"Pa, jangan bilang seperti itu dulu. Papa enggak usah mencemaskanku. Aku baik-baik saja. Aku enggak akan trauma. Aku enggak akan terpuruk. Pa, aku mohon fokuslah pada kesehatan Papa. Papa harus sembuh," ujar Nida menggenggam sebelah telapak tangan Yuda. Air mata tak juga berhenti membasahi wajahnya."Iya. Papa akan sembuh."Setelah obrolan itu, Nida pamit keluar ruangan. Membiarkan papanya istirahat cukup. Shella dan Cassandra yang menunggu di bangku tunggu berdiri saat Nida keluar ruangan. "Nida, bagaimana Papamu?" tanya Shella menunjukkan raut wajah cemas. "Katanya papa mau istirahat dulu. Mama dan Sandra pulang saja. Biar aku yang di sini, nungguin papa." Dari pada Nida di rumah sendirian, lebih baik di rumah sakit, menemani sang papa. Shella menggelengkan kepala, menolak perintah Nida. "Mama di sini saja. Kalau pulang, Mama enggak bisa tenang."Nida mengerti. Seorang istri yang baik dan setia tidak mungkin meninggalkan suaminya yang sedang sakit di sini. "Ya sudah kalau begi
Cassandra langsung mematikan sambungan telepon. Merasa malu karena mengucapkan kata 'Sayang' pada Axel. Cassandra meletakkan handphone di atas nakas, lalu keluar kamar, hendak ke dapur. "Pagi, Kak," sapa Cassandra tiba di dapur melihat Nida tengah memanggang roti tawar. "Pagi. Kamu udah bangun? Aku pikir masih tidur," timpal Nida mengangkat roti tawar yang sudah matang. Meletakkan di atas piring. "Aku bangun dari jam setengah lima, Kak." "Masya Allah hebat sekali. Di LN juga kamu bangun jam segini, Sandra?" Nida berusaha mengakrabkan diri dengan adik sambungnya. "Iya, Kak. Udah kebiasaan. Kak, sebelum ke kantor, Kakak mau ke rumah dulu kan?" "Iya. Mau ambil laptop dan handphone papa dulu. Kerjaan kan ada di sana. Kenapa? Kamu mau di sini dulu?" "Enggak, Kak. Jam sepuluhan aku mau ke rumah sakit. Gantiin mama jagain papa." Andai saja Nida tak bekerja, mungkin dia yang akan menjaga papanya. "Maaf, Sandra, aku enggak jagain papa dulu." "Enggak apa-apa. Kakak kan
Hanif terkejut melihat riwayat chatnya dengan Friska di-print oleh Axel. Segera, ia remukkan kertas itu dan setengah berlari mengejar kembaran Alea. "Axel tunggu! Axel!" Panggilan Hanif sengaja diabaikan. Axel melenggang berjalan menuju kelas. "Axel!" Hanif mencekal lengan Axel membuat langkah kaki remaja itu terhenti. Dengan kasar, Axel menghempaskan. "Kenapa? Kaget? Takut? Oh tenang aja, selama kamu dan selingkuhanmu enggak nyakitin tante Nida, bukti itu enggak akan tersebar luas. Tapi kalau sebaliknya? Dalam hitungan detik, aku akan menyebarkannya. Dan perlu kamu tau, aku juga punya video menjijikanmu dengan jalang itu." Kalimat terakhir tentu saja bohong. Axel tak punya satu video asusila Hanif dengan Friska. Sekadar menakut-nakuti saja. "Eh, Axel! Kamu jangan kurang ajar!""Tenang dong. Seperti tadi yang aku bilang, kalau kamu dan si Friska enggak macam-macam ke tante Nida, kamu aman. Udah bel, aku mau masuk."Puas sekali Axel berkata demikian. Paling tidak, Hanif tidak akan
Evan tiba di rumah sakit langsung mengetuk pintu ruangan di mana papanya menerima perawatan medis. Shella terkejut melihat kedatangan Evan. Ia lantas berdiri, mempersilakan Evan duduk di kursi samping ranjang pasien. Shella pamit keluar ruangan, membiarkan Evan berdua dengan sang suami. "Pa, Papa kenapa? Kenapa Papa bisa jatuh sakit begini? Perasaan kemaren Papa sehat wal afiat," ucap Evan menunjukkan rasa cemas. Yuda yang mulutnya masih ditutupi masker oksigen hanya tersenyum tipis. "Sekarang juga Papa udah lebih baik."Jawaban Yuda tak membuat Evan percaya seratus persen. Ia yakin ada masalah yang mengganggu pikiran Papa kandungnya itu. "Pa, apakah penyebab Papa sakit karena masalah yang menimpa Nida?" telisik Evan menatap lekat Yuda. "Kasihan Nida, Van. Dia sendirian."Ternyata benar dugaan Evan. Lelaki itu menghela napas berat, menggenggam telapak tangan papanya. "Papa tenang saja. Nida enggak sendirian. Aku akan membantu masalahnya. Kalau emang Nida ingin mempertahankan ruma
