Dalam diam, Daniel sangat terharu dan semakin bersyukur memiliki istri seperti Namira. Meskipun usia Namira baru masuk 20 tahun, tetapi sikap dan pemikirannya sering kali bijak serta dewasa. "Udah ya, nangisnya? Sekarang kita makan siang dulu. Oh ya, Mas ... tadi aku bikin brownis keju. Kalau kata Bianca dan Bi Rusmi sih enak," ucap Namira menggamit lengan suaminya m3sra. Sedangkan Nida berjalan lebih dulu ke kamarnya karena tidak ingin mengganggu keromantisan Daniel dan Namira. "Aku juga yakin pasti buatanmu enak," timpal Daniel menjawil ujung hidung Namira. "Uuuh ... belum juga nyobain, udah bilang enak aja. Cobain dulu baru dikasih nilai. Modus mulu nih," kata Namira merebahkan kepalanya pada bahu Daniel. Lelaki itu sangat bahagia jika Namira bermanja-manja seperti ini. Terasa dirinya ditarik ke masa muda dulu.Usai makan siang, Namira membawa beberapa potong kue brownies hasil masakannya ke dalam kamar. Daniel yang tengah duduk santai di sofa depan televisi mengulas senyum meli
Usai mandi wajib, Namira keluar kamar ingin menemui Nida. Ia tak ingin Nida merasa sendirian di rumah ini. Sebelum membuka pintu kamar, ekor mata Namira melirik pada Daniel yang tampak tertidur pulas. Daniel kelelahan setelah mengurus perpindahan sekolah keponakannya lalu memberi nafkah batin di siang hari untuk istrinya. Namira membiarkan suaminya istirahat. Ia pun membuka pintu kamar, lalu berjalan hendak ke kamar Nida. Akan tetapi pada saat hendak menaiki anak tangga, samar-samar Namira mendengar suara Nida yang tengah berbincang dengan Bi Rusmi. Namira mengurungkan niat ke kamar Nida, berbelok ke dapur. "Nida, kamu gak tidur siang?" Sapaan Namira membuat Nida dan Bi Rusmi menoleh. "Wah, umur panjang. Baru aja aku sama Bibi lagi ngomongin Kakak." "Eh, ngomongin apa?" tanya Namira menarik kursi dapur, duduk di sana. "Enggak ngomongin jelek-jelek, Non. Non Nida tadi memuji Non Namira. Kue buatan Non Namira katanya enak." Bi Rusmi menjelaskan agar tidak terjadi salah paham.
"Hm ... Nida maaf sebelumnya. Bukan ... aku gak setuju kamu minta maaf sama mamahnya Evan. Tapi, apa kamu tau, siapa nama istri pertama papahmu?" Namira balik bertanya. Ia pikir, mungkin ini saatnya mengungkapkan kebenaran. Namira tidak ingin Nida terus-menerus merasa bersalah pada Gita atas sikap Dania dulu. Nida, anak ini tidak tahu apa-apa. Ia tidak boleh menanggung akibat dari kesalahan kedua orang tuanya di masa lalu. Nida harus bahagia, masa depannya harus cerah. Nida tercenung mendengar pertanyaan Namira. Gadis itu menggelengkan kepala. "Enggak, Kak. Yang pasti, aku ... aku belum pernah bertemu dengannya 'kan?"Namira tersenyum miring mendengar pertanyaan Nida. Ia menghela napas panjang, pandangannya lurus ke depan. "Kak, jangan-jangan ... a-aku kenal sama mamahnya Kak Evan?" Suara Nida bergetar. Ia sangat takut akan kenyataan lain yang dihadapinya. Kenyataan yang mungkin saja sangat pahit. Namira tak sanggup menyembunyikan kenyataan itu. Kebenaran yang sesungguhnya. Sekara
