"Pa Haji, mohon maaf sebelumnya. Bukan saya ingin mengumbar aib bapak sendiri. Tapi, perbuatan dia pada istri saya melebihi perbuatan Ibl1s. Coba Pak Haji pikirkan, menantunya sendiri mau dip3rkos4, Pak Haji!" Penuh luapan emosi, Ferry mengungkapkan perbuatan buruk Darmantyo. Sontak Pak Haji terkejut. "Astaghfirullah ... jadi ...." Pak Haji tak menyangka kalau perbuatan Darmantyo sangat b3jat. "Alhamdulillah, ada warga yang mendengar teriakan istri saya. Belum sempat dia melakukan aksi b3jatnya, warga datang dan menginjak al4t kel3minnya.""Astaghirullahalazhim ... saya bener-bener gak nyangka kalau Pak Dar seperti itu. Kayaknya emang bener, Mas. Kalau Pak Dar sedang dihukum Allah. Baguslah, sekarang burungnya dipotong. Dengan begitu, dia gak akan berbuat j4hat lagi." Pak Haji ikutan geram mendengar cerita yang disampaikan Ferry tentang kelakuan b3j4t Darmantyo. "Memangnya Pak Haji disuruh apa ama dia sampai mencari saya?" "Dia nyuruh Mas Ferry menjenguknya. Kalau masalah administ
"Nida, kamu kan gak bawa baju ganti. Nanti kalau mau ganti baju, mau pake baju Evan?" celetuk Bianca pada Nida yang sudah berdiri di dekat Gita, Yuda dan Evan. Dia masih tidak ingin kalau Nida tinggal satu rumah dengan Gita. Bianca belum seratus persen percaya kalau Gita sikapnya berubah. Nida cemberut, baru ingat kalau dirinya belum bawa baju ganti. "Udah gak apa-apa, nanti Om suruh Pak Joko yang nganterin ke sini."Senyum Nida langsung sumringah, hatinya sangat bahagia karena Daniel menyetujui dirinya menginap di rumah Yuda. "Makasih banyak, Om.""Iya, sama-sama. Ibu Gita, saya titip keponakan saya," kata Daniel tegas. Gita mengulas senyum tipis, menganggukkan kepala seraya berucap, "Iya, Pak Daniel. Saya akan menjaga Nida seperti anak saya sendiri," ucap Gita berusaha meyakinkan Daniel dan yang lainnya. Namun tidak bagi Bianca. Gadis itu masih tidak percaya dengan calon ibu mertuanya. "Baik, terima kasih. Kami pamit pulang, assalamualaikum.""Waalaikumsalam."****"Pah, kenap
"Enggak apa-apa, Nida. Mamah terima kok kalau emang itu terjadi. Ya udah, Mamah dan Papahmu mau masuk kamar dulu. Kamu juga harus istirahat ya. Kamarmu di atas," ucap Gita sebelum meninggalkan Nida yang duduk di kursi meja makan. "Iya, Mah.""Nida, Papah mau istirahat dulu.""Iya, Pah."Nida menarik napas panjang melihat kedua orang itu pergi meninggalkannya. Nida pikir, malam ini mereka akan berbincang banyak hal. Kehangatan sebuah keluarga. Ternyata baru jam delapan malam saja, Yuda dan Gita sudah masuk ke dalam kamar. Tinggallah Nida dan Evan yang masih di ruang makan. "Nida, tadi Bianca telepon aku. Katanya kamu betah gak di sini? Aku bilang, kamu betah. Benar 'kan?" Evan sengaja membiacarakan hal lain sebab ia tahu kalau Nida pasti bersedih melihat kedua orang tuanya masuk ke dalam kamar. "Betah dong, Kak. Ya udah, Kak ... aku masuk kamar duluan ya?""Iya. Met istirahat, Nida.""Kak Evan juga."Nida meninggalkan Evan seorang diri. Nida menaiki anak tangga yang menghubungkan k
