"Tante Belinda." Aku merasa agak terkejut ketika melihat Tante Belinda sudah berdiri di hadapanku dengan tatapan tajam yang menyergap. Aku tidak begitu tahu sebenarnya mengapa dia datang ke apartemen ini. Apa mau mengunjungi Keenan atau ada urusan penting?"Tante, Keenan sudah berangkat bekerja," kataku dengan suara rendah, mencoba menjelaskan situasi."Siapa yang ingin bertemu dengan dia?" tanya Tante Belinda dengan nada sedikit ketus.Saat itu, Marissa, muncul tiba-tiba. Dia menghampiri kami dan tersenyum sinis ke arahku."Kami datang ke sini untuk bertemu denganmu," ujar Marissa dengan suara tegas, membuatku merasakan kebingungan dalam hanya sekejap.Aku hanya bisa menelan air liur karena terlalu khawatir dan cemas. Tante Belinda dan Marissa adalah dua orang yang sangat sulit diprediksi, dan aku merasa sedikit terancam dengan kehadiran mereka di sini.Tidak lama setelah itu, Tante Belinda dengan tergesa-gesa masuk ke dalam apartemen Keenan dan langsung memperhatikan ruangan dengan
Pov. KeenanRapat siang mengenai tender proyek telah usai. Aku meninggalkan ruangan dengan perasaan yang cukup optimis. Aku menghabiskan waktu beberapa menit untuk mengucapkan terimakasih kepada para klien yang hadir dalam rapat tersebut sebelum meninggalkan ruangan.Hari ini merupakan hari yang cukup sibuk bagi diriku, sebagai pemilik perusahaan di bidang makanan dan minuman, aku harus memastikan keberhasilan perusahaan yang aku miliki dalam menerima tender proyek baru. Setelah rapat siang ini berakhir, aku keluar dari ruangan untuk menuju ruang kerjaku. Sesampainya di ruangan, aku langsung duduk di kursi kerjaku. Lantas, aku bertanya pada Bagas yang ada di hadapanku "Bagaimana menurutmu? Apa yang harus kita lakukan agar bisa memenangkan tender proyek ini?"Bagas memandangku dengan penuh perhatian, "Saat ini, banyak perusahaan makanan dan minuman yang bersaing untuk memenangkan tender kali ini. Kita harus memiliki strategi yang tepat dan unik agar dapat memenangkan proyek ini," jawa
"Kiara, ya ampun!" Aku merasa panik ketika menemukan Kiara pingsan di lantai. Segera aku merubah sikap menjadi lebih fokus. Aku segera berjongkok dan memeriksanya. Namun, ia tidak menunjukkan tanda-tanda gerakan. Tubuhnya terlihat lemas dan matanya tertutup. Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ingin aku menjerit minta tolong!"Kiara, bangunlah! Apa yang terjadi padamu?" seruku sambil menepuk-nepuk pipinya dalam usaha membangunkannya. Kiara terlihat basah kuyup, dan wajahnya sangat pucat.Aku segera menggendong tubuhnya ala bridal style, dan berlari menuju kamar. Aku meletakkan tubuhnya di atas kasur yang empuk, dan mencoba membangunkannya kembali. "Kiara, Kiara bangunlah!" Aku mencoba menepuk wajah Kiara lagi. Namun, Kiara tetap tidak merespon.Aku tidak tahu harus berbuat apa. Ingin rasanya aku menangis. Namun, aku tidak dapat melakukannya. Tak lama kemudian, aku ingat bahwa aku harus menelpon dokter untuk meminta bantuan.Gegas aku meraih ponsel yang ada di atas meja untuk sege
Aku menatap wajah Kiara yang masih terlelap di atas tempat tidur. Sudah dari kemarin dia belum sadarkan diri dan kondisinya membuatku khawatir. Namun, pagi ini tampaknya ada sedikit perubahan setelah dokter memberikan infus padanya.Sebagai orang yang merawat Kiara, aku harus mempersiapkan sarapannya. Aku ingat bahwa Kiara suka bubur ayam, jadi aku memutuskan untuk membuatkan bubur untuknya hari ini. Aku berharap Kiara cepat bangun dan semangat seperti biasa.Aku pergi ke dapur untuk memulai proses memasak. Namun, aku harus mengakui bahwa aku bukan seorang chef yang ulung. Aku menyalakan api kompor, menuangkan air, lalu menunggu hingga airnya mendidih. Setelah itu, aku menambahkan beras dan ayam cincang ke dalam panci.Sambil menunggu bubur matang, aku menjernihkan pikiranku dan berdoa semoga Kiara menjalani hari yang lebih baik dari sehari yang lalu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan keluarganya bila mereka tahu tentang kondisi Kiara, meskipun aku sudah menghubungi Bu Si
