Setelah saling menukar nomor handphone, Alea dan Axel pamit pulang. Walau agak kecewa tapi yang dikatakan Alea ada benarnya. Bisa saja yang punya rumah tidak nyaman kalau mereka menunggu kepulangan ayahnya Rina. "Kak, enggak pulang ke rumah?" tanya Alea saat turun dari motor. "Pulang. Tapi, kapan-kapan. Hahahaha ...."Axel menjawab dengan kelakar. Alea mencebik kesal, tak banyak bicara. Dipikirnya, percuma membujuk Axel pulang kalau dirinya sendiri tak mau pulang. "Ya udah aku pulang duluan."Alea masuk ke dalam mobil, lalu kendaraan itu melaju meninggalkan Axel yang duduk di sepeda motor. Axel pun melajukan kendaraannya, menuju kos-an Gilang. Rencananya setelah mengganti pakaian, Axel mau ke cafe. Membantu Gilang di sana. Namun, saat tiba di kos-an, kedua mata Axel memicing, melihat Cassandra yang duduk di kursi depan rumah yang ditempati Gilang selama ini. Cassandra berdiri ketika motor yang dikendarai Axel masuk pekarangan. Bibirnya menyunggingkan senyum meski hati Cassandra s
"Eng ... Enggak, Xel. Aku lupa tadi mau tanya apa. Kamu sendiri mau ngomong apa?" jawab Cassandra tak bisa menyembunyikan sikap salah tingkahnya. "Aku cuma mau ngomong, kalau enggak ada yang mau Kakak omongin, aku mau ke cafe. Mau bantuin Bang Gilang," jawab Axel santai. Cassandra menganggukkan kepala, mengambil tas dari atas meja lalu berdiri. "Kalau kamu mau ke cafe, aku mau pulang. Nanti malam kamu mau tidur di kos an lagi?""Kayaknya iya. Dari pada di rumah, enggak bisa tidur semalaman. Yang ada, di sekolah aku ngantuk.""Hm ... nanti malam aku mau ke cafe kamu aja. Aku juga di rumah bosan. Eh, jangan-jangan nanti malam kamu mau ke rumah Rina?" Sengaja, Cassandra bertanya demikian. Axel terdiam sesaat, lalu menjawab, "Mau ngapain? Nanti malam juga bukak malam Minggu kali, Kak!"Cukup tersentak, Cassandra mendengar jawaban Axel. "Oh, iya ya. Nanti malam, malam Jumat. Jadi, Kamu mulai suka sama Rina, ya? Emang si Rina cewek idaman kamu?"Bukannya langsung menjawab, Axel justru g
Cassandra tidak pulang ke rumah, ia justru ke rumah keluarga Bragastra, menemui Alea. Hanya Alea yang tahu perasaan cinta Cassandra pada Axel. "Kak, Sandra?" sapa Alea ketika melihat Cassandra berdiri di depan pintu kamarnya dengan kedua mata sembab akibat menangis sepanjang jalan dari kos-an Gilang sampai rumah Alea. Cassandra memeluk tubuh Alea, menangis dalam pelukan adik kembar Axel. Ia tak tahu lagi harus bagaimana. Benar-benar membingungkan. "Kak, kenapa? Kakak dimarahin tante Shella?" tanya Alea saat Cassandra melepaskan pelukannya. Cassandra menggelengkan kepala. Alea menyuruh masuk ke dalam kamar, mengambilkan segelas air, lalu menyodorkannya. Cassandra langsung meneguk air itu hingga setengah gelas. "Kak, kenapa? Ada apa? Kenapa Kakak sampe nangis begini?" Alea terlihat panik melihat kondisi Cassandra yang tak biasa. Ia mengambilkan sekotak tissue, menyodorkan pada Cassandra. Gadis itu biasanya selalu tampil ceria. Jarang sekali Alea melihat Cassandra menangis seperti
