SUMPAH, Jeanne cuma mau tidur nyenyak saja malam ini, tapi ponsel yang tiba-tiba saja berbunyi memaksa untuk membangunkannya. Nama Alvuck di layar ponselnya sukses membuat Jeanne mengernyitkan dahi saat menerima panggilan dari mantan pacarnya.
"Ngapain malam-malam lo nelepon gue? Jangan bilang lo lagi sange terus pengen gue desah-desah gaje?" semprotnya langsung begitu telepon mereka tersambung."Sialan, Je! Lama nggak pernah ngomong sama lo, mulut lo jadi makin busuk aja sekarang, ya?"Jeanne mendengkus keras. "Ya gimana nggak jadi busuk kalau lo muncul-muncul langsung gangguin tidur nyenyak gue malam ini, sialan!" omelnya."Jangan salahin gue! Salahin pacar baru lo yang sukses bikin gue penasaran. Bener lo udah jadian sama Alan sekarang?"Jeanne mengumpat di dalam hatinya. Bagaimana bisa Alva tahu masalah itu padahal dia ada di Bandung sana? Apa Alan yang memberitahunya? Niat sekali kekasihnya itu sampai mau memberi tahu sepupunya segalTAK disangka Alan benar-benar bisa menepati ucapannya. Semalaman Alan hanya memeluk Jeanne saja. Lalu saat membuka mata, Alan hanya mengajaknya duel lidah sebelum pria itu turun dari atas ranjangnya."Gue pulang dulu, mau mandi sama ganti baju, sekalian beli sarapan juga buat kita. Lo nggak masalah gue tinggal sendirian, kan?" katanya, terdengar lembut dan penuh perhatian. Benar-benar tidak seperti Alan yang biasa bersamanya.Jeanne hanya mencebikkan bibirnya. "Nggak masalah kok, gue baik-baik aja. Kayak bocah aja sampai takut ditinggal segala," cibirnya.Alan tersenyum tipis. "Bukan gitu maksudnya, ntar lo diem-diem mikir gue pergi karena mau macam-macam di luar sana lagi."Jeanne membuang pandangannya, tampak tak acuh saat menjawab, "Ya, kalau mau juga-"Alan menatapnya tegas. "Nggak akan, Jeanne. Jangan nantangin terus, kalau gue sampai khilaf lo juga yang bakal nyesel nanti."Jeanne cemberut. "Iya-iya, maaf!"Alan me
TANPA sadar hari demi hari berlalu. Jeanne sudah pindah ke apartemen Alan dengan sedikit bumbu drama saat beres-beres pakaian dalamnya. Selebihnya baik-baik saja.Hubungannya dengan Alan pun bisa dibilang baik, walaupun mereka lebih sering berdebat atau malah bertengkar setiap harinya. Namun, pertengkaran itu sudah seperti bumbu romansa di antara keduanya.Alasan itulah yang membuat status hubungan mereka sampai sekarang belum juga dicurigai oleh Tantri maupun Glen karena mereka masih terlihat sama seperti sebelum pacaran. Namun sepertinya, Sherina berhasil menyadari hubungannya dengan Alan, karena Jeanne merasa tatapan wanita itu tampak berbeda kepadanya.Bukan jenis tatapan sopan, melainkan tatapan yang terlihat merendahkan. Kadang kala Jeanne ingin bertanya, tapi dia berusaha keras untuk menahan dirinya.Jika Jeanne berani memulai, maka Alan akan menyadari pergerakannya. Jika Alan sudah ikut campur, Jeanne yakin Sherina akan langsung dipecat da
"JEANNE orang asli Bandung, ya?" Sherina bertanya seraya mendekati mereka yang duduk di sofa. Dia pun ikut duduk di sofa lainnya.Sedangkan Glen menyambut makanan yang baru saja tiba dan siap untuk menghidangkan semua makanan ke atas meja. Sesekali pria itu akan melirik atasannya yang dikelilingi tiga wanita cantik di ujung sana.Jeanne mengangguk tanpa ragu. "Iya, gue emang asli Bandung, baru aja pindah ke Jakarta dua minggu lalu gegara kerjaan gue dimutasi ke sini," katanya dengan wajah masam."Eh, gue kira lo udah lama kerja di sini, Je?" Sherina menatapnya terkejut.Jeanne menggeleng. "Nggak kok, gue masih terhitung anak baru juga. Iya, kan, Tan?"Tantri mengangguki ucapannya. "Dia emang anak baru, tapi kerjaannya bagus, orangnya juga mudah bergaul, jadi nggak kelihatan kalau aslinya baru pindah tempo hari."Jeanne menyeringai. "Mudah bergaul tapi temen main gue cuma lo doang gini, Tan. Besok-besok gue deketin Govan juga, deh
"LO serius mau ikut ke Bandung?" Jeanne langsung bertanya ketika ia memasuki mobil Alan."Emang nggak boleh?" Alan balik bertanya, tatapan matanya menyiratkan rasa curiga yang begitu kentara.Jeanne terlihat tidak nyaman, dia memalingkan pandangan ke depan, menghindari tatapan Alan yang seperti sedang berusaha menelanjanginya."Boleh-boleh aja sih, tapi emangnya lo udah beres-beres?"Alan menelan ludahnya susah payah. Dia melupakan masalah itu sejak tadi. Gegara mau modus untuk menemui orang tua Jeanne dan cari muka di depan mereka, dia melupakan fakta kalau dia harus bersiap-siap dulu sebelum berangkat ke sana.Alan mengerjap pelan. "Lo sendiri, emang udah beres-beres?" Alan balik bertanya.Alan tidak ingat Jeanne sudah beres-beres pakaian sebelumnya. Makanya dia terkejut saat Jeanne bilang mau ke Bandung malam ini juga. Padahal Alan tidak melihat Jeanne siap-siap, Jeanne juga tidak mengatakan masalah itu padanya."Gue
