"Mas Ayang mau cari kemana anaknya Dania? Emang ada ciri-cirinya?" tanya Namira bingung mendengar niat Daniel mencari buah hati Dania dan Yuda. "Seingatku anak Dania punya tanda lahir di telapak tangan sebesar ini." Daniel menggambar bulatan di tengah telapak tangan kirinya. Menunjukkan pada wanita yang amat dicintai. Namira menghela napas berat, "Kalau cuma tanda lahir mah banyak, Mas Ayang. Banyak orang yang punya tanda lahir di situ," timpal Namira terdengar putus asa. Pikir Namira, di dunia banyak orang yang memiliki tanda lahir seperti yang digambarkan Daniel. Seperti mencari jarum di tengah jerami. Tetapi, Namira tidak mau menunjukkan rasa pesimisnya di hadapan Daniel. "Dulu Dania pernah bilang, orang yang punya tanda lahir di situ enggak banyak," jelas Daniel ditanggapi anggukkan kepala istrinya. Namira menarik napas panjang, menatap Daniel penuh cinta. "Terus, Mas Ayang mau cari kemana dulu?" tanya Namira penasaran. Daniel berpikir sejenak, ia mengingat kembali kejadian y
Tiba di kampus, Evan membukakan pintu mobil untuk Bianca. Gadis itu tentu saja tersanjung akan perlakuan manis seorang Evan."Terima kasih. Kamu mau pulang dulu atau mau menunggu di sini?" Mereka kini sedang berada di area parkir khusus mobil. "Aku nunguin kamu di kantin aja.""Mending kamu pulang dulu, istirahat. Nanti aku pulang minta dijemput supir rumah aja."Evan memegang kedua bahu Bianca. "Selama aku mampu, aku masih bisa kuat, aku yang akan mengantarmu kemana aja. Sekarang kamu ke kelas, aku nungguin di kantin."Bibir Bianca mengembangkan senyum. Menganggukkan kepala. Tidak menyuruh Evan pulang lebih dulu lagi. Membiarkan anak Yuda dan Gita itu menunggunya di kantin.Evan sudah tidak sabar ingin menelepon Gita. Ia ingin menanyakan tentang yang didengar Bianca saat Gita sedang menerima telepon. Tapi, sebelumnya Evan menghubungi asisten rumah tangganya di rumah. "Hallo, Bi. Ini saya Evan," ucap Evan masuk ke dalam mobil. Sebelum ke kantin, Evan ingin menanyakan keberadaan mam
Napas Gita memburu, menahan amarah yang ingin sekali ia luapkan. Dalam satu bulan, sudah terhitung tiga kali, dia mendapat kabar kalau Nida berkelahi. Kadang dengan teman sekelasnya, kadang dengan kakak kelas. Gita menggelengkan kepala, memijat pelipis. "Mulai besok, lebih baik kamu berhenti sekolah. Buat apa sekolah kalau kelakuanmu kayak preman? Mending tinggal di terminal saja sana! Jadi ketua preman." Kata-kata yang keluar dari mulut Gita sangat menyakitkan. "Aku berkelahi bukan tanpa sebab, Tante," jawab Nida datar. Bukan kali ini saja Nida dimarahi Gita. Sudah sangat sering. Memang untuk keperluan hidup Nida, semuanya ditanggung Gita tapi perlakuan Gita terhadap Nida benar-benar sangat kasar. Dulu, sewaktu masih SMP, rambut Nida dicukur sampai botak oleh Gita karena memukul bagian penting laki-laki. Itu pun dilakukan Nida karena lelaki tersebut hendak melakukan pel3cehan terhadapnya. Tapi, bagi Gita perbuatan Nida tidak perlu berlebihan apalagi sampai wajah si lelaki sampai b