Setelah mengatakan itu, Axel pergi meninggalkan Hanif yang masih melongo di tempat duduk. Tak menyangka jika Axel berani bicara kasar padanya. Selama ini Axel sangat sopan dari sikap dan ucapnya. Tetapi sekarang, sifat Axel berubah drastis. Hanif menggelengkan kepala, mengusap wajah kasar. Kecemasan terlihat jelas. Ia takut kalau bukti perselingkuhannya tersebar luas. Di depan kelas Axel, ternyata Arfan dan Alea sedang menunggu kedatangannya. "Kak, gimana? Dia enggak ngomong macam-macam 'kan?" cecar Alea agak mendongak, menatap wajah kakaknya yang tampak masam. "Enggak waras dia! Udah tau salah, malah mencari pembelaan. Bilang rumah tangganya udah hambar, enggak romantis, enggak cinta lagi sama tante. Aku bilang, kalau emang kayak gitu, harusnya bilang baik-baik. Eh dia bilang, takut tante Nida sakit hati. Lah, dia selingkuh apa enggak bikin tante Nida sakit hati? Kan sakit jiwa!" Mendengar cerita Axel, Arfan dan Alea membelalakkan kedua mata. "Pak Hanif ngomong gitu,
Hanif tak langsung menjawab, ia terdiam sambil berpikir. Tidak dapat dipungkiri, ada rasa kesal dalam hati. Hanif tidak suka jika Friska ikut campur dalam urusannya dengan Nida. "Sudahlah, aku tau kamu enggak akan menjawab. Mana ada, laki-laki yang menjelekkan wanita yang dicintainya," ucap Nida sembari mengambil alih ponsel. Papanya dari tangan Hanif. "Aku minta maaf. Aku enggak tau kalau dia mengirim pesan itu ke papa." Akhirnya Hanif membenarkan jika Friska yang mengirim pesan foto mereka. "Oke. Tapi aku minta sama kamu, segera urus daftarkan perceraian kita ke pengadilan agama. Dan tolong kasih tau Friska, jangan pernah menghubungi papaku. Cukup ke aku aja. Oke?"Setelah memberi peringatan, Nida beranjak pergi. Meninggalkan selembar uang yang diletakkan di bawah secangkir kopi. Hanif tertegun melihat kepergian mantan istri. Ia pun bergegas keluar resto tanpa memesan makanan atau minuman. Sepanjang jalan, Hanif agak emosi mengetahui kalau Friska berani mengirim foto-foto pada
"Sakit, bajingaaannn!" teriak Friska saat rambutnya kembali dijambak Hanif hingga kepala mendongak ke belakang. "Makanya jangan berani membentak suami apalagi menamparku! Plak! Plak!" Dua tamparan kembali mendarat di kedua pipi Friska. Di rumah itu, hanya ada asisten rumah tangga bernama Mbok Tarmi. Wanita yang usianya hampir enam puluh tahun itu menyaksikan kekejian Hanif pada Friska. Mbok Tarmi adalah wanita yang mengurus Friska sejak kecil. Ia ingin sekali menolong Friska tapi tak berani. Hanif yang terlihat lugu ternyata berperangai kasar. Mbok Tarmi hanya menangis di balik dinding pembatas. "Ampun, Hanif ... Ampun. Aku minta maaf. Tolong jangan siksa aku. Huhuhu ...."Kondisi Friska sudah berantakan. Sifat Hanif yang tak suka dibentak atau tidak dihargai seorang istri, membuatnya menjadi laki-laki tempramental. "Sekarang kamu harus janji. Tidak boleh melawanku, tidak boleh memarahiku apalagi menamparku. Berjanjilah, Friska!" Jambakan pada rambut Friska semakin keras dan kuat.
