(Pov Flora)Pagi ini aku keluar dari kamar hanya untuk mendatangi Elina, dia terlihat sibuk mondar-mandir di lobi hotel. Wanita itu memegang ponsel di tangannya."Percuma aja. Nara nggak akan mau balik sebelum lo berhenti main play victim. Coba kalau lo dari kemarin relain suami lo untuk menikmati bulan madu yang sesungguhnya sama dia. Nggak begini kan jadinya?" dengan santai aku berceloteh.Tak peduli ucapanku akan membuat telinga Elina memerah, ataupun hatinya semakin panas. Sontak dia menoleh ke arahku, masih dengan sikap santai aku berdiri sambil melipat tangan di depan dada dan memandang sinis ke arahnya."Apa maksudmu? Tentu aku nggak akan merelakan suamiku menyentuh wanita lain. Terlebih wanita murahan seperti kalian ini!"Aku hanya tersenyum kecut. Hampir tertawa karena kalimat yang Elina ucapkan terdengar lucu bagiku."Lo bercanda, ya? Eh, inget nggak sih, kalau suami lo yang datang dan meminta bantuan gue dan Nara? Atas permintaan lo, suami lo yang bayar kami juga. Nara tuh
(PoV Nara)Kututup panggilan dari Flora. Kabar baik belum juga aku terima darinya. Hanya sedikit rahasia mengenai tujuan Elina. Rasanya mulai muak juga aku dengan wanita satu itu. Dia yang meminta, tapi dia pula yang bikin semua menjadi sulit.Ternyata membuat Elina merelakan suaminya untuk berbagi waktu denganku, itu adalah hal tersulit. Ini sama saja membuang waktuku, sedangkan tekanan dari ibu biadab itu terus saja datang. Tiap waktu ponselku berdering, jika tidak kuangkat maka belasan chat dia kirim. Sudah macam hidupku kena teror debt collector.Aku mulai berpikir keras, jika Elina masih saja bersikeras untuk membatasi hubunganku dengan Azlan, maka aku harus segera ambil tindakan tegas. Ya, aku memang dibayar untuk melahirkan keturunan Azlan. Namun, aku hanya ingin selama hamil tidak ingin merasakan beratnya masa kehamilan seorang diri.Lagi pula, bukankah janin ketika dalam kandungan juga membutuhkan kasih sayang dari ayahnya? Tidak ada salahnya jika Azlan ada di sampingku, buka
"Lo dapat kontrakan ini dari mana, Ra?" tanya Flora saat kaki kami memasuki teras sebuah rumah."Dari Ryan," jawabku seraya membuka keset depan pintu dan mengambil sebuah anak kunci di baliknya."Kamu masih berhubungan dengan Ryan? Bukannya lo udah putus ya?"Haiish ... nih anak memang kepo tingkat dewa. Tanpa menghiraukan pertanyaannya, aku segera masuk ke dalam rumah. Beruntung saja, saat aku menghubungi Ryan dan menyampaikan maksud, dia mau menolong.Ya, Ryan adalah mantan calon suamiku. Aku pernah hampir menikah dengan dia, tapi semua berantakan karena ulah ibu. Apalagi kalau bukan masalah uang. Menurutnya, jika aku menikah dengan Ryan maka aku akan kehilangan sumber penghasilan. Ibu menganggap Ryan hanya lelaki tanpa harta.Sungguh, hanya Ryan lelaki yang bisa menerima masa laluku. Dia tahu pekerjaanku, tetapi dia tak merasa jijik denganku. Bahkan selama pacaran, dia tak pernah menjamah ataupun menginginkan tubuhku sebagai pemuas nafsu.Lagi-lagi, wanita iblis berkedok ibu itu ya
