Kini, Gita sudah berada di ruang darurat rumah sakit. Nida sudah menghubungi Bianca agar memberitahu Evan kalau ibunya mengalami kecelakaan. Menyuruh Bianca dan Evan langsung datang ke rumah sakit untuk menemui Gita. Sebab, Nida tidak menyimpan nomor handphone Evan, maka ia menghubungi Bianca lebih dulu. "Pak Joko, Papah Yuda dikasih tau gak, ya?" tanya Nida pada lelaki yang duduk menemaninya sedari tadi. Seragam sekolah Nida penuh dengan d4rah Gita karena sempat mengangkat tubuh wanita itu menyingkir dari kendaraan. "Maaf, Non. Pak Joko juga enggak tau. Tapi, sebaiknya Mas Evan saja yang memberitahu Pak Yuda."Nida menganggukkan kepala. Ia urung memberitahu Yuda perihal Gita yang mengalami kecelakaan dan sekarang keadaannya tengah kritis. Tidak berselang lama, Evan dan Bianca datang. Pada saat Nida menghubungi Bianca, mereka sedang perjalanan pulang. "Nida, bagaimana keadaan mamahku?" tanya Evan sangat mencemaskan keadaan wanita yang telah melahirkannya. "Aku belum tau, Kak. Dar
"Astaghfirullah, serius, Kak? Kakak gak salah denger 'kan?" Nida tampak tak percaya mendengar kondisi Gita saat ini. Baru tadi siang Gita menemuinya. Gita sempat mengucapkan kalimat seperti ancaman. Namun, sekarang Gita sudah tidak berdaya. Dia tergolek lemah, tidak sadarkan diri. Masih mengalami koma. "Enggak, Nida. Dokter sendiri yang bilang."Hati Nida langsung mencelos. Antara kasihan dan ... entahlah. "Pantesan tadi ... kepalanya banyak mengeluarkan darah, Kak.""Kita doakan saja semoga Tante Gita cepat sadar dari komanya, cepet sembuh lagi."Nida yang mendengar ucapan Bianca meringis. Bingung, mau diaminkan atau tidak. Nida hanya khawatir kalau nanti Gita udah sembuh, akan berbuat j4hat lagi. "Eh, kamu kok bukannya diaminin malah bengong?" senggol Bianca pada gadis yang duduk di kelas tiga SMA itu. Nida tersenyum simpul, lalu menoleh pada Evan dan berbisik di telinga Bianca. "Aku takut kalau diaminkan, nanti tante Gita jahat lagi. Mending doanya diganti aja sih, Kak ...." k
"Van, gimana keadaan mamahmu?" tanya Yuda, begitu sampai di rumah sakit pukul sebelas malam. Evan memeluk tubuh papahnya. Ia menangis tersedu-sedu. Meskipun Gita sikapnya beberapa hari berubah, tetapi sebelumnya Gita sosok ibu yang baik, penyayang dan perhatian pada anaknya. "Ma-Mamah mengalami pendarahan otak, Pah." Jawaban Evan terdengar bergetar. Yuda melepas pelukan. Mengajak Evan duduk di kursi tunggu. Tubuh Yuda sangat pegal melakukan perjalanan yang sangat jauh. Beruntung, masalah di Surabaya cepat selesai. Anak pemilik tanah itu langsung menyetujui harga tambahan yang diajukan Daniel hingga masalah mereka langsung terselesaikan. "Van, Papah ingin menemui mamahmu dulu.""Iya, Pah."Dengan langkah gontai, Yuda menuju ruangan ICU Gita. Wanita itu sedari tadi belum sadarkan diri. Yuda membuka pintu ruangan, menatap sendu seorang wanita yang berbaring di ranjang pasien. "Gita, kamu kenapa begini?" tanya Yuda menggenggam telapak tangan istrinya. Ia benar-benar tidak menyangka ka