Semua yang mendengar ucapan Bianca tercengang. Mereka tak menyangka jika Bianca berkata demikian. Sangat tidak enak didengar. "Sayang, maksud papa bukan kayak gitu. Udahlah, kamu diam saja," bisik Evan menegur ucapan istrinya. Bianca menunjukkan raut wajah tak suka. Sementara Nida dan Yuda hanya terdiam. "Hm, Pa. Meeting dengan klien diundur besok. Katanya Mr Jimmy yang dari Singapore baru tiba tadi sore. Pesawatnya delay." Evan sengaja mengalihkan topik pembicaraan. Tak ingin membahas ucapan Bianca yang membuat Yuda dan Nida tersinggung. "Ya sudah enggak apa-apa. Papa minta maaf, enggak bisa bantuin kalian. Insya Allah kalau dokter udah izinin Papa pulang, Papa akan langsung kerja lagi." Ingin sekali Nida menyanggah dan melarang papanya kerja tapi ada Bianca. Bianca adalah pewaris tunggal perusahaan Bragastara dari Daniel. Walau sebetulnya Nida ada darah Bragastara tapi untuk pembagian saham perusahaan sangatlah jauh berbeda dengan Bianca. Nida hanya memegang dua puluh pers
"Lima juta kamu bilang cuma?" tanya Hanif setengah tidak percaya adiknya berbicara demikian. Selama ini Hanif tipikal orang yang berhemat. "Iyalah, Mas. Uang Mas Hanif lebih dari segitu. Apalah arti uang lima juta buat Mas Hanif dan Mbak Friska," ucap Hanifa tanpa beban. Hanif menghela napas berat, memijat pelipis. Hanifa tidak tahu saja kalau dirinya tidak punya tabungan bahkan ketika mendaftarkan proses perceraian harus mencuri uang Friska dari dalam brankas. "Aku enggak ada uang." Hanif berbicara datar. Mendengar jawaban kakaknya, Hanifa mendengus kesal. Ternyata benar kata ibu Ros kalau Hanif orangnya pelit. "Mas Hanif aku mohon. Suamiku belum gajian. Nanti uangnya aku ganti kok kalau mas Tedi udah gajian. Aku mohon, Mas ...." Hanifa tak mungkin menyerah. Malam ini juga dia harus mendapatkan uang untuk anak-anak besok. Meski dirinya tak ada uang, tetapi Hanif tak tega mendengar adiknya memohon seperti itu. Selama ini, Hanifa maupun Haifa tidak pernah meminta uang padanya. Tanp
Di mata Rangga, Haifa wanita bodoh dan mudah dibohongi. Bukan satu dua kali Rangga ketahuan selingkuh tetapi dengan mulut manisnya, Rangga dapat meyakinkan Haifa jika dirinya tidak akan mengulangi bahkan Rangga sering berjanji akan membuat rumah tangganya jauh lebih baik dan memiliki perekonomian yang mencukupi. "Ya udah, Mas. Sekarang kamu mandi. Kamu tadi beli nasi kan?""Beli dong. Aku tadi beli pecel lele. Lelenya dibagi dua aja ya sama anak kita. Kamu jangan makan banyak kalau malam. Aku enggak mau kalau kamu sampe gendut," ujar Rangga mengedipkan sebelah mata. Sontak, Haifa tersipu malu, menganggukkan kepala, mengiyakan kemodusan suaminya. Di kamar lain, Hanifa pun sedang berbincang dengan sang suami, Tedi namanya. "Jadi Mamamu udah tau sertifikatnya kita gadai ke Bank?" tanya Tedi, usai Hanifa bercerita tentang kejadian tadi siang. Hanifa tampak santai. Sebatang rokok terselip di antara ruas jarinya. "Iya. Dia baru sadar, hehehe ...."Hanifa mengembuskan asap rokok ke wajah
