"Kenapa dengan mereka?"
Akhirnya dia melanjutkan ucapannya, "Kabarnya, Marissa dan Keenan telah menjalin hubungan."Jantungku berdebar kencang, perasaan cemburu dan kesedihan menyelimuti diri ini. Hatiku berkecamuk, bagaimana mungkin aku melupakan Keenan? Aku merasa tak rela kehilangan orang yang satu-satunya pernah kucintai.Namun, aku berupaya keras untuk mengendalikan emosi. Marissa dan Keenan berhak untuk mencari dan mendapatkan kebahagiaan mereka, meskipun kebahagiaan itu bukan bersamaku."Sissi, terima kasih sudah memberitahuku." Aku berusaha tersenyum. "Aku harap mereka bisa bahagia."Sambil menguatkan hati, aku berusaha berbicara dengan nada suara yang lebih ceria dan penuh semangat.Perlahan, aku menyadari bahwa kehilangan Keenan bukanlah akhir dari segalanya. Aku belajar untuk lebih menghargai diri sendiri. Aku mencintai apa yang kumiliki dan menjalani kehidupan yang aku pilih. Suatu hari nanti, aku akan menemukan orang yang tepat untuk menyempurnakan hidupku. Dan pada saat itulah, aku akan merasa bahwa segala perjuangan dan pengorbanan yang kulakukan tak sia-sia.Aku mengarahkan pandanganku ke Sissi yang hanya terdiam, menatap dengan tatapan nanar ke arahku. Sepertinya, dia bisa merasakan apa yang kurasakan, sebab jujur, selama ini dialah sahabatku yang siap mendengar curahan hatiku.Aku tersenyum mencoba mengalihkan topik. "Oh ya, tolong siapkan gaun untukku besok. Aku tidak ingin ada kesalahan sedikit pun."Dia menatapku intens, seolah mencoba menyelami apa yang sedang terjadi dalam pikiranku. "Baiklah, jangan khawatir. Aku akan memastikan semuanya sempurna untukmu."***Tubuhku terasa lemas saat aku terbangun dari tidurku. Aku terkesiap oleh alarm yang terus berbunyi nyaring. Dengan lambat, kuraih jam alarm yang berada di atas meja, tepat berdampingan dengan tempat tidurku. Kulihat jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka empat. Selimut yang menghangatkan tubuhku, kubuka perlahan, dan pelan-pelan turun dari tempat tidur yang telah memberiku kenyamanan.Di antara langkah kaki yang masih enggan melepaskan lelah, kuatasi semangat untuk memulai hari ini. Aku menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarku, bersiap untuk rutinitas pagi yang harus kupenuhi. Menggosok gigi, mencuci muka, lalu mengambil air wudhu dengan penuh khusyuk sebagai bentuk penghormatan dan syukur kepada Tuhan.Segera kumenunaikan salat subuh, mengingat betapa pentingnya waktu ini dalam kehidupanku. Aku ingin merasa sejuk dan damai sebelum melanjutkan rutinitas hari-hari yang biasanya cukup melelahkan. Dalam salat subuhku, kubisikkan doa-doa dalam hatiku, meminta pertolongan dan dukungan-Nya untuk menjalani kehidupan yang penuh tantangan ini.Setelah selesai, kulangkahkan kaki ini menuju dapur, aku terkejut mendengar suara wajan dan spatula yang saling beradu. Kulihat Ibu yang tengah sibuk memasak. Selama ini, Ibu memang tak pernah berubah; selalu bangun pagi dan memasak untuk kami. Sebenarnya, aku sudah melarangnya untuk memasak karena usianya yang sudah berumur, tetapi ibu tetap bersikeras."Ibu, biar Ara saja yang masak. Ibu istirahat saja, ya?" pintaku sambil berusaha mengambil alih tugas memasak dari Ibu."Tidak perlu, biar ibu saja, ini juga sebentar lagi selesai, kamu bangunkan Kenzie saja, ya?" tolak Ibu sambil melanjutkan memasak di dapur.Begitulah kenyataannya, Ibu selalu menolak saat aku menawarkannya bantuan. Mungkin karena rasa khawatir atau keinginan untuk meringankan beban anaknya, Ibu tak pernah memberi kesempatan padaku untuk membantu di dapur.Aku menghela napas panjang, terpaksa