"Bukan ketemu Axel aja, Ma ... cuma pengen nongkrong. Biasalah anak muda. Mama nih kayak enggak pernah ngalamin muda aja," elak Cassandra tersenyum miring, mengalihkan pandangan enggan membalas tatapan mamanya. Shella hanya menghela napas berat, membelai lembut rambut putrinya penuh kasih sayang. "Mama kangen sama kamu, Nak. Mama juga pengen denger ceritamu kuliah di LN. Mama akui, Mama yang salah. Harusnya ketika kamu ada di sini, Mama ada di rumah. Enggak kerja. Nemenin kamu selama liburan. Tapi, Nak ... apa kamu enggak bisa, malam ini kita ngobrol-ngobrol dulu?" Sebetulnya sejak kepulangan Cassandra, ingin sekali Shella meluangkan waktu untuk berbincang dengan anak kandungnya. Ia sekali mendengar keluh kesah dan keceriaan Cassandra selama di luar negeri sana. Namun, Shella tak bisa mengajukan cuti kerja meski pada suaminya sendiri, mengingat pekerjaan kantor sedang menumpuk. Cassandra yang sudah berhias dan mengenakan pakaian yang bagus, merunduk sebentar, tampak berpikir. "Ma,
Axel tak menjawab, membiarkan Gilang yang mencari tahu sendiri. Beberapa menit kemudian, Gilang pun tahu. Siapa yang dimaksud bidadari surga oleh Axel?"Ooh ... Cassandra. Tumben dia malam-malam datang ke cafe," celetuk Gilang merangkul pundak Axel yang sibuk meracik kopi untuk Cassandra. "Tadi sore dia emang bilang gitu. Katanya mau ke sini. Minggir, kopinya udah jadi nih!""Sini, biar Abang yang nganterin!" Gilang pura-pura menghadang Axel. "Yeh, enak aja!""Hahahaha ...." Gilang tertawa lepas melihat ekspresi wajah Axel yang menurutnya sangat lucu. "Silakan dicicipi kopinya, Nona," kata Axel meletakkan secangkir kopi di hadapan gadis yang usianya lebih tua darinya. "Terima kasih." Axel berdiri, menunggu kesan Cassandra yang sedang mencicipi kopi hasil racikannya. "Gimana? Enak enggak kopinya?" tanya Axel sembari tersenyum. Sungguh, wajah Cassandra sangat sedap dipandang. Menyejukan hati Axel dan membuat Axel nyaman jika berada di dekatnya. "Enak. Enggak terlalu manis, engga
Terlambat. Axel terlambat mengejar Cassandra. Gadis itu sudah masuk ke dalam mobil dan melajukan kendaraannya,meninggalkan halaman cafe milik Axel. Di area parkir, Axel menyugar rambut. Sangat kesal akan dirinya sendiri. Kenapa pula ia tak bisa fokus akan cerita Cassandra?Dengan raut wajah kesal, Axel masuk ke dalam cafe, berjalan ke meja tempat Cassandra meminum kopi. Mengambil selembar uang dengan nominal paling tinggi serta membawa cangkir kopi dan juga celemet. Di pantry, Axel duduk tercenung. Mengingat kembali reaksi Cassandra beberapa menit lalu. Axel merogoh ponsel dari balik saku celana, menekan nomor handphone Cassandra, menghubungi. Naas, beberapa panggilannya tak dijawab. Sepertinya Cassandra benar-benar marah. Axel mengusap wajah dengan kasar, lalu pamit pulang ke kos-an. "Enggak pulang ke rumah lagi, Xel?""Enggak, Bang," jawab Axel mengenakan switer yang digantung. "Eh, sebentar!" Gilang memalingkan wajah Axel dengan telapak tangannya. "Kamu kenapa? Habis nangis ap
Sungguh, Alea tak menyangka Bianca berbicara demikian. Sangat merendahkan seseorang. Baru sekarang dia tahu sifat Bianca yang merendahkan orang lain. Belum lama, Gilang yang dihina. Kini Cassandra. Bagaimana jika Cassandra dan Shella yang mendengar? Jika pun memang benar ayah kandung Cassandra adalah seorang supir angkot, tidak ada yang salah. Toh itu pekerjaan yang halal. Namun, sanggahan itu hanya terucap di dalam hati Alea. Tidak terucap di hadapan Bianca. Gadis itu memilih diam dan mengiyakan perintah Bianca. "Iya, Ma. Insya Allah nanti aku sampaikan. Kalau enggak ada yang dibicarakan, aku mau ke kamar dulu.""Iya, Nak. Belajar yang rajin supaya kelak kamu mendapatkan suami yang setara kedudukannya dengan keluarga Bragastara."Alea hanya tersenyum tipis tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Lalu meninggalkan Bianca sendirian di ruang tamu. Benar kata Axel, lama-lama sikap Bianca sangat memuakkan. Baru masuk ke dalam kamar, terdengar suara nada dering handphone miliknya. Alea meli
