Napas Gita memburu, menahan amarah yang ingin sekali ia luapkan. Dalam satu bulan, sudah terhitung tiga kali, dia mendapat kabar kalau Nida berkelahi. Kadang dengan teman sekelasnya, kadang dengan kakak kelas. Gita menggelengkan kepala, memijat pelipis. "Mulai besok, lebih baik kamu berhenti sekolah. Buat apa sekolah kalau kelakuanmu kayak preman? Mending tinggal di terminal saja sana! Jadi ketua preman." Kata-kata yang keluar dari mulut Gita sangat menyakitkan. "Aku berkelahi bukan tanpa sebab, Tante," jawab Nida datar. Bukan kali ini saja Nida dimarahi Gita. Sudah sangat sering. Memang untuk keperluan hidup Nida, semuanya ditanggung Gita tapi perlakuan Gita terhadap Nida benar-benar sangat kasar. Dulu, sewaktu masih SMP, rambut Nida dicukur sampai botak oleh Gita karena memukul bagian penting laki-laki. Itu pun dilakukan Nida karena lelaki tersebut hendak melakukan pel3cehan terhadapnya. Tapi, bagi Gita perbuatan Nida tidak perlu berlebihan apalagi sampai wajah si lelaki sampai b
** "Jadi, kamu enggak mau mencari anakmu dari Dania, Yud?" tanya Daniel dingin pada lelaki yang tengah merunduk dalam. Mereka kini sudah berada di ruangan pribadi Daniel. Lelaki itu sudah mengutarakan niatnya yang ingin mencari keberadaan anak Dania dan Yuda. "Bukan enggak mau mencari. Tapi, mau cari kemana, Pak Daniel?" Yuda balik bertanya. "Kalau aku tau dimana keberadaan Nida, aku gak perlu mencarinya. Ingat, Yud ... meskipun pernikahanmu tanpa seizin Gita selaku istri pertama, tapi Nida tetap darah dagingmu dan Dania." Sangat tegas, Daniel berkata. Ia sempat kecewa pada Yuda yang lebih memilih membiarkan Nida tidak ditemukan dari pada ditemukan dan menghancurkan keluarganya yang sudah harmonis. "Saya cuma bingung, Pak Daniel. Kalau Gita sampai tau saya mencari Nida, dia pasti akan terluka lagi hatinya. Saya gak mau menyakiti hatinya lagi, Pak Daniel. Dia istri yang baik.""Dania juga istri yang baik, Yuda. Kamu yang brengsek!" tukas Daniel tak menyukai ucapan Yuda. Sebenarnya
**Namira sangat bahagia ketika Bianca pulang kuliah lebih cepat. Dia senang karena ada teman yang bisa diajak ngobrol. "Mih, kok gak muntah-muntah lagi?" tanya Bianca ketika ibu sambungnya menggamit lengan. "Kan dikasih obat pereda mual," jawab Namira tersenyum lebar. "Oooh ... lepasin dong tanganku, emang aku ini Papah? Lepasin, ah! Aku risih."Bibir Namira cemberut. Ia merasa tersinggung akan ucapan anak sambungnya. "Cuma digamit aja, pelit," cetus Namira, bibirnya maju beberapa centi. "Bukan gitu, Mih. Aku risih tau kalau digamit samq cowok."Namira tetap mengekor Bianca yang hendak masuk kamar. "Gamit lagi ah!" Namira malah menggoda, menyelipkan tangan ke lengan Bianca."Mamih dih, malah sengaja? Nyebelin dah!""Hahahahah ...." Namira tertawa sambil masuk ke dalam kamar anak sambungnya."Mamih mau ngapain masuk kamar aku?" tanya Bianca heran, melihat ibu sambungnya nyelonong masuk, lalu merebahkan diri di atas tempat tidur. "Mau ngajakin kamu ngegibah. Aku punya cerita ser
"Apalagi yang mau kamu bicarain sih? Aku capek, baru pulang kuliah. Udah deh, mending kamu jangan datang lagi ke sini. Lebih baik kamu pergi lagi ke Australia. Di sana banyak cowok bule muda yang mau kamu ajak t1dur," sindir Bianca kesal. Hesti merunduk, memejamkan kedua mata. "Mamah cuma mau ngomong, tolong cabut laporan kasus Mamah, Nak. Mamah janji, enggak akan melakukan kej4hatan lagi. Bian, Mamah sayang kamu. Mam---""Cukup!" Bianca menyela, tak ingin mendengar kalimat lanjutan Hesti. Wanita itu terkejut, Bianca memotong ucapannya. "Aku gak mau denger apapun lagi dari mulutmu. Laporan yang udah masuk ke kantor polisi, mohon maaf ... gak bisa dibatalkan. Udah, ya? Aku mau istirahat."Dari arah pintu depan, dua security tergopoh-gopoh menghampiri Hesti yang menggedor-gedor pintu kamar Bianca. "Mohon maaf, Bu. Ibu harus pergi dari sini," ucap salah satu security itu sambil mencekal lengan Hesti. Dengan kasar, Hesti menyentak cekalan security. "Lepasin! Saya bisa keluar sendiri.