kulangkahkan kaki ini untuk menuju kamar putraku, setelah berada di depan pintu, perlahan tanganku meraih gagang pintu. Aku berhasil membuka pintu tanpa membuat bunyi yang mencolok. Kini mataku terpaku pada Kenzie yang tampak asik dengan tabletnya, ia duduk tepat di sisi ranjang."Ken, kamu sudah bangun?" tanyaku, wajahku tersenyum simpul melihat kesibukannya, dan aku memutuskan untuk menghampirinya.Apa yang aku lakukan untuk menarik perhatian Kenzie berhasil. Sepasang matanya sejenak terhenti dari layar tablet dan ia mengangkat wajahnya melihat ke arahku, kemudian menjawab, "Sudah, Mom."Menggenggam pinggiran bantal, aku memutuskan untuk duduk di sampingnya agar dapat mengikuti kegiatan yang sedang ia lakukan. Dengan cekatan, kuambil posisi di sisi ranjang yang sama. "Kamu sedang apa, Ken?" tanyaku."Ken sedang melihat Cocomelon, Mom," jawabnya sambil tersenyum manis, menatap layar dengan antusias.Aku teringat akan kewajibannya, lalu mengganti topik pembicaraan. "Apa kamu sudah salat?"Matanya berkaca-kaca sejenak sebelum mengangguk. "Sudah, Mom."Aku tersenyum bangga pada putraku. Meski umurnya baru lima tahun, dia sudah bisa melaksanakan salat dengan tekun. Rasa haru dan syukur bercampur dalam dadaku. Aku takjub dengan perkembangannya yang cepat dan semangat yang dimilikinya untuk belajar ibadah.Aku menepuk pundak Ken, memberi dukungan padanya. "Bagus sekali, Ken. Mommy bangga dengan kamu," ucapku sambil mengecup keningnya."Oh iya, Ken, besok Mommy akan mencari sekolah terbaik untukmu," kataku dengan penuh harapan.Namun, wajah Ken seketika mengkerut. "Ayolah, Mom, Ken tidak ingin sekolah," keluhnya."Hey … mengapa kamu merasa begitu?" tanyaku dengan khawatir.Namun, Ken merajuk. "Aku tidak mau sekolah, Mom. Aku benci dihina murid-murid lainnya karena tidak punya ayah. Aku tidak ingin melalui semua itu lagi."Ken bersedekap dada dan memalingkan wajahnya dariku. Dia tidak pernah menyukai sekolah, terutama karena di sana, ia selalu dicemooh temannya akibat tak memiliki ayah. Hatiku hancur mendengarnya, ketika ia mengungkapkan perasaannya yang sedih karena dihina oleh teman-temannya.Menyadari penderitaan Ken, aku mengelus lembut rambutnya. "Tidak apa, Ken, Mommy akan melindungimu. Kita akan menemukan sekolah yang penuh kasih dan pengertian," ujarku, mencoba memberinya semangat.Namun, Ken tetap bersikap keras kepala. "Mau sekolah mana pun juga pasti mereka bakal menghina Ken," gumamnya perlahan, bibirnya bergetar di ujung kata.Mendengar itu, aku menarik napas dalam-dalam, kemudian memberikan Ken pelukan erat. "Tidak masalah, Sayang. Kamu tahu, mommy juga pernah mengalami penghinaan seperti yang kamu alami. Tapi, kita harus tetap berani menghadapinya," ujarku.Air mata Ken mulai menetes. "Tapi, Mom, Ken takut," bisiknya dengan suara yang hampir tak terdengar."Ken, percayalah, tidak semua orang jahat seperti itu. Kita akan mencari sekolah yang baik, dan kamu akan menemukan teman yang tidak akan menghinamu," ujarku, mencoba menghiburnya sambil mengusap air matanya yang telah menetes.Ken akhirnya mengangguk sambil tersenyum. "Baiklah, Mom. Ken juga akan kuat, seperti Mommy."Sebagai seorang ibu, mendengar kata-kata itu dari anaknya, membuat hatiku terenyuh. Ya Tuhan, aku merasa amat beruntung memiliki anak seperti Kenzie. Anakku yang selalu ceria, penuh semangat, dan optimis menghadapi segala rintangan. Aku tahu bahwa hidup ini tidak selalu mudah, namun dengan sikap dan tekad Kenzie, aku yakin bahwa dia akan menjadi pribadi yang tangguh."Mom!" panggil Ken dengan semangat."Iya, Ken? Ada apa?" tanyaku