"Karena kamu kuat. Karena kamu bisa melewatinya. Nida, kamu harus yakin kalau ... kalau dibalik kesedihan dan penderitaan yang pernah kamu alami, akan ada kebahagiaan, akan ada kesuksesan yang nanti akan kamu gapai. Yang penting, jangan membalas perbuatan yang buruk atau perbuatan yang j4hat dengan perbuatan yang sama. Mereka j4hat, kita jangan. Kamu harus menjadi pribadi Nida yang baik hati. Menjadi Nida yang pemaaf. Oke, Nida?" Kedua tangan Namira menangkup pada wajah Nida. Gadis itu menganggukkan kepala, lalu kembali memeluk Namira. Cukup lama Nida memeluk tubuh Namira. Ia benar-benar tidak tahu harus bersikap bagaimana setelah ini. Yang pasti, sekarang Nida sudah mengerti, kenapa papahnya tidak membalas pesannya? Kenapa papahnya tidak merespon teleponnya? Nida sangat yakin, semua itu dilakukan papahnya karena Gita, Gita dan Evan. "Sekarang kamu istirahat, ya? Jangan nangis lagi. Nanti, bilamana kamu ketemu sama Tante Gita, berpura-puralah enggak kenal dia. Pura-pura saja baru
"Aku percaya sama kamu, Mas ....""Tapi kenapa kamu rahasiakan masalah sebesar itu dari aku, Namira?" Suara Daniel mulai meninggi.Degh!Seketika jantung Namira berdetak lebih kencang. Sorot mata Daniel begitu tajam menatapnya. Bahkan baru saja, Daniel berkata dengan intonasi suara tinggi dan menyebut namanya. Namira diam. Air mata sudah menetes tanpa bisa dicegah.Daniel sendiri bingung. Dia tidak menyangkan sedikitpun kalau Namira menyembunyikan si pelaku yang mencvlik Nida sewaktu bayi. Terjadi keheningan lagi. Tenggorokan Namira tercekat. Dia tak bisa mencegah air matanya. Mengalir begitu saja padahal berulang kali, Nida menyekanya dengan kasar. Sedangkan Daniel, justru memalingkan wajah ke arah lain seperti enggan menatap istrinya, ia merasa kecewa."Kenapa kamu tetap diam? Kenapa kamu gak ceritain semua itu ke aku? Kenapa?" tuntut Daniel merasa tak terima Namira menyembunyikan tentang kej4hatan yang dilakukan Gita pada keponakannya. Namira tak menjawab, dia tetap diam."Aku ga
Namira sangat terkejut mendengar ucapan Daniel. Memang sebelumnya Namira sudah menduga kalau Daniel pasti akan marah besar dan akan memberi hukuman atas kej4hatan yang dilakukan Gita tetapi Namira tidak menyangka kalau Daniel sampai mencaci maki Gita. "Mas ... aku mohon, lupakan saja masalah ini. Kita pura-pura enggak tau aja tentang siapa tante Gita. Aku takutnya nanti Bianca patah hati, Mas ...." Namira menggamit lengan suaminya. Masih berusaha membujuk Daniel agar tidak memperkarakan masalah Gita pada waktu dulu."Tadi aku udah bilang, aku enggak akan memisahkan hubungan Evan dan Bianca. Mereka akan tetap menikah kalau memang berjodoh. Aku hanya ingin memberi pelajaran pada Gita supaya dia enggak semena-mena lagi pada keluarga kami apalagi sampai menyakiti Nida."Kedua mata Namira terpejam sejenak. Ia menghela napas panjang. "Mungkin kamu enggak akan memisahkan Bianca dan Evan. Tapi, Tante Gita? Jangankan hanya menjauhkan Evan dengan Bianca, dia mencvlik Nida aja berani, Mas."Da
Sesaat, Namira ragu. Apa Bianca juga harus tahu tentang siapa Gita yang sebenarnya? Kalau Bianca tahu, nanti bagaimana reaksinya? Kalau tidak diberitahu sekarang, lambat laun pasti Bianca akan mengetahuinya. 'Ya Allah, aku bingung harus bagaimana? Apa Bianca mesti mengetahui tentang siapa Gita yang sebenarnya?'"Mih, kamu baik-baik aja? Kamu dan papah kenapa sih? Ada apa, Mih?"Kepala Namira mendadak pusing. Perutnya mulai terasa mual lagi. Tak tahan, Namira sedikit berlari ke toilet, muntah-muntah. Bianca terkejut, ia terpaksa masuk ke dalam kamar papahnya tanpa izin lebih dulu. "Ya Allah, Mih ... ada apa? Kamu kenapa?" Lagi dan lagi Bianca bertanya demikian. Memijat tengkuk Namira yang tengah muntah-muntah. "Aku pengen istirahat dulu, Bi. Kepalaku pusing banget," ucap Namira pelan. "Oh ya udah." Bianca tak bisa memaksa meski hatinya sangat penasaran apa lagi melihat wajah ibu sambungnya sangst pucat. Dengan hati-hati, Bianca memapah tubuh Namira hingga berbaring di atas tempat t
