SETELAH Jeanne melepaskan pegangan tangannya, sontak saja Tantri menatapnya dengan tatapan heran sekaligus tidak percaya. "Gue kira lo mau ikut makan siang bareng Pak Alan lagi, Je."
Jeanne tersenyum masam mendengar ucapan itu. Sejujurnya dia memang ingin makan siang bersama Alan, tapi entah kenapa dia langsung badmood saat melihat Sherina berdiri di sebelah pria itu. Lebih badmood lagi saat tahu kalau Sherina yang akan menjadi sekretaris baru Alan.Entah apa yang sedang terjadi dengannya, Jeanne tidak tahu. Atau mungkin dia merasa cemburu? Dia memang belum pernah merasa cemburu sebelumnya, marah dan kesal sih sering, tapi kalau cemburu begitu sepertinya tidakLagian, kenapa dia harus merasa cemburu segala? Dia bukan siapa-siapanya Alan juga. Cuma teman yang merangkap sebagai simpanannya saja."Kenapa? Jangan bilang lo ketagihan makan siang bareng Mas Mantan?" Bukannya menjawab, Jeanne malah balik menyerang.Tantri langsung menatapnya tajUNTUK yang ketiga kalinya Jeanne berpapasan dengan Glen hari ini. Entah ini yang disebut sebagai takdir, jodoh, atau apa pun itu, tapi sumpah pertemuan mereka sangat mengganggu sekali. Terlebih Glen sedang bersama Sherina kali ini.Tantri sudah memasang wajah masam saat melihat Glen berada di sekitarnya. Dia ingin langsung melengos sambil menyeret Jeanne untuk menghilang secepatnya. Namun bak sudah mengetahui rencananya, Glen segera mencegat langkah mereka."Jeanne!" panggil laki-laki itu dengan senyum tak berdosa terpampang di wajahnya."Ada apa lagi?" Jeanne mengembuskan napas kasar sembari menjawab panggilannya dengan sebal. Dia benar-benar tidak mood meladeni pria itu sekarang."Pak Alan minta bungkusin lo katanya." Kata-kata itu sontak membuat ketiga wanita yang ada di sana langsung memelototinya.Jeanne menatap Glen tajam. "Hah?! Dia minta bungkusin gue? Dikira gue makanan apa?" Responnya yang terlihat kesal."Mana gue tahu
PONSEL Jeanne tiba-tiba saja bergetar. Seperti sudah tahu siapa yang sedang menghubunginya, Jeanne langsung menghela napas kasar. Dia mengambil ponselnya dari tangan Alan dan langsung mengangkat panggilan."Halo!"Jeanne berdiri dan berniat pergi, tapi Alan langsung memegangi sebelah tangannya yang lain dan mencegahnya untuk menjauh dari sana. Jeanne menatapnya protes, tapi Alan balas menatapnya tajam sambil menepuk sofa di sebelahnya. Isyarat jelas kalau Alan meminta Jeanne untuk tetap duduk di sampingnya.Jeanne mengembuskan napas sekali lagi dan terpaksa harus duduk kembali. Sebenarnya dia tidak ingin bertengkar dengan Fredy di depan Alan, karena Alan mungkin akan tertawa mendengar pertengkaran mereka.Namun, Jeanne tidak punya banyak pilihan. Cengkeraman tangan Alan bukan jenis cengkeraman yang bisa dia singkirkan dengan mudah. Alhasil dia hanya bisa pasrah saat Alan mendekatkan wajah dan ikut menguping pembicaraannya dengan Fredy yang ad
