Evan terdiam, tidak langsung menanggapi perintah Daniel. Anak tunggal Yuda itu teringat obrolannya dengan Bianca tempo hari. Bianca sempat bercerita kalau ia tidak ingin menikah muda. Bianca ingin meniti karier dulu, menyelesaikan kuliah dulu. Lantas, bagaimana cara Evan membujuk Bianca?"Mohon maaf, Pak Daniel. Bukan saya gak mau membujuk Bianca menikah muda. Tapi, Bian pernah cerita ke saya kalau dia ingin menyelesaikan study-nya dulu, ingin kerja dulu, setelah menikmati masa muda, barulah ia menikah dan menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Pak Daniel, saya enggak bisa memaksa Bianca dalam hal pernikahan. Bagi saya, menikah itu sesuatu yang sakral. Salah satu momen yang bersejarah dalam kehidupan manusia. Dan jujur saja, saya ingin ... pernikahan saya nanti adalah pernikahan satu kali dalam seumur hidup. Saya juga enggak mau terlalu percaya diri menyimpulkan Bianca memiliki perasaan yang sama dengan saya. Jadi, saya mohon maaf, masalah pernikahan, saya gak bisa membujuk Bianca menika
"Kamu bawa mobil, Van?" tanya Bianca saat mereka berada di area parkir rumah sakit. "Iya. Mamah papahku pulang naik taksi. Mereka sengaja ninggalin mobil di sini takutnya aku disuruh nganterin kamu pulang. Ternyata benar." Evan terkekeh, membuka pintu mobil bagian penumpang untuk Bianca. "Makasih," kata Bianca setelah duduk di bangku samping kemudi. "Iya," balas Evan. Memutar depan mobil, membuka pintu mobil bagian kemudi, dan duduk dengan tenang. Kendaraan yang mereka tumpangi melaju, meninggalkan halaman luas rumah sakit. "Van, tadi kamu ngobrol sama Papah?" tanya Bianca, memiringkan badan lebih menghadap lelaki yang fokus menyetir. "Iya. Emangnya kenapa?" Bibir Bianca manyun, kesal karena Evan tidak bercerita apa yang mereka obrolkan. "Enggak kenapa-napa. Cuma nanya aja sih?""Oh."Setelahnya, tidak ada pembicaraan diantara mereka. Evan fokus mengemudi, sedangkan Bianca sesekali melirik Evan, berharap lelaki itu bercerita obrolan dengan papanya tanpa diminta Bianca. Tapi,
"Ngomong apaan sih kamu, Van? Cukup tau diri kenapa?" Bianca pura-pura tidak mengerti. Ia merunduk, kadang membuang wajah ke arah lain seolah menghindari tatapan Evan. Sikap salah tingkah keduanya terlihat jelas. Evan sering kali merasa insecure jika berhadapan dengan Bianca yang tak lain anak dari bos papanya. "Ya aku harus tau diri, kalau gadis secantik dan sebaik kamu, berasal dari keluarga yang terhormat, rasanya gak mungkin kalau punya perasaan lebih sama aku." Evan memperjelas ucapannya. Biar bagaimanapun, Evan hanyalah dari keluarga biasa saja. Bukan berasal dari keluarga bangsawan, bukan dari keluarga pemilik perusahaan, bukan pula dari keluarga yang tersohor seperti keluarga Bianca. Dia hanya seorang anak dari anak buah papanya Bianca, yakni Yuda. Bahkan keluarga Evan banyak berutang budi pada keluarga Bianca. Sebab selama ini keluarga Bragastara sering sekali menolong keluarga Evan. Bianca terkejut, menoleh sekilas, lalu menarik napas panjang. Bianca tidak menanggapi ucapa
Hesti tak menyangka kalau Bianca berbicara demikian. Dia benar-benar diluapkan emosi. Andai saja dulu Hesti mau merawat Bianca dengan baik, pasti tidak akan Bianca marah. Kekecewaan terhadap Hesti sangat besar. Tanpa banyak kata, Hesti pergi meninggalkan Bianca dan Evan. Dia pikir, di rumah ada Daniel. Kedatangannya ke rumah Daniel hanya ingin minta uang saja. Wanita itu sudah bingung mau mencari uang kemana apalagi sekarang akses datang ke perusahaan dan menekan karyawan bagian keuangan sudah sangat sulit. Sedangkan suami sirrinya yang sekarang bukan orang yang kaya. "S1alan, kemana lagi aku cari uang? Sh1t!" maki Hesti saat kendaraanya sudah meninggalkan halaman rumah Bianca. Sampai rumah, Hesti melihat Ferry sudah duduk di kursi teras. Baru sekarang Hesti malas bertemu dengan suami berondongnya itu. Hesti tidak punya, sedangkan Ferry menginginkan uang sebesar 20 juta untuk biaya kuliah, biaya berobat mamanya dan juga biaya yang lainnya. Kepala Hesti sudah pusing tujuh keliling.
