dan Om Fadli mendatangi rumah Mama. Tampak Om Fadli membawa sebuah amplop panjang di tangannya. Aku yakin, itu adalah bukti test DNA Nara.Saat kami datang, Mama yang tengah duduk di belakang rumah, menikmati secangkir teh sembari melihat seluruh tanaman kesukaannya. Om Fadli segera melempar amplop panjang itu ke atas meja, tepat di hadapan Mama. Hal tersebut membuat Mama terkejut dan mendongakkan kepala. "Kamu ini, Mas. Kalau datang nggak usah bikin kaget, bisa kan?""Ratih, aku ng
Tampak wajah Della menunjukkan rasa tidak percaya. Dia menggeleng, menampik semua kenyataan yang aku sampaikan."Kalian pasti hanya ingin memfitnah Budhe Ros! Kalian jahat! Orang sebaik Budhe Ros tidak akan melakukan hal sehina itu!" teriak Della tidak terima."Sekarang ikut aku, akan aku tunjukkan di mana Nara. Kamu bisa tanya dia, dan di sana juga ada ayahnya Nara!" tantangku seraya menarik lengan Della.Gadis muda itu masih menolak ajakanku. Dia berusaha menepis tangan dengan sangat kasar. Della benar-benar tidak terima dengan apa yang aku jelaskan."Kalian itu sama saja! Buat apa aku percaya kalian yang baru saja aku kenal? Aku ... aku yang sekian lama mengenal Budhe Ros! Dia orang yang baik!" Della masih bersikukuh dengan pendapatnya."Baiklah kalau kamu tidak percaya. Kamu tidak mau juga aku ajak ketemu Nara untuk mengetahui kebenaran. Lebih baik, tanyakan pada Budhe-mu itu saja!" ujarku seraya tersenyum sinis.Gadis lugu itu terdiam sesaat. Ada keraguan di sorot matanya. "Kena
POV AzlanAku melangkah kembali ke ruang operasi. Menunggu Nara selesai pemulihan dan diantar ke ruang rawat inap.Tepat saat kaki berdiri di depan ruang itu, dua petugas keluar membawa Nara menggunakan brankar. Aku membuntuti dari belakang. Wajah Nara begitu sayu, aku tak tahu hal apa yang sudah dia lewati di dalam sana. Yang aku tahu hanya satu, perutnya terluka demi melahirkan anak keturunanku.Ingin sekali kupeluk dia, memberikan tempat ternyaman dari segala kelelahan. Namun, saat ini mata Nara hanya terpejam. Ada bulir bening yang diam-diam menetes dari sudut matanya.Aku harap, itu adalah air mata bahagia karena anak ketiga telah lahir dengan selamat. Sesampainya di ruang VVIP, Nara dipindahkan ke tempat yang tersedia. Mama memang baik, memberikan fasilitas terbaik untuk menantunya.Setelah selesai, petugas pun berpamitan. Tak lupa aku ucapkan pada dua petugas itu.Suasana begitu tenang, tak ada hiruk pikuk suara berisik mengganggu. Aku mendekat ke Nara, kemudian duduk di kursi