"Apa, Kak?" Alea terperanjat mendengar kejujuran Axel. "Jadi, Kakak enggak fokus dengerin cerita kak Sandra karena dia terlalu cantik dan terlalu seksi di mata Kakak? Begitu bukan?"Axel menghela napas berat, menurunkan kedua pundak. "Iya.""Wah, jangan-jangan Kakak juga cinta sama kak Sandra, ya?" Alea langsung menyimpulkan demikian. Axel sekarang tak bisa berkelit lagi. Tidak mungkin dia berbohong pada Alea. "Kamu jangan bilang ke orang lain apalagi ke Kak Sandra. Udah diem dulu!" titah Axel takut kalau Cassandra tak punya perasaan cinta seperti dirinya. Alea tersenyum manis, mendengar ungkapan cinta Axel pada Cassandra. Alea tidak menyangka jika Axel juga jatuh cinta pada Cassandra. Ahay, lucu sekali. Ternyata mereka diam-diam saling mencintai. "Kalau emang Kakak cinta sama kak Sandra, kenapa enggak diungkapin aja?"Obrolan si kembar semakin panjang. Tapi, membuat Axel bernapas lega. Paling tidak, dia dapat menceritakan permasalahnnya pada Alea tanpa menunggu Gilang pulang ke kos
Haifa menggelengkan kepala. Ia benar-benar tak tahu kemana perginya ibu Ros. "Kalau kata kak Nifa, mungkin mama tinggal di rumah lainnya. Mungkin sebenarnya diam-diam mama punya rumah lain soalnya kan dulu Mbak sering kasih uang ke mama," kata Haifa, teringat ucapan kakak kaduanya. Nida menghela napas berat. "Ya semoga saja. Mama kamu kan udah tua, Fa. Kasihan kalau hidupnya luntang-lantung. Kemarin itu, kata Kak Bianca, mama kamu sempat datang ke kantor, nyariin Mbak. Cuma kak Bian enggak kasih alamat tempat proyek kerjaku. Aku sekarang kerja di dalam kantor dan di lapangan," ujar Nida mengingat cerita yang disampaikan Bianca kemarin sore saat ia pulang dari proyek."Mungkin aja, Mbak. Soalnya kemarin itu mama dan mbak Nifa sempat bertengkar hebat. Mereka adu mulut bahkan kata Mbak Nifa, dia sampai mengobrak-abrik pakaian mama di lemari."Gerakan tangan Nida yang hendak menyuap roti tawar terhenti. Menatap lekat mantan adik iparnya. "Obrak-abrik pakaian mama? Mau ngapain?" tanya N
Pagi hari, Rina terkejut dengan anak kecil yang keluar dari kamar tamu. "Hei, kamu siapa, tampan? Mau cari siapa?" tanya Rina pada Rafa yang berdiri di dinding pembatas dapur dan ruang makan. Tina yang sedang mencuci piring menoleh pada anaknya. Rina membungkukkan badan di depan anak berusia sekitar lima tahunan. "Aku lapel, Ante ...." Jawaban bocah yang masih cadel itu membuat Tina dan Rina tersenyum. Rina dengan penuh kasih sayang menggendong Rafa, mendudukkan di atas kursi dapur. "Bu, apakah anak ini anaknya Mbak Haifa yang semalam Ibu ceritain?" tanya Rina setengah berbisik pada wanita yang telah melahirkannya. "Iya, Nak. Kamu buatin dia susu dulu. Ibu mau masak buat sarapannya.""Iya, Bu. Sebentar ya, Adek. Ante bikinin susu yang enaaakk sekali. Adek mau?"Dengan cepat, Rafasya menganggukkan kepala. "Mau, Ante."Walaupun baru mengenal dan bertemu dengan Rafasya tapi Rina sangat mudah membuat anak kecil itu merasa nyaman di dekatnya. ""Ya Tuhan, Rafa! Mama kira kamu kemana?"