Hesti terkejut, sampai menegakkan tubuh. Kedua matanya memicing, tersenyum tanpa hati. "Kenapa kamu berhenti kuliah? Apa karena gak ada biayanya?" Jauh dari lubuk hati yang paling dalam, Hesti sangat kasihan pada Ferry. Gara-gara dirinya tak punya banyak uang lagi, dia harus berhenti kuliah dan memilih menjadi pelayan cafe. "Karena aku tau sekarang kamu gak punya uang. Tapi, aku minta kamu sabar dulu. Aku akan kerja di cafe teman. Nanti, aku akan memberimu uang tapi maaf, enggak mungkin banyak." Sangat tulus, Ferry mengungkapkan niatnya ingin bertanggung jawab pada istrinya. Hati Hesti sangat terharu. Ia meneteskan air mata jika kasusnya yang sudah ditangan pihak kepolisian dikabulkan."Tapi, aku ... a-aku gak temenin kamu lagi, Yang. Mungkin satu Minggu lagi kita akan berpisah. A-aku akan mendekam di dalam penj4ra. Huhuhuhu ...."Tangisan Hesti histeris. Tak dapat membayangkan jika dirinya mendekam di dalam sel. Masa tua yang menyedihkan. Ferry memb3lai lembut punggung Hesti, berus
Namira panik, melihat lelehan air mata yang membasahi wajah suaminya. Daniel beringsut duduk, menyeka lelehan air mata, menarik napas panjang. "Mas ... Mas Ayang kenapa nangis?" Ditanya demikian, tangisan Daniel semakin histeris. Namira memeluk tubuh Daniel. Berusaha menenangkan suaminya. Namira yakin kalau perubahan sikap Daniel hari ini pasti karena ada masalah. Entah masalah dengan siapa? Namira membiarkan Daniel melupakan kesedihannya. Kedua tangan Namira mengelus lembut punggung Daniel. Daniel melepaskan pelukan, Namira menyeka air mata suaminya dengan lembut. "A-aku ... aku tadi ... tadi adu mulut dengan Yuda." Daniel memulai pembicaraan. Seperti biasa, Namira diam, berusaha menyimak. Dia tidak ingin menyela atau memotong cerita suaminya. Daniel pun nyaman seperti ini. Sebagai suami, merasa dihargai ketika cerita, lawan bicaranya diam lebih dulu sampai selesai. "Dia gak mau bantuin aku cari Nida. Kata Yuda, dia enggak mau menyakiti hati Gita dan Evan lagi. Dia takut
"Malam, Bianca," sapa Ferry merundukkan sedikit kepala."Malam. Katanya kamu mau ketemu aku sama papah. Mau ngapain?" tanya Bianca masih berdiri di ambang pintu seolah enggan duduk di kursi. "Ada yang ingin aku bicarakan." Jawaban Ferry membuat Bianca menghela napas berat. Dia berpikir kalau Ferry akan menyampaikan perasaan Ferry padanya dan juga papahnya. "Soal apa sih?" tanya Bianca acuh tak acuh."Hm ... soal seseorang. Bukan soal aku atau kamu."Kedua tangan Bianca yang tadinya bersidekap, diturunkan. Ia hampir saja kegeeran kalau kedatangan Ferry ke rumahnya ingin mengungkapkan isi hati padanya. "Seseorang siapa?" Bianca sangat penasaran. Sebenarnya ada apa dengan Ferry?"Hm, aku ingin bilang seseorang itu kalau ada papahmu. Biar sekalian. Kamu bisa gak, panggilin Papahmu dulu?" Bianca menggigit bibir bawah, lalu menganggukkan kepala. "Kamu duduk dulu," titah Bianca masuk ke dalam rumah, berjalan ke kamar papah dan mamihnya. "Ada apa, Bi?" tanya Namira saat membuka pintu ka
