TANPA sadar hari demi hari berlalu. Jeanne sudah pindah ke apartemen Alan dengan sedikit bumbu drama saat beres-beres pakaian dalamnya. Selebihnya baik-baik saja.
Hubungannya dengan Alan pun bisa dibilang baik, walaupun mereka lebih sering berdebat atau malah bertengkar setiap harinya. Namun, pertengkaran itu sudah seperti bumbu romansa di antara keduanya.Alasan itulah yang membuat status hubungan mereka sampai sekarang belum juga dicurigai oleh Tantri maupun Glen karena mereka masih terlihat sama seperti sebelum pacaran. Namun sepertinya, Sherina berhasil menyadari hubungannya dengan Alan, karena Jeanne merasa tatapan wanita itu tampak berbeda kepadanya.Bukan jenis tatapan sopan, melainkan tatapan yang terlihat merendahkan. Kadang kala Jeanne ingin bertanya, tapi dia berusaha keras untuk menahan dirinya.Jika Jeanne berani memulai, maka Alan akan menyadari pergerakannya. Jika Alan sudah ikut campur, Jeanne yakin Sherina akan langsung dipecat da"JEANNE orang asli Bandung, ya?" Sherina bertanya seraya mendekati mereka yang duduk di sofa. Dia pun ikut duduk di sofa lainnya.Sedangkan Glen menyambut makanan yang baru saja tiba dan siap untuk menghidangkan semua makanan ke atas meja. Sesekali pria itu akan melirik atasannya yang dikelilingi tiga wanita cantik di ujung sana.Jeanne mengangguk tanpa ragu. "Iya, gue emang asli Bandung, baru aja pindah ke Jakarta dua minggu lalu gegara kerjaan gue dimutasi ke sini," katanya dengan wajah masam."Eh, gue kira lo udah lama kerja di sini, Je?" Sherina menatapnya terkejut.Jeanne menggeleng. "Nggak kok, gue masih terhitung anak baru juga. Iya, kan, Tan?"Tantri mengangguki ucapannya. "Dia emang anak baru, tapi kerjaannya bagus, orangnya juga mudah bergaul, jadi nggak kelihatan kalau aslinya baru pindah tempo hari."Jeanne menyeringai. "Mudah bergaul tapi temen main gue cuma lo doang gini, Tan. Besok-besok gue deketin Govan juga, deh
"LO serius mau ikut ke Bandung?" Jeanne langsung bertanya ketika ia memasuki mobil Alan."Emang nggak boleh?" Alan balik bertanya, tatapan matanya menyiratkan rasa curiga yang begitu kentara.Jeanne terlihat tidak nyaman, dia memalingkan pandangan ke depan, menghindari tatapan Alan yang seperti sedang berusaha menelanjanginya."Boleh-boleh aja sih, tapi emangnya lo udah beres-beres?"Alan menelan ludahnya susah payah. Dia melupakan masalah itu sejak tadi. Gegara mau modus untuk menemui orang tua Jeanne dan cari muka di depan mereka, dia melupakan fakta kalau dia harus bersiap-siap dulu sebelum berangkat ke sana.Alan mengerjap pelan. "Lo sendiri, emang udah beres-beres?" Alan balik bertanya.Alan tidak ingat Jeanne sudah beres-beres pakaian sebelumnya. Makanya dia terkejut saat Jeanne bilang mau ke Bandung malam ini juga. Padahal Alan tidak melihat Jeanne siap-siap, Jeanne juga tidak mengatakan masalah itu padanya."Gue
JEANNE mengerjapkan mata saat keluar dari kamarnya di apartemen Alan dan menemukan pria itu sudah siap bersama koper di tangan kanan.Alan tersenyum melihat kekasihnya. "Tumben mau dandan cantik-cantik gini, mau ke mana emangnya?" godanya.Jeanne menelan ludah, ia tampak terpesona hingga tidak bisa berkata-kata. Selama ini Jeanne hanya pernah melihat Alan dengan setelan kerja yang membosankan. Walaupun Alan selalu tampil rapi, terlihat tampan, dan penuh kharisma. Namun menurut Jeanne itu semua biasa saja.Apalagi saat melihat Alan dengan pakaian rumahannya. Dia cuma pakai kolor, celana pendek atau celana panjang biasa, piama, atau malah bertelanjang dada.Jeanne tidak pernah melihat Alan dengan dandanan santai seperti ini sebelumnya. Alan mengenakan kaus pendek berwarna putih polos yang mengetat di tubuh kurusnya, dipadukan dengan celana jeans panjang berwarna hitam. Penampilan biasa saja tapi sanggup membuat Alan tampak lebih muda, lebih keren, d
