**Namira sangat bahagia ketika Bianca pulang kuliah lebih cepat. Dia senang karena ada teman yang bisa diajak ngobrol. "Mih, kok gak muntah-muntah lagi?" tanya Bianca ketika ibu sambungnya menggamit lengan. "Kan dikasih obat pereda mual," jawab Namira tersenyum lebar. "Oooh ... lepasin dong tanganku, emang aku ini Papah? Lepasin, ah! Aku risih."Bibir Namira cemberut. Ia merasa tersinggung akan ucapan anak sambungnya. "Cuma digamit aja, pelit," cetus Namira, bibirnya maju beberapa centi. "Bukan gitu, Mih. Aku risih tau kalau digamit samq cowok."Namira tetap mengekor Bianca yang hendak masuk kamar. "Gamit lagi ah!" Namira malah menggoda, menyelipkan tangan ke lengan Bianca."Mamih dih, malah sengaja? Nyebelin dah!""Hahahahah ...." Namira tertawa sambil masuk ke dalam kamar anak sambungnya."Mamih mau ngapain masuk kamar aku?" tanya Bianca heran, melihat ibu sambungnya nyelonong masuk, lalu merebahkan diri di atas tempat tidur. "Mau ngajakin kamu ngegibah. Aku punya cerita ser
"Apalagi yang mau kamu bicarain sih? Aku capek, baru pulang kuliah. Udah deh, mending kamu jangan datang lagi ke sini. Lebih baik kamu pergi lagi ke Australia. Di sana banyak cowok bule muda yang mau kamu ajak t1dur," sindir Bianca kesal. Hesti merunduk, memejamkan kedua mata. "Mamah cuma mau ngomong, tolong cabut laporan kasus Mamah, Nak. Mamah janji, enggak akan melakukan kej4hatan lagi. Bian, Mamah sayang kamu. Mam---""Cukup!" Bianca menyela, tak ingin mendengar kalimat lanjutan Hesti. Wanita itu terkejut, Bianca memotong ucapannya. "Aku gak mau denger apapun lagi dari mulutmu. Laporan yang udah masuk ke kantor polisi, mohon maaf ... gak bisa dibatalkan. Udah, ya? Aku mau istirahat."Dari arah pintu depan, dua security tergopoh-gopoh menghampiri Hesti yang menggedor-gedor pintu kamar Bianca. "Mohon maaf, Bu. Ibu harus pergi dari sini," ucap salah satu security itu sambil mencekal lengan Hesti. Dengan kasar, Hesti menyentak cekalan security. "Lepasin! Saya bisa keluar sendiri.
Hesti terkejut, sampai menegakkan tubuh. Kedua matanya memicing, tersenyum tanpa hati. "Kenapa kamu berhenti kuliah? Apa karena gak ada biayanya?" Jauh dari lubuk hati yang paling dalam, Hesti sangat kasihan pada Ferry. Gara-gara dirinya tak punya banyak uang lagi, dia harus berhenti kuliah dan memilih menjadi pelayan cafe. "Karena aku tau sekarang kamu gak punya uang. Tapi, aku minta kamu sabar dulu. Aku akan kerja di cafe teman. Nanti, aku akan memberimu uang tapi maaf, enggak mungkin banyak." Sangat tulus, Ferry mengungkapkan niatnya ingin bertanggung jawab pada istrinya. Hati Hesti sangat terharu. Ia meneteskan air mata jika kasusnya yang sudah ditangan pihak kepolisian dikabulkan."Tapi, aku ... a-aku gak temenin kamu lagi, Yang. Mungkin satu Minggu lagi kita akan berpisah. A-aku akan mendekam di dalam penj4ra. Huhuhuhu ...."Tangisan Hesti histeris. Tak dapat membayangkan jika dirinya mendekam di dalam sel. Masa tua yang menyedihkan. Ferry memb3lai lembut punggung Hesti, berus
