Tiba-tiba, Keenan muncul di depan kami, wajahnya terlihat terkejut melihat situasi yang tengah berlangsung. "Ada apa ini?" tanyanya dengan suara tinggi. "Kenapa kalian berteriak seperti ini?"Marissa mendekat ke arah Keenan, menyampaikan keluhannya, "Sayang, aku hanya ingin minuman dingin, tetapi dia menolak untuk membuatkan."Sepasang mata coklat Keenan melihat pecahan gelas di lantai, ia lantas bertanya, "Terus, kenapa gelasnya bisa jatuh?"Marissa dengan cepat menjawab, "Dia yang memecahkannya. Dia bilang tidak mau aku menyuruhnya, dia juga bilang kalau dia bukanlah pembantu yang harus disuruh-suruh, padahal aku sudah memintanya baik-baik."Sungguh, apa yang terjadi saat ini sangat di luar kendaliku. Aku tidak menyangka bila Marissa malah menudingku yang menjatuhkan gelas, aku tidak tahu mengapa dia bisa berbuat seperti itu.Aku memilih untuk tetap diam, meresapi semua tuduhan yang dilemparkan padaku. Keenan memandang kami berdua dengan serius, mencoba memahami sisi cerita masing-m
Aku memandangi sekeliling kamar dengan kebingungan. Mataku melirik ke arah tubuhku, dan aku melihat bahwa aku masih mengenakan pakaian. Syukurlah, itu artinya tidak terjadi apa-apa denganku semalam."Kenapa aku bisa tidur di sini? Perasaan tadi malam aku tidur di sofa?" gumamku dalam kebingungan.Aku merenungkan kembali ingatanku semalam. Aku ingat bahwa aku sudah selesai menyelesaikan semua pekerjaanku dan menuju ke sofa untuk istirahat sejenak. Namun, rasanya seperti terdapat kekosongan dalam ingatanku. Aku tidak ingat bagaimana aku bisa sampai di kamar Keenan.Aku mulai merasa sedikit gugup dan tidak nyaman berada di kamar Keenan. Selain itu, aku juga merasa was-was karena awalnya aku tidak ingat bagaimana aku bisa sampai ke kamar Keenan.Aku mulai berpikir untuk segera meninggalkan kamarnya, namun ketika aku hendak keluar dari kamar Keenan, lelaki itu tiba-tiba masuk ke dalam kamar."Kamu sudah bangun?" tanya Keenan setelah membuka pintu.Aku hanya mengangguk. "Iya, aku … aku tida
"Tante Belinda." Aku merasa agak terkejut ketika melihat Tante Belinda sudah berdiri di hadapanku dengan tatapan tajam yang menyergap. Aku tidak begitu tahu sebenarnya mengapa dia datang ke apartemen ini. Apa mau mengunjungi Keenan atau ada urusan penting?"Tante, Keenan sudah berangkat bekerja," kataku dengan suara rendah, mencoba menjelaskan situasi."Siapa yang ingin bertemu dengan dia?" tanya Tante Belinda dengan nada sedikit ketus.Saat itu, Marissa, muncul tiba-tiba. Dia menghampiri kami dan tersenyum sinis ke arahku."Kami datang ke sini untuk bertemu denganmu," ujar Marissa dengan suara tegas, membuatku merasakan kebingungan dalam hanya sekejap.Aku hanya bisa menelan air liur karena terlalu khawatir dan cemas. Tante Belinda dan Marissa adalah dua orang yang sangat sulit diprediksi, dan aku merasa sedikit terancam dengan kehadiran mereka di sini.Tidak lama setelah itu, Tante Belinda dengan tergesa-gesa masuk ke dalam apartemen Keenan dan langsung memperhatikan ruangan dengan
Pov. KeenanRapat siang mengenai tender proyek telah usai. Aku meninggalkan ruangan dengan perasaan yang cukup optimis. Aku menghabiskan waktu beberapa menit untuk mengucapkan terimakasih kepada para klien yang hadir dalam rapat tersebut sebelum meninggalkan ruangan.Hari ini merupakan hari yang cukup sibuk bagi diriku, sebagai pemilik perusahaan di bidang makanan dan minuman, aku harus memastikan keberhasilan perusahaan yang aku miliki dalam menerima tender proyek baru. Setelah rapat siang ini berakhir, aku keluar dari ruangan untuk menuju ruang kerjaku. Sesampainya di ruangan, aku langsung duduk di kursi kerjaku. Lantas, aku bertanya pada Bagas yang ada di hadapanku "Bagaimana menurutmu? Apa yang harus kita lakukan agar bisa memenangkan tender proyek ini?"Bagas memandangku dengan penuh perhatian, "Saat ini, banyak perusahaan makanan dan minuman yang bersaing untuk memenangkan tender kali ini. Kita harus memiliki strategi yang tepat dan unik agar dapat memenangkan proyek ini," jawa
