Aku memasuki kamar dengan hati yang berat, sepasang mataku melihat Kiara sedang tertidur pulas. Tanpa suara, aku menghampiri tempat tidur Kiara. Tidurnya begitu nyenyak. Wajahnya dipenuhi dengan ekspresi damai yang hanya bisa aku lihat ketika ia sedang terlelap. Aku segera menutupi tubuhnya dengan selimut yang sudah terjatuh dari tubuhnya dengan pelan.“Selamat malam, Ara. Maafkan semua perbuatan Mama yang menyakitimu,” bisikku lirih di telinganya.Saat ini, aku teringat pada keputusanku untuk menyetujui tawaran Mama. Aku mengorbankan perasaanku untuk Kiara demi menyelamatkan hubunganku dengan Mama, dan terutama untuk menghindari Kiara dari cobaan yang lebih sulit. Meskipun hatiku hancur karena harus memilih antara dua orang yang sangat aku sayangi, aku tahu bahwa aku harus memilih yang terbaik untuk semuanya.Aku meraih tangannya perlahan, mengelusnya begitu lembut. “Maafkan aku karena segala sikap burukku padamu,” gumamku pelan. “Aku akan selalu mendampingi dan melindungimu. Apa pu
Pov. KiaraHatiku sangat terluka saat aku mendengar bahwa Keenan akan menikah dengan Marissa. Seolah-olah seluruh kekuatanku telah runtuh begitu saja. Aku tidak tahu harus melakukan apa saat ini. Tiba-tiba, Keenan merangkulku dan menciumku, seakan dia membawaku terbang ke angkasa, tapi tak lama setelah itu, dia seperti menghempaskanku ke bumi lagi.Hatiku hancur berkeping-keping, dan semuanya terlihat buram di depanku. Meskipun perih, aku harus terlihat baik-baik saja di depannya, jadi aku mencoba tersenyum kepadanya. Lalu berkata, “Selamat, ya, semoga kalian bahagia dan bisa hidup bersama selamanya.” Setelah itu, aku menggigit bibirku yang sudah bergetar.“Terima kasih atas semua yang telah kamu lakukan untukku selama ini. Dan terima kasih karena kamu sudah merawatku. Aku permisi dulu.”Kemudian, aku langsung membuka pintu mobil dan keluar karena aku tak ingin Keenan melihat air mataku yang sudah menetes.“Kiara.”Saat aku meninggalkannya, dia memanggil namaku, tapi aku tak menghira
Kutatap wajahku dalam cermin yang ada di depanku, sambil mengeringkan rambut menggunakan hair dryer dengan perlahan, hujan di luar masih tak kunjung berhenti meski langit sudah gelap.Sejenak, aku ingin melupakan kesedihan yang mendera diriku sedari tadi, tapi rasanya sakit ini tak kunjung sembuh. Aku tersenyum getir, ketika mengingat kebodohan yang sudah aku lakukan beberapa saat yang lalu, tak seharusnya aku membalas ciuman dari Keenan. Aku tak tahu mengapa aku jadi sebodoh ini, apalagi ketika melihat wajah Ibu tadi yang melihat kami berciuman.Aku berdecak kesal sambil meletakan hair dryer di atas meja, lalu memangku wajahku menggunakan tangan dan mengacak rambutku fustrasi. “Kiara, bodoh! Kenapa kamu begitu bodoh jadi wanita?” gerutuku kesal pada diri sendiri.Setelah beberapa menit merenung tentang kebodohanku, akhirnya aku mulai mengambil langkah pertama untuk memperbaiki kesalahan tersebut. “Apa aku harus meminta maaf sama Keenan? Tidak, kenapa harus aku yang minta maaf?”Huf
Pov. KeenanSuara jam alarm membangunkanku dari mimpi indah yang mewarnai tidurku. Tangan kananku meraih jam yang ada di atas meja nakas dan dengan segera, aku mematikan alarm tersebut.Jarum pendek jam menunjukkan pukul 8 pagi, tapi aku masih begitu sangat ngantuk. Terlebih akhir-akhir ini pekerjaanku begitu banyak di kantor dan menguras tenagaku. Rasanya seperti tidak pernah ada akhirnya.Aku perlahan meraih selimut yang menutupi tubuhku dan membukanya perlahan.Sesampainya kaki ini beradu dengan lantai, aku merasa kaku dan kejang di tubuhku setelah tidur semalaman. Aku perlahan merenggangkan otot-ototku dan mencoba untuk bergerak lebih banyak sebelum bergegas menuju kamar mandi.Kamar mandi yang biasanya menjadi tempatku menghabiskan waktu selama setengah jam untuk mandi, kali ini hanya dipakai sebentar saja karena aku harus mengejar waktu. Maka dengan perlahan, aku mencuci wajah dari sisa-sisa rasa kantuk yang masih melekat.Setelah mandi, aku segera mengenakan kemeja biru dan cela