JEANNE mengerjapkan mata saat keluar dari kamarnya di apartemen Alan dan menemukan pria itu sudah siap bersama koper di tangan kanan.Alan tersenyum melihat kekasihnya. "Tumben mau dandan cantik-cantik gini, mau ke mana emangnya?" godanya.Jeanne menelan ludah, ia tampak terpesona hingga tidak bisa berkata-kata. Selama ini Jeanne hanya pernah melihat Alan dengan setelan kerja yang membosankan. Walaupun Alan selalu tampil rapi, terlihat tampan, dan penuh kharisma. Namun menurut Jeanne itu semua biasa saja.Apalagi saat melihat Alan dengan pakaian rumahannya. Dia cuma pakai kolor, celana pendek atau celana panjang biasa, piama, atau malah bertelanjang dada.Jeanne tidak pernah melihat Alan dengan dandanan santai seperti ini sebelumnya. Alan mengenakan kaus pendek berwarna putih polos yang mengetat di tubuh kurusnya, dipadukan dengan celana jeans panjang berwarna hitam. Penampilan biasa saja tapi sanggup membuat Alan tampak lebih muda, lebih keren, d
LOKASI apartemen Jeanne ternyata tidak jauh dari letak kantor cabang berada. Alan pernah melewati tempat ini berulang kali saat ia di Bandung, tapi dia tidak pernah bertemu dengan Jeanne sebelumnya.Alan hanya bisa tersenyum. Mungkin memang belum takdir mereka saja untuk bertemu, karena buktinya mereka baru bertemu di kantor waktu itu."Ada apa?"Alan menatap kekasihnya tidak mengerti. Pasalnya sejak tadi Jeanne hanya menatapnya, bukannya lantas membukakan pintu agar mereka bisa masuk ke dalam."Balik badan!"Alan langsung memelototinya. "Apa?!""Gue mau masukin password dan lo nggak boleh ngintip," katanya sambil mendelik ke arah Alan.Alan langsung berdecak. "Kenapa gue nggak boleh tahu berapa password-nya? Bukannya selama ini lo tinggal sama gue juga? Lo juga tahu berapa password apartemen gue, terus kenapa gue nggak boleh tahu berapa password apartemen lo?"Jeanne bersedekap dada. "Ya, kan namanya privasi, L
ALAN yang rencananya mau ikut Jeanne menemui orang tuanya harus batal melakukannya. Karena saat dia bangun tidur, Alan sudah tak menemukan siapa pun berada di sampingnya. Jeanne sudah tidak ada. Dia menghilang dan meninggalkan Alan sendirian. Jika saja Alan tidak menemukan sebuah pesan bertuliskan tangan yang Jeanne tinggalkan di dapur apartemen, Alan pasti sudah memikirkan hal yang sangat buruk sekarang.Ya, mungkin hanya sedikit saja, karena sekarang sekarang dia masih menempati apartemen milik kekasihnya. Jadi, tidak mungkin Jeanne sengaja pergi lebih dulu dan meninggalkannya sendiri di sana.Alan menelan sarapan paginya dengan kuat, sendok di tangannya bahkan beradu dengan giginya dan membuat suara nyaring yang berdengung di telinga. Dia sedang kesal, dia sedang marah, tapi dia juga sadar kalau dia yang salah.Alan baru membuka matanya pukul sebelas siang, itu pun karena perutnya yang kelaparan. Sedangkan Jeanne berangkat ke rumah orang tuany
ALVA menatap puas hasil jepretan di layar ponselnya. Ralf yang ada di sampingnya hanya bisa geleng-geleng kepala ketika melihat Alva mengirim gambar itu kepada Jeanne dengan niatan untuk mengusik kekasih Alan."Nggak dibales lagi sama dia. Kalau mereka sampai berantem, lo wajib tanggung jawab lho, Va." Peringat Ralf sambil menatap Alva tajam.Alva meringis pelan dan meletakkan ponselnya di atas meja. "Dan gue bakal jadi perusak hubungan Alan untuk yang ketiga kalinya.""Hobi bener lo cari gara-gara sama Alan, Va?" Siena, perempuan kurus berperawakan mungil itu akhirnya mau melepaskan tangannya yang sejak tadi memeluk lengan Alan dengan mesra.Sedangkan Alan akhirnya bisa menjauhkan diri dari sosok bernama Siena. Dia merebahkan kepalanya di atas meja dengan wajah nelangsa. Ponselnya diambil Siena. Isi pesannya dengan Jeanne dibaca dengan lantang di depan teman-temannya.Seperti semua itu masih belum cukup juga, Alva sengaja menambahnya dengan cara mengambil foto Alan saat Siena sedang