penasaran."Kemarin di bandara, aku menemui seseorang yang mirip denganku, Mom. Rasanya seperti bertemu kembaranku sendiri!" ungkap Ken tampak terkejut.Aku tergelak mendengar kata-kata Ken dan bertanya, "Kembaran? Bagaimana mungkin, Ken?"Kenzie mengangguk yakin. "Iya, Mom. Dia sangat mirip denganku, tapi sayang sekali, sikapnya tidak sebaik diriku. Dia sangat galak dan tidak ramah sama sekali."Aku menjadi penasaran mendengarkan cerita anakku. "Lalu, ada masalah apa dengan orang itu, Ken?"Ken tampak kesal saat menceritakan kejadian tidak menyenangkan itu. "Dia menabrakku, Mom, hingga es krim yang aku pegang terjatuh ke celana dan sepatunya. Namun, bukannya minta maaf, dia malah menyalahkan aku dan memintaku meminta maaf padanya. Aneh sekali!"Aku menghela napas mendengar cerita Ken dan berpikir. Apakah yang dimaksud Ken itu adalah Keenan?Ken tampak kesal saat menceritakan kejadian tidak menyenangkan itu. "Dia menabrakku, Mom, hingga es krim yang aku pegang terjatuh ke celana dan sepatunya. Namun, bukannya minta maaf, dia malah menyalahkan aku dan memintaku untuk meminta maaf padanya. Aneh sekali!"Aku menghela napas mendengar cerita Ken dan berpikir. Apakah yang dimaksud Ken itu adalah Keenan?Lamunanku tiba-tiba terhenti ketika Ibu memanggilku."Ara ... Ken ... ayo sarapan dulu, Nak," ucap Ibu yang sudah berada di ambang pintu."Iya, Bu," sahutku, menoleh ke arahnya, lalu aku melirik ke arah putraku yang masih asyik dengan tabletnya."Ken, ayo kita sarapan dulu." Ajakku, berusaha menarik perhatiannya dari perangkat yang ia pegang erat.Mendengar perkataanku, Ken langsung mengangguk dan mengiyakan. "Baik, Mom."Kami berdua lantas berjalan menuju dapur untuk menyantap hidangan yang sudah disiapkan.Ketika tiba di dapur, kami dihadapkan dengan berbagai macam lauk pauk yang menarik selera. Terasa aroma sedap dari masakan
Hatiku seperti tertusuk duri sembilu saat Marissa tiba-tiba muncul dan menggandeng lengan Keenan. Seolah ia ingin menyadarkanku bahwa kini Keenan adalah miliknya. "Hai, Kiara, ternyata kamu sudah kembali," sapa Marissa dengan begitu ramah. "Bagaimana kabarmu? Sejak kamu pergi ke luar negeri, kami tidak pernah mendengar kabar darimu."Aku mencoba tersenyum, sambil menjawab, "Aku baik-baik saja, Marissa. Terima kasih sudah menanyakan kabarku."Rahasia telah aku jalani sejak pergi ke luar negeri. Aku tidak ingin semua orang mengenaliku atau melacak keberadaanku. Untuk itu, aku melepaskan semua kartu identitasku, mengganti ponsel dan kartu SIM, serta berhenti memainkan media sosial yang pernah kukenal.Sesungguhnya, hati yang terluka menjadi alasan utama aku melakukan semua perubahan tersebut. Kepergianku ke luar negeri mengharuskanku jauh dari Keenan, dan ia kini semakin dekat dengan Marissa. Bahkan aku menghindari mengabadikan momen-momen kehidupanku di sana, berusaha menjauh dari duni
"Syukurlah, aku harap apa yang kamu katakan benar," ucap Fina dengan senyum smirk-nya. Aku mencoba untuk tersenyum, tetapi hatiku masih terasa sakit.Anggun, sahabatku, mencoba mengalihkan perhatian. "Sudahlah, kita makan saja, tidak perlu membahas yang lain," ujar Anggun sambil menatapku penuh perhatian. Meski Fina merasa kesal, namun aku berusaha untuk tidak terpengaruh olehnya.Fina melanjutkan perkataannya, "Memangnya kenapa kalau membahas yang lain? Tidak ada orang yang kebakaran jenggot, kan?" Sentakanku menjadi semakin nyata. Aku benar-benar kalah menghadapi Fina. Dia terus saja memojokkan aku.Aku tidak mengerti mengapa Fina seolah tidak menyukai kehadiranku. Sejak tadi, dia terus saja mencoba untuk membuatku merasa tidak nyaman. Apakah dia mengira aku kembali ke Indonesia hanya untuk menggagalkan pertunangan Marissa dan Keenan? Sejujurnya, aku sama sekali tidak mengetahui bahwa mereka berdua akan bertunangan. Dan jika memang itu terjadi, aku akan merasa bahagia jika kebahagiaa