LOKASI apartemen Jeanne ternyata tidak jauh dari letak kantor cabang berada. Alan pernah melewati tempat ini berulang kali saat ia di Bandung, tapi dia tidak pernah bertemu dengan Jeanne sebelumnya.Alan hanya bisa tersenyum. Mungkin memang belum takdir mereka saja untuk bertemu, karena buktinya mereka baru bertemu di kantor waktu itu."Ada apa?"Alan menatap kekasihnya tidak mengerti. Pasalnya sejak tadi Jeanne hanya menatapnya, bukannya lantas membukakan pintu agar mereka bisa masuk ke dalam."Balik badan!"Alan langsung memelototinya. "Apa?!""Gue mau masukin password dan lo nggak boleh ngintip," katanya sambil mendelik ke arah Alan.Alan langsung berdecak. "Kenapa gue nggak boleh tahu berapa password-nya? Bukannya selama ini lo tinggal sama gue juga? Lo juga tahu berapa password apartemen gue, terus kenapa gue nggak boleh tahu berapa password apartemen lo?"Jeanne bersedekap dada. "Ya, kan namanya privasi, L
ALAN yang rencananya mau ikut Jeanne menemui orang tuanya harus batal melakukannya. Karena saat dia bangun tidur, Alan sudah tak menemukan siapa pun berada di sampingnya. Jeanne sudah tidak ada. Dia menghilang dan meninggalkan Alan sendirian. Jika saja Alan tidak menemukan sebuah pesan bertuliskan tangan yang Jeanne tinggalkan di dapur apartemen, Alan pasti sudah memikirkan hal yang sangat buruk sekarang.Ya, mungkin hanya sedikit saja, karena sekarang sekarang dia masih menempati apartemen milik kekasihnya. Jadi, tidak mungkin Jeanne sengaja pergi lebih dulu dan meninggalkannya sendiri di sana.Alan menelan sarapan paginya dengan kuat, sendok di tangannya bahkan beradu dengan giginya dan membuat suara nyaring yang berdengung di telinga. Dia sedang kesal, dia sedang marah, tapi dia juga sadar kalau dia yang salah.Alan baru membuka matanya pukul sebelas siang, itu pun karena perutnya yang kelaparan. Sedangkan Jeanne berangkat ke rumah orang tuany
ALVA menatap puas hasil jepretan di layar ponselnya. Ralf yang ada di sampingnya hanya bisa geleng-geleng kepala ketika melihat Alva mengirim gambar itu kepada Jeanne dengan niatan untuk mengusik kekasih Alan."Nggak dibales lagi sama dia. Kalau mereka sampai berantem, lo wajib tanggung jawab lho, Va." Peringat Ralf sambil menatap Alva tajam.Alva meringis pelan dan meletakkan ponselnya di atas meja. "Dan gue bakal jadi perusak hubungan Alan untuk yang ketiga kalinya.""Hobi bener lo cari gara-gara sama Alan, Va?" Siena, perempuan kurus berperawakan mungil itu akhirnya mau melepaskan tangannya yang sejak tadi memeluk lengan Alan dengan mesra.Sedangkan Alan akhirnya bisa menjauhkan diri dari sosok bernama Siena. Dia merebahkan kepalanya di atas meja dengan wajah nelangsa. Ponselnya diambil Siena. Isi pesannya dengan Jeanne dibaca dengan lantang di depan teman-temannya.Seperti semua itu masih belum cukup juga, Alva sengaja menambahnya dengan cara mengambil foto Alan saat Siena sedang