** "Jadi, kamu enggak mau mencari anakmu dari Dania, Yud?" tanya Daniel dingin pada lelaki yang tengah merunduk dalam. Mereka kini sudah berada di ruangan pribadi Daniel. Lelaki itu sudah mengutarakan niatnya yang ingin mencari keberadaan anak Dania dan Yuda. "Bukan enggak mau mencari. Tapi, mau cari kemana, Pak Daniel?" Yuda balik bertanya. "Kalau aku tau dimana keberadaan Nida, aku gak perlu mencarinya. Ingat, Yud ... meskipun pernikahanmu tanpa seizin Gita selaku istri pertama, tapi Nida tetap darah dagingmu dan Dania." Sangat tegas, Daniel berkata. Ia sempat kecewa pada Yuda yang lebih memilih membiarkan Nida tidak ditemukan dari pada ditemukan dan menghancurkan keluarganya yang sudah harmonis. "Saya cuma bingung, Pak Daniel. Kalau Gita sampai tau saya mencari Nida, dia pasti akan terluka lagi hatinya. Saya gak mau menyakiti hatinya lagi, Pak Daniel. Dia istri yang baik.""Dania juga istri yang baik, Yuda. Kamu yang brengsek!" tukas Daniel tak menyukai ucapan Yuda. Sebenarnya
**Namira sangat bahagia ketika Bianca pulang kuliah lebih cepat. Dia senang karena ada teman yang bisa diajak ngobrol. "Mih, kok gak muntah-muntah lagi?" tanya Bianca ketika ibu sambungnya menggamit lengan. "Kan dikasih obat pereda mual," jawab Namira tersenyum lebar. "Oooh ... lepasin dong tanganku, emang aku ini Papah? Lepasin, ah! Aku risih."Bibir Namira cemberut. Ia merasa tersinggung akan ucapan anak sambungnya. "Cuma digamit aja, pelit," cetus Namira, bibirnya maju beberapa centi. "Bukan gitu, Mih. Aku risih tau kalau digamit samq cowok."Namira tetap mengekor Bianca yang hendak masuk kamar. "Gamit lagi ah!" Namira malah menggoda, menyelipkan tangan ke lengan Bianca."Mamih dih, malah sengaja? Nyebelin dah!""Hahahahah ...." Namira tertawa sambil masuk ke dalam kamar anak sambungnya."Mamih mau ngapain masuk kamar aku?" tanya Bianca heran, melihat ibu sambungnya nyelonong masuk, lalu merebahkan diri di atas tempat tidur. "Mau ngajakin kamu ngegibah. Aku punya cerita ser
"Apalagi yang mau kamu bicarain sih? Aku capek, baru pulang kuliah. Udah deh, mending kamu jangan datang lagi ke sini. Lebih baik kamu pergi lagi ke Australia. Di sana banyak cowok bule muda yang mau kamu ajak t1dur," sindir Bianca kesal. Hesti merunduk, memejamkan kedua mata. "Mamah cuma mau ngomong, tolong cabut laporan kasus Mamah, Nak. Mamah janji, enggak akan melakukan kej4hatan lagi. Bian, Mamah sayang kamu. Mam---""Cukup!" Bianca menyela, tak ingin mendengar kalimat lanjutan Hesti. Wanita itu terkejut, Bianca memotong ucapannya. "Aku gak mau denger apapun lagi dari mulutmu. Laporan yang udah masuk ke kantor polisi, mohon maaf ... gak bisa dibatalkan. Udah, ya? Aku mau istirahat."Dari arah pintu depan, dua security tergopoh-gopoh menghampiri Hesti yang menggedor-gedor pintu kamar Bianca. "Mohon maaf, Bu. Ibu harus pergi dari sini," ucap salah satu security itu sambil mencekal lengan Hesti. Dengan kasar, Hesti menyentak cekalan security. "Lepasin! Saya bisa keluar sendiri.