Pov Keenan.Setelah menyapa beberapa rekan kerja, rasa gundah muncul begitu saja. Tempat ini, yang kuharap bisa membantuku melupakan masa lalu, kini menjadi saksi kembalinya sosok menyakitkan itu. Wanita yang menghancurkan hidupku hingga hancur berkeping-keping.Aku mengepalkan tanganku, merasakan amarah yang berkobar di dada. Berbagai pertanyaan muncul di benakku. Apakah dia kembali hanya untuk menyakiti perasaanku saja? Mengapa di saat aku mulai melupakannya, dia kembali dengan membawa luka lama? Apakah dia kembali hanya untuk menambah derita? Kenapa dia harus kembali lagi, di saat hatiku sudah membaik?Luka lama mulai terasa membakar kembali. Betapa dulu, aku begitu mencintainya dan ingin menjadikannya pelabuhan terakhirku. Tapi, dia dengan tega menghancurkan semuanya. Kini, dia kembali hadir dan membawa luka-luka itu bersamanya.Kepalaku terasa sakit, seperti akan meledak karenanya. Aku menapakkan kaki keluar, meninggalkan tempat keramaian untuk mencari ketenangan. Meski berulang
"Aku bilang pergi! Apa kau tidak mendengarku?!" bentakku, tak bisa menahan emosi yang memuncak.Prang …!Tak sengaja, kuhempaskan botol minum yang ada di atas meja. Botol itu jatuh dan terpecah belah di lantai, menggambarkan perasaanku yang sudah hancur lebur karena ulah Kiara. Meskipun dia mencoba untuk memperbaikinya, tetap saja tidak akan pernah utuh seperti sedia kala.Aku menahan air mata yang akan mengalir seiring dengan jatuhnya botol minum tersebut. Wajahku bermuram, mencerminkan rasa sakit yang tak mampu terungkapkan. Kiara mulai menangis, tangisnya terdengar pelan dan perlahan menyayat hati. Namun, aku tidak bisa melupakan pengkhianatan yang dia lakukan padaku. Semua kenangan bersama bagai terkoyak oleh pilihan yang dia ambil, membuat cinta yang selama ini kami jalin tak lagi bermakna."Maafkan aku, aku tahu aku salah karena telah meninggalkanmu begitu saja. Mungkin maafku tak bisa menyembuhkan perasaanmu, tapi kuharap kau bahagia bersama Marissa," ucap Kiara.Cebikan sinis
Sambil tersenyum, aku menegaskan pada mamaku. "Mama tidak salah dengar, aku ingin bertunangan dengan Marissa. Aku percaya pilihan Mama yang terbaik untukku." Ucapan itu keluar dari mulutku dengan penuh ketulusan, karena aku tahu betapa mama ingin aku bahagia bersama Marissa.Mama menatapku dengan kasih sayang, kemudian mengelus wajahku lembut. "Terima kasih, Sayang. Kamu memang anak yang baik. Mama sangat beruntung memilikimu," kata Mama dengan nada lembut.Meski begitu, di dalam hati, aku merasa terpaksa menerima keputusan untuk bertunangan dengan Marissa. Sejak dulu, Mama selalu mendorongku untuk segera menikahi Marissa. Namun, entah mengapa, perasaanku masih bimbang. Kami memang sudah menjalin hubungan, tapi ada sesuatu yang mengganjal pikiranku.Aku mencoba menyembunyikan keraguan itu dan menuruti keinginan Mama agar ia bahagia. Aku ingin melihat Mama bahagia melihatku sebagai calon suami Marissa. Namun, pertanyaannya adalah, apakah aku juga akan bahagia dengan keputusan ini?Seba