"ORANG tua lo sukanya apa, Je? Biar ntar gue bawain." Alan bertanya saat mereka sudah sampai apartemen. Dia bingung juga mau bertamu ke rumah calon mertua, masa iya dia tidak bawa apa-apa?"Oh ... kalau gitu bawain anak aja, mereka pasti bakal seneng banget, Lan." Jeanne menyahutinya dengan tampang masa bodoh. "Gue mandi duluan, ya? Lo beres-beres aja dulu. Ntar abis dari sana kita langsung balik ke Jakarta."Sedangkan Alan yang mendengar jawaban pertamanya langsung tersenyum lebar. "Gue tahu lo udah pengen nikah secepatnya, tapi jangan kode kayak gitu mulu. Atau lo mau langsung dijadiin sekarang aja?"Jeanne yang semula hendak melangkah ke kamar mandi langsung berhenti dan menatapnya dengan tatapan tidak mengerti. "Apa sih?" tanyanya."Itu tadi, katanya minta dibawain anak aja? Mau bikin anak dulu baru nikah, ya?" Alan tersenyum menggoda.Jeanne langsung memelototinya. "Kan lo sebelumnya nanya mereka suka apa? Ya gue jawab anak kecil, lah! Mereka suka sama anak-anak. Setiap sore ruma
"LAN, lo pesen cincinnya di mana?"Jeanne bertanya begitu mereka sampai di Jakarta. Dia sedang memperhatikan cincin itu dengan detail. Memang sekilas tampak seperti cincin biasa penuh hiasan ukiran yang mengelilinginya, tapi nama Alan yang ada di tengah-tengah cincin itu membuktikan jika cincin yang berada di jarinya ini bukanlah cincin murahan yang bisa didapatkan secara acak di pasaran."Temen gue ada yang punya toko perhiasan. Lain kali gue bawa ke sana kalau lo suka sama desain cincinnya. Biar sekalian bisa pesan buat cincin pernikahan kita," kata Alan yang sudah dipenuhi rencana soal pernikahan mereka.Jeanne tampak terkejut mendengarnya. "Emang ada desain lainnya?"Alan menganggukkan kepala. "Dasarnya dia emang desainer perhiasan. Dia bikin sendiri semua desain karyanya terus dia jual. Dia juga punya katalog khusus buat semua desain buatannya, dan itu salah satu desain cincin dia. Desain lama lebih tepatnya, tapi menurut gue itu yang paling bagus buat lo.""Dia ada desain buat k
AKHIR-AKHIR ini Alan jadi sering disebut zombie. Dia tidak protes dengan julukan itu, karena dia pun mengakuinya sendiri. Hidup tanpa Jeanne membuat harinya terasa sepi, seperti hidupnya sudah tak berarti lagi. Namun dia tahu dengan pasti kalau Jeanne sedang menantinya kembali.Lalu akhirnya, semua penderitaannya selama ini akan berakhir hari ini. Dengan rindu yang memenuhi dada dan membuatnya merasa sesak yang begitu menyiksa. Alan memandangi pantulan dirinya yang dibalut jas putih bersih dengan senyum tipis menghias bibirnya.Semoga tidak ada drama lain yang bisa membatalkan acara pernikahannya atau dia benar-benar akan gila."Kamu masih belum siap juga?" Arnold melihat putranya yang sedang berkemas dan tak kunjung selesai sejak tadi.Penampilan Alan hari ini terlihat lebih baik dari hari kemarin. Mungkin karena sebentar lagi dia akan bertemu dengan calon istrinya setelah tiga minggu lebih mereka tidak pernah berhubungan lagi.Arnold sebenarnya cukup khawatir saat Jeanne tidak bisa
SEMALAM Alan terpaksa harus tidur di sofa ruang tamu, karena kamarnya benar-benar sudah tidak layak huni. Pagi harinya dia hanya bisa menatap kepergian Jeanne serta kedua orang tuanya seperti zombi.Tubuhnya terasa lelah dan remuk redam, tapi kini dia harus ditinggalkan sendirian. Walaupun demi kebaikan, tapi tetap saja rasanya menyesakkan.Apalagi saat dia tiba di kantor, masalah yang tersisa kemarin ditambah dokumen menumpuk di atas meja kerjanya ... Alan merasa pusing langsung menyerang kepalanya."Selamat pagi, Pak!" Glen menyapa seperti biasa.Alan memang selalu datang lebih awal, tapi dia akan berhenti di parkiran untuk mengecek kabar terbaru tentang perusahaan. Jadi dia bakal terlambat masuk ke ruangannya."Pagi," jawabnya lelah. "Untuk sementara waktu, tolong kosongkan jadwal temu saya dengan klien. Saya mau menyelesaikan semua dokumen dan masalah yang masih tersisa hari ini. Dan juga, tolong bantu Tantri agar bisa menjadi sekretaris sementara saya yang baik."Glen mengernyitk