Seharian ini, Nida mengurung diri di kamar. Sejak pulang sekolah dia belum keluar kamar, belum makan. Nida menangisi hidupnya yang penuh pend3ritaan dan kesepian. Sedari dulu, dia tidak punya sahabat atau teman biasa. Hidupnya selalu dikucilkan banyak orang. Bvlly-an yang dia terima, membuat Nida semakin membenci kehidupannya. Hampir setiap malam, Nida bertanya tentang siapa orang tuanya, tentang siapa Tante Gita, tentang siapa Ibu Fatma. Namun, pertanyaan-pertanyaan itu tidak pernah ada jawabannya. Di atas sajadah, Nida selalu berdoa agar suatu saat nanti, Allah memberitahunya tentang siapa keluarga Nida sebenarnya. Suara ketukan pintu terdengar kembali. Sedikit pun Nida tak menoleh. Saat ini, gadis itu ingin menyendiri. Ingin merenungi kehidupannya, ingin bertanya dan berdoa pada Tuhannya. "Nida ... buka pintunya, Nak ... kamu belum makan." Suara parau seorang wanita yang katanya hanya tetangga Nida dulu, terdengar. Namun, Nida tetap bergeming. Duduk di atas sajadah seraya berzi
"Bener. Dia sering minta pendapatku, cari kamu kemana lagi? Om kamu masih sangat yakin kalau anak kandung adiknya dan Om Yuda masih hidup. Om kamu juga berjanji akan mengajakmu tinggal di sini bersama Om kamu, bersama aku, dan bersama Bianca."Lagi, Nida semakin penasaran kenapa dia harus tinggal bersama Daniel bukan bersama Yuda dan mamanya?"Kak, tolong ceritakan sebenarnya. Oke, aku janji. Aku enggak akan pernah pergi dari sini. Aku akan tetap tinggal di sini bersama kalian. Tapi, tolong ... saat ini Mamahku lagi ada di mana? Di mana, Kak? Aku mohon katakan yang sejujurnya. Aku hanya ingin ketemu mamah. Tolong Kak ...." Nida mengiba, menggenggam telapak tanga Namira. Istri Daniel menghela napas berat. Hatinya tak tega melihat raut wajah Nida. "Kak, aku mohon di mana Mamahku sekarang? Di mana, Kak ...."Nida menangis histeris sambil menggenggam telapak tangan Namira. "Nida, sebenarnya ... hm ... sebenarnya mamah kamu udah meninggal dunia, Nida ...."Hancur sudah harapan Nida yang
"Udah. Tadi di kantor. Sekarang mereka lagi di ruang tamu. Sayang, tadi itu ... Nida nanyain Dania terus. Aku yakin, dia juga pasti akan tanya soal Mamanya ke kamu.""Kalau dia nanya ke aku, aku harus jawab apa? Berbohong kalau ibunya masih hidup?" Namira ingin menguji suaminya. Apakah ia akan menyuruhnya berbohong atau sebaliknya. "Jangan bohong, katakan saja sejujurnya tapi ... aku harap kamu bicaranya baik-baik. Mungkin dia akan sedih, tapi aku yakin ... istriku yang cantik dan baik hati ini akan mampu membuat Nida tenang."Namira senyum tersipu malu. Bibirnya pura-pura dimanyunkan. "Mas Ayang mah ... bikin aku malu terus tau ...." timpal Namira manja, sembari menggamit lengan suaminya. Daniel sangat menyukai prilaku Namira yang malu-malu seperti ini. Sangat menggemaskan. Tiba di ruang tamu, langkah kaki Namira terhenti melihat sosok gadis yang tengah tertawa bersama Yuda. "Mas Ayang ... ka-kamu benar, dia ... dia mirip Dania yang difoto itu ...." bisik Namira di depan telinga
Sepanjang jalan, Nida terus saja bercerita tentang pengalaman indah dan manis di sekolah meski kenyataannya, lebih banyak penderitaan yang dialami Nida ketimbang bahagia bersama teman-temannya. Hingga saat ini, Nida tidak punya teman dekat atau sahabat satu pun. Semuanya seperti membenci Nida karena kedua orang tuanya tak pernah ada. Tak pernah datang ke sekolah bilamana ada rapat atau penerimaan raport. Daniel memerhatikan obrolan Yuda dan Nida lewat kaca spion depan. Keduanya sangat bahagia. Mereka