Hesti terkejut, sampai menegakkan tubuh. Kedua matanya memicing, tersenyum tanpa hati. "Kenapa kamu berhenti kuliah? Apa karena gak ada biayanya?" Jauh dari lubuk hati yang paling dalam, Hesti sangat kasihan pada Ferry. Gara-gara dirinya tak punya banyak uang lagi, dia harus berhenti kuliah dan memilih menjadi pelayan cafe. "Karena aku tau sekarang kamu gak punya uang. Tapi, aku minta kamu sabar dulu. Aku akan kerja di cafe teman. Nanti, aku akan memberimu uang tapi maaf, enggak mungkin banyak." Sangat tulus, Ferry mengungkapkan niatnya ingin bertanggung jawab pada istrinya. Hati Hesti sangat terharu. Ia meneteskan air mata jika kasusnya yang sudah ditangan pihak kepolisian dikabulkan."Tapi, aku ... a-aku gak temenin kamu lagi, Yang. Mungkin satu Minggu lagi kita akan berpisah. A-aku akan mendekam di dalam penj4ra. Huhuhuhu ...."Tangisan Hesti histeris. Tak dapat membayangkan jika dirinya mendekam di dalam sel. Masa tua yang menyedihkan. Ferry memb3lai lembut punggung Hesti, berus
Namira panik, melihat lelehan air mata yang membasahi wajah suaminya. Daniel beringsut duduk, menyeka lelehan air mata, menarik napas panjang. "Mas ... Mas Ayang kenapa nangis?" Ditanya demikian, tangisan Daniel semakin histeris. Namira memeluk tubuh Daniel. Berusaha menenangkan suaminya. Namira yakin kalau perubahan sikap Daniel hari ini pasti karena ada masalah. Entah masalah dengan siapa? Namira membiarkan Daniel melupakan kesedihannya. Kedua tangan Namira mengelus lembut punggung Daniel. Daniel melepaskan pelukan, Namira menyeka air mata suaminya dengan lembut. "A-aku ... aku tadi ... tadi adu mulut dengan Yuda." Daniel memulai pembicaraan. Seperti biasa, Namira diam, berusaha menyimak. Dia tidak ingin menyela atau memotong cerita suaminya. Daniel pun nyaman seperti ini. Sebagai suami, merasa dihargai ketika cerita, lawan bicaranya diam lebih dulu sampai selesai. "Dia gak mau bantuin aku cari Nida. Kata Yuda, dia enggak mau menyakiti hati Gita dan Evan lagi. Dia takut
Haifa menggelengkan kepala. Ia benar-benar tak tahu kemana perginya ibu Ros. "Kalau kata kak Nifa, mungkin mama tinggal di rumah lainnya. Mungkin sebenarnya diam-diam mama punya rumah lain soalnya kan dulu Mbak sering kasih uang ke mama," kata Haifa, teringat ucapan kakak kaduanya. Nida menghela napas berat. "Ya semoga saja. Mama kamu kan udah tua, Fa. Kasihan kalau hidupnya luntang-lantung. Kemarin itu, kata Kak Bianca, mama kamu sempat datang ke kantor, nyariin Mbak. Cuma kak Bian enggak kasih alamat tempat proyek kerjaku. Aku sekarang kerja di dalam kantor dan di lapangan," ujar Nida mengingat cerita yang disampaikan Bianca kemarin sore saat ia pulang dari proyek."Mungkin aja, Mbak. Soalnya kemarin itu mama dan mbak Nifa sempat bertengkar hebat. Mereka adu mulut bahkan kata Mbak Nifa, dia sampai mengobrak-abrik pakaian mama di lemari."Gerakan tangan Nida yang hendak menyuap roti tawar terhenti. Menatap lekat mantan adik iparnya. "Obrak-abrik pakaian mama? Mau ngapain?" tanya N
Pagi hari, Rina terkejut dengan anak kecil yang keluar dari kamar tamu. "Hei, kamu siapa, tampan? Mau cari siapa?" tanya Rina pada Rafa yang berdiri di dinding pembatas dapur dan ruang makan. Tina yang sedang mencuci piring menoleh pada anaknya. Rina membungkukkan badan di depan anak berusia sekitar lima tahunan. "Aku lapel, Ante ...." Jawaban bocah yang masih cadel itu membuat Tina dan Rina tersenyum. Rina dengan penuh kasih sayang menggendong Rafa, mendudukkan di atas kursi dapur. "Bu, apakah anak ini anaknya Mbak Haifa yang semalam Ibu ceritain?" tanya Rina setengah berbisik pada wanita yang telah melahirkannya. "Iya, Nak. Kamu buatin dia susu dulu. Ibu mau masak buat sarapannya.""Iya, Bu. Sebentar ya, Adek. Ante bikinin susu yang enaaakk sekali. Adek mau?"Dengan cepat, Rafasya menganggukkan kepala. "Mau, Ante."Walaupun baru mengenal dan bertemu dengan Rafasya tapi Rina sangat mudah membuat anak kecil itu merasa nyaman di dekatnya. ""Ya Tuhan, Rafa! Mama kira kamu kemana?"