Tubuh Nida gemetar dibentak Yuda. Tak menyangka kalau Yuda tidak mempercayai ucapannya. Hati Nida seketika remuk. Airmata tak bisa dibendung lagi, membasahi wajah gadis belasan tahun itu. Jika boleh jujur, Nida juga sebenarnya tidak percaya kalau Gita yang masuk ke kamar dan membekap mulutnya dengan bantal. Tetapi, pakaian yang dikenakan Gita sama persis dengan pakaian yang dikenakan orang itu. Begitu pula wajahnya, sangat mirip dengan wajahnya. Hanya saja, kenapa orang itu bisa berjalan sedangkan Gita masih lumpuh? "Ya Allah, sebenarnya siapa orang yang masuk kamar ini? Siapa yang membekap wajahku? Aku sangat yakin dia adalah tante Gita tapi nyatanya, tante Gita belum bisa jalan." Hati Nida terus bertanya-tanya. Dia bingung dan bersedih kenapa mesti terjadi masalah ini padanya? Seketika, Nida ingin pergi dari rumah ini. Hati Nida sangat kecewa karena Yuda telah membentak dan tidak percaya padanya. Nida bangkit dari tempat tidur. Mengemasi pakaian. Ia ingin pergi malam ini juga. Te
Pagi hari, seperti biasa keluarga Yuda berkumpul di ruang meja makan. Mereka hendak sarapan. Yuda menoleh kanan dan kiri, mencari keberadaan Nida. "Cari apa, Mas?" tanya Gita merasa heran dengan sikap suaminya yang tengok kanan dan kiri. "Nida belum bangun?" Yuda justru bertanya balik. "Oh mungkin, dia masih tidur atau mungkin masih kesal sama kita, Mas. Soalnya kan ...." Gita menggantung kalimat. Evan yang tidak tahu menahu kejadian semalam mengkerutkan kening. "Soalnya apa, Mah?" Evan bertanya bingung. Yuda menghela napas berat, menoleh pada Gita."Semalam itu, Nida menuduh Mamahmu masuk ke dalam kamarnya lewat balkon kamar. Nida juga bilang, katanya wajah dia disekap oleh seseorang. Nah terus, Nida bilang ... orang itu Mamahmu, Van," ujar Yuda apda anak lelakinya. Gita tidak bicara, ia ingin Yuda yang bicara langsung pada Evan. "Maksudnya Nida, mamah ke kamar dia lewat pintu balkon kamarnya dan ... membekap wajah dia?" Evan memperjelas cerita papahnya. Gita menganggukkan kepa
"Gita, jawab dengan jujur. Kenapa kamu diam saja? Apa benar yang dikatakan Nida kalau kamu ---""Mas ...," sela Gita menoleh pada Yuda dan menatapnya lekat. "Apa kamu gak lihat kondisi kakiku?"Yulia yang terkejut melihat reaksi kedua majikannya, izin permisi pergi meninggalkan ruang makan. Evan menghela napas, tidak ingin menyela perbincangan antara Yuda dan Gita. "Ya tapi, kenapa perhiasan gelang ini ada di balkon kamar Nida?""Mungkin dia mencurinya!" tandas Gita cepat. Dia tidak mungkin mengakui perbuatannya. Evan yang mendengar tuduhan Gita langsung membeliakkan kedua mata dan duduk dengan tegak. "Mah, jangan nuduh Nida sembarangan! Aku rasa gak mungkin kalau Nida mengambil perhiasan Mamah." Evan sontak membela Nida. "Nida aja nuduh Mamah masuk ke dalam kamarnya, Van!" Gita melotot, membela diri dari ucapan Evan. Evan jadi bingung sendiri. Bingung, apakah yang benar adalah Gita atau justru Nida. "Kalau emang Nida gak ngambil perhiasan Mamah, Nida gak nuduh Mamah masuk ke da
Bianca terhenyak, baru ingat kalau Nida punya nomor handphone. "Aduh aku sampe lupa telepon dia. Sebentar!"Daniel tak bicara apa-apa. Ia hanya menyesali keputusannya mengizinkan Nida tinggal di rumah Yuda. "Ya Allah, hapenya malah gak aktif, Mih!"Kedua pundak Daniel menurun. Pikirannya mulai kacau. Ingin mencari keberadaan Nida, tapi dia tidak mau meninggalkan Namira di rumah ini tanpanya. Kalau Namira diajak mencari keberadaan Nida, Daniel takut kalau istrinya itu kelelahan. "Ya udah, kita tunggu Evan aja dulu. Semoga saja Nida baik-baik saja di manapun ia berada."Tidak berselang lama, terdengar suara bel. Bianca bergegas ke depan, menghalau langkah kaki Bi Rusmi yang hendak membukakan pintu. Namira dan Daniel pun beranjak. Menyusul Bianca yang berjalan cepat ke depan. "Van, kenapa Nida kabur dari rumah kamu, heuh?" tanya Bianca penuh emosi ketika membuka pintu rumah. Evan yang berdiri di ambang pintu terlihat kebingungan. "Bianca, biarkan Evan masuk dulu. Suruh dia duduk d