Pov KiaraSejak pagi tadi, aku terus mencari Kenzie di seluruh penjuru apartemen dan ke mana-mana, namun tak kunjung menemukan keberadaan putraku itu. Aku mulai merasa cemas, dan memutuskan untuk bertanya ke area resepsionis yang ada di area apartemen, mungkin saja mereka dapat membantuku. Sebelumnya, sudah kucoba menghubungi Kenzie lewat telepon, namun yang kulihat hanya dering ponselnya yang ada di dalam kamar. Ternyata, Kenzie meninggalkan ponselnya di apartemen.Dengan napas tersengal, aku mendekati resepsionis dan menunjukkan foto Kenzie sambil berkata, "Maaf, Mbak, saya sedang mencari anak saya, apa ada yang melihatnya?"Mereka lalu memperhatikan foto Kenzie dengan seksama, lalu kembali menatapku.Salah satu resepsionis mengangguk dan menjawab, "Mm … dia ada di belakang Bu Kiara."Aku terperanjat mendengar jawaban tersebut. "Hah? Belakang?" Tanpa berpikir panjang, aku langsung menoleh ke arah belakang dan benar saja, ternyata di sana ada Kenzie. Putraku yang kucari itu sedang te
Ternyata yang berdiri di balik pintu bukanlah Keenan. Kelegaan menyapu seluruh tubuhku seketika. Namun, siapa sebenarnya sosok yang berdiri di hadapanku ini? Apa yang ingin dia lakukan? Pertanyaan-pertanyaan ini mulai bergelora dalam pikiranku. Kubuat jarak agar lebih aman sambil mencoba membaca niat orang yang ada di depanku.Dengan sopan, ia menyapaku, "Permisi, apa benar dengan Bu Kiara Dewi Anggraeni?" tanyanya.Aku menghapus keringat di dahi sambil tersenyum ramah. "Benar, saya sendiri. Ada apa, ya?"Dia menyerahkan sebuah buket bunga mawar berwarna merah kepadaku. "Ini ada kiriman untuk Ibu," katanya.Seketika aku mengerutkan keningku. Aku berpikir keras siapa yang mungkin mengirim bunga untukku. Aku bertanya pada kurir itu, "Maaf, Mas, dari siapa, ya?"Lelaki itu menggeleng. "Pengirimnya tidak ingin memberitahu namanya, Bu." Mataku membulat, kening terangkat, aku semakin kebingungan dengan semua ini."Tapi … ini beneran untuk saya?" Aku memastikan agar orang itu tidak salah kir
"Kiara, kamu baik-baik saja?" tanya Ibu yang sudah ada di dekatku.Aku mencoba tersenyum untuk meyakinkan Ibu, tetapi rasanya sulit. "Aku merasa mual, Bu. Mungkin kecapekan," kataku sambil mengelap wajah dengan handuk.Ibu mengerutkan kening. "Mungkin kamu perlu istirahat lebih. Kalau mual terus, kita periksa ke dokter, ya."Aku mengangguk pelan, merasa bersyukur memiliki Ibu yang begitu perhatian. "Iya, Bu. Aku istirahat dulu sebentar."Kembali ke kamar, aku berbaring di tempat tidur, berharap rasa mual ini segera hilang. Tapi di tengah kegelisahanku, pikiranku melayang ke satu kemungkinan yang tak pernah terpikir sebelumnya. Dengan hati-hati, aku mencoba mengingat kapan terakhir kali aku haid. Benar saja, sudah beberapa minggu terlambat.Jantungku berdebar lebih cepat. Apakah mungkin …?Aku memutuskan untuk menunggu hingga Keenan pulang dan membicarakan ini dengannya. Aku begitu cemas memikirkan semua ini. Aku mencoba memejamkan mata sebentar.Beberapa saat kemudian, aku terkesiap k
Aku tak bisa menggambarkan betapa bahagianya hatiku ketika Keenan, lelaki yang sudah menjadi suamiku kini, memberiku kunci butik yang telah lama kutinggalkan. Keenan memintaku untuk kembali mengurus butik yang dulu aku bangun dengan susah payah. Dengan perasaan yang begitu haru dan sekaligus bahagia, aku mengingat mimpi lamaku menjadi seorang desainer. Mimpi yang tak mudah kugapai, namun penuh perjuangan dan kerja keras. Enam tahun lalu, aku berangkat ke Singapura, dan menghabiskan waktu selama lima tahun untuk belajar dengan para desainer terkenal di sana. Keputusan itu diambil dengan penuh keberanian, meninggalkan semua yang kucintai di Indonesia, termasuk Keenan, lelaki yang sangat aku cintai. Aku membawa Ayah yang sedang berjuang melawan penyakitnya. Meski berat, aku yakin bahwa kesempatan ini akan membuka pintu yang lebih besar di masa depan, dan Ayah pasti akan sembuh. Namun, rencana Tuhan berbeda dengan harapanku. Satu tahun setelah berada di Singapura, aku menerima kabar d