"JADI, kalian mau langsung menikah saja bulan depan?" Bulan tersenyum bahagia saat mengatakannya. Itu berarti, sebentar lagi Jeanne akan resmi menjadi menantunya dan dia bisa segera menggendong cucu yang sudah lama diidam-idamkannya.Jeanne ganti menoleh ke sisi lain tubuhnya. "Jangan dong, Tante! Saya masih pengin melajang dulu sampai bulan depan, minimal samp—ai ..."Jeanne menelan ludahnya susah payah saat Alan langsung memajukan wajah hingga berada di depan wajahnya. Tangan pria itu entah sejak kapan sudah memegangi tangannya dan mencengkeramnya dengan kuat."Melajang gimana maksudnya, ya? Perasaan hubungan kita masih baik-baik aja dan nggak ada masalah apa pun akhir-akhir ini?" katanya dengan nada tajam. Kalau terus dibiarkan, Jeanne bisa makin seenaknya saja dan rencana pernikahan mereka bakal molor lama.Padahal Alan sudah ingin mengikat wanita ini agar bisa terus bersamanya setiap hari. Kalau dia masih mau mengulur waktu lagi, Jeanne pasti akan mencari pria lain lagi setelah i
ALAN memejamkan matanya. Menarik napas panjang, kemudian mengembuskan napasnya secara perlahan. Tidak bisa. Dia tidak boleh melakukannya. Dia sudah berjanji untuk menjadi pria setia, maka dia harus menepati janjinya apa pun yang terjadi nantinya.Alan menarik tangannya tepat saat ponsel yang ada di mejanya bergetar. Dia mengambil ponselnya dan membuka sebuah pesan yang masuk ke sana.Arnold : Sayang sekali kamu tidak mau pulang malam ini, kalau pulang, kamu pasti bisa merasakan bagaimana rasa masakan calon istrimu ini.Pesan dari papanya itu sukses membuat Alan langsung mengernyitkan dahi. Masakan calon istri ... maksudnya masakan Jeanne? Memangnya Jeanne bisa memasak?Seingatnya, Jeanne tidak bisa memasak dan tidak bisa melakukan pekerjaan rumah. Makanya dia mau mencari calon suami yang kaya raya agar dia tidak dibuat repot mengurus masalah rumah, karena dia bisa menyewa asisten rumah tangga.Lalu, siapa maksud calon istri di sini? Dia benar-benar Jeanne kekasihnya atau wanita lain y
JEANNE menyerah. Dia memang paling tidak cocok melakukan pekerjaan rumah. Walaupun untuk cuci piring dia sudah bisa menguasainya, tapi tetap saja masih ada satu atau dua gelas yang pecah karena ulahnya. Jeanne memang tidak dimarahi, tapi dia merasa tidak enak hati.Sepertinya dia memang harus membatalkan niat untuk menjadi calon menantu di rumah ini atau dia akan menghabiskan semua piring dan gelas kesayangan calon mertua baiknya ini.Jeanne mengembuskan napasnya lelah. Padahal dia hanya membantu cuci piring dan gelas. Dia memang sedang diajari memasak juga katanya, karena sejak tadi dia hanya disuruh mengupas sayuran, mengiris cabai dan bawang, lalu disuruh menggorengnya di wajan.Sisanya Bulan yang membereskan untuknya, karena Jeanne benar-benar tidak tahu apa yang harus dia lakukan dengan bahan-bahan yang sekarang sudah berada di wajan.Bahkan dia juga tidak tahu apa yang Bulan tambahkan ke dalam wajan. Mungkin saja bumbu dapur seperti garam dan sedikit penyedap rasa atau mungkin j