"Kamu kok gitu, Bi? Kenapa hubungan kita jadi kebawa-bawa? Ini kan masalah Nida," tandas Evan tak mau kalau hubungan asmaranya disangkutpautkan dengan masalah Nida. "Nida itu saudaraku, Van. Aku gak mau ya, nantinya Nida dij4hati terus sama mamahmu. Kemarin aku udah bilang ke kamu, jagain Nida! Mana hasilnya? Tetap aja kamu gak bisa. Pah, aku pamit. Mau cari Nida sama Pak Joko!"Tanpa menunggu tanggapan Daniel, Namira dan Evan, Bianca pergi meninggalkan mereka. Daniel pun tak bisa mencegah. Evan ingin mengejar Bianca tapi dia tahu, harus pergi bekerja. Seketika keheningan menyergap. Daniel terdiam, merundukkan kepala. Tidak tahu harus bagaimana. "Pak Daniel, saya benar-benar minta maaf enggak bisa jagain Nida. Saya minta maaf, Pak," ungkap Evan menyesali dirinya. Daniel memejamkan kedua mata, berusaha menenangkan hati dan pikirannya. Melihat suaminya diam saja, Namira menyentuh lengan Daniel. Lelaki itu pun membuka kedua mata. Berdehem, dan mengubah posisi duduk. Lalu, menatap lek
Alea terdiam, tidak langsung menanggapi rintihan wanita yang selama ini telah dianggap ibu kandungnya sendiri. "Ma, sudah, Ma ... jangan nangis ya? Seharian ini Mama nangis terus. Nanti Mama sakit ...." ucap Alea berusaha menenangkan Bianca. Istri Evan itu menggelengkan kepala berulang kali. Sekarang Bianca telah menyesal karena telah membohongi kedua adiknya belasan tahun lamanya. Selama ini, Bianca dan Evan selalu menanamkan sifat jujur pada si kembar. Namun, dia sendiri yang tidak jujur pada mereka. Bianca merasa sangat jahat pada Axel dan Alea. Bianca meraih salah satu telapak tangan Alea, menggenggamnya erat. "Alea, maafkan Mama, Nak ... maafin Mama ... Mama udah jahat sama kamu. Udah bohongi kamu dan Axel. Maafin Mama, Lea ...." Sangat sungguh-sungguh Bianca mengucapkan kata maaf. Tampaknya Bianca sangat menyesal dan bersedih karena telah merahasiakan kedua orang tua kandung Axel dan Alea. "Jangan minta maaf terus, Ma ... Aku dan Kak Axel udah maafin Mama. Udah ya, Ma? Janga
"Kamu benar, Xel. Apapun alasan Mbak Bian dan Mas Evan merahasiakan kedua orang tua kalian, tetap salah. Tapi, kamu juga jangan marah lama-lama. Coba kamu tanyakan baik-baik pada mereka, apa alasannya?" Gilang tak mau terlalu banyak menanggapi cerita yang disampaikan Axel. Ia tak mau, kalau dianggap ikut campur atau memihak ke salah satu keluarga itu. "Enggak tau, Bang. Jujur saja, aku masih kecewa. Masih enggak nyangka aja kalau mereka tega sama mama dan papaku. Misalnya mama Bianca membenci mamaku, kenapa pula dia sayang aku dan Alea?"Berbagai tanya diucapkan Axel. Benar-benar bingung dengan alasan Bianca dan Evan merahasiakan kedua orang tua kandung Axel dan Alea. "Ya sudah enggak usah kamu pikirkan dulu. Sekarang lebih baik kamu tenangkan hati dan pikiran.""Iya, Bang."Handphone milik Gilang tiba-tiba berdering. Lelaki itu merogoh saku celana, lalu terlihat nama kontak yang tertera di layar ponsel. Panggilan dari Alea. Gilang tak langsung mengangkat panggilan telepon itu, me