"Kiara, ya ampun!" Aku merasa panik ketika menemukan Kiara pingsan di lantai. Segera aku merubah sikap menjadi lebih fokus. Aku segera berjongkok dan memeriksanya. Namun, ia tidak menunjukkan tanda-tanda gerakan. Tubuhnya terlihat lemas dan matanya tertutup. Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ingin aku menjerit minta tolong!"Kiara, bangunlah! Apa yang terjadi padamu?" seruku sambil menepuk-nepuk pipinya dalam usaha membangunkannya. Kiara terlihat basah kuyup, dan wajahnya sangat pucat.Aku segera menggendong tubuhnya ala bridal style, dan berlari menuju kamar. Aku meletakkan tubuhnya di atas kasur yang empuk, dan mencoba membangunkannya kembali. "Kiara, Kiara bangunlah!" Aku mencoba menepuk wajah Kiara lagi. Namun, Kiara tetap tidak merespon.Aku tidak tahu harus berbuat apa. Ingin rasanya aku menangis. Namun, aku tidak dapat melakukannya. Tak lama kemudian, aku ingat bahwa aku harus menelpon dokter untuk meminta bantuan.Gegas aku meraih ponsel yang ada di atas meja untuk sege
Aku menatap wajah Kiara yang masih terlelap di atas tempat tidur. Sudah dari kemarin dia belum sadarkan diri dan kondisinya membuatku khawatir. Namun, pagi ini tampaknya ada sedikit perubahan setelah dokter memberikan infus padanya.Sebagai orang yang merawat Kiara, aku harus mempersiapkan sarapannya. Aku ingat bahwa Kiara suka bubur ayam, jadi aku memutuskan untuk membuatkan bubur untuknya hari ini. Aku berharap Kiara cepat bangun dan semangat seperti biasa.Aku pergi ke dapur untuk memulai proses memasak. Namun, aku harus mengakui bahwa aku bukan seorang chef yang ulung. Aku menyalakan api kompor, menuangkan air, lalu menunggu hingga airnya mendidih. Setelah itu, aku menambahkan beras dan ayam cincang ke dalam panci.Sambil menunggu bubur matang, aku menjernihkan pikiranku dan berdoa semoga Kiara menjalani hari yang lebih baik dari sehari yang lalu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan keluarganya bila mereka tahu tentang kondisi Kiara, meskipun aku sudah menghubungi Bu Si
“Kenapa pipi kananmu merah? Seperti terkena tamparan. Apa ada yang menamparmu?” tanyaku dengan penuh kekhawatiran.Kiara hanya tersenyum ramah. Dia menyentuh pipi kanannya dan bertanya, “Apa merah?”“Iya, seperti bekas tamparan. Apa kamu kena tampar?”Kiara terdiam. Aku mulai khawatir dengan keheningannya, dan berspekulasi ada masalah yang dia sembunyikan dari aku.“Oh, ini … mungkin karena terkena ujung meja saat aku pingsan kemarin,” ujarnya dengan wajah polos.Aku mengulurkan tanganku dan menyentuh pipinya. Sama sekali benar, pipinya terasa panas dan agak membengkak.“Serius? Terkena ujung meja? Apa tidak sakit?” tanyaku sambil menyentuh dengan lembut pipinya.“Em … tidak, hanya kebas saja,” jawab Kiara dengan wajah risih.Aku merasa heran karena Kiara tak merasakan sakit apa pun, tapi sepertinya, dia tidak ingin membahas topik ini lebih dalam. Aku mencoba untuk menawarkan bantuan. “Mau aku olesin obat?”Kiara menggeleng dan menjawab, “Tidak perlu.”“Tapi kalau tidak diobati bisa i
Kiara menatapku dengan tatapan heran. “Kenapa kamu membeli lingerie?”Aku coba mencari alasan. “Emm … tadi karyawan toko yang menawari aku baju dinas. Aku pikir baju dinas untuk bekerja, tapi ternyata baju dinas untuk di atas kasur.”Mendengar jawabanku, wajah Kiara terlihat semakin heran. “Kenapa kamu tidak menolaknya? Kenapa kamu malah membelinya?”Aku hanya bisa menggaruk tengkukku sambil merasa kesal. “Sudahlah, tadi aku bingung, jadi asal ambil saja.”Kiara yang kesal kemudian mengambil lingerie tersebut dan memasukkannya ke dalam paper bag kembali. “Ya sudah, aku tidak mau ambil yang ini,” ujarnya sambil menyodorkan paper bag tersebut kepadaku.Aku tidak tega dan mencoba meyakinkannya, “Tapi aku sudah membelinya untukmu.”Kiara merasa enggan dan berkata, “Aku tidak mau, kamu bisa memberikannya kepada Marissa.”Aku merasa terdiam dan hanya bisa mengusap kasar wajahku dan meraih paper bag tersebut dari tangannya.Aku lantas menaruh paper bag tersebut di atas meja dan menuju Kiara