"Maksud Friska bukan ngejadiin kamu pembantu, Nifa," ralat Hanif, khawatir kemarahan adiknya itu meledak malam-malam. Walau sebetulnya maksud Friska memang demikian. Sampai jam sebelas malam Hanif tak bisa tidur karena memikirkan pesan Friska untuk Hanifa. "Bukan jadi pembantu gimana?" tentang Hanifa melipat kedua tangan di depan dada. "Udah jelas, dia nyuruh aku bantuin Mbok Tarmi masak dan beres-beres rumah. Kalau bukan pembantu terus apa? Asisten rumah tangga? Sama aja, Mas!" tukas Hanifa sengit. Hanif panik dengan intonasi suara Hanifa yang meninggi. Dia menempelkan jari telunjuk di depan bibirnya agar Hanifa dapat bicara pelan, tidak berisik. Sesekali Hanif melongok ke atas, memastikan jika istrinya tidak keluar kamar. "Bicaramu pelan aja, Nifa. Nanti kalau Friska bangun, bisa ribut tengah malam," tegur Hanif pada adik pertamanya. Muka Hanifa melengos ke arah lain. Ia benar-benar tak suka dengan Friska yang sombong itu. "Masih untung, Friska mau menerimamu tinggal di rumah i
"Mbak, tadi aku bilang ke mas Rangga kalau kami akan menunggunya di halte. Duh, Mbak. Gimana kalau dia ....""Astaghfirullahalazhim, Haifa," sela Nida saat adik kandung Hanif itu masih saja mencemaskan suami yang sudah berulang kali mengkhianati cintanya. "Haifa, kamu masih mencemaskan laki-laki itu? Bukankah dia udah berulang kali selingkuh?"Sungguh, Nida tak habis pikir pada Haifa. Dia tahu betul kalau Rangga sudah berulang kali berselingkuh bahkan ada yang sudah punya anak. Namun, Haifa benar-benar dibutakan oleh cintanya pada Rangga. "Maaf, Mbak. Kata mas Rangga, dia mau berubah." Suara Haifa terdengar pelan, namun masih bisa terdengar di telinga Nida. Nida memijat pelipis. Ia baru satu kali diselingkuhi Hanif saja, sangat jijik jika harus menjalin rumah tangga lagi. Ini Haifa, sudah berulang kali bahkan Rangga terang-terangan telah menghamili wanita lain. "Berubah apanya? Kamu tau enggak, sekarang suamimu ada di mana?" tanya Nida menoleh sekilas pada adik Hanif itu. Ya sebetu
Hati Haifa begitu sakit, ditelantarkan oleh kakak kandungnya sendiri. Padahal saat ini selain sang suami, Hanifa-lah yang dijadikan Haifa bergantung. Mendengar pertanyaan anaknya, Haifa agak berjongkok, membelai wajah Rafasya. "Nak, kita akan tinggal di tempat baru. Kita tunggu papa datang dulu, ya? Sekarang kita duduk di situ." Haifa mengajak anak semata wayangnya duduk di kursi panjang halte bus. Ia berusaha menahan air mata. Tidak ada tempat baginya untuk berlindung selain pada Rangga. Haifa mencoba menghubungi lelaki yang tengah asik minum-minuman bersama wanita lain. Gelak tawa Rangga terhenti mendengar handphone-nya kembali berdering. Lelaki tukang selingkuh itu memberi isyarat pada dua wanita paenghibur agar tidak bersuara. Suara musik juga di-mute. "Udah dapat tempat tinggal yang baru?" tanya Rangga tanpa basa-basi. Haifa merunduk, menghela napas berat, berusaha tetap tegar. "Be-belum. Mas, bisa enggak ke sini dulu? Aku dan Rafa di halte dekat lokasi proyek. Nanti aku share