Nida menganggukkan kepala, mendengar tanggapan ibu mertua. "Iya, silakan saja Mama bicara dulu sama Mas Hanif. Maaf, Ma. Aku mau istirahat dulu. Apa masih ada yang mau Mama bicarakan?" Kalau saja tidak menghormati suaminya, Nida sudah ingin memarahi ibu Ros. "Enggak ada. Mama juga mau istirahat." Ibu Ros pergi lebih dulu, meninggalkan Nida yang masih duduk terpaku di ruang makan. Kepergian Ibu Ros dari ruangan itu, membuat Nida tercenung. Nida tak dapat menahan tangisan. Dalam keheningan, ia menangis tersedu-sedu. Nida juga ingin memiliki anak. Nida juga ingin merasakan hamil. Tapi, dia tidak memaksa Tuhan untuk memberinya keturunan. Nida selalu yakin, Tuhan lebih tahu, waktu dan saat yang tepat memiliki buah hati. Dengan kasar, Nida menyeka lelehan air mata. Ia beranjak, membersihkan piring kotor. Setelahnya, masuk ke dalam kamar. Baru saja menutup pintu kamar, terdengar suara dering handphone. Nida tahu, itu adalah suaminya. Nida berjalan menghampiri handphone y
Nida terkejut bukan main mendengar permohonan ibu Ros yang tak lain ibu mertuanya. Kedua mata Nida nyalang menatap wanita yang telah melahirkan suaminya. Sungguh, sedikitpun ia tak menyangka jika ibu Ros memintanya untuk mengizinkan Hanif menikah lagi.Sadar dari rasa terkejut, Nida menarik napas panjang. Ia tak boleh tersulut emosi. Jika sampai Nida memarahi ibu Ros, wanita itu pasti mengadu berlebihan pada Hanif."Oh, jadi Mama ingin aku izinin Mas Hanif nikah lagi? Supaya Mama dapat cucu dari istri barunya nanti? Begitu?" Nida sengaja mengulang keinginan ibu Ros dengan sikap yang santai. Ia juga melanjutkan suapan makan malamnya. Ibu Ros mengembuskan napas melihat ketenangan sikap Nida. "Iya begitu. Ya habis mau gimana lagi? Kamu juga sadar kan, enggak bisa kasih Hanif anak? Iya 'kan?"Yang salah tingkah bukan Nida, justru ibu Ros. Nida manggut-manggut sembari meneguk segelas air di dalam gelas hingga tandas. "Jujur ya, Ma. Sebenarnya aku enggak mau dipoligami. Enggak mau kala
Di dalam kamar, Nida berdiri di depan pintu. Kedua matanya terpejam, mulutnya mengucapkan istighfar berulang kali. Terkadang Nida sangat bersedih jika mengingat tak juga diberi buah hati. Berbagai cara telah Nida lakukan bahkan ia sempat menawarkan pada Hanif agar melakukan program bayi tabung tapi Hanif tak setuju. "Program bayi tabung itu mahal, Dek.""Tapi aku ada uangnya, Mas. Aku kan kerja. Uang hasil aku kerja kan jarang dipake." "Kamu menganggap Mas enggak punya uang? Kamu merendahkan Mas? Mas emang bukan pengusaha seperti keluargamu, tapi uang PNS yang Mas dapatkan sudah lebih dari cukup. Sudahlah, enggak usah melakukan program bayi tabung. Kalau sudah waktunya, nanti juga kita dikasih anak."Begitulah perdebatan Nida dengan suaminya suatu waktu. Setelah itu, Nida tak mengusulkan apa-apa lagi. Lebih memilih diam dan menerima hinaan dan makian dari keluarga Hanif terutama ibunya. Beruntung, Nida tipikal wanita bodo amatan. Terpenting baginya, Hanif mencintainya dengan tulus d
Sungguh, perkataan ibu Ros sangat menyinggung hati Nida. Wanita itu menatap tajam mertuanya. "Terserah Mama. Mau makan lauk nasi ini atau mau nunggu aku yang masak tapi aku mandi dulu!" Sangat ketus, Nida berkata.Selama ini, dia sudah berusaha sangat sabar menghadapi mulut ibu mertua yang luar biasa pedasnya. Kerap kali Nida dikatakan mandul pada keluarga Hanif. Hal yang paling tidak disukai Nida, mereka sering kali berkata, "Kayaknya Mbak Nida enggak punya anak karena emang keturunan. Buktinya Mbak Bianca juga enggak punya keturunan."Jika saja karena tidak menghargai suaminya, Nida udah menampar wajah kedua adik iparnya itu. "Dasar menantu enggak tau diri! Harusnya dulu Hanif nikah sama ibu guru Marisa saja bukan nikah sama dia! Menyebalkan! Huh! Aku harus menelepon Hanif. Harus aku adukan sikap istri kurang ajarnya itu!" cetus Ibu Ros mengeluarkan handphone dari saku gamis yang dikenakan. Tidak berselang lama, panggilan telepon ibu Ros diangkat anak sulungnya. "Assalamualaikum