Marissa hanya tertawa sinis mendengar perkataanku. "Haha, kembali seperti dulu?" katanya dengan nada sinis. "Apakah kamu tidak melihat bagaimana aku sekarang, Kiara? Aku berada di tempat yang kotor dan hina. Aku kehilangan segalanya. Tapi kamu, kamu malah hidup enak dan memiliki segalanya yang seharusnya menjadi milikku!" Aku terkejut dan sedih mendengar kata-kata Marissa. Aku bisa merasakan kekesalan dan kebencian yang terpendam di balik kata-katanya. Namun, aku mencoba untuk tetap tenang dan memahami perasaannya. "Marissa, aku sangat menyesal melihat kondisimu sekarang," ujarku dengan suara lembut. "Sebagai teman, aku ingin membantumu agar bisa bangkit dan memulai kembali. Aku ingin membuka lembaran baru bagi kita semua." Marissa memandangku dengan tatapan tajam. "Bukankah kamu bisa memahami betapa sulitnya posisiku?" katanya dengan emosi yang masih terasa dalam suaranya. "Kehidupan ini tidak adil, tidak adil bahwa aku harus berada di tempat seperti ini sementara kamu hidup dalam
Kesempatan untuk bertemu dengan Marissa akhirnya terbuka bagiku, dan hatiku bergetar dengan rasa bahagia dan cemas. Meskipun Marissa telah melakukan kesalahan yang besar terhadap kami, aku tidak bisa melupakan masa-masa indah yang kami lewati bersama saat kami masih sekolah dulu. Kami adalah teman baik, berbagi tawa, cerita, dan impian bersama. Sekarang, dengan keputusanku untuk menemui Marissa, aku berharap kami bisa memulihkan hubungan yang ada di antara kita.Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Aku bersiap untuk pergi menemui Marissa, memilih pakaian dengan hati-hati, mencoba tampak tenang dan berbicara dengan hati yang terbuka. Aku berdoa agar pertemuan ini bisa membawa kedamaian dan kesembuhan baik bagi diriku maupun Marissa.Sepasang tangan kekar tiba-tiba merangkulku dari belakang, menyapu rasa kantukku dengan kehangatan yang akrab. Aku tersenyum dan berbalik memandang Keenan yang sudah bangun tidur, selalu ada dalam pelukannya."Kenapa kamu tidak membangunkanku?" tanya Keenan de
Aku melepaskan sedikit rasa kantukku saat melihat seorang lelaki dengan tangan kekar yang memeluk perutku. Senyuman terukir di wajahku ketika aku menyadari bahwa itu adalah Keenan, suamiku yang tidur di sampingku. Matanya yang tertutup oleh bulu alis yang tebal begitu indah, hidungnya yang mancung memberikan pesona tersendiri.Dalam keadaan itu, aku tertegun sejenak, mengamati wajahnya yang damai saat terlelap. Rasa cinta yang mendalam muncul dalam hatiku, melihat Keenan sebagai sosok yang melengkapi hidupku.Teringat akan janji pernikahan kami yang baru terucap beberapa hari yang lalu, saat kami bersatu menjadi suami istri. Hanya Tuhan yang tahu betapa aku bahagia bisa berbagi hidup dengan Keenan, orang yang telah berada di sampingku sejak lama.Aku mencium udara pagi dengan perasaan yang penuh syukur. Aku merasakan kehangatan dan keamanan dalam pelukan Keenan. Rasa terima kasih terucap dalam hatiku, untuk kami berdua dan keberuntungan yang telah Tuhan anugerahkan kepadaku.Sejenak a