Kedua pundak Daniel menurun namun bibirnya memaksakan tersenyum. "Ya sudah, kalau begitu saya tinggal dulu. Permisi.""Iya, dok."Setelah kepergian dokter, Daniel meraih telapak tangan Namira, mengecup penuh kasih sayang. "Mas Ayang, maaf ya? Gara-gara aku, Mas jadi tinggal di sini," kata Namira menyesal. Dia benar-benar kasihan melihat suaminya. "Enggak apa-apa, Sayang. Yang penting kondisimu sudah pulih lagi."Tidak berselang lama, handphone Daniel berdering. "Sebentar, aku mau angkat telepon dari Yuda dulu." Daniel melepaskan genggaman tangannya lalu mengangkat telepon dari Yuda. "Hallo, Yud?" sapa Daniel ketika sambungan telepon berlangsung. "Pak Daniel mohon maaf ganggu." Yuda merasa sungkan sebenarnya tapi ia harus menyampaikan hasil diskusinya dengan pengacara yang akan menangani laporan Daniel terhadap Hesti."Enggak, Yud. Enggak ganggu. Ada apa?"Namira memerhatikan suaminya dengan seksama. Ia takut ada kabar buruk yang disampaikan Yuda. "Saya baru saja berdiskusi tent
"Seblaknya datang ...." ujar Evan setengah berteriak. Ia duduk di kursi teras rumah Daniel. Bianca yang sedari tadi menunggu kedatangan Evan, tersenyum sumringah. "Wow, kalau dari aromanya sih, ini mantep banget.""Oh iya dong. Apalagi kalau makannya sambil lihatin Babang Evan, beuh makin mantep." Candaan Evan ditanggapi cebikan Bianca. "Kumat pedenya. Ya udah aku mau ambil wadahnya dulu. Tunggu!"Bianca dengan riang masuk ke dalam rumah, menuju dapur. Mengambil dua mangkuk beserta alat makan lainnya dan juga menyuruh Bi Rusmi membawakan air es. Tadi Bianca pesan seblaknya level lima. Bisa dibayangkan bagaimana pedasnya. "Sini, aku tuangin seblaknya di mangkuk." Bianca mengambil seblak yang masih dibungkus, lalu memindahkan ke mangkuk. Diam-diam, Evan memerhatikan gerakan Bianca yang begitu cekatan. Evan menghela napas panjang melihat perubahan raut wajah gadis yang dicintaiya. Tadi Bianca terlihat sangat bersedih. Sekarang sudah riang bahagia. "Ini buatmu. Ini seblaknya, ini seg
"Van, aku mau ke dalam dulu ya? Mau rapihin ini." Ucapan Bianca memecah lamunan Evan. Lelaki itu sedikit salah tingkah. "Oh iya, biar aku bantu." Evan berdiri, membawa mangkuk bekas seblak."Janganlah, Van! Kamu duduk aja," sergah Bianca tidak enak hati."Enggak apa-apa." Evan membantu Bianca membawa mangkuk kotor ke dapur supaya bisa bertemu dengan Bi Rusmi. Ia ingin sekali bertanya tentang sosok Dania, adik kandung Daniel. Dalam hati, Evan berharap kalau Bi Rusmi mau bercerita tentang wanita yang membuatnya penasaran."Ya udah deh." Bianca mempersilakan Evan membawa wadah makan seblak. Mereka masuk ke dalam rumah beriringan. Kalau ada Daniel, Evan tidak akan berani masuk ke dalam rumah kecuali dipersilakan Daniel. Tapi, saat ini selain tidak ada Daniel, Evan juga sangat ingin tahu penyebab kematian Dania dari Bi Rusmi.Sampai di dapur, terlihat bi Rusmi sedang merapikan piring."Bi, geser dikit dong, aku mau cuci piring.""Biarin, Non. Bibi yang cuci mangkuknya." Bi Rusmi langsung