Namira panik, melihat lelehan air mata yang membasahi wajah suaminya. Daniel beringsut duduk, menyeka lelehan air mata, menarik napas panjang. "Mas ... Mas Ayang kenapa nangis?" Ditanya demikian, tangisan Daniel semakin histeris. Namira memeluk tubuh Daniel. Berusaha menenangkan suaminya. Namira yakin kalau perubahan sikap Daniel hari ini pasti karena ada masalah. Entah masalah dengan siapa? Namira membiarkan Daniel melupakan kesedihannya. Kedua tangan Namira mengelus lembut punggung Daniel. Daniel melepaskan pelukan, Namira menyeka air mata suaminya dengan lembut. "A-aku ... aku tadi ... tadi adu mulut dengan Yuda." Daniel memulai pembicaraan. Seperti biasa, Namira diam, berusaha menyimak. Dia tidak ingin menyela atau memotong cerita suaminya. Daniel pun nyaman seperti ini. Sebagai suami, merasa dihargai ketika cerita, lawan bicaranya diam lebih dulu sampai selesai. "Dia gak mau bantuin aku cari Nida. Kata Yuda, dia enggak mau menyakiti hati Gita dan Evan lagi. Dia takut
"Malam, Bianca," sapa Ferry merundukkan sedikit kepala."Malam. Katanya kamu mau ketemu aku sama papah. Mau ngapain?" tanya Bianca masih berdiri di ambang pintu seolah enggan duduk di kursi. "Ada yang ingin aku bicarakan." Jawaban Ferry membuat Bianca menghela napas berat. Dia berpikir kalau Ferry akan menyampaikan perasaan Ferry padanya dan juga papahnya. "Soal apa sih?" tanya Bianca acuh tak acuh."Hm ... soal seseorang. Bukan soal aku atau kamu."Kedua tangan Bianca yang tadinya bersidekap, diturunkan. Ia hampir saja kegeeran kalau kedatangan Ferry ke rumahnya ingin mengungkapkan isi hati padanya. "Seseorang siapa?" Bianca sangat penasaran. Sebenarnya ada apa dengan Ferry?"Hm, aku ingin bilang seseorang itu kalau ada papahmu. Biar sekalian. Kamu bisa gak, panggilin Papahmu dulu?" Bianca menggigit bibir bawah, lalu menganggukkan kepala. "Kamu duduk dulu," titah Bianca masuk ke dalam rumah, berjalan ke kamar papah dan mamihnya. "Ada apa, Bi?" tanya Namira saat membuka pintu ka
Seharian ini, Nida mengurung diri di kamar. Sejak pulang sekolah dia belum keluar kamar, belum makan. Nida menangisi hidupnya yang penuh pend3ritaan dan kesepian. Sedari dulu, dia tidak punya sahabat atau teman biasa. Hidupnya selalu dikucilkan banyak orang. Bvlly-an yang dia terima, membuat Nida semakin membenci kehidupannya. Hampir setiap malam, Nida bertanya tentang siapa orang tuanya, tentang siapa Tante Gita, tentang siapa Ibu Fatma. Namun, pertanyaan-pertanyaan itu tidak pernah ada jawabannya. Di atas sajadah, Nida selalu berdoa agar suatu saat nanti, Allah memberitahunya tentang siapa keluarga Nida sebenarnya. Suara ketukan pintu terdengar kembali. Sedikit pun Nida tak menoleh. Saat ini, gadis itu ingin menyendiri. Ingin merenungi kehidupannya, ingin bertanya dan berdoa pada Tuhannya. "Nida ... buka pintunya, Nak ... kamu belum makan." Suara parau seorang wanita yang katanya hanya tetangga Nida dulu, terdengar. Namun, Nida tetap bergeming. Duduk di atas sajadah seraya berzi
"Ferry, kamu serius, nikah sama Tante Hesti?" Namira ingin meyankinkan apa yang didengarnya. Begitu pula, Bianca dan Daniel. Mereka berdua tak menyangka, Ferry yang masih muda dan cukup tampan harus mau menikah dengan wanita yang pantas disebut ibu. Walaupun malu, Ferry mengangukkan kepala. "Makanya, Pak Daniel. Saya mohon pada Pak Daniel dan Bianca, tolong cabut laporan kasus istri saya di kantor polisi. Saya janji, saya akan mencegahnya untuk mengganggu keluarga Bapak lagi. Saya akan menyuruhnya supaya enggak melakukan kej4hatan apapun pada keluarga ini. Saya mohon, Pak ... selagi istri ada niat untuk berubah." Ferry sangat memohon pada keluarga Daniel. Namira dan Bianca saling menoleh, mereka meringis. Sedikitpun Namira, Daniel dan Bianca tidak menyangka kalau seorang Ferry yang sering berpenampilan bak anak orang kaya ternyata menikah dengan Hesti. Wanita yang telah melahirkan Bianca. "Ferry, emang kamu yakin kalau dia benar-benar berubah sikapnya menjadi lebih baik?" tanya Bia