Hari ini adalah hari di mana aku akan memulai siasat baru. Dengan dress seksi berwarna merah marun, belahan dada rendah, dan model gaun yang memamerkan mulusnya punggungku.Sejenak aku mematut di depan kaca, memutar badan untuk melihat seberapa cantiknya diri ini malam ini. Setelah merasa puas dengan tampilanku, segera kuraih parfum mahal hadiah dari salah satu sugar daddy-ku. Kusemprot bagian leher jenjang nan putih, kemudian di pergelangan tangan bagian dalam. Kugosok-gosok, lalu kuratakan kembali ke leher dan tubuhku.Aroma baccarat menguar, begitu nyaman dan menggoda indra penciuman.Kembali kupandangi penampilanku di cermin. Penampilan yang sangat berkelas dan disukai oleh pria-pria berkelas. Senyum yang kuulas menampakkan binar indah di wajah. Entah kenapa otak ini membawa pandangan mata ke perut.Perlahan tangan meraba perut yang rata dan membentuk indah dengan pinggang ramping. Pandanganku mulai nanar, pikiran mulai berkecamuk."Haruskah aku kehilangan semua keindahan tubuh in
"Apa kamu bahagia, Ra?" tanya Azlan saat kami tidur berhadapan. Tatapan Azlan begitu teduh, tangan kanannya menyibak anak rambut yang menutupi sebagian wajahku."Ini adalah hal pertama bagiku, bermain cinta dengan lelaki yang halal menggauliku." Hampir saja bulir bening menggenang, ada perasaan haru menyelinap."Aku sudah berpikir, Ra. Aku akan mengabulkan permintaanmu. Akan kujaga dirimu dan janin kita nantinya."Wow ... benar-benar exciting aku mendengar kalimat yang meluncur dari bibir lelaki tampan di hadapanku. Sesaat kata-kata manis itu mampu melambungkan semua rasa ke awan yang tinggi, tetapi sesaat kemudian aku mulai menyadari bahwa ada Elina dalam hidup Azlan.Rasanya lebih sakit, dibanting oleh kenyataan."Bagaimana dengan Elina?""Kamu cukup iyakan saja, urusan Elina biar aku yang hadapi. Aku akan sewakan sebuah rumah, lengkap dengan pembantu dan sopir. Kamu tinggal di sana, dan aku akan menemuimu setiap waktu.""Apa Elina tahu hal ini?"Azlan menatapku sejenak, lalu mengub
Malam ini tidurku tak nyenyak. Sebentar bangun, lalu gelisah. Kutoleh Flora, dia sudah mendengkur halus.Perlahan aku turun dari tempat tidur, berjalan menuju balkon. Angin malam berhembus saat pintu kubuka, menerpa wajahku dengan begitu lembut. Udara dingin membuat kedua tanganku harus saling berdekapan.Langit tak terlalu gelap malam ini, masih kudapati bintang-bintang bertaburan meski tak banyak. Kuhela napas panjang, seakan ingin melepaskan seluruh penat pikiran ini.Azlan, lelaki tampan itu melintas dalam pikiran. Mataku memejam mengingat permainan panas malam itu, begitu menggairahkan. Tanpa sadar, bibir ini mendesah saat teringat bagaimana tangan Azlan bermain nakal."Azlan, aku ingin merasakan kembali kehangatan tubuhmu. Aku ingin nikmati kembali sentuhan jemarimu, embusan napasmu, dan permainanmu yang membuatku terus mendesah nikmat. Aaauugghhh ...."Dalam lena angan itu, dapat kurasakan sebuah pelukan hangat mendekap erat tubuhku. Kecupan lembut terasa di tengkuk, lalu ke te
Ketika kesadaranku mulai pulih, kurasakan kepala ini sangat sakit, nyeri dan pusing. Perlahan kubuka kelopak mata, pandangan masih kabur dan samar-samar mata ini menangkap sosok wajah."Nara, lo sudah sadar?" suara itu begitu kukenali, entah kenapa suara itu justru membuat kesadaranku menurun kembali.Tuhan ... kenapa masih ada pria ini di depanku. Bagaimana aku bisa lepas dari dia?Untuk pertama kalinya aku teringat Tuhan, setelah sekian lama menjauh dari Sang Pemilik kehidupan. Saat ini, yang kuinginkan adalah lelaki halalku. Bukan lelaki lain yang tak berhak menyentuh tubuhku."Ra, lo kenapa?" Masih terdengar suara Ryan yang bernada khawatir, tangan kanannya menepuk pipiku beberapa kali.Sesaat kemudian aroma minyak putih memasuki indera penciuman, perlahan kesadaranku mulai pulih kembali."Azlan, tolong aku ...." Kalimat itu yang justru terlontar dari bibirku, seiring tangis yang kembali pecah."Azlan?" tanya Ryan dengan ekspresi bingung."Tolong telepon Azlan, dia suamiku."Ryan