Jantung Evan seolah berhenti berdetak mendengar papanya ada di masa lalu adiknya Daniel.Evan tidak menyangka sama sekali jika papahnya menikahi adik kandung Daniel. Otak Evan terus berpikir. Ia mengingat cerita Daniel dan cerita Bianca. Kalau papanya menikah sirri dengan Dania, berarti papanya selingkuh?"Maksud Bibi ... Pa-Papah saya selingkuh dengan Tante Dania?" Suara Evan bergetar. Hatinya seperti teriris sembilu mendengar cerita yang disampaikan asisten rumah tangga keluarga Bragastara. Bi Rusmi mengangukkan lemah. "I-Iya, Mas." Jawaban Bi Rusmi membuat kedua pundak Evan menurun. "Astaghfirullahalazim ...." lirih, Evan beristighfar. Sedikit pun ia tak menyangka jika papanya dulu pernah menikahi adik kandung Daniel Bragastara. Dia pikir, ibunya adalah wanita satu-satunya dalam hidup Yuda atau papanya. "Sebenarnya ... pernikahan orang tua Mas Evan dijodohkan. Mbak Dania dan Pak Yuda sudah menjalin kasih sebelum perjodohan itu terjadi. Hanya saja, Pak Yuda enggak berani berterus
Alea terdiam, tidak langsung menanggapi rintihan wanita yang selama ini telah dianggap ibu kandungnya sendiri. "Ma, sudah, Ma ... jangan nangis ya? Seharian ini Mama nangis terus. Nanti Mama sakit ...." ucap Alea berusaha menenangkan Bianca. Istri Evan itu menggelengkan kepala berulang kali. Sekarang Bianca telah menyesal karena telah membohongi kedua adiknya belasan tahun lamanya. Selama ini, Bianca dan Evan selalu menanamkan sifat jujur pada si kembar. Namun, dia sendiri yang tidak jujur pada mereka. Bianca merasa sangat jahat pada Axel dan Alea. Bianca meraih salah satu telapak tangan Alea, menggenggamnya erat. "Alea, maafkan Mama, Nak ... maafin Mama ... Mama udah jahat sama kamu. Udah bohongi kamu dan Axel. Maafin Mama, Lea ...." Sangat sungguh-sungguh Bianca mengucapkan kata maaf. Tampaknya Bianca sangat menyesal dan bersedih karena telah merahasiakan kedua orang tua kandung Axel dan Alea. "Jangan minta maaf terus, Ma ... Aku dan Kak Axel udah maafin Mama. Udah ya, Ma? Janga
"Kamu benar, Xel. Apapun alasan Mbak Bian dan Mas Evan merahasiakan kedua orang tua kalian, tetap salah. Tapi, kamu juga jangan marah lama-lama. Coba kamu tanyakan baik-baik pada mereka, apa alasannya?" Gilang tak mau terlalu banyak menanggapi cerita yang disampaikan Axel. Ia tak mau, kalau dianggap ikut campur atau memihak ke salah satu keluarga itu. "Enggak tau, Bang. Jujur saja, aku masih kecewa. Masih enggak nyangka aja kalau mereka tega sama mama dan papaku. Misalnya mama Bianca membenci mamaku, kenapa pula dia sayang aku dan Alea?"Berbagai tanya diucapkan Axel. Benar-benar bingung dengan alasan Bianca dan Evan merahasiakan kedua orang tua kandung Axel dan Alea. "Ya sudah enggak usah kamu pikirkan dulu. Sekarang lebih baik kamu tenangkan hati dan pikiran.""Iya, Bang."Handphone milik Gilang tiba-tiba berdering. Lelaki itu merogoh saku celana, lalu terlihat nama kontak yang tertera di layar ponsel. Panggilan dari Alea. Gilang tak langsung mengangkat panggilan telepon itu, me
Nida menganggukkan kepala, mendengar tanggapan ibu mertua. "Iya, silakan saja Mama bicara dulu sama Mas Hanif. Maaf, Ma. Aku mau istirahat dulu. Apa masih ada yang mau Mama bicarakan?" Kalau saja tidak menghormati suaminya, Nida sudah ingin memarahi ibu Ros. "Enggak ada. Mama juga mau istirahat." Ibu Ros pergi lebih dulu, meninggalkan Nida yang masih duduk terpaku di ruang makan. Kepergian Ibu Ros dari ruangan itu, membuat Nida tercenung. Nida tak dapat menahan tangisan. Dalam keheningan, ia menangis tersedu-sedu. Nida juga ingin memiliki anak. Nida juga ingin merasakan hamil. Tapi, dia tidak memaksa Tuhan untuk memberinya keturunan. Nida selalu yakin, Tuhan lebih tahu, waktu dan saat yang tepat memiliki buah hati. Dengan kasar, Nida menyeka lelehan air mata. Ia beranjak, membersihkan piring kotor. Setelahnya, masuk ke dalam kamar. Baru saja menutup pintu kamar, terdengar suara dering handphone. Nida tahu, itu adalah suaminya. Nida berjalan menghampiri handphone y