"Gimana, Ferry? Apa mereka mengabulkan permintaanmu?" tanya Hesti antusias, mereka duduk di sofa ruang keluarga. Ferry menatap iba wanita yang telah dinikahinya itu. Lantas, Ferry menggenggam telapak tangan Hesti. "Apapun nanti yang akan kamu alami, kamu harus hadapi. Jangan melarikan diri!"Sontak, Hesti melepaskan genggaman tangan suaminya. Tatapannya nanar pada Ferry. "Apa mereka tetap ingin melanjutkan kasus itu?" Suara Hesti terdengar bergetar. Hatinya berdetak lebih cepat, membayangkan menjalani hari di dalam penj4ra. Hesti pikir, Ferry yang berbicara, mereka akan mengabulkan. Ternyata tetap sama saja. Daniel dan Bianca sangat tega, sangat kejam. "Iya, Sayang. Enggak apa-apa. Pak Daniel bilang, nanti dia akan minta keringanan untuk hukumanmu.""Bohong! Dia pasti bohong! Mana mungkin Daniel mau meminta keringan untuk hukuman yang aku jalani? Mereka kej4m, sangat egois, Ferry!" Tangisan Hesti pecah, ia menangis meraung-raung. Ferry tak tega, ia memeluk tubuh wanita yang usianya
"Apa? Mama enggak punya uang? Aku enggak percaya!" tandas Hanifa pada wanita yang telah melahirkannya. Ibu Ros tampak tak peduli, apakah Hanifa akan percaya padanya atau tidak? Ia juga tidak mau dipusingkan dengan urusan kebutuhan rumah tangga kedua anaknya. Selama ini, ibu Ros memang terlalu memanjakan Hanifa dan Haifa. Membiarkan mereka tinggal satu atap tanpa menyuruh suami-suami mereka mencari tempat tinggal lainnya. "Kalau kamu enggak percaya, ya sudah. Mama juga enggak maksa kamu buat percaya pada Mama," kata ibu Ros berusaha bersikap sesantai mungkin. Mendengar ucapan sang mama, Hanifa semakin emosi dan geram. Ia lantas membuka kembali lemari pakaian ibu Ros. Mengobrak-abrik pakaian yang sudah tersusun rapi. "Nifa, apa yang kamu lakukan? Kenapa pakaian Mama kamu obrak-abrik? Berhenti, Nifaaa! Berhentiiiii!" teriak ibu Ros. Amarahnya yang ditahan, keluar juga. Ia menarik kasar lengan anak keduanya agar menjauh dari lemari pakaian. Hanifa geram, wajahnya memerah karena marah."
"Argh, sial! Sial! Sial!" maki Hanifa di dalam kamar setelah Nida mematikan sambungan telepon. Hanifa sengaja menghubungi Nida setelah suaminya berangkat kerja. Hanifa benar-benar tak menyangka jika Nida tidak memberikan pinjaman uang lagi padanya. Ditambah Nida langsung mematikan sambungan telepon tanpa ingin mendengarkan tanggapannya. Penuh emosi, Hanifa mengetik pesan untuk mantak kakak iparnya itu. "Mbak jangan sombong! Enggak usah sok mengikhlaskan uang pinjamanku. Kalau suamiku udah gajian, aku akan bayar utang Mbak itu!"Setelah mengirim pesan yang ceklisnya belum berubah, Hanifa keluar kamar. "Mama! Maaaa ... Mama!" Teriakan Hanifa membuat adiknya keluar kamar, berjalan cepat menghampiri. "Ada apa, Mbak? Pagi-pagi udah teriak?" tegur Haifa menatap lekat kakak kandungnya. "Anak-anak udah kamu anterin ke sekolah?""Udah. Dede Haris ada di kamarku. Lagi main sama Rafa. Mbak Nifa kenapa?" tanya Haifa yang tak mengerti dengan sikap Hanifa. Pagi-pagi udah marah-marah. "Mbak be