Yuda sangat terkejut mendengar pertanyaan Daniel. Tiba-tiba saja Daniel bertanya seperti itu? Apakah benar, kalau ada orang yang berbuat j4hat pada perusahaan? Siapa? Bukankah Hesti sudah meringkuk ke dalam penjara?"Pak Daniel, kenapa Pak Daniel bertanya seperti itu? Apa benar, ada orang yang berbuat j4hat pada keluarga Bapak?"Daniel memejamkan kedua mata sesaat, berusaha menetralisir amarah yang ingin menguasainya. Daniel yakin, jika Yuda mengetahui dalang pencvlikan Nida adalah istrinya, dia pasti akan marah besar dan kecewa. Tetapi, Daniel juga tidak ingin membiarkan Gita nantinya akan berbuat lebih j4hat lagi pada keluarganya. "Jadi begini, Yuda. Sekarang aku udah tau siapa orang yang mencvlik Nida sewaktu bayi."Yuda terkejut, ia sampai memundurkan kepalanya. "Semudah itu, Pak?" Tampaknya Yuda tidak langsung percaya akan ucapan Daniel."Iya. Apa kamu enggak percaya kalau Allah telah memberitahuku siapa pelaku yang mencvlik keponakanku sewaktu bayi?"Yuda salah tingkah, terlih
"Dari tadi aku teleponin enggak aktif nomornya, Bang."Alea semakin mencemaskan keadaan kakaknya. Dia tidak tahu lagi kemana mencari keberadaan Axel. "Lea, coba kamu tanya ke temen-temennya. Barang kali aja mereka ada yang tau. Sekarang Abang enggak bisa bantu nyariin Axel. Kamu lihat sendiri, pengunjung lagi banyak.""Iya, Bang. Enggak apa-apa. Ya udah deh, aku pamit dulu."Alea membalikkan badan, menghampiri Nida yang duduk di salah satu kursi cafe. "Tante, Kak Axel enggak ada di sini," ujar Alea menunjukkan raut wajah lesu. "Kemana?""Enggak tau. Handphone-nya juga enggak aktif.""Coba kamu tanyain ke teman-temannya. Kali aja ada yang tau."Nida memberi saran sebab ia juga tidak tahu tempat yang biasa Axel kunjungi. Tempat tongkrongannya. "Aku enggak punya nomor teman-teman Axel," jawab Alea cemberut. Pikirannya mengingat tempat yang biasa Axel kunjungi selain cafe. "Alea, mungkin enggak, kalau Axel udah kembali pulang ke rumah?"Alea mendongak, menatap lekat Nida. "Benar jug
Ibu Ros sangat geram mendengar jawaban anak sulungnya. Tidak menyangka jika Hanif membantah perintahnya. Selama ini, Hanif selalu mengabulkan segala perintah ibu Ros. Tapi sekarang, dengan berani Hanif menolak?"Berani sekali kamu nolak perintah Mama, Hanif?" sentak ibu Ros masih tak terima dengan jawaban Hanif. "Ma, kalau Mama minta uang, minta ini dan itu, aku pasti kabulin. Tapi kalau minta aku nikah lagi atau ceraikan Nida, aku minta maaf, Ma. Aku enggak akan pernah mengabulkannya!" Hanif masih dalam pendiriannya. Tidak akan pernah menceraikan Nida walau ibu Ros sendiri yang mendesak. "Hanif, Nida udah izinin kamu. Dia izinin kamu nikah tapi---""Tapi, aku harus menceraikannya dulu 'kan?" sela Hanif sebelum ibu Ros menyelesaikan ucapannya. "Enggak, Ma. Aku enggak akan menceraikannya."Tanpa berkata apa-apa lagi, Hanif beranjak, meninggalkan wanita yang telah melahirkannya. Ia tak mau berdebat lebih lama lagi. Hanif takut semakin tersulut emosi. Walau bagaimana pun, ibu Ros adal