"Maksud Friska bukan ngejadiin kamu pembantu, Nifa," ralat Hanif, khawatir kemarahan adiknya itu meledak malam-malam. Walau sebetulnya maksud Friska memang demikian. Sampai jam sebelas malam Hanif tak bisa tidur karena memikirkan pesan Friska untuk Hanifa. "Bukan jadi pembantu gimana?" tentang Hanifa melipat kedua tangan di depan dada. "Udah jelas, dia nyuruh aku bantuin Mbok Tarmi masak dan beres-beres rumah. Kalau bukan pembantu terus apa? Asisten rumah tangga? Sama aja, Mas!" tukas Hanifa sengit. Hanif panik dengan intonasi suara Hanifa yang meninggi. Dia menempelkan jari telunjuk di depan bibirnya agar Hanifa dapat bicara pelan, tidak berisik. Sesekali Hanif melongok ke atas, memastikan jika istrinya tidak keluar kamar. "Bicaramu pelan aja, Nifa. Nanti kalau Friska bangun, bisa ribut tengah malam," tegur Hanif pada adik pertamanya. Muka Hanifa melengos ke arah lain. Ia benar-benar tak suka dengan Friska yang sombong itu. "Masih untung, Friska mau menerimamu tinggal di rumah i
"Mbak, tadi aku bilang ke mas Rangga kalau kami akan menunggunya di halte. Duh, Mbak. Gimana kalau dia ....""Astaghfirullahalazhim, Haifa," sela Nida saat adik kandung Hanif itu masih saja mencemaskan suami yang sudah berulang kali mengkhianati cintanya. "Haifa, kamu masih mencemaskan laki-laki itu? Bukankah dia udah berulang kali selingkuh?"Sungguh, Nida tak habis pikir pada Haifa. Dia tahu betul kalau Rangga sudah berulang kali berselingkuh bahkan ada yang sudah punya anak. Namun, Haifa benar-benar dibutakan oleh cintanya pada Rangga. "Maaf, Mbak. Kata mas Rangga, dia mau berubah." Suara Haifa terdengar pelan, namun masih bisa terdengar di telinga Nida. Nida memijat pelipis. Ia baru satu kali diselingkuhi Hanif saja, sangat jijik jika harus menjalin rumah tangga lagi. Ini Haifa, sudah berulang kali bahkan Rangga terang-terangan telah menghamili wanita lain. "Berubah apanya? Kamu tau enggak, sekarang suamimu ada di mana?" tanya Nida menoleh sekilas pada adik Hanif itu. Ya sebetu
Hati Haifa begitu sakit, ditelantarkan oleh kakak kandungnya sendiri. Padahal saat ini selain sang suami, Hanifa-lah yang dijadikan Haifa bergantung. Mendengar pertanyaan anaknya, Haifa agak berjongkok, membelai wajah Rafasya. "Nak, kita akan tinggal di tempat baru. Kita tunggu papa datang dulu, ya? Sekarang kita duduk di situ." Haifa mengajak anak semata wayangnya duduk di kursi panjang halte bus. Ia berusaha menahan air mata. Tidak ada tempat baginya untuk berlindung selain pada Rangga. Haifa mencoba menghubungi lelaki yang tengah asik minum-minuman bersama wanita lain. Gelak tawa Rangga terhenti mendengar handphone-nya kembali berdering. Lelaki tukang selingkuh itu memberi isyarat pada dua wanita paenghibur agar tidak bersuara. Suara musik juga di-mute. "Udah dapat tempat tinggal yang baru?" tanya Rangga tanpa basa-basi. Haifa merunduk, menghela napas berat, berusaha tetap tegar. "Be-belum. Mas, bisa enggak ke sini dulu? Aku dan Rafa di halte dekat lokasi proyek. Nanti aku share