Nida terkejut bukan main mendengar permohonan ibu Ros yang tak lain ibu mertuanya. Kedua mata Nida nyalang menatap wanita yang telah melahirkan suaminya. Sungguh, sedikitpun ia tak menyangka jika ibu Ros memintanya untuk mengizinkan Hanif menikah lagi.Sadar dari rasa terkejut, Nida menarik napas panjang. Ia tak boleh tersulut emosi. Jika sampai Nida memarahi ibu Ros, wanita itu pasti mengadu berlebihan pada Hanif."Oh, jadi Mama ingin aku izinin Mas Hanif nikah lagi? Supaya Mama dapat cucu dari istri barunya nanti? Begitu?" Nida sengaja mengulang keinginan ibu Ros dengan sikap yang santai. Ia juga melanjutkan suapan makan malamnya. Ibu Ros mengembuskan napas melihat ketenangan sikap Nida. "Iya begitu. Ya habis mau gimana lagi? Kamu juga sadar kan, enggak bisa kasih Hanif anak? Iya 'kan?"Yang salah tingkah bukan Nida, justru ibu Ros. Nida manggut-manggut sembari meneguk segelas air di dalam gelas hingga tandas. "Jujur ya, Ma. Sebenarnya aku enggak mau dipoligami. Enggak mau kala
Di dalam kamar, Nida berdiri di depan pintu. Kedua matanya terpejam, mulutnya mengucapkan istighfar berulang kali. Terkadang Nida sangat bersedih jika mengingat tak juga diberi buah hati. Berbagai cara telah Nida lakukan bahkan ia sempat menawarkan pada Hanif agar melakukan program bayi tabung tapi Hanif tak setuju. "Program bayi tabung itu mahal, Dek.""Tapi aku ada uangnya, Mas. Aku kan kerja. Uang hasil aku kerja kan jarang dipake." "Kamu menganggap Mas enggak punya uang? Kamu merendahkan Mas? Mas emang bukan pengusaha seperti keluargamu, tapi uang PNS yang Mas dapatkan sudah lebih dari cukup. Sudahlah, enggak usah melakukan program bayi tabung. Kalau sudah waktunya, nanti juga kita dikasih anak."Begitulah perdebatan Nida dengan suaminya suatu waktu. Setelah itu, Nida tak mengusulkan apa-apa lagi. Lebih memilih diam dan menerima hinaan dan makian dari keluarga Hanif terutama ibunya. Beruntung, Nida tipikal wanita bodo amatan. Terpenting baginya, Hanif mencintainya dengan tulus d
Sungguh, perkataan ibu Ros sangat menyinggung hati Nida. Wanita itu menatap tajam mertuanya. "Terserah Mama. Mau makan lauk nasi ini atau mau nunggu aku yang masak tapi aku mandi dulu!" Sangat ketus, Nida berkata.Selama ini, dia sudah berusaha sangat sabar menghadapi mulut ibu mertua yang luar biasa pedasnya. Kerap kali Nida dikatakan mandul pada keluarga Hanif. Hal yang paling tidak disukai Nida, mereka sering kali berkata, "Kayaknya Mbak Nida enggak punya anak karena emang keturunan. Buktinya Mbak Bianca juga enggak punya keturunan."Jika saja karena tidak menghargai suaminya, Nida udah menampar wajah kedua adik iparnya itu. "Dasar menantu enggak tau diri! Harusnya dulu Hanif nikah sama ibu guru Marisa saja bukan nikah sama dia! Menyebalkan! Huh! Aku harus menelepon Hanif. Harus aku adukan sikap istri kurang ajarnya itu!" cetus Ibu Ros mengeluarkan handphone dari saku gamis yang dikenakan. Tidak berselang lama, panggilan telepon ibu Ros diangkat anak sulungnya. "Assalamualaikum