"Maaf, Tante. Teleponnya nanti lagi, ya? Guruku udah datang. Assalamu'alaikum.""Waalaikumsalam."Untung saja guru Kimia datang ke kelas Alea. Kalau tidak? Alea bingung menjawab pertanyaan Nida. Usai menelepon Alea, Nida bergegas menyelesaikan pekerjaannya. Setelah menemani Shella bertemu dengan klien, Nida berencana akan ke sekolah si kembar. Ingin memastikan apakah Axel masuk sekolah atau tidak? Biar bagaimana pun, Nida lah yang memberitahu tentang kebenaran kedua orang tua Axel dan Alea. Hingga akhirnya sekarang Axel kabur dari rumah. Tiba-tiba Nida teringat Bianca. Apa Bianca akan marah padanya? Tadi sewaktu melewati ruangan Bianca, tampak sepi. Apa mungkin Bianca tidak masuk kantor?*** "Hanif, kamu udah pulang, Nak?" tanya ibu Ros ketika anak kandungnya berdiri di depan pintu rumah. Ia mencium punggung tangan ibu Ros meski sempat kecewa dengan wanita yang telah melahirkannya itu. "Udah, Ma. Aku mau ke kamar dulu," seloroh Hanif yang berusaha menghindar ibu Ros. Ia takut kala
Semenjak kejadian kemarin, rumah Bragastara terasa sepi. Tidak ada lagi keributan antara Axel dan Alea. Bianca tak sanggup jika di rumah terus, mengingat kemarahan Axel padanya. Axel yang selama ini dianggap adik sendiri, kini amat sangat kecewa padanya. "Kamu mau ke kantor?" tanya Evan setelah mengenakan jas. Evan pun sudah memutuskan berangkat ke kantor meski kondisi kesehatannya belum terlalu pulih. "Iya. Aku mau ke kantor saja. Di rumah sepi. Enggak ada anak-anak." Jawaban Bianca membuat kedua pundak Evan menurun. "Bi, berhentilah menganggap mereka anakmu. Axel dan Alea itu adik-adikmu," tandas Evan, sangat kesal setiap kali Bianca ingin dianggap orang tua oleh mereka. "Apa salahnya kalau aku ingin dianggap mamanya? Apa ada yang salah?" tuntut Bianca menatap penuh emosi suaminya. "Enggak salah kalau dari awal kamu bilang yang sebenarnya, Bi ... sekarang lihat mereka. Akibat keputusanmu, Axel membencimu. Apa kamu enggak sadar juga?"Emosi dalam diri Evan sudah tidak dapat dik
"Udah gila ibunya si Hanif. Enak bener dia bilang gitu. Terus kamu bilang apa? Ngizinin Hanif nikah lagi? Mau kamu dipoligami?"Shella tersulut emosi. Sejak dulu, Shella sudah sangat geram melihat tingkah laku keluarga Hanif. Mereka semua benalu dan penjilat. Sering kali meminta uang pada Nida. "Enggaklah, Ma. Aku minta diceraikan kalau Mas Hanif mau poligami. Aku sadar diri, bukan wanita yang ikhlas dan penyabar. Enggak sanggup kalau harus berbagi suami dengan wanita lain." Masih dengan sikap santai, Nida menjawab pertanyaan ibu sambungnya. Shella begitu miris mendengar cerita yang disampaikan Nida. Kasihan Nida. Semasa hidupnya selalu saja ada masalah yang dihadapi."Tapi, Nida ... Kayaknya Hanif enggak mungkin menceraikanmu. Dia sangat mencintaimu. Mama yakin itu."Sebisa mungkin, Shella menghibur Nida. Dibalik sikap tenang dan santainya, Shella yakin sebetulnya Nida pun bersedih. Nida tersenyum miring mendengar tanggapan Shella. "Kalau mamanya yang minta, ada kemungkinan Mas H
"Sudahlah, Ma. Jangan ngomong macam-macam. Aku enggak mungkin menceraikan dia!"Senyum yang sebelumnya terlihat di wajah ibu Ros, seketika lenyap. "Hanif, mau sampai kapan kamu enggak punya anak? Dia itu mandul! Keturunan mandul, Hanif!"Ibu Ros tersulut emosi. Tak menyangka jika anak sulungnya berani melawan perintah padahal sebelumnya tidak pernah."Aku enggak peduli, Ma. Nida mandul atau tidak, aku enggak akan ceraikan dia. Aku sayang Nida, Maaaa ... aku cinta dia ...."Memang, Hanif begitu mencintai Nida. Sejak dulu hingga sekarang cintanya tak pernah berubah. "Halah, cinta, sayang! Kamu itu buta, Hanif! Umurmu udah tua. Tapi, sampai sekarang belum juga punya anak. Kalau kamu udah tua nanti, udah enggak bisa beraktivitas lagi, siapa yang akan menyayangimu? Kamu lihat, Nida. Dia masih muda. Mama yakin, kalau kamu udah sakit-sakitan pasti dia ninggalin kamu! Kalau dia ninggalin kamu, kamu mau sama siapa? Anak enggak punya!"Hanif memejamkan kedua mata, memijat pelipis. Tidak perna