Namira menghentikan gerakan tangan, menoleh ke belakang. "Kepikiran gimana?" tanya Namira memandang wajah Nida. "Kepikiran kalau dia udah sadarkan diri. Bagaimana jadinya kalau tante Gita misalnya mengalami kelumpuhan atau terkena stroke?" gumam Nida pada wanita yang tengah mengandung benih Daniel. Namira sudah menghangatkan lauk pauk dan menata di atas meja makan. Dibantu Nida yang membawakan beberapa lauk pauk yang hangat. "Kamu doakan saja, semoga Tante Gita cepet sehat lagi. Enggak usah mikir ke arah sana," ujar Namira pada gadis yang duduk di sebelahnya. "Aku kok jadi mikir, apa ini teguran untuk tante Gita ya, Kak?" tanya Nida yang merasa miris akan kondisi Gita saat ini. Namira menggelengkan kepala. "Aku gak tau, Nida. Bisa aja sih. Kita berdoa yang baik-baik aja untuk tante Gita." Namira tidak ingin berkata buruk tentang orang yang sedang mengalami koma walaupun Gita pernah berbuat buruk padanya dan pada Nida. "Kak, emang Om Daniel mau melaporkan kasus ini ke polisi?" t
"Bu, minum obatnya dulu, ya? Kalau Mas Ferry tau, Ibu gak pernah mau minum obat lagi, nanti marah sama saya," bujuk Tina entah sudah keberapa kalinya. Gauri benar-benar hilang semangat. Tina semakin mencemaskan keadaannya. Sejak pulang dari pengadilan, mereka memang ke rumah sakit tapi sejak itu pula Gauri tak mau minum obat. Harapan hidupnya seolah telah padam. Tidak punya semangat dalam diri. Ia merasa kalau tidak ada orang yang perhatian dan peduli lagi padanya kecuali Tina. Tetapi, bagi seorang Gauri, dia selalu merasa tidak ada orang yang peduli lagi. Maksud hati Gauri, ingin diperhatikan Ferry lagi dan ingin dipedulikan Daniel lagi. Sejak di pengadilan itu pula, nomor handphone Daniel sudah tidak dapat dihubungi. Kerinduan yang baru beberapa waktu menyergap hatinya, harus tak terlabuhkan. Saat ini, jika boleh jujur, Gauri amat sangat merindukan Daniel. Hati dan pikirannya telah tersihir oleh pesona seorang pria matang bernama Daniel Bragastara. Di mata Gauri, Daniel semakin tu
Pintu kamar Gauri terbuka, terlihat sosok lelaki berpakaian rapi, berwajah tampan yang sudah siap berangkat kerja. Dia adalah Ferry Darmantyo. Sekarang Ferry kerja di salah satu cafe milik teman kuliahnya."Tina, aku udah mentransfer sejumlah uang gajimu selama tiga bulan. Aku minta maaf, telat bayar," ujar Ferry setelah masuk ke dalam kamar. "Ya Allah, Mas ... padahal gak usah dibayar. Saya ikhlas merawat Ibu. Ibu Gauri udah saya anggap seperti ibu sendiri apalagi sekarang saya hidup cuma sebatang kara. Udah dikasih makan di sini juga, udah makasih banget," ucap Tina apa adanya. Gauri tersenyum bahagia melihat ketulusan yang terpancar dari kedua mata gadis itu. "Ferry, kalau Tina jadi istrimu, kamu gak perlu membayarnya. Menikah saja dengan Tina, Ferry. Toh, Hesti dalam beberapa tahun ada di penjara. Sukur-sukur kamu mau menceraikannya," celetuk Gauri membuat Tina salah tingkah. Wajahnya bersemu merah karena malu. Ia tidak tahu harus menanggapi bagaimana?"Ibu bicara apa sih? Sama
"Astaghfirullah, Ibu ... Ibu kenapa jadi ingin ketemu Pak Daniel terus, Bu ... Istighfar, Bu. Pak Daniel sekarang udah punya istri, istrinya lagi hamil. Masa ibu tega merebut Pak Daniel dari istrinya?" Tina berusaha menasehati Gauri. Ia menimpali permintaan Gauri dengan intonasi suara yang lembut. Tina tidak mau kalau wanita yang telah melahirkan Ferry itu sakit hati dan tersinggung. "Bukan Ibu ingin merebut Daniel. Ibu cuma pengen ketemu, Tina. Ibu juga sadar diri, kalau Daniel gak mungkin mau nikahin Ibu. Apalagi istrinya sangat cantik dan masih muda. Yah ... Ibu juga tau diri, Tina. Tapi ibu sangat ingin ketemu dia. Ibu rindu Daniel, Tina."Gauri juga sebenarnya malu meminta tolong pada Tina. Tapi, rasa rindu dan pesona Daniel membuat hatinya setiap hari terusik, merindukan lelaki itu. Rindu yang menyiksa. "Kalau begitu, Ibu jangan ikuti perasaan yang gak baik. Ibu lupain Pak Daniel, ya? Ibu pasti bisa kok. Sekarang Ibu minum obat, setelah itu Ibu