pada akhirnya telah ditemukan. Entah bagaimana caranya, Nida bisa menemukan alamat perusahaan Daniel. Pasti ada orang yang memberikan alamat perusahaannya supaya Nida bertemu dengan keluarga kandungnya. Dalam hati, Daniel berdoa untuk orang yang telah menyuruh Nida datang ke perusahaan, menemui Daniel. Memasuki halaman rumah megah nan mewah, Nida sempat terpana. Mulutnya tanpa ia sadari menganga lebar. Takjub, akan kebesaran dan kemegahan rumah keluarga Bragastara. "Kita turun, Nak," a
Daniel yang menyaksikan itu menghela napas lega. Menyeka lelehan air matanya yang tak kunjung berhenti. Daniel benar-benar bersyukur karena Allah telah mengantarkan Nida ke tempatnya. Sesuatu hal yang sangat tak terduga. "Hei, sudah ... kalian jangan menangis lagi. Mari, kita duduk." Daniel mengajak Yuda dan Nida berdiri, duduk di sofa yang sebelumnya ditempati Nida. Ayah dan anak itu masih larut dalam kebahagiaan dan rasa haru. Mereka seperti sedang bermimpi. Pertemuan yang sama sekali tidak Yuda bayangkan. Yuda bahkan sempat berpikir kalau dia tidak mungkin bisa bertemu dengan anak kandungnya dari Dania. "Hm, Nida ... Om dan Papahmu sekarang ada meeting. Kamu pulang ke rumah Om saja," ucap Daniel pada gadis berusia 17 tahun itu. "Ke rumah Om? Apakah mamahku ada di sana?" tanya Nida antusias. Binar kebahagiaan jelas terlihat di raut wajah. Pertanyaan Nida membuat Daniel dan Yuda tersentak. Mereka lupa mengatakan yang sebenarnya tentang ibu kandung Nida. Yuda menoleh pada Daniel.
Daniel sangat penasaran dengan orang yang menjelek-jelekkan Dania dan Yuda. Menganggap Nida bukan anak yang diinginkan. Daniel sangat yakin kalau orang yang menyebarkan kebohongan itu pasti orang terdekat mereka. Tetapi siapa?Nida tak langsung menjawab. Hatinya sangat sedih karena selama ini ia selalu berpikir buruk tentang kedua orang tuanya. Meski demikian, Nida tetap ingin bertemu dan tidak ada kebencian di hatinya. "Katakan sama Om. Siapa nama orang itu, Nida? Kamu jangan takut. Sekarang kamu udah punya Om. Kalau dia macam-macam sama kamu, Om akan bertindak langsung," ucap Daniel meyakinkan Nida yang tampak ragu menyebutkan nama orang tersebut. "Benarkah? Om akan ... akan melindungiku?""Tentu saja, Nida. Kamu keponakan Om satu-satunya. Sekarang bilang, siapa nama orang itu?""Nama orang itu tan---"Tok, tok, tok!Ucapan Nida menggantung ketika mendengar suara ketukan pintu. Daniel dan Nida menoleh ke pintu ruangan. Daniel melirik arloji di pergelangan, ternyata sebentar lagi m
Nida kembali mendongak, menatap lelaki yang wajahnya sudah basah oleh air mata. "Sekarang kita ke ruangan, Om. Om akan ceritakan semuanya."Beruntung, para karyawan sedang sibuk. Hanya Shella yang menyaksikan pertemuan yang telah didambakan Daniel bertahun-tahun lamanya. Shella yang telah mengetahui masa lalu keluarga Bragastara menangis. Membayangkan kebahagiaan seorang Daniel yang telah bertemu dengan anak kandung adiknya. "Om, mamah di mana? Papah di mana? Mereka masih hidup kan, Om?" Pertanyaan Nida lagi-lagi membuat Daniel meneteskan air mata. Mereka kini duduk di sofa ruangan Daniel. Lelaki itu merangkul pundak Nida. Menangis kembali. Bayangan Dania berkelebat. Daniel seperti melihat Dania yang duduk manis di kursi sambil memerhatikan mereka. "Om ... aku pengen ketemu mamah ... aku pengen ketemu papah ... aku pengen ... pengen kayak teman-temanku punya keluarga yang utuh ... A-aku ingin buktikan pada mereka kalau aku ... a-aku bukan anak haram.""Bukan, Nida ... kamu bukan an