"Apa hubungannya?" Bukannya menjawab, Axel justru balik tanya. Alea manyun, memukul bahu kakaknya. "Pulang ke rumah lagi, Kak. Kasihan mama tau! Nangis terus." Alea mengingat kembali kesedihan yang dialami Bianca. Axel bersikap santai, pandangannya lurus ke depan. "Aku masuk kelas dulu!" Tanpa menanggapi ucapan adiknya, Axel masuk ke dalam kelas. Alea benar-benar dibuat kesal. Rencana mengajak Axel kembali ke rumah gagal lagi. *** "Jam segini baru bangun! Pantas saja asam lambung Hanif sering kumat! Istrinya saja malas menyiapkan sarapan," celetuk ibu Ros saat Nida baru datang ke ruang meja makan. Ibu Ros yang tengah sarapan roti tawar, melirik Nida yang mengacuhkan. "Kamu dengar Mama enggak, Nida?" Sentak ibu Ros. Kedua mata seperti hendak melompat. Amarah terlihat jelas dari raut wajah. "Denger," sahut Nida cuek. Melihat sikap menantunya seperti itu, Ibu Ros semakin marah dan membenci. "Kalau kamu denger, harusnya bangun pagi! Siapin sarapan!" Lagi, Nida te
"Enggak. Mami enggak melakukan kesalahan apapun, Lea. Mami orang yang baik. Namira sahabatku, ibu sambungku yang paling baik bahkan kebaikannya melebihi ibuku sendiri." Bianca langsung menyanggah pertanyaan Alea. Gadis itu tertunduk sesaat, menghela napas berat. "Lalu, kenapa Mama merahasiakan mereka adalah orang tua kandungku?" Pertanyaan yang baru saja terlontar dari mulut Alea membuat Bianca tersentak. Kedua matanya membeliak lalu sikap berubah salah tingkah. "Bu-bukan maksud ingin merahasiakan ta-tapi ...."Tak sanggup, Bianca meneruskan kalimat. Teringat kekurangan dalam diri bahwa sebetulnya Bianca tak bisa memberikan keturunan untuk Evan karena ia telah divonis mandul oleh dokter. "Ya udah, Ma. Enggak usah diucapkan kalau memang alasannya akan menyakitiku atau menyakiti hati Mama lagi."Alea mencoba berpikir bijak. Tak ingin wanita yang telah merawatnya penuh kasih sayang itu bersedih dan menangis lagi. "Bukan begitu, Lea. Ma-Mama ....""Kenapa kamu masih saja menyebut diri
Alea terdiam, tidak langsung menanggapi rintihan wanita yang selama ini telah dianggap ibu kandungnya sendiri. "Ma, sudah, Ma ... jangan nangis ya? Seharian ini Mama nangis terus. Nanti Mama sakit ...." ucap Alea berusaha menenangkan Bianca. Istri Evan itu menggelengkan kepala berulang kali. Sekarang Bianca telah menyesal karena telah membohongi kedua adiknya belasan tahun lamanya. Selama ini, Bianca dan Evan selalu menanamkan sifat jujur pada si kembar. Namun, dia sendiri yang tidak jujur pada mereka. Bianca merasa sangat jahat pada Axel dan Alea. Bianca meraih salah satu telapak tangan Alea, menggenggamnya erat. "Alea, maafkan Mama, Nak ... maafin Mama ... Mama udah jahat sama kamu. Udah bohongi kamu dan Axel. Maafin Mama, Lea ...." Sangat sungguh-sungguh Bianca mengucapkan kata maaf. Tampaknya Bianca sangat menyesal dan bersedih karena telah merahasiakan kedua orang tua kandung Axel dan Alea. "Jangan minta maaf terus, Ma ... Aku dan Kak Axel udah maafin Mama. Udah ya, Ma