AKHIRNYA semua pekerjaannya selesai juga. Dia bisa pulang dan mengistirahatkan tubuh serta hatinya yang sedang kelelahan.Jeanne mengembuskan napasnya berat saat teringat pesan Alan tadi siang. Pria itu ingin mereka pulang bersama. Memangnya mereka bisa melakukannya jika pekerjaan Alan saja sedang menumpuk dan memenuhi meja?Jeanne mengambil ponselnya di ujung meja kerja dan mengirimkan pesan pada Alan yang tentunya masih berada di ruangannya.KoJeanne : Kerjaan gue udah selesai. Kerjaan lo gimana?Alan : Tinggal dikit, sebentar lagi selesai. Tungguin aja.Jeanne : Gue nggak boleh pulang sendirian aja, nih?Alan : Nggak boleh, tungguin aja sebentar, sepuluh menit lagi gue udah keluar.Jeanne : Nggak usah maksa gitu, takutnya bukan kelar malah salah kerjaan.Alan : Tenang, gue profesional, kok.Jeanne berdeceh saat membaca pesan terakhir dari Alan itu. "Profesional apaan kalau sekretarisnya selalu diajak main di kantor, huh?"Atau jangan-jangan Alan memang sedang melakukannya dengan S
ALAN pikir Jeanne bakal mengalami drama patah hati setelah putus dari kekasihnya. Namun nyatanya, perempuan itu kini tampak baik-baik saja. Jeanne terlihat biasa atau mungkin dia hanya pura-pura kalau sedang baik-baik saja.Sebenarnya, alasan itu pula yang membuat Alan tidak berniat melepaskan Jeanne sendirian malam ini. Setelah dia melihat langsung air mata yang menuruni pipi juga perlakuan buruk Fredy pada Jeanne selama ini. Alan merasa tidak boleh membiarkan Jeanne sendiri.Terlebih, dia tidak boleh sampai kecolongan lagi. Apalagi sampai membuat Jeanne kembali ke pelukan cowok berengsek bernama Fredy."Jadi, kapan lo mau pindah ke apartemen gue?" tanya Alan sembari tersenyum lebar. Sesekali dia akan melirik Jeanne dari ekor matanya sebelum kembali fokus pada jalan raya di depannya.Sejujurnya, Jeanne mau pindah secepatnya. Namun dia butuh waktu serta tenaga untuk membereskan semua yang sudah dia tata di apartemennya. "Lo mau bantu beres-beres emangnya?"Alan meliriknya lagi. "Boleh
ALAN tidak bisa tidur. Setelah mengantar Jeanne pulang, Alan sama sekali tidak merasakan kantuk akan datang. Alasannya sederhana, dia sekarang sedang bahagia, tapi juga merasa kesal sekali pada pacar barunya.Bagaimana tidak kesal? Mereka baru saja jadian tapi dengan entengnya Jeanne bilang kalau dia mau minta cincin mahal supaya bisa dijual kalau mereka putus nantinya. Memang terdengar realistis dan malah biasa saja, tapi Alan tidak mau hubungan mereka berakhir di tengah jalan. Dia bahkan tidak ingin membayangkan, karena dia ingin serius dengan Jeanne sampai ke pernikahan.Alan bahkan sudah memesan cincin dan siap untuk melamarnya kapan saja kalau cincinnya sudah jadi. Namun, Jeanne malah merencanakan apa yang akan dia lakukan jika hubungan mereka kandas suatu hari nanti.Alan berdecak kesal. "Kayaknya lo perlu dilamar secepatnya, kalau perlu cepetan dinikahin aja, biar nggak berani mikir macam-macam lagi kayak gini, Jeanne!" desisnya penuh emos
SUMPAH, Jeanne cuma mau tidur nyenyak saja malam ini, tapi ponsel yang tiba-tiba saja berbunyi memaksa untuk membangunkannya. Nama Alvuck di layar ponselnya sukses membuat Jeanne mengernyitkan dahi saat menerima panggilan dari mantan pacarnya."Ngapain malam-malam lo nelepon gue? Jangan bilang lo lagi sange terus pengen gue desah-desah gaje?" semprotnya langsung begitu telepon mereka tersambung."Sialan, Je! Lama nggak pernah ngomong sama lo, mulut lo jadi makin busuk aja sekarang, ya?"Jeanne mendengkus keras. "Ya gimana nggak jadi busuk kalau lo muncul-muncul langsung gangguin tidur nyenyak gue malam ini, sialan!" omelnya."Jangan salahin gue! Salahin pacar baru lo yang sukses bikin gue penasaran. Bener lo udah jadian sama Alan sekarang?"Jeanne mengumpat di dalam hatinya. Bagaimana bisa Alva tahu masalah itu padahal dia ada di Bandung sana? Apa Alan yang memberitahunya? Niat sekali kekasihnya itu sampai mau memberi tahu sepupunya segal