Pov. Kiara~Kau hanya serpihan masa lalu yang tak bisa kugapai. Namun, aku tetap ada di sini, mengalir di dalammu seperti air di sungai yang tak pernah berhenti mengalir. Meski sulit, mengikhlaskanmu adalah pilihan terakhirku, biarlah hati ini menjadi lautan yang luas untuk menyimpan kenangan indah bersamamu~Kenapa bukan kita? Mengapa tidak kau dan aku?Aku duduk sendiri di ruang kerjaku, dengan sebuah undangan pernikahan di tanganku. Aku memandangnya beberapa detik, melihat terukirnya nama Marissa dan Keenan dengan begitu indah. Namun, perasaanku tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Perasaanku sesak ketika harus merelakan seseorang yang begitu aku cintai menikah dengan wanita lain.Aku dan Keenan telah mengenal satu sama lain selama 15 tahun, semenjak kami bersekolah di SMA. Kami menghabiskan banyak waktu bersama, belajar bersama serta membangun impian dan cita-cita bersama. Tanpa disadari, rasa suka kami satu sama lain perlahan tumbuh menjadi cinta yang begitu dalam.Namun, ketik
“Di mana aku harus memilih jas?” tanya Keenan begitu Marissa masuk ke ruang ganti.“Oh, ada di sebelah sana,” jawabku sambil mengarahkan Keenan ke ruangan tempat penyimpanan beberapa jas yang telah aku persiapkan.Aku meraih sebuah jas berwarna hitam yang ada di gantungan. Aku sengaja merancang jas tersebut dengan model yang Keenan sukai. Kemudian, aku menyerahkan jas tersebut kepadanya.“Aku sudah membuat jas ini dengan ukuran tubuhmu,” kataku.Keenan memeriksa jas itu, dan bertanya, “Apa menurutmu pas?”Aku mengangguk. “Aku yakin akan cocok di tubuhmu,” jawabku.Keenan pun mencobanya, dan jas itu ternyata sangat cocok dan ia terlihat nyaman memakainya. “Terima kasih. Aku tidak pernah menyangka bahwa jas sebagus ini akan cocok untukku,” ujarnya sambil tersenyum.Aku hanya tersenyum membalas ucapan Keenan. Aku merasa senang melihat Keenan tampak percaya diri dengan jas barunya. Aku mengetahui bahwa dengan penampilan yang baik, seseorang dapat merasa lebih percaya diri dan sukses dala
Aku merasa hati ini begitu berat ketika mengetahui bahwa anakku, Kenzie telah ditampar oleh Marissa. Aku merasa perlu mencari kebenaran di balik insiden tersebut. Dengan hati yang berkobar-kobar, aku memacu mobil menuju rumah Marissa dengan cepat.Setibanya di depan rumah Marissa, aku turun dari mobil dan langsung menekan bel pintu. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan seorang wanita paruh baya keluar.“Maaf, dengan siapa, ya?” tanya wanita paruh baya itu.“Saya Kiara. Saya ingin bertemu dengan Marissa. Apa Marissa ada di rumah?” tanyaku langsung.“Maaf, Nyonya Marissa sedang tidak ada di rumah. Dia sedang berkunjung ke rumah Bu Belinda,” jawabnya.Aku mengangguk dengan pahit. “Baiklah, terima kasih.” Sebelum kembali ke mobil. Aku memutuskan untuk mencari Marissa di rumah Tante Belinda.Perjalanan ke rumah Tante Belinda terasa panjang dan penuh kekhawatiran. Aku terus memikirkan apa yang sebenarnya terjadi dengan Kenzie dan Marissa. Begitu tiba di rumah Tante Belinda, aku melihat mobi
Pov. KeenanDari jendela apartemen yang menjulang tinggi, pandanganku terhampar luas atas keajaiban alam. Di sana, langit membentang luas, berwarna biru keemasan saat mentari beranjak naik. Gemerlap cahaya pagi menari di antara gedung-gedung, menciptakan kontras yang memukau antara ciptaan manusia dan keindahan alami. Burung-burung terbang melintasi langit, menambahkan simfoni alam yang merdu ke dalam pemandangan urban yang sibuk. Ini adalah momen di mana alam dan peradaban bertemu, mengingatkanku pada keharmonisan yang bisa tercipta di antara keduanya.“Sudah jam 8 pagi, lebih baik aku mandi saja.”Dengan langkah yang gesit, aku bersiap untuk menyegarkan diri. Harapan menggantung di setiap tetes air yang akan membasuh, membawa pergi lelah yang melekat. Aku berharap akan kembali menemukan kesegaran untuk menyambut hari.Di balik tirai air yang jernih, aku menutup mata, membiarkan air mengalir bebas. Setiap tetesnya adalah sentuhan lembut yang menghapus bekas semalam, menghidupkan kem