"Biasa aja kali, Ma. Enggak usah kaget gitu," kata Hanifa santai. Mereka berdua tidak merasa bersalah sedikit pun. Aneh juga, kenapa Hanifa dan Haifa bisa membawa sertifikat itu ke Bank tanpa sepengetahuan ibu Ros?"Kamu bilang enggak usah kaget??" desis ibu Ros berusaha menahan emosi. Biar bagaimana pun ia tak mau cucu-cucunya mendengar keributan ini. "Udah deh, Ma. Lagipula semuanya udah ada di Bank. Mau gimana lagi? Ya kami bisa saja menebusnya tapi Mama punya enggak uang buat nebusnya?"Tanpa rasa bersalah dan rasa penyesalan, Haifa bertanya demikian. Hanifa yang mendengar ucapan sang adik, menyunggingkan senyum mengejek. "Kurang ajar! Kalian anak kurang ajar! Uangnya kalian pake buat apa? Semua keperluan dan kebutuhan rumah ini kan pake uang Mama. Bahkan kalian juga sering minta uang ke Mama. Terus, uang pinjaman dari Bank itu digunakan buat apa? Buat apaaaa?" Sangat kesal ibu Ros berkata. Wajahnya memerah karena emosi yang sudah menguasai diri. Hanifa dan Haifa terdiam sesa
Kedua mata ibu Ros membeliak dibentak anak keduanya yakni Hanifa. Sorot mata Hanifa yang tajam dibalas serupa oleh wanita yang telah melahirkannya. "Durhaka kamu, Nifa!" balas ibu Ros tak kalah tinggi intonasi suaranya. "Berani sekali kamu ngebentak Mama? Marahin Mama! Kamu pikir ini rumah siapa, heuh? Ini rumah Mama!" tandas ibu Ros yang tak mau terlihat lemah di depan Hanifa. Anak kandungnya mencebik, melipat kedua tangan di depan dada. "Nanti juga akan menjadi milikku dan Haifa kalau Mama udah mati," timpal Hanifa tersenyum miring. "Apa kamu bilang?" Lagi, emosi ibu Ros semakin meluap. "Kamu bilang aku mati?" ulang ibu Ros, meyakinkan yang didengarnya. "Ini apaan sih? Siang-siang malah ribut?"Tiba-tiba dari arah belakang Hanifa, terdengar suara adiknya yang baru keluar dari kamar sambil menguap. Menghampiri mereka. "Mama nih, siang begini malah nangis sambil teriak. Kan berisik," jawab Hanifa memutar bola mata malas. "Ck, kebiasaan nih Mama. Udahlah, jangan diladenin. Harap
Sepanjang jalan pulang, Axel cemberut. Kesal pada adiknya dan Arfan. Bisa-bisanya mereka menguping pembicaraan Axel di depan pusara Daniel dan Namira. Alea sekarang satu mobil dengan Axel. Sedangkan Arfan, pulang sendirian padahal lelaki itu berharap bisa mengantar Alea pulang sampai rumah supaya lebih lama bersama. "Kak?" panggil Alea, menatap Axel dari samping. Namun, Axel bergeming. "Kak Axel?" Alea mengulang pertanyaan karena wajah Axel masih masam. "Kak Axeeeell!" teriak Alea tepat di depan telinga kakaknya. Axel langsung menancap rem mendadak. "Astaghfirullah, Lea!" pekik Axel melotot. Lalu menoleh ke belakang, khawatir ada mobil di belakang yang dekat dengan mobilnya. "Kamu udah gila, Lea! Teriak di depan telinga. Kalau kita kecelakaan gimana?" semprot Axel kesal, melajukan kembali kendaraannya. "Ya habisnya ditanya dieeeemm ... aja. Cemberuuutt aja. Kayak cewek lagi dateng bulan. Kalau ditanya jawab napa!"Bukannya minta maaf, Alea justru memarahi Axel. "Mau tanya apa em
Di depan pusara kedua orang tua kandung, Axel menumpahkan kesedihan dan masalah yang tengah dihadapi. Sebelumnya ia membaca Quran Surat Yasin dan memanjatkan doa-doa untuk Daniel dan Namira. Alea mencegah pergerakan Arfan. Ia menggelengkan kepala, memberi isyarat pada Arfan agar tidak mendekati kakaknya. Alea mengajak Arfan duduk agak jauh dari Axlel. Ia ingin memerhatikan kakaknya. Bukan Alea tak mau mendoakan, hanya ingin tahu apa yang akan diungkapkan Axel. Benar saja, selesai berdoa, tangisan Axel pecah. Pun Alea. Gadis itu menahan dalam diam. Membekap mulut agar suara tangisannya tak terdengar Axel. Arfan tak tega, ingin merengkuh pundak Alea tetapi tak ada keberanian. Ia cukup tahu batasan. Arfan hanya mengusap pelan Alea agar tetap tenang. "Kenapa mama dan papa pergi begitu cepat? Apa mama dan papa enggak sayang kami? Apa aku dan Alea anak yang enggak kalian inginkan? Kenapa kalian enggak bertahan hidup demi kami? Paling tidak, salah satu dari kalian harus hidup. Kenapa kali