"Dari mana, Pa?" tanya Bianca ketika Evan datang ke ruang makan. Sebelumnya Bianca melihat Evan ke depan rumah. "Dari depan," jawab Evan singkat. Ia melihat raut wajah ceria pada Bianca. Mungkin karena sikap Alea yang sudah biasa-biasa lagi. Seperti tidak ada yang terjadi. Tidak berselang lama, Alea datang dengan senyum tipis. Ia menyapa Bianca dan Evan seperti biasa. Alea sangat berusaha agar tidak ada yang berubah. Ia merasa sangat bahagia dengan kehidupannya. Dengan peran Bianca dan Evan yang mengaku sebagai kedua orang tua. "Lea, Axel mana? Apa dia belum selesai mandi?" tanya Bianca, menatap lekat adiknya yang sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik. "Ma, Axel tadi keluar rumah. Mungkin dia hanya pergi sebentar. Lebih baik kita makan duluan saja." Evan yang menjawab. Mengetahui kalau Alea tampak kebingungan menjawab pertanyaan Bianca, wanita yang dianggap ibu selama ini. Raut wajah Bianca yang sebelumnya ceria, kini berubah muram. Ia menelan saliva, kembali bersedih. Kepalanya
"Brisik! Minggir! Kalau kamu enggak mau ikut, enggak apa-apa." Axel mendorong adiknya agar menyingkir dari hadapan. Anak lelaki itu telah selesai mengemasi pakaian dan barang-barang ke dalam koper. Figura foto yang ada di tangan Alea, tak diambil. Dengan langkah cepat, Axel keluar kamar, menuruni anak tangga."Axel!" Panggilan Evan membuat langkah kaki Axel terhenti. Evan berjalan cepat menghampiri Axel yang selama ini dianggap anak olehnya. "Kamu mau kemana?" tanya Evan saat berdiri di depan Axel. Kembaran Alea itu tak langsung menjawab, ia terdiam sesaat. Melihat sikap Axel, Evan sudah dapat menerka jika Axel belum mengetahui kemana arah perginya. "Papa enggak akan melarangmu pergi. Tapi, kalau kamu mau, tinggal saja di apartemen Papa. Dan Papa harap, kamu enggak putus sekolah." Sebisa mungkin Evan bicara baik-baik pada Axel. "Terima kasih atas tawarannya tapi aku rasa enggak perlu. Masalah sekolah, enggak perlu khawatir. Aku akan tetap sekolah sampai selesai. Aku pamit."Hanya
Kendaraan yang ditumpangi Axel dan Alea telah memasuki halaman rumah keluarga Bragastara. Rumah yang selama ini menjadi saksi kebahagiaan Axel dan Alea memiliki kedua orang tua seperti Bianca dan Evan.Mesin mobil telah dimatikan, tapi Axel tetap bergeming. Pandangannya nanar pada rumah mewah nan megah itu. Benak Axel masih bertanya, kenapa Bianca begitu tega menyembunyikan kenyataan tentang siapa kedua orang tuanya? Apakah kedua orang tua Axel melakukan kesalahan sehingga Bianca begitu membenci mereka? Sehingga mereka tega tidak memberitahu kenyataan itu?"Mau turun dulu enggak, Kak?" Pertanyaan Alea menyentak lamunan lelaki yang berkulit putih, bermata agak sipit dan memiliki tinggi badan sekitar 178 cm itu. "Ya. Aku mau ngambil barang-barang dan pakaian dulu.""Kak, coba pikirin lagi. Jangan kebawa emosi. Coba berpikir positif," tegur Alea mengingatkan keputusan Axel yang ingin pergi dari rumah. Axel tak menanggapi, ia membuka pintu mobil, lalu berjalan lebih dulu ke pintu depan.