"Ya udah, kamu coba aja telepon mbak Nida. Selama ini kan dia selalu kasih pinjaman walaupun kita enggak pernah bayar," titah Tedi, suami Hanifa. Namun, Hanifa tampak berpikir. Tidak mungkin ia menghubungi Nida malam ini."Mas, besok pagi aja, ya? Soalnya sekarang udah malam. Takut nanti enggak diangkat teleponnya," kilah Hanifa beralasan tak enak hati padahal ia tak mau kalau suaminya tahu jumlah uang yang akan diberikan Nida. "Memangnya besok kamu punya uang? Aku enggak punya uang lagi. Di kantor aja aku minta traktir makan teman terus."Sungguh bohong. Mana ada teman yang mau traktir orang hampir tiap hari? Sebetulnya Tedi punya uang tapi ia akan gunakan untuk berjudi lagi. Lelaki itu masih penasaran dapat menang banyak. "Beruntung kamu, Mas. Punya teman yang baik, yang mau traktir kamu tiap hari," kata Hanifa menimpali kebohongan sang suami. "Emang mamamu enggak punya uang lagi? Biasanya dia banyak uangnya."Setahu Tedi, Hanifa dan Haifa selalu minta uang pada ibu Ros. "Sekara
"Mbak, duit lima ratus ribu cukup buat beli apa? Gila aja!"Bukannya berterima kasih, Hanifa justru marah-marah. Friska yang mendengar ucapan Hanifa menghela napas berat. Pikirnya, ibu dan anak sama saja! Ibu Ros juga demikian. Friska teringat pada Nida sewaktu menjadi menantu ibu Ros dan kakak ipar Hanifa. Apa Nida juga mengalami hal yang dialaminya?"Kamu bilang cukup buat beli apa? cukup buat beli beras 10 kilo, cukup buat beli telor 10 kilo, cukup buat---""Udah, udah, jangan berisik! Kalau enggak mau nambahin uangnya, enggak usah ceramah! Tau gini, mending mas Hanif masih sama Mbak Nida. Mbak Nida itu baik orangnya. Selalu ngasih kami uang sesuai yang kami minta!" omel Hanifa tak tahu diri. Friska terkejut mendengar Hanifa membandingkan dirinya dengan mantan istri sang suami. Hanif pun terkejut karena Friska menyebut nama Nida di depan Friska apalagi sampai membandingkan. Amarah dalam diri Friska tak dapat dibendung lagi, ia pun membalas ucapan Hanifa. "Eh, seenaknya aja kamu ng
"Lima juta kamu bilang cuma?" tanya Hanif setengah tidak percaya adiknya berbicara demikian. Selama ini Hanif tipikal orang yang berhemat. "Iyalah, Mas. Uang Mas Hanif lebih dari segitu. Apalah arti uang lima juta buat Mas Hanif dan Mbak Friska," ucap Hanifa tanpa beban. Hanif menghela napas berat, memijat pelipis. Hanifa tidak tahu saja kalau dirinya tidak punya tabungan bahkan ketika mendaftarkan proses perceraian harus mencuri uang Friska dari dalam brankas. "Aku enggak ada uang." Hanif berbicara datar. Mendengar jawaban kakaknya, Hanifa mendengus kesal. Ternyata benar kata ibu Ros kalau Hanif orangnya pelit. "Mas Hanif aku mohon. Suamiku belum gajian. Nanti uangnya aku ganti kok kalau mas Tedi udah gajian. Aku mohon, Mas ...." Hanifa tak mungkin menyerah. Malam ini juga dia harus mendapatkan uang untuk anak-anak besok. Meski dirinya tak ada uang, tetapi Hanif tak tega mendengar adiknya memohon seperti itu. Selama ini, Hanifa maupun Haifa tidak pernah meminta uang padanya. Tanp
Di mata Rangga, Haifa wanita bodoh dan mudah dibohongi. Bukan satu dua kali Rangga ketahuan selingkuh tetapi dengan mulut manisnya, Rangga dapat meyakinkan Haifa jika dirinya tidak akan mengulangi bahkan Rangga sering berjanji akan membuat rumah tangganya jauh lebih baik dan memiliki perekonomian yang mencukupi. "Ya udah, Mas. Sekarang kamu mandi. Kamu tadi beli nasi kan?""Beli dong. Aku tadi beli pecel lele. Lelenya dibagi dua aja ya sama anak kita. Kamu jangan makan banyak kalau malam. Aku enggak mau kalau kamu sampe gendut," ujar Rangga mengedipkan sebelah mata. Sontak, Haifa tersipu malu, menganggukkan kepala, mengiyakan kemodusan suaminya. Di kamar lain, Hanifa pun sedang berbincang dengan sang suami, Tedi namanya. "Jadi Mamamu udah tau sertifikatnya kita gadai ke Bank?" tanya Tedi, usai Hanifa bercerita tentang kejadian tadi siang. Hanifa tampak santai. Sebatang rokok terselip di antara ruas jarinya. "Iya. Dia baru sadar, hehehe ...."Hanifa mengembuskan asap rokok ke wajah