Benar saja, sore itu Azlan membawaku ke rumah baru. Rumahnya memang tak sebesar rumah yang dijanjikan waktu itu, hanya saja suasana yang begitu tenang dan nyaman begitu kunikmati. Sebuah rumah modern dengan gaya minimalis, dan yang paling aku suka adalah sebuah taman dan kolam di bagian belakang. Bahkan terdapat rooftop yang dapat digunakan untuk menikmati indahnya senja."Kamu suka rumah ini, Ra? Tanya Azlan dengan senyuman mengembang.Aku mengangguk. "Sangat suka, Azlan. Lihat, dari sini aku bisa melihat matahari yang akan kembali ke peraduan!" seruku dengan penuh rasa bahagia.Sejenak semua derita batin yang selama ini kutanggung, berasa sirna berganti bahagia yang begitu luar biasa."Thanks, My Hubby." Kupeluk Azlan dengan begitu hangat.Debar jantung ini kembali tak teratur. Entahlah ... apakah ini pertanda aku sedang jatuh cinta kepada lelaki tampan ini? Ah, tepatnya lelaki tampan suami orang.Aku merasa penasaran, apakah Azlan juga merasakan hal yang sama? Diam-diam tangan kana
Akhirnya aku bisa bernapas lega, Azlan mampu mengatasi kecurigaan istrinya Om Fadli. Hampir saja bertambah masalah baru, dan aku yakin kalau sampai wanita tahu, mungkin akan terjadi hal lain juga.Azlan kembali melajukan mobil menuju ke rumah kediaman keluarga Wijaya Pratama. Sepanjang jalan aku merasa seperti seekor belut yang mengantar diri untuk dijadikan sate. Namun, aku sudah mempersiapkan diri. Apapun yang terjadi, aku siap menghadapi.Mobil memasuki area parkir depan istana mewah, jantungku semakin berdetak kencang. Umpatan dan caci maki sudah memenuhi pikiran, bahkan saat ini kedua tanganku telah menjadi dingin karena pikiran-pikiran itu.Azlan yang melihatku dilanda kecemasan, dia segera menggenggam jemariku dan memberikan penguatan. Perlahan aku turun dari mobil, kemudian melangkah menuju teras rumah. Genggaman tangan Azlan kurasakan semakin erat saat kaki kami menginjak lantai depan pintu.Baru saja hendak menekan bel, terdengar sebuah teriakan. "Aku sudah bilang, sampai ma
Azlan membuntutiku hingga ke kamar. Setelah dia membersihkan diri, dia pun duduk di tepi ranjang. Tatapannya penuh tanda tanya, tetapi tak ada sirat kemarahan atas sikapku. Aku tahu, Azlan pasti paham akan kekhawatiranku."Nara, apa kamu sudah pikirkan matang-matang tindakan kamu ini?" tanya Azlan sembari menyingkirkan anak rambutku ke belakang telinga."Aku sudah pertimbangkan semuanya, Azlan. Aku tahu, Mama akan mengusirku. Aku tahu Mama akan memisahkan aku dari kamu dan anak-anak. Jika aku tidak mengantisipasi dari sekarang, justru akan semakin sulit menyelamatkan rumah tangga kita." Suaraku terdengar bergetar, menahan perihnya batin yang terhempas oleh badai kenyataan."Maafkan aku ya, Ra. Aku gagal menjaga rahasia siapa diri kamu," ucap Azlan dengan tampang sedih.Aku pun tersenyum, kemudian meraih tangannya. "Azlan ... suamiku yang paling aku cintai. Jangan pernah menyalahkan dirimu. Aku tahu, selama ini kamu telah melakukan banyak hal untukku. Kamu adalah anugerah dari Tuhan, k