"Dari mana, Pa?" tanya Bianca ketika Evan datang ke ruang makan. Sebelumnya Bianca melihat Evan ke depan rumah. "Dari depan," jawab Evan singkat. Ia melihat raut wajah ceria pada Bianca. Mungkin karena sikap Alea yang sudah biasa-biasa lagi. Seperti tidak ada yang terjadi. Tidak berselang lama, Alea datang dengan senyum tipis. Ia menyapa Bianca dan Evan seperti biasa. Alea sangat berusaha agar tidak ada yang berubah. Ia merasa sangat bahagia dengan kehidupannya. Dengan peran Bianca dan Evan yang mengaku sebagai kedua orang tua. "Lea, Axel mana? Apa dia belum selesai mandi?" tanya Bianca, menatap lekat adiknya yang sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik. "Ma, Axel tadi keluar rumah. Mungkin dia hanya pergi sebentar. Lebih baik kita makan duluan saja." Evan yang menjawab. Mengetahui kalau Alea tampak kebingungan menjawab pertanyaan Bianca, wanita yang dianggap ibu selama ini. Raut wajah Bianca yang sebelumnya ceria, kini berubah muram. Ia menelan saliva, kembali bersedih. Kepalanya
"Brisik! Minggir! Kalau kamu enggak mau ikut, enggak apa-apa." Axel mendorong adiknya agar menyingkir dari hadapan. Anak lelaki itu telah selesai mengemasi pakaian dan barang-barang ke dalam koper. Figura foto yang ada di tangan Alea, tak diambil. Dengan langkah cepat, Axel keluar kamar, menuruni anak tangga."Axel!" Panggilan Evan membuat langkah kaki Axel terhenti. Evan berjalan cepat menghampiri Axel yang selama ini dianggap anak olehnya. "Kamu mau kemana?" tanya Evan saat berdiri di depan Axel. Kembaran Alea itu tak langsung menjawab, ia terdiam sesaat. Melihat sikap Axel, Evan sudah dapat menerka jika Axel belum mengetahui kemana arah perginya. "Papa enggak akan melarangmu pergi. Tapi, kalau kamu mau, tinggal saja di apartemen Papa. Dan Papa harap, kamu enggak putus sekolah." Sebisa mungkin Evan bicara baik-baik pada Axel. "Terima kasih atas tawarannya tapi aku rasa enggak perlu. Masalah sekolah, enggak perlu khawatir. Aku akan tetap sekolah sampai selesai. Aku pamit."Hanya
Kendaraan yang ditumpangi Axel dan Alea telah memasuki halaman rumah keluarga Bragastara. Rumah yang selama ini menjadi saksi kebahagiaan Axel dan Alea memiliki kedua orang tua seperti Bianca dan Evan.Mesin mobil telah dimatikan, tapi Axel tetap bergeming. Pandangannya nanar pada rumah mewah nan megah itu. Benak Axel masih bertanya, kenapa Bianca begitu tega menyembunyikan kenyataan tentang siapa kedua orang tuanya? Apakah kedua orang tua Axel melakukan kesalahan sehingga Bianca begitu membenci mereka? Sehingga mereka tega tidak memberitahu kenyataan itu?"Mau turun dulu enggak, Kak?" Pertanyaan Alea menyentak lamunan lelaki yang berkulit putih, bermata agak sipit dan memiliki tinggi badan sekitar 178 cm itu. "Ya. Aku mau ngambil barang-barang dan pakaian dulu.""Kak, coba pikirin lagi. Jangan kebawa emosi. Coba berpikir positif," tegur Alea mengingatkan keputusan Axel yang ingin pergi dari rumah. Axel tak menanggapi, ia membuka pintu mobil, lalu berjalan lebih dulu ke pintu depan.