ALAN merasa kepalanya mau pecah. Satu masalah muncul, masalah lainnya langsung bertebaran. Setelah menyelesaikan harga saham dan persoalan video yang kekasihnya perankan, Alan menyadari dirinya sedang butuh seorang teman. Dia butuh hiburan, tapi kekasihnya tidak ada di sekitarnya.Padahal dia hanya butuh ditemani. Dibiarkan menyender dengan manja untuk menyingkirkan pusing dan lelah yang dia derita. Dia hanya butuh hal yang sederhana, seperti menyampaikan sedikit keluh kesah yang sedang dirasakannya atau mungkin hanya diam saja dan tiduran di paha kekasihnya.Namun kenyataannya Jeanne tidak ada di sana. Kekasihnya tidak ada di sekitarnya.Alan melirik jam di tangannya. Sebentar lagi jam makan siang usai. Jarak dari kantor dan apartemen memang tidak terlalu jauh, tapi tidak akan cukup untuk dia bermanja-manja dengan kekasihnya, karena Alan pasti ingin melakukannya sampai puas.Alan sudah menghubungi Jeanne, berniat meminta Jeanne datang ke sana dan menemaninya bekerja, tapi sialnya pon
RUMAH ini ternyata benar-benar luar biasa. Walaupun terlihat tenang dan nyaman dari luar, nyatanya dalamnya penuh senjata. Baik pistol maupun senapan laras panjang menjadi hiasan dindingnya.Jeanne menelan ludah susah payah. Ini kalau ada yang niat maling bakal langsung dibunuh di tempat, kah?"Ini senjata beneran atau imitasi, Om?" Jeanne refleks bertanya pada Arnold yang berjalan di belakangnya.Pria tua itu berhenti melangkah, karena Jeanne sedang menghentikan langkah untuk memandangi setiap koleksi simpanannya. Tubuh aslinya tinggi tegap, tapi dia harus kehilangan kaki kiri di tugas terakhirnya. Walaupun kini dia memakai sebelah kaki palsu, tapi Arnold masih suka membawa tongkat saat dia berjalan."Senjata asli, tapi nggak ada pelurunya."Jeanne berdecak kagum, kemudian tersenyum manis saat berkata, "Wah, kalau dijual bakal mahal nih, Om!""Nggak akan saya jual, soalnya buat koleksi sekaligus kenang-kenangan." Arnold menjawab dengan tenang, suaranya tegas dan jelas.Jeanne terkesi
"SEJAK kapan lo tinggal sama Jeanne?" Alva bertanya begitu dia berjumpa dengan Alan di ruangannya.Alva baru saja selesai mengantar Jeanne pulang, lalu dia kembali ke perusahaan itu untuk mengantar dokumen langsung ke sepupunya serta mencari tahu kabar viral yang sedang beredar pagi ini. Terlebih Jeanne sebelumnya berasal dari kantor cabang tempat dia bekerja. Alva juga yang merekomendasikan Jeanne dimutasi ke sana. Kalau Jeanne sampai kena masalah, sepertinya dia harus ikut turun tangan untuk bertanggung jawab bersamanya.Glen yang ada di sebelah bosnya langsung melotot tajam mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut seseorang yang sedang mengantar laporan dari kantor cabang Bandung untuk atasannya.Hari ini dia sudah cukup terkejut dengan berita viral soal video asusila Jeanne. Sekarang dia makin dibuat terkejut oleh kenyataan kalau atasannya dan Jeanne selama ini tinggal bersama. Bagaimana bisa? Bukannya atasannya masih mengincar Jeanne tempo hari, ya?"Setelah pacaran," jawabnya
DENGAN serempak mereka menoleh. Zion salah seorang teman divisi yang selama ini terang-terangan melempar kode pada Jeanne sedang mendekati mereka. Dengan wajah mesum, tatapan melecehkan, dan sebuah seringai menyebalkan."Lo jangan kurang ajar, ya!" Tantri langsung membela, karena bagaimanapun juga Jeanne adalah temannya. "Belum tentu juga itu video punya dia!"Jeanne hanya tersenyum miris. Itu memang dia. Itu memang video dirinya. Jeanne tidak mungkin melupakan wajahnya sendiri. Jadi, itu memang benar-benar dirinya. Dia tidak akan bisa menyangkal, karena dia pun dapat mengenali siapa pria yang mengambil video tersebut.Pria itu adalah mantan pacarnya. Salah satu pria yang pernah dicampakkan olehnya. Pria itu pula yang pernah membuat Jeanne trauma dan menjadi wanita matre plus realistis soal uang hingga sekarang."Lo masih mau nyangkal juga? Padahal yang punya video diem aja." Zion menyeringai.Tantri menatap Jeanne yang hanya diam saja dengan senyum tipis terukir di bibirnya. Jeanne m