Entah karena apa, pikiranku berubah. Rasanya aku belum siap untuk bicara dengan wanita yang saat ini tergolek lemah di atas brankar."Azlan, kita pergi aja!" ujarku seraya berusaha memutar kursi roda.Azlan segera mendorong kursi roda, mengikuti permintaanku.Baru saja hendak keluar, muncul gadis muda dari kamar mandi."Mas Azlan ... kamu ngapain ke sini? A ... apa ... apa ini Mbak Nara?" tanya gadis muda yang aku sendiri tak tahu siapa."Iya, ini Nara." Aku menoleh ke arah Azlan, mencoba meminta penjelasan. "Dia siapa, Azlan?""Dia Della, Ra. Sepupu kamu juga, dia yang selama ini merawat Bu Rosmala."Sejenak aku mencoba mengingat. "Apa kamu Della keponakan Ibu?""Iya, Mbak Nara.""Ooh ... iya, aku ingat. Waktu itu kamu masih kecil. Tidak menyangka bisa ketemu. Bagaimana keluarga di kampung?" tanyaku untuk basa-basi, karena sebenarnya mereka tak pernah peduli padaku."Semua baik, Mbak. Hanya saja, keadaan Budhe Ros ....""Iya, tadi aku sudah melihat. Hanya saja Ibu tidur, besok saja
Tatapan sinis kedua lelaki itu, menandakan bahwa permusuhan belum usai. Azlan yang melihat kehadiran Ryan di ruanganku, seketika murka. Dia menarik kerah baju Ryan."Masih berani kamu ke sini? Hah?! Dasar bedebah! Tak punya malu!!!" teriak Azlan dan hampir saja melayangkan pukulan ke wajah Ryan."Azlan, cukup!" teriakku menghentikan aksi barbar Azlan.Azlan pun berhenti dan menatapku tajam, sorot penuh kemarahan."Biarkan dia pergi, Azlan. Dia ke sini hanya berpamitan. Setelah ini dia tak akan lagi mengganggu hidup kita!" ujarku agar membuat Azlan lebih tenang.Azlan menatap sejenak pada rivalnya, setelah itu mendorong keras tubuh itu hingga jatuh ke lantai."Menghilanglah dari kehidupan aku dan Nara, menjauh sejauh mungkin. Karena sekali saja aku melihatmu, tak akan ada ampun lagi bagi manusia bedebah sepertimu!"Mendengar ucapan Azlan, Ryan pun bergegas pergi dengan tatapan penuh amarah yang dia tahan. Setelah kepergian lelaki dari masa laluku itu, Azlan pun mendekat. "Jangan perna
POV NaraSudah dua malam aku menginap di ruang VVIP rumah sakit ini. Ada kelegaan karena melihat anak ketiga lahir dengan selamat. Namun, di sisi lain ada pula kekhawatiran mengenai ucapan Ryan.Ya, aku takut jika sampai Azlan termakan oleh ucapan Ryan. Bahkan jika sampai test DNA itu dilakukan, aku pun benar-benar tak siap. Takut jika hasilnya tak sesuai harapanku.Itu sebabnya kenapa aku menangis saat Azlan datang menemuiku. Ada perasaan bersalah telah me menyembunyikan peristiwa malam itu dari Azlan.Hari ini, Azlan pamit untuk mengurus beberapa pekerjaan di kantor. Aku tidak bisa mencegahnya, apalagi menuntut waktunya. Kata Bu Wijaya, aku harus mandiri ketika suami pergi mencari nafkah. Bagiku, ucapan itu benar.Bu Wijaya sudah aku anggap seperti ibuku sendiri. Mungkin cukup ironis, ibu kandung tak bisa menyayangiku. Namun, Bu Wijaya sebagai ibu mertua justru mampu memberikan kasih sayangnya padaku.Hal tersebut yang membuat aku memilih menuruti kemauannya. Anggap saja sebagai bal
Melihat perjuangan Om Fadli, sungguh mengharukan. Siapa sangka, lelaki yang dulu sering bikin masalah justru punya hati nurani yang begitu tulus.Aku yang sedari tadi hanya berdiri di belakang Mama, akhirnya turut maju ke depan dan bicara."Ma, Om Fadli ada benarnya. Mama tidak bisa bertindak semena-mena pada Nara, hanya karena sakit hati Mama pada Bu Rosmala."Mama yang mendengar ucapanku langsung menatap tajam ke arahku. "Jangan pernah lagi kamu sebut nama itu! Kamu harus ingat, Azlan ... seberapa banyak air mata yang jatuh gara-gara wanita bedebah itu?""Aku paham, Ma. Tapi tidak seharusnya Mama menghukum Nara atas perbuatan ibunya! Dia tidak tahu apa-apa, bahkan selama ini dia dibuat menderita oleh ibunya sendiri. Itu sudah lebih dari cukup, Ma!""Kalian ini kenapa sih? Kenapa kalian sulit sekali memahami perasaan ini? Kalian pikir mudah melalui semua itu?""Ma ....""Cukup, Azlan! Mama mau istirahat, Mama tidak ingin bicara apapun!" ucap Mama dengan nada kesal, kemudian berlalu d