"Mbak, emangnya Mbak jarang setor ke Bank?" cecar Haifa yang berjalan di belakang kakaknya. "Enggak. Mbak kan enggak ada uang, Fa.""Tapi, kan ... tiap bulan Mbak Nida kasih kita uang, Mbak. Baru bulan ini dia enggak kasih uang. Harusnya uang dari Mbak Nida sebagian buat setor ke Bank. Kenapa sih Mbak ceroboh banget? Udah begini, kita mau tinggal di mana, Mbak?""Diam!" sentak Hanifa tak terima diingatkan adiknya. Haifa terkejut, menelan saliva. Tubuhnya seketika menegang. "Jangan banyak omong. Sekarang cepat kemasi pakaianmu! Kita harus pergi dari sini.""Ma, kita pergi kemana?"Pertanyaan anaknya tak dihiraukan Hanifa. Anak kedua ibu Ros itu tampak kebingungan. Hanifa masuk ke dalam kamar, begitu pula Haifa. Mereka bergegas mengemasi pakaian ke dalam koper. Hampir lima belas menit, kakak beradik serta anak-anaknya keluar rumah. Membawa dua koper. Satu koper berisi pakaiannya dan satu koper lagi berisi pakaian anak-anak. Langkah kaki Haifa terhenti. Ia berbelok masuk ke dalam kamar
"Enggak ...." Tentu saja ibu Ros berkilah akan tuduhan Bianca. "Enggak minta uang. Tante juga tau diri, Bianca. Sekarang kan Nida bukan menantu Tante lagi," sambung ibu Ros tersenyum kaku. Bianca tak sepenuhnya percaya. Dulu, Nida pernah bercerita jika mertuanya selalu minta uang. "Masa? Sukurlah kalau Tante tau diri. Lah terus, ngapain Tante pengen ketemu sama Nida?" Bianca penasaran. Bertanya lagi tentang alasan ibu Ros yang tiba-tiba datang ke kantor. Ibu Ros sempat salah tingkah namun ia berusaha menguasai dirinya agar tidak terlihat gugup di depan Bianca yang tak lain saudara Nida. "Tante pengen ketemu dia mau nanyain kapan jadwal sidang perceraiannya. Tante mau datang," ujar ibu Ros tersenyum kaku. "Kenapa nanyainnya ke Nida? Kenapa enggak tanya sama anak Tante yang tukang selingkuh itu?" sindir Bianca yang tak ingin pergi meninggalkan ibu Ros. Dari dulu, Bianca tak suka dengan wanita yang telah melahirkan Hanif. Bianca masih ingat betul saat dirinya berkunjung ke
"Apa? Mama enggak punya uang? Aku enggak percaya!" tandas Hanifa pada wanita yang telah melahirkannya. Ibu Ros tampak tak peduli, apakah Hanifa akan percaya padanya atau tidak? Ia juga tidak mau dipusingkan dengan urusan kebutuhan rumah tangga kedua anaknya. Selama ini, ibu Ros memang terlalu memanjakan Hanifa dan Haifa. Membiarkan mereka tinggal satu atap tanpa menyuruh suami-suami mereka mencari tempat tinggal lainnya. "Kalau kamu enggak percaya, ya sudah. Mama juga enggak maksa kamu buat percaya pada Mama," kata ibu Ros berusaha bersikap sesantai mungkin. Mendengar ucapan sang mama, Hanifa semakin emosi dan geram. Ia lantas membuka kembali lemari pakaian ibu Ros. Mengobrak-abrik pakaian yang sudah tersusun rapi. "Nifa, apa yang kamu lakukan? Kenapa pakaian Mama kamu obrak-abrik? Berhenti, Nifaaa! Berhentiiiii!" teriak ibu Ros. Amarahnya yang ditahan, keluar juga. Ia menarik kasar lengan anak keduanya agar menjauh dari lemari pakaian. Hanifa geram, wajahnya memerah karena marah."
"Argh, sial! Sial! Sial!" maki Hanifa di dalam kamar setelah Nida mematikan sambungan telepon. Hanifa sengaja menghubungi Nida setelah suaminya berangkat kerja. Hanifa benar-benar tak menyangka jika Nida tidak memberikan pinjaman uang lagi padanya. Ditambah Nida langsung mematikan sambungan telepon tanpa ingin mendengarkan tanggapannya. Penuh emosi, Hanifa mengetik pesan untuk mantak kakak iparnya itu. "Mbak jangan sombong! Enggak usah sok mengikhlaskan uang pinjamanku. Kalau suamiku udah gajian, aku akan bayar utang Mbak itu!"Setelah mengirim pesan yang ceklisnya belum berubah, Hanifa keluar kamar. "Mama! Maaaa ... Mama!" Teriakan Hanifa membuat adiknya keluar kamar, berjalan cepat menghampiri. "Ada apa, Mbak? Pagi-pagi udah teriak?" tegur Haifa menatap lekat kakak kandungnya. "Anak-anak udah kamu anterin ke sekolah?""Udah. Dede Haris ada di kamarku. Lagi main sama Rafa. Mbak Nifa kenapa?" tanya Haifa yang tak mengerti dengan sikap Hanifa. Pagi-pagi udah marah-marah. "Mbak be