Seketika, Daniel terkejut mendengar jawaban Shella. Pikirannya langsung tertuju pada anak kandung Dania dan Yuda. Apa mungkin Nida yang ingin menemuinya Nida anak kandung Dania dan Yuda?"Di mana gadis itu?" tanya Daniel."Di luar, Pak."Daniel keluar ruangan lebih dulu dari pada Shella. Tergesa-gesa ingin memastikan siapa gadis yang datang ingin menemuinya. Shella merasa heran dengan perubahan yang terjadi pada sikap Daniel."Kenapa Pak Daniel seperti mengenal gadis itu? Sebenarnya siapa gadis bernama Nida?" gumam Shella sambil menutup pintu ruangan bos-nya. Nida meremas kedua telapak tangannya. Ia dipersilakan menunggu di kursi depan ruangan Shella. Dirinya sangat gugup membayangkan bertemu dengan kedua orang tuanya. Kedua orang tua yang hampir setiap malam ia rindukan. Nida berharap kalau hari ini akan bertemu dengan mamah papah. Nida ingin sekali setiap hari atau setiap saat memanggil, "Mah, aku pulang." Atau Nida mengadu. "Pah, hari ini si Jhoni jahil banget. Suka gangguin aku.
Pagi di dalam salah satu kamar rumah Bragastara, terdengar percakapan riang. "Sayang, perutmu mulai terlihat membuncit," ucap Daniel ketika melihat Namira tengah berdiri di depan lemari pakaian usai membersihkan diri. Namira merunduk, memerhatikan perutnya. Ia tersenyum bahagia. Daniel menghampiri, mengelus perut Namira. Lalu, menempelkan telinga di depan perut yang mengandung buah hatinya. "Mas Ayang, ngapain?" tanya Namira terkekeh geli melihat tingkah suaminya. Daniel menegakkan tubuh, menangkupkan wajah Namira dengan kedua tangan. "Aku pengen dengar, pergerakan calon anak kita.""Emang kedengeran?""Belum, heheeh ....""Kirain.""Kamu pake baju. Aku harus secepatnya ke kantor, setelah itu mau ke kantor polisi lagi, mau tanya kapan jadwal persidangan kasus Hesti," ujar Daniel mengenakan dasi."Iya, Mas."Usai Namira mengenakan pakaiannya. Menghampiri Daniel yang merapikan berkas-berkas di meja kerja yang ada di dalam kamar. Namira membantu Daniel mengenakan jas hitam. "Mas Ayan
"Gimana, Ferry? Apa mereka mengabulkan permintaanmu?" tanya Hesti antusias, mereka duduk di sofa ruang keluarga. Ferry menatap iba wanita yang telah dinikahinya itu. Lantas, Ferry menggenggam telapak tangan Hesti. "Apapun nanti yang akan kamu alami, kamu harus hadapi. Jangan melarikan diri!"Sontak, Hesti melepaskan genggaman tangan suaminya. Tatapannya nanar pada Ferry. "Apa mereka tetap ingin melanjutkan kasus itu?" Suara Hesti terdengar bergetar. Hatinya berdetak lebih cepat, membayangkan menjalani hari di dalam penj4ra. Hesti pikir, Ferry yang berbicara, mereka akan mengabulkan. Ternyata tetap sama saja. Daniel dan Bianca sangat tega, sangat kejam. "Iya, Sayang. Enggak apa-apa. Pak Daniel bilang, nanti dia akan minta keringanan untuk hukumanmu.""Bohong! Dia pasti bohong! Mana mungkin Daniel mau meminta keringan untuk hukuman yang aku jalani? Mereka kej4m, sangat egois, Ferry!" Tangisan Hesti pecah, ia menangis meraung-raung. Ferry tak tega, ia memeluk tubuh wanita yang usianya