“Kenapa pipi kananmu merah? Seperti terkena tamparan. Apa ada yang menamparmu?” tanyaku dengan penuh kekhawatiran.Kiara hanya tersenyum ramah. Dia menyentuh pipi kanannya dan bertanya, “Apa merah?”“Iya, seperti bekas tamparan. Apa kamu kena tampar?”Kiara terdiam. Aku mulai khawatir dengan keheningannya, dan berspekulasi ada masalah yang dia sembunyikan dari aku.“Oh, ini … mungkin karena terkena ujung meja saat aku pingsan kemarin,” ujarnya dengan wajah polos.Aku mengulurkan tanganku dan menyentuh pipinya. Sama sekali benar, pipinya terasa panas dan agak membengkak.“Serius? Terkena ujung meja? Apa tidak sakit?” tanyaku sambil menyentuh dengan lembut pipinya.“Em … tidak, hanya kebas saja,” jawab Kiara dengan wajah risih.Aku merasa heran karena Kiara tak merasakan sakit apa pun, tapi sepertinya, dia tidak ingin membahas topik ini lebih dalam. Aku mencoba untuk menawarkan bantuan. “Mau aku olesin obat?”Kiara menggeleng dan menjawab, “Tidak perlu.”“Tapi kalau tidak diobati bisa i
Kiara menatapku dengan tatapan heran. “Kenapa kamu membeli lingerie?”Aku coba mencari alasan. “Emm … tadi karyawan toko yang menawari aku baju dinas. Aku pikir baju dinas untuk bekerja, tapi ternyata baju dinas untuk di atas kasur.”Mendengar jawabanku, wajah Kiara terlihat semakin heran. “Kenapa kamu tidak menolaknya? Kenapa kamu malah membelinya?”Aku hanya bisa menggaruk tengkukku sambil merasa kesal. “Sudahlah, tadi aku bingung, jadi asal ambil saja.”Kiara yang kesal kemudian mengambil lingerie tersebut dan memasukkannya ke dalam paper bag kembali. “Ya sudah, aku tidak mau ambil yang ini,” ujarnya sambil menyodorkan paper bag tersebut kepadaku.Aku tidak tega dan mencoba meyakinkannya, “Tapi aku sudah membelinya untukmu.”Kiara merasa enggan dan berkata, “Aku tidak mau, kamu bisa memberikannya kepada Marissa.”Aku merasa terdiam dan hanya bisa mengusap kasar wajahku dan meraih paper bag tersebut dari tangannya.Aku lantas menaruh paper bag tersebut di atas meja dan menuju Kiara
Aku datang ke rumah Mama dengan hati yang berat. Aku tak habis pikir mengapa Mama bisa menampar Kiara begitu saja. Aku mencoba mencari jawaban yang tepat. Setelah berpikir beberapa saat, aku segera menepikan mobilku ketika sudah berada di depan rumah Mama.Tanpa membuang waktu, aku langsung turun dari mobil dan bergegas masuk ke dalam rumah. Sesampainya di dalam rumah, aku melihat Mama yang tengah duduk di sofa dengan majalah yang ada di pangkuannya. “Mama.” Aku memanggil Mama dan Mama langsung menoleh sambil tersenyum begitu sangat manis.“Kenapa kamu tidak memberitahu Mama bila kamu akan ke sini?” tanya Mama sambil berdiri menghampiriku.“Aku ingin bertemu dengan Mama. Maaf bila aku tidak menghubungi Mama terlebih dahulu,” kataku dengan nada yang datar.“Tidak apa-apa, ada apa kamu ingin bertemu dengan mama?” tanya Mama.“Mama, kemarin Mama bersama Marissa pernah ke apartemenku, bukan?” tanyaku kepada Mama. Tapi ia hanya terdiam dengan apa yang sudah aku katakan kepadanya.Beberapa
Aku memasuki kamar dengan hati yang berat, sepasang mataku melihat Kiara sedang tertidur pulas. Tanpa suara, aku menghampiri tempat tidur Kiara. Tidurnya begitu nyenyak. Wajahnya dipenuhi dengan ekspresi damai yang hanya bisa aku lihat ketika ia sedang terlelap. Aku segera menutupi tubuhnya dengan selimut yang sudah terjatuh dari tubuhnya dengan pelan.“Selamat malam, Ara. Maafkan semua perbuatan Mama yang menyakitimu,” bisikku lirih di telinganya.Saat ini, aku teringat pada keputusanku untuk menyetujui tawaran Mama. Aku mengorbankan perasaanku untuk Kiara demi menyelamatkan hubunganku dengan Mama, dan terutama untuk menghindari Kiara dari cobaan yang lebih sulit. Meskipun hatiku hancur karena harus memilih antara dua orang yang sangat aku sayangi, aku tahu bahwa aku harus memilih yang terbaik untuk semuanya.Aku meraih tangannya perlahan, mengelusnya begitu lembut. “Maafkan aku karena segala sikap burukku padamu,” gumamku pelan. “Aku akan selalu mendampingi dan melindungimu. Apa pu