Keenan mengangkat kepalanya dan tiba-tiba mencium bibirku dengan lembut. Suasana di apartemen Keenan menjadi hening, hingga hanya terdengar detak jarum jam yang mengisi ruangan. Aku terbuai dalam kelembutan ciumannya, merasakan kenyamanan yang timbul dan melupakan segala sesuatu di sekitar kami.Namun, aku segera menyadari situasi kami dan mendorong tubuh Keenan agar menjauh dariku. "Apa kita akan melakukannya di sini?" tanyaku, hatiku berdebar ketika mengingat keberadaan kamera CCTV di ruangan ini.Keenan bangun dari posisi tidurnya dan duduk di sampingku. "Memangnya kenapa kalau di sini? Di apartemen ini hanya ada kita," ucapnya dengan senyuman.Aku menunjuk ke arah CCTV yang terpasang di sudut ruangan. "Lihatlah, ada CCTV di sini. Aku tidak ingin kegiatan kita terekam dan diketahui oleh orang lain."Keenan hanya tersenyum dan mengangguk mengerti. "Baiklah, aku akan membawa tuan putriku ini ke kamar. Di sana kita bisa bebas dan tenang," ucapnya sambil mengangkat tubuhku dengan lembu
Keenan terlihat kesal karena Kenzie belum tidur hingga malam tiba. Sudah berbagai cara Keenan lakukan agar Kenzie bisa tidur, tetapi nyatanya semua usahanya tak berhasil membuat anak kami tertidur. Aku hanya tersenyum melihat wajah kesalnya. Mulai dari saat kami meninggalkan kamar hotel hingga sekarang, ketika kami sudah berada di apartemenku, Keenan masih terlihat murung. Ya, setelah hari pernikahanku dengan Keenan selesai, kami memutuskan untuk kembali tinggal di apartemen yang pernah aku beli dulu. Kenzie begitu sangat bahagia ketika kami memutuskan untuk kembali lagi ke apartemen ini. "Terima kasih, Tante Sissi, sudah mau memberi tumpangan kepada kami," kata Kenzie, berlari ke arah Sissi dan memeluknya erat. "Sama-sama, Ken. Tante Sissi juga senang bisa membantu kalian bertiga. Apalagi rumah tante Sissi jadi ramai. Oh iya, lain kali kamu juga bisa main ke rumah tante Sissi." Kenzie melepaskan pelukannya. "Terima kasih, Tante. Aku sangat sayang pada Tante. Maafkan aku yang sela
"Kenapa? Apa yang kamu bicarakan dengan Om Beni?" tanyaku pada Keenan setelah ia mengakhiri sambungan teleponnya dengan ekspresi yang terlihat agak cemas."Tidak apa-apa, Om Beni hanya mengucapkan selamat kepada kita," jawab Keenan sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku celana."Para tamu sudah pulang semua?" tanyanya sambil memandang sekeliling ruangan yang sudah kosong.Aku mengangguk. "Sudah pada pulang. Kenzie juga sudah pergi bersama Sissi dan Bagas.""Pergi ke mana?" tanyanya penasaran."Kenzie bilang dia ingin beli es krim.""Malam-malam begini?" tanyanya terlihat agak cemas.Aku mengangguk. "Ya, Kenzie selalu menginginkan sesuatu dan Sissi akhirnya merasa kasihan padanya, jadi dia membawa Kenzie untuk membeli es krim.""Tapi nanti giginya sakit lagi," ujar Keenan sambil menggeleng."Aku juga sudah melarangnya, tapi kamu tahu sendiri Kenzie pasti akan merengek terus."Keenan mengangguk setuju, tapi ekspresinya terlihat agak khawatir. "Ya, itu masalahnya. Tetapi, sepertinya m
"Iya, itu memang cincin yang aku dapatkan dari pelelangan," jawab Keenan sambil tersenyum menatapku.Aku merasa bingung mengapa Keenan memberikan cincin itu kepadaku. "Tapi … kenapa kamu memberikannya untukku?" tanyaku yang masih bingung."Kiara, cincin itu adalah turun-temurun dari nenek moyang kami dulu, dan sekarang cincin itu memang sepantasnya untukmu," terang Tante Belinda."Tapi … kenapa harus untukku, Tante?""Mommy, kenapa Mommy terlihat bingung? Mommy sudah melahirkan aku, jadi cincin itu sekarang Mommy yang simpan. Kalau nanti aku udah besar, Daddy bilang nanti cincin itu aku yang simpan, iya, 'kan, Daddy?" ujar Kenzie dengan polos."Lihat, anakmu saja mengerti, kenapa kamu tidak mengerti," terang Keenan."Jadi … maksudnya, kamu ….""Iya, malam ini, aku ingin melamarmu, Kiara. Di depan keluarga kita," ucap Keenan yang membuatku tersipu malu. "Kamu mau 'kan menikah denganku, kita membesarkan Kenzie bersama?"Aku melihat ke arah Ibu, Ibu mengangguk tanda setuju, lalu aku meli