"Biasa aja kali, Ma. Enggak usah kaget gitu," kata Hanifa santai. Mereka berdua tidak merasa bersalah sedikit pun. Aneh juga, kenapa Hanifa dan Haifa bisa membawa sertifikat itu ke Bank tanpa sepengetahuan ibu Ros?"Kamu bilang enggak usah kaget??" desis ibu Ros berusaha menahan emosi. Biar bagaimana pun ia tak mau cucu-cucunya mendengar keributan ini. "Udah deh, Ma. Lagipula semuanya udah ada di Bank. Mau gimana lagi? Ya kami bisa saja menebusnya tapi Mama punya enggak uang buat nebusnya?"Tanpa rasa bersalah dan rasa penyesalan, Haifa bertanya demikian. Hanifa yang mendengar ucapan sang adik, menyunggingkan senyum mengejek. "Kurang ajar! Kalian anak kurang ajar! Uangnya kalian pake buat apa? Semua keperluan dan kebutuhan rumah ini kan pake uang Mama. Bahkan kalian juga sering minta uang ke Mama. Terus, uang pinjaman dari Bank itu digunakan buat apa? Buat apaaaa?" Sangat kesal ibu Ros berkata. Wajahnya memerah karena emosi yang sudah menguasai diri. Hanifa dan Haifa terdiam sesa
Kedua mata ibu Ros membeliak dibentak anak keduanya yakni Hanifa. Sorot mata Hanifa yang tajam dibalas serupa oleh wanita yang telah melahirkannya. "Durhaka kamu, Nifa!" balas ibu Ros tak kalah tinggi intonasi suaranya. "Berani sekali kamu ngebentak Mama? Marahin Mama! Kamu pikir ini rumah siapa, heuh? Ini rumah Mama!" tandas ibu Ros yang tak mau terlihat lemah di depan Hanifa. Anak kandungnya mencebik, melipat kedua tangan di depan dada. "Nanti juga akan menjadi milikku dan Haifa kalau Mama udah mati," timpal Hanifa tersenyum miring. "Apa kamu bilang?" Lagi, emosi ibu Ros semakin meluap. "Kamu bilang aku mati?" ulang ibu Ros, meyakinkan yang didengarnya. "Ini apaan sih? Siang-siang malah ribut?"Tiba-tiba dari arah belakang Hanifa, terdengar suara adiknya yang baru keluar dari kamar sambil menguap. Menghampiri mereka. "Mama nih, siang begini malah nangis sambil teriak. Kan berisik," jawab Hanifa memutar bola mata malas. "Ck, kebiasaan nih Mama. Udahlah, jangan diladenin. Harap
Sepanjang jalan pulang, Axel cemberut. Kesal pada adiknya dan Arfan. Bisa-bisanya mereka menguping pembicaraan Axel di depan pusara Daniel dan Namira. Alea sekarang satu mobil dengan Axel. Sedangkan Arfan, pulang sendirian padahal lelaki itu berharap bisa mengantar Alea pulang sampai rumah supaya lebih lama bersama. "Kak?" panggil Alea, menatap Axel dari samping. Namun, Axel bergeming. "Kak Axel?" Alea mengulang pertanyaan karena wajah Axel masih masam. "Kak Axeeeell!" teriak Alea tepat di depan telinga kakaknya. Axel langsung menancap rem mendadak. "Astaghfirullah, Lea!" pekik Axel melotot. Lalu menoleh ke belakang, khawatir ada mobil di belakang yang dekat dengan mobilnya. "Kamu udah gila, Lea! Teriak di depan telinga. Kalau kita kecelakaan gimana?" semprot Axel kesal, melajukan kembali kendaraannya. "Ya habisnya ditanya dieeeemm ... aja. Cemberuuutt aja. Kayak cewek lagi dateng bulan. Kalau ditanya jawab napa!"Bukannya minta maaf, Alea justru memarahi Axel. "Mau tanya apa em