POV AzlanKeesokan hari ....Aku berpamitan pada Nara untuk ke kantor sebentar, dengan alasan ada dokumen yang harus aku tanda tangani dan ketemu dengan klien penting. Seperti biasa, Nara tak banyak menuntut waktuku. Dia sangat memahamiku.Sebenarnya aku tidak benar-benar ke kantor. Itu hanyalah alasan yang aku buat-buat agar bisa ke rumah Mama bareng Om Fadli.Hari ini masalah harus segera tuntas. Aku tidak ingin saat Nara pulang, dia harus menghadapi sikap dingin dan ketus Mama. Sesuai kesepakatan, aku dan Om Fadli mendatangi rumah Mama. Tampak Om Fadli membawa sebuah amplop panjang di tangannya. Aku yakin, itu adalah bukti test DNA Nara.Saat kami datang, Mama yang tengah duduk di belakang rumah, menikmati secangkir teh sembari melihat seluruh tanaman kesukaannya. Om Fadli segera melempar amplop panjang itu ke atas meja, tepat di hadapan Mama. Hal tersebut membuat Mama terkejut dan mendongakkan kepala. "Kamu ini, Mas. Kalau datang nggak usah bikin kaget, bisa kan?""Ratih, aku ng
Tampak wajah Della menunjukkan rasa tidak percaya. Dia menggeleng, menampik semua kenyataan yang aku sampaikan."Kalian pasti hanya ingin memfitnah Budhe Ros! Kalian jahat! Orang sebaik Budhe Ros tidak akan melakukan hal sehina itu!" teriak Della tidak terima."Sekarang ikut aku, akan aku tunjukkan di mana Nara. Kamu bisa tanya dia, dan di sana juga ada ayahnya Nara!" tantangku seraya menarik lengan Della.Gadis muda itu masih menolak ajakanku. Dia berusaha menepis tangan dengan sangat kasar. Della benar-benar tidak terima dengan apa yang aku jelaskan."Kalian itu sama saja! Buat apa aku percaya kalian yang baru saja aku kenal? Aku ... aku yang sekian lama mengenal Budhe Ros! Dia orang yang baik!" Della masih bersikukuh dengan pendapatnya."Baiklah kalau kamu tidak percaya. Kamu tidak mau juga aku ajak ketemu Nara untuk mengetahui kebenaran. Lebih baik, tanyakan pada Budhe-mu itu saja!" ujarku seraya tersenyum sinis.Gadis lugu itu terdiam sesaat. Ada keraguan di sorot matanya. "Kena
POV AzlanAku melangkah kembali ke ruang operasi. Menunggu Nara selesai pemulihan dan diantar ke ruang rawat inap.Tepat saat kaki berdiri di depan ruang itu, dua petugas keluar membawa Nara menggunakan brankar. Aku membuntuti dari belakang. Wajah Nara begitu sayu, aku tak tahu hal apa yang sudah dia lewati di dalam sana. Yang aku tahu hanya satu, perutnya terluka demi melahirkan anak keturunanku.Ingin sekali kupeluk dia, memberikan tempat ternyaman dari segala kelelahan. Namun, saat ini mata Nara hanya terpejam. Ada bulir bening yang diam-diam menetes dari sudut matanya.Aku harap, itu adalah air mata bahagia karena anak ketiga telah lahir dengan selamat. Sesampainya di ruang VVIP, Nara dipindahkan ke tempat yang tersedia. Mama memang baik, memberikan fasilitas terbaik untuk menantunya.Setelah selesai, petugas pun berpamitan. Tak lupa aku ucapkan pada dua petugas itu.Suasana begitu tenang, tak ada hiruk pikuk suara berisik mengganggu. Aku mendekat ke Nara, kemudian duduk di kursi