Siang hari, tubuh ibu Ros menggigil. Sejak tadi pagi, badannya tak enak. Mulutnya pun pahit. Di dalam kamar, ibu Ros meringkuk. Belum ada makanan yang masuk ke dalam perut padahal ia sangat kelaparan. Kedua mata memanas, hidung pilek bersin-bersin, mungkin karena ibu Ros terlalu sering menangis. Tubuh ringkih itu menyibak selimut. Memegang perut yang terasa lapar. Kemudian, dengan langkah tertatih, ia berjalan ke arah pintu, membuka pintu kamar. Kepalanya melongok ke kanan dan ke kiri. Sepi. "Kemana Hanifa dan Haifa? Apa mereka lagi tidur?" gumam ibu Ros, keluar dari kamar, lalu berjalan pelahan melewati ruangan demi ruangan. Sampai di dapur, ibu Ros tak mendapati kedua anak perempuannya. Kemana mereka? lagi pertanyaan ibu Ros tak ada jawaban. Wanita tua itu berjalan ke ruang meja makan. Membuka tudung saja, tidak ada lauk pauk. Kemudian berjalan ke rice cooker, tidak ada nasi. "Apa mereka enggak masak nasi?" Ibu Ros kembali bertanya pelan. Pandangannya beralih pada tempat penyim
Jam pulang sekolah tiba. Alea menyambangi kelas kakaknya. Ia menunggu di depan. Arfan yang melihat Alea dari kejauhan menghampiri. "Lagi nungguin Axel?" tanya Arfan saat berdiri di samping Alea. "Iya. Lama banget tuh orang keluarnya. Emang ngeselin! Kamu sendiri belum pulang? Ada rapat?" Alea bertanya balik. "Enggak ada rapat. Kalau lama, Kenapa kamu enggak masuk ke dalam kelasnya?" Arfan bertanya lagi. Mengalihkan ke topik awal. "Males," jawab Alea singkat. "Kalau aku masuk kelas kak Axel, suka jadi pusat perhatian teman-temannya," jawab Alea cemberut. Mengingat kembali waktu ia pernah masuk ke dalam kelas Axel. Ada beberapa teman sekelas Axel yang cowok, minta kenalan. Atau enggak, teman-teman kelas Axel yang cewek, menatap Alea sinis. Padahal mereka tak saling kenal. Sejak saat itu, Alea malas masuk kelas kakaknya. "Mungkin karena kamu terlalu cantik, Lea."Ucapan Arfan membuat Alea terhenyak. "Ck, apaan sih kamu, Fan? Enggak juga kali." Alea malu-malu. Ia membuang wajah ke a
Gilang telah menyiapkan delivery order atas nama Nida. Wanita itu memang tak sempat keluar kantor untuk makan siang. Pekerjaannya sangat banyak. Terlebih mulai besok ia harus kerja di lapangan. Gilang telah siap berangkat. Namun, langkah kakinya terhenti ketika berpapasan dengan Bianca dan Evan di depan cafe. "Selamat siang, Ibu Bianca, Pak Evan," sapa Gilang sopan, agak membungkukkan badan. "Siang, Gilang. Kamu mau nganterin makanan?" balas Evan sambil bertanya. Sedangkan Bianca bersidekap sambil membuang muka. Gilang mengulum senyum, "Iya, Pak. Mau anterin makan siang.""Oh begitu.""Mas, mau makan siang apa mau ngobrol sama pelayan?" tanya Bianca ketus. Sorot matanya tampak tak suka pada Gilang. Evan tak enak hati mendengar pertanyaan sang istri. "Maaf, Pak. Saya permisi." Gilang tak mau lama-lama berhadapan dengan Bianca. Selalu saja makan hati. "Oh iya, silakan. Hati-hati Gilang.""Iya, Pak. Terima kasih."Bianca masuk ke cafe lebih dulu. Wajahnya bersungut kesal. Evan yang