"Aku juga punya pantun.""Apa tuh pantunnya?" Namira menegakkan tubuhnya, lebih menghadap Daniel, ingin mendengar pantun yang diucapkan suaminya. "Ikan cupang ekornya kebas. Aku sayang kamu tanpa batas.""Cakep ... Wah Mas Ayang sekarang udah pandai bikin pantun ya? Mantap." Namira memuji kebolehan suaminya. Tentu saja, Daniel merasa tersanjung dengan pujian Namira. "Makasih, Sayang. Siapa dulu gurunya?" tanya Daniel tersenyum menggoda. "Emang siapa gurunya?" Namira mendongak, mendekatkan diri pada lelaki yang telah menikahinya itu. "Kamu. Namira Rashid. Sang Guru Pantun. Hahahaah ...." jawab Daniel diiringi gelak tawa. Namira sangat bahagia melihat suaminya tertawa lepas lagi setelah beberapa hari belakangan bergelut dengan masalah yang tak kunjung selesai. "Aduh, Sayang ... perutku sampai sakit karena ketawa tadi. Sebentar, aku mau ke toilet dulu."Daniel beranjak, turun dari tempat tidur, dan berjalan cepat ke dalam toilet kamar. Namira yang duduk di atas tempat tidur memerh
"Enggak ...." Tentu saja ibu Ros berkilah akan tuduhan Bianca. "Enggak minta uang. Tante juga tau diri, Bianca. Sekarang kan Nida bukan menantu Tante lagi," sambung ibu Ros tersenyum kaku. Bianca tak sepenuhnya percaya. Dulu, Nida pernah bercerita jika mertuanya selalu minta uang. "Masa? Sukurlah kalau Tante tau diri. Lah terus, ngapain Tante pengen ketemu sama Nida?" Bianca penasaran. Bertanya lagi tentang alasan ibu Ros yang tiba-tiba datang ke kantor. Ibu Ros sempat salah tingkah namun ia berusaha menguasai dirinya agar tidak terlihat gugup di depan Bianca yang tak lain saudara Nida. "Tante pengen ketemu dia mau nanyain kapan jadwal sidang perceraiannya. Tante mau datang," ujar ibu Ros tersenyum kaku. "Kenapa nanyainnya ke Nida? Kenapa enggak tanya sama anak Tante yang tukang selingkuh itu?" sindir Bianca yang tak ingin pergi meninggalkan ibu Ros. Dari dulu, Bianca tak suka dengan wanita yang telah melahirkan Hanif. Bianca masih ingat betul saat dirinya berkunjung ke rumah Nid
"Apa? Mama enggak punya uang? Aku enggak percaya!" tandas Hanifa pada wanita yang telah melahirkannya. Ibu Ros tampak tak peduli, apakah Hanifa akan percaya padanya atau tidak? Ia juga tidak mau dipusingkan dengan urusan kebutuhan rumah tangga kedua anaknya. Selama ini, ibu Ros memang terlalu memanjakan Hanifa dan Haifa. Membiarkan mereka tinggal satu atap tanpa menyuruh suami-suami mereka mencari tempat tinggal lainnya. "Kalau kamu enggak percaya, ya sudah. Mama juga enggak maksa kamu buat percaya pada Mama," kata ibu Ros berusaha bersikap sesantai mungkin. Mendengar ucapan sang mama, Hanifa semakin emosi dan geram. Ia lantas membuka kembali lemari pakaian ibu Ros. Mengobrak-abrik pakaian yang sudah tersusun rapi. "Nifa, apa yang kamu lakukan? Kenapa pakaian Mama kamu obrak-abrik? Berhenti, Nifaaa! Berhentiiiii!" teriak ibu Ros. Amarahnya yang ditahan, keluar juga. Ia menarik kasar lengan anak keduanya agar menjauh dari lemari pakaian. Hanifa geram, wajahnya memerah karena marah."