TAK disangka Alan benar-benar bisa menepati ucapannya. Semalaman Alan hanya memeluk Jeanne saja. Lalu saat membuka mata, Alan hanya mengajaknya duel lidah sebelum pria itu turun dari atas ranjangnya."Gue pulang dulu, mau mandi sama ganti baju, sekalian beli sarapan juga buat kita. Lo nggak masalah gue tinggal sendirian, kan?" katanya, terdengar lembut dan penuh perhatian. Benar-benar tidak seperti Alan yang biasa bersamanya.Jeanne hanya mencebikkan bibirnya. "Nggak masalah kok, gue baik-baik aja. Kayak bocah aja sampai takut ditinggal segala," cibirnya.Alan tersenyum tipis. "Bukan gitu maksudnya, ntar lo diem-diem mikir gue pergi karena mau macam-macam di luar sana lagi."Jeanne membuang pandangannya, tampak tak acuh saat menjawab, "Ya, kalau mau juga-"Alan menatapnya tegas. "Nggak akan, Jeanne. Jangan nantangin terus, kalau gue sampai khilaf lo juga yang bakal nyesel nanti."Jeanne cemberut. "Iya-iya, maaf!"Alan me
TANPA sadar hari demi hari berlalu. Jeanne sudah pindah ke apartemen Alan dengan sedikit bumbu drama saat beres-beres pakaian dalamnya. Selebihnya baik-baik saja.Hubungannya dengan Alan pun bisa dibilang baik, walaupun mereka lebih sering berdebat atau malah bertengkar setiap harinya. Namun, pertengkaran itu sudah seperti bumbu romansa di antara keduanya.Alasan itulah yang membuat status hubungan mereka sampai sekarang belum juga dicurigai oleh Tantri maupun Glen karena mereka masih terlihat sama seperti sebelum pacaran. Namun sepertinya, Sherina berhasil menyadari hubungannya dengan Alan, karena Jeanne merasa tatapan wanita itu tampak berbeda kepadanya.Bukan jenis tatapan sopan, melainkan tatapan yang terlihat merendahkan. Kadang kala Jeanne ingin bertanya, tapi dia berusaha keras untuk menahan dirinya.Jika Jeanne berani memulai, maka Alan akan menyadari pergerakannya. Jika Alan sudah ikut campur, Jeanne yakin Sherina akan langsung dipecat da
"JEANNE orang asli Bandung, ya?" Sherina bertanya seraya mendekati mereka yang duduk di sofa. Dia pun ikut duduk di sofa lainnya.Sedangkan Glen menyambut makanan yang baru saja tiba dan siap untuk menghidangkan semua makanan ke atas meja. Sesekali pria itu akan melirik atasannya yang dikelilingi tiga wanita cantik di ujung sana.Jeanne mengangguk tanpa ragu. "Iya, gue emang asli Bandung, baru aja pindah ke Jakarta dua minggu lalu gegara kerjaan gue dimutasi ke sini," katanya dengan wajah masam."Eh, gue kira lo udah lama kerja di sini, Je?" Sherina menatapnya terkejut.Jeanne menggeleng. "Nggak kok, gue masih terhitung anak baru juga. Iya, kan, Tan?"Tantri mengangguki ucapannya. "Dia emang anak baru, tapi kerjaannya bagus, orangnya juga mudah bergaul, jadi nggak kelihatan kalau aslinya baru pindah tempo hari."Jeanne menyeringai. "Mudah bergaul tapi temen main gue cuma lo doang gini, Tan. Besok-besok gue deketin Govan juga, deh
"LO serius mau ikut ke Bandung?" Jeanne langsung bertanya ketika ia memasuki mobil Alan."Emang nggak boleh?" Alan balik bertanya, tatapan matanya menyiratkan rasa curiga yang begitu kentara.Jeanne terlihat tidak nyaman, dia memalingkan pandangan ke depan, menghindari tatapan Alan yang seperti sedang berusaha menelanjanginya."Boleh-boleh aja sih, tapi emangnya lo udah beres-beres?"Alan menelan ludahnya susah payah. Dia melupakan masalah itu sejak tadi. Gegara mau modus untuk menemui orang tua Jeanne dan cari muka di depan mereka, dia melupakan fakta kalau dia harus bersiap-siap dulu sebelum berangkat ke sana.Alan mengerjap pelan. "Lo sendiri, emang udah beres-beres?" Alan balik bertanya.Alan tidak ingat Jeanne sudah beres-beres pakaian sebelumnya. Makanya dia terkejut saat Jeanne bilang mau ke Bandung malam ini juga. Padahal Alan tidak melihat Jeanne siap-siap, Jeanne juga tidak mengatakan masalah itu padanya."Gue