"Mbak, emangnya Mbak jarang setor ke Bank?" cecar Haifa yang berjalan di belakang kakaknya. "Enggak. Mbak kan enggak ada uang, Fa.""Tapi, kan ... tiap bulan Mbak Nida kasih kita uang, Mbak. Baru bulan ini dia enggak kasih uang. Harusnya uang dari Mbak Nida sebagian buat setor ke Bank. Kenapa sih Mbak ceroboh banget? Udah begini, kita mau tinggal di mana, Mbak?""Diam!" sentak Hanifa tak terima diingatkan adiknya. Haifa terkejut, menelan saliva. Tubuhnya seketika menegang. "Jangan banyak omong. Sekarang cepat kemasi pakaianmu! Kita harus pergi dari sini.""Ma, kita pergi kemana?"Pertanyaan anaknya tak dihiraukan Hanifa. Anak kedua ibu Ros itu tampak kebingungan. Hanifa masuk ke dalam kamar, begitu pula Haifa. Mereka bergegas mengemasi pakaian ke dalam koper. Hampir lima belas menit, kakak beradik serta anak-anaknya keluar rumah. Membawa dua koper. Satu koper berisi pakaiannya dan satu koper lagi berisi pakaian anak-anak. Langkah kaki Haifa terhenti. Ia berbelok masuk ke dalam kamar
"Enggak ...." Tentu saja ibu Ros berkilah akan tuduhan Bianca. "Enggak minta uang. Tante juga tau diri, Bianca. Sekarang kan Nida bukan menantu Tante lagi," sambung ibu Ros tersenyum kaku. Bianca tak sepenuhnya percaya. Dulu, Nida pernah bercerita jika mertuanya selalu minta uang. "Masa? Sukurlah kalau Tante tau diri. Lah terus, ngapain Tante pengen ketemu sama Nida?" Bianca penasaran. Bertanya lagi tentang alasan ibu Ros yang tiba-tiba datang ke kantor. Ibu Ros sempat salah tingkah namun ia berusaha menguasai dirinya agar tidak terlihat gugup di depan Bianca yang tak lain saudara Nida. "Tante pengen ketemu dia mau nanyain kapan jadwal sidang perceraiannya. Tante mau datang," ujar ibu Ros tersenyum kaku. "Kenapa nanyainnya ke Nida? Kenapa enggak tanya sama anak Tante yang tukang selingkuh itu?" sindir Bianca yang tak ingin pergi meninggalkan ibu Ros. Dari dulu, Bianca tak suka dengan wanita yang telah melahirkan Hanif. Bianca masih ingat betul saat dirinya berkunjung ke
"Apa? Mama enggak punya uang? Aku enggak percaya!" tandas Hanifa pada wanita yang telah melahirkannya. Ibu Ros tampak tak peduli, apakah Hanifa akan percaya padanya atau tidak? Ia juga tidak mau dipusingkan dengan urusan kebutuhan rumah tangga kedua anaknya. Selama ini, ibu Ros memang terlalu memanjakan Hanifa dan Haifa. Membiarkan mereka tinggal satu atap tanpa menyuruh suami-suami mereka mencari tempat tinggal lainnya. "Kalau kamu enggak percaya, ya sudah. Mama juga enggak maksa kamu buat percaya pada Mama," kata ibu Ros berusaha bersikap sesantai mungkin. Mendengar ucapan sang mama, Hanifa semakin emosi dan geram. Ia lantas membuka kembali lemari pakaian ibu Ros. Mengobrak-abrik pakaian yang sudah tersusun rapi. "Nifa, apa yang kamu lakukan? Kenapa pakaian Mama kamu obrak-abrik? Berhenti, Nifaaa! Berhentiiiii!" teriak ibu Ros. Amarahnya yang ditahan, keluar juga. Ia menarik kasar lengan anak keduanya agar menjauh dari lemari pakaian. Hanifa geram, wajahnya memerah karena marah."
"Argh, sial! Sial! Sial!" maki Hanifa di dalam kamar setelah Nida mematikan sambungan telepon. Hanifa sengaja menghubungi Nida setelah suaminya berangkat kerja. Hanifa benar-benar tak menyangka jika Nida tidak memberikan pinjaman uang lagi padanya. Ditambah Nida langsung mematikan sambungan telepon tanpa ingin mendengarkan tanggapannya. Penuh emosi, Hanifa mengetik pesan untuk mantak kakak iparnya itu. "Mbak jangan sombong! Enggak usah sok mengikhlaskan uang pinjamanku. Kalau suamiku udah gajian, aku akan bayar utang Mbak itu!"Setelah mengirim pesan yang ceklisnya belum berubah, Hanifa keluar kamar. "Mama! Maaaa ... Mama!" Teriakan Hanifa membuat adiknya keluar kamar, berjalan cepat menghampiri. "Ada apa, Mbak? Pagi-pagi udah teriak?" tegur Haifa menatap lekat kakak kandungnya. "Anak-anak udah kamu anterin ke sekolah?""Udah. Dede Haris ada di kamarku. Lagi main sama Rafa. Mbak Nifa kenapa?" tanya Haifa yang tak mengerti dengan sikap Hanifa. Pagi-pagi udah marah-marah. "Mbak be