"Argh, sial! Sial! Sial!" maki Hanifa di dalam kamar setelah Nida mematikan sambungan telepon. Hanifa sengaja menghubungi Nida setelah suaminya berangkat kerja. Hanifa benar-benar tak menyangka jika Nida tidak memberikan pinjaman uang lagi padanya. Ditambah Nida langsung mematikan sambungan telepon tanpa ingin mendengarkan tanggapannya. Penuh emosi, Hanifa mengetik pesan untuk mantak kakak iparnya itu. "Mbak jangan sombong! Enggak usah sok mengikhlaskan uang pinjamanku. Kalau suamiku udah gajian, aku akan bayar utang Mbak itu!"Setelah mengirim pesan yang ceklisnya belum berubah, Hanifa keluar kamar. "Mama! Maaaa ... Mama!" Teriakan Hanifa membuat adiknya keluar kamar, berjalan cepat menghampiri. "Ada apa, Mbak? Pagi-pagi udah teriak?" tegur Haifa menatap lekat kakak kandungnya. "Anak-anak udah kamu anterin ke sekolah?""Udah. Dede Haris ada di kamarku. Lagi main sama Rafa. Mbak Nifa kenapa?" tanya Haifa yang tak mengerti dengan sikap Hanifa. Pagi-pagi udah marah-marah. "Mbak be
"Ya udah, kamu coba aja telepon mbak Nida. Selama ini kan dia selalu kasih pinjaman walaupun kita enggak pernah bayar," titah Tedi, suami Hanifa. Namun, Hanifa tampak berpikir. Tidak mungkin ia menghubungi Nida malam ini."Mas, besok pagi aja, ya? Soalnya sekarang udah malam. Takut nanti enggak diangkat teleponnya," kilah Hanifa beralasan tak enak hati padahal ia tak mau kalau suaminya tahu jumlah uang yang akan diberikan Nida. "Memangnya besok kamu punya uang? Aku enggak punya uang lagi. Di kantor aja aku minta traktir makan teman terus."Sungguh bohong. Mana ada teman yang mau traktir orang hampir tiap hari? Sebetulnya Tedi punya uang tapi ia akan gunakan untuk berjudi lagi. Lelaki itu masih penasaran dapat menang banyak. "Beruntung kamu, Mas. Punya teman yang baik, yang mau traktir kamu tiap hari," kata Hanifa menimpali kebohongan sang suami. "Emang mamamu enggak punya uang lagi? Biasanya dia banyak uangnya."Setahu Tedi, Hanifa dan Haifa selalu minta uang pada ibu Ros. "Sekara
"Mbak, duit lima ratus ribu cukup buat beli apa? Gila aja!"Bukannya berterima kasih, Hanifa justru marah-marah. Friska yang mendengar ucapan Hanifa menghela napas berat. Pikirnya, ibu dan anak sama saja! Ibu Ros juga demikian. Friska teringat pada Nida sewaktu menjadi menantu ibu Ros dan kakak ipar Hanifa. Apa Nida juga mengalami hal yang dialaminya?"Kamu bilang cukup buat beli apa? cukup buat beli beras 10 kilo, cukup buat beli telor 10 kilo, cukup buat---""Udah, udah, jangan berisik! Kalau enggak mau nambahin uangnya, enggak usah ceramah! Tau gini, mending mas Hanif masih sama Mbak Nida. Mbak Nida itu baik orangnya. Selalu ngasih kami uang sesuai yang kami minta!" omel Hanifa tak tahu diri. Friska terkejut mendengar Hanifa membandingkan dirinya dengan mantan istri sang suami. Hanif pun terkejut karena Friska menyebut nama Nida di depan Friska apalagi sampai membandingkan. Amarah dalam diri Friska tak dapat dibendung lagi, ia pun membalas ucapan Hanifa. "Eh, seenaknya aja kamu ng
"Lima juta kamu bilang cuma?" tanya Hanif setengah tidak percaya adiknya berbicara demikian. Selama ini Hanif tipikal orang yang berhemat. "Iyalah, Mas. Uang Mas Hanif lebih dari segitu. Apalah arti uang lima juta buat Mas Hanif dan Mbak Friska," ucap Hanifa tanpa beban. Hanif menghela napas berat, memijat pelipis. Hanifa tidak tahu saja kalau dirinya tidak punya tabungan bahkan ketika mendaftarkan proses perceraian harus mencuri uang Friska dari dalam brankas. "Aku enggak ada uang." Hanif berbicara datar. Mendengar jawaban kakaknya, Hanifa mendengus kesal. Ternyata benar kata ibu Ros kalau Hanif orangnya pelit. "Mas Hanif aku mohon. Suamiku belum gajian. Nanti uangnya aku ganti kok kalau mas Tedi udah gajian. Aku mohon, Mas ...." Hanifa tak mungkin menyerah. Malam ini juga dia harus mendapatkan uang untuk anak-anak besok. Meski dirinya tak ada uang, tetapi Hanif tak tega mendengar adiknya memohon seperti itu. Selama ini, Hanifa maupun Haifa tidak pernah meminta uang padanya. Tanp
Di mata Rangga, Haifa wanita bodoh dan mudah dibohongi. Bukan satu dua kali Rangga ketahuan selingkuh tetapi dengan mulut manisnya, Rangga dapat meyakinkan Haifa jika dirinya tidak akan mengulangi bahkan Rangga sering berjanji akan membuat rumah tangganya jauh lebih baik dan memiliki perekonomian yang mencukupi. "Ya udah, Mas. Sekarang kamu mandi. Kamu tadi beli nasi kan?""Beli dong. Aku tadi beli pecel lele. Lelenya dibagi dua aja ya sama anak kita. Kamu jangan makan banyak kalau malam. Aku enggak mau kalau kamu sampe gendut," ujar Rangga mengedipkan sebelah mata. Sontak, Haifa tersipu malu, menganggukkan kepala, mengiyakan kemodusan suaminya. Di kamar lain, Hanifa pun sedang berbincang dengan sang suami, Tedi namanya. "Jadi Mamamu udah tau sertifikatnya kita gadai ke Bank?" tanya Tedi, usai Hanifa bercerita tentang kejadian tadi siang. Hanifa tampak santai. Sebatang rokok terselip di antara ruas jarinya. "Iya. Dia baru sadar, hehehe ...."Hanifa mengembuskan asap rokok ke wajah
"Biasa aja kali, Ma. Enggak usah kaget gitu," kata Hanifa santai. Mereka berdua tidak merasa bersalah sedikit pun. Aneh juga, kenapa Hanifa dan Haifa bisa membawa sertifikat itu ke Bank tanpa sepengetahuan ibu Ros?"Kamu bilang enggak usah kaget??" desis ibu Ros berusaha menahan emosi. Biar bagaimana pun ia tak mau cucu-cucunya mendengar keributan ini. "Udah deh, Ma. Lagipula semuanya udah ada di Bank. Mau gimana lagi? Ya kami bisa saja menebusnya tapi Mama punya enggak uang buat nebusnya?"Tanpa rasa bersalah dan rasa penyesalan, Haifa bertanya demikian. Hanifa yang mendengar ucapan sang adik, menyunggingkan senyum mengejek. "Kurang ajar! Kalian anak kurang ajar! Uangnya kalian pake buat apa? Semua keperluan dan kebutuhan rumah ini kan pake uang Mama. Bahkan kalian juga sering minta uang ke Mama. Terus, uang pinjaman dari Bank itu digunakan buat apa? Buat apaaaa?" Sangat kesal ibu Ros berkata. Wajahnya memerah karena emosi yang sudah menguasai diri. Hanifa dan Haifa terdiam sesa
Kedua mata ibu Ros membeliak dibentak anak keduanya yakni Hanifa. Sorot mata Hanifa yang tajam dibalas serupa oleh wanita yang telah melahirkannya. "Durhaka kamu, Nifa!" balas ibu Ros tak kalah tinggi intonasi suaranya. "Berani sekali kamu ngebentak Mama? Marahin Mama! Kamu pikir ini rumah siapa, heuh? Ini rumah Mama!" tandas ibu Ros yang tak mau terlihat lemah di depan Hanifa. Anak kandungnya mencebik, melipat kedua tangan di depan dada. "Nanti juga akan menjadi milikku dan Haifa kalau Mama udah mati," timpal Hanifa tersenyum miring. "Apa kamu bilang?" Lagi, emosi ibu Ros semakin meluap. "Kamu bilang aku mati?" ulang ibu Ros, meyakinkan yang didengarnya. "Ini apaan sih? Siang-siang malah ribut?"Tiba-tiba dari arah belakang Hanifa, terdengar suara adiknya yang baru keluar dari kamar sambil menguap. Menghampiri mereka. "Mama nih, siang begini malah nangis sambil teriak. Kan berisik," jawab Hanifa memutar bola mata malas. "Ck, kebiasaan nih Mama. Udahlah, jangan diladenin. Harap