SEBENARNYA, Jeanne bukan orang yang mudah patah hati. Alasannya karena dia pernah gagal menjalin hubungan berulang kali dan hal itu pula yang membuatnya membatasi diri saat mulai mencintai seseorang. Namun tak disangka, dia masih bisa merasakan sakit itu juga sekarang.Mungkin, karena dia terlalu percaya. Mungkin juga, karena dia terlalu berharap padanya. Jeanne tidak tahu mana jawaban yang tepat baginya, tapi memang benar saat ini dadanya terasa sesak bukan main.Jeanne menarik napas panjang, kemudian mengembuskan napasnya dengan perlahan. Dia melirik pantulan diri yang ada di depannya. Wajahnya tampak cukup berantakan, sebagian make up-nya masih aman, tapi memang lebih baik jika lekas dihilangkan.Jeanne membasuh mata dan pipinya menggunakan sedikit air dan membereskan beberapa anak rambutnya yang berantakan sebelum keluar.Alan baru saja selesai makan saat Jeanne keluar dari kamar mandi. Jeanne sontak saja mengernyitkan dahi. Entah makanan itu memang sudah dihabiskan atau malah dib
AKHIRNYA semua pekerjaannya selesai juga. Dia bisa pulang dan mengistirahatkan tubuh serta hatinya yang sedang kelelahan.Jeanne mengembuskan napasnya berat saat teringat pesan Alan tadi siang. Pria itu ingin mereka pulang bersama. Memangnya mereka bisa melakukannya jika pekerjaan Alan saja sedang menumpuk dan memenuhi meja?Jeanne mengambil ponselnya di ujung meja kerja dan mengirimkan pesan pada Alan yang tentunya masih berada di ruangannya.KoJeanne : Kerjaan gue udah selesai. Kerjaan lo gimana?Alan : Tinggal dikit, sebentar lagi selesai. Tungguin aja.Jeanne : Gue nggak boleh pulang sendirian aja, nih?Alan : Nggak boleh, tungguin aja sebentar, sepuluh menit lagi gue udah keluar.Jeanne : Nggak usah maksa gitu, takutnya bukan kelar malah salah kerjaan.Alan : Tenang, gue profesional, kok.Jeanne berdeceh saat membaca pesan terakhir dari Alan itu. "Profesional apaan kalau sekretarisnya selalu diajak main di kantor, huh?"Atau jangan-jangan Alan memang sedang melakukannya dengan S
ALAN pikir Jeanne bakal mengalami drama patah hati setelah putus dari kekasihnya. Namun nyatanya, perempuan itu kini tampak baik-baik saja. Jeanne terlihat biasa atau mungkin dia hanya pura-pura kalau sedang baik-baik saja.Sebenarnya, alasan itu pula yang membuat Alan tidak berniat melepaskan Jeanne sendirian malam ini. Setelah dia melihat langsung air mata yang menuruni pipi juga perlakuan buruk Fredy pada Jeanne selama ini. Alan merasa tidak boleh membiarkan Jeanne sendiri.Terlebih, dia tidak boleh sampai kecolongan lagi. Apalagi sampai membuat Jeanne kembali ke pelukan cowok berengsek bernama Fredy."Jadi, kapan lo mau pindah ke apartemen gue?" tanya Alan sembari tersenyum lebar. Sesekali dia akan melirik Jeanne dari ekor matanya sebelum kembali fokus pada jalan raya di depannya.Sejujurnya, Jeanne mau pindah secepatnya. Namun dia butuh waktu serta tenaga untuk membereskan semua yang sudah dia tata di apartemennya. "Lo mau bantu beres-beres emangnya?"Alan meliriknya lagi. "Boleh
ALAN tidak bisa tidur. Setelah mengantar Jeanne pulang, Alan sama sekali tidak merasakan kantuk akan datang. Alasannya sederhana, dia sekarang sedang bahagia, tapi juga merasa kesal sekali pada pacar barunya.Bagaimana tidak kesal? Mereka baru saja jadian tapi dengan entengnya Jeanne bilang kalau dia mau minta cincin mahal supaya bisa dijual kalau mereka putus nantinya. Memang terdengar realistis dan malah biasa saja, tapi Alan tidak mau hubungan mereka berakhir di tengah jalan. Dia bahkan tidak ingin membayangkan, karena dia ingin serius dengan Jeanne sampai ke pernikahan.Alan bahkan sudah memesan cincin dan siap untuk melamarnya kapan saja kalau cincinnya sudah jadi. Namun, Jeanne malah merencanakan apa yang akan dia lakukan jika hubungan mereka kandas suatu hari nanti.Alan berdecak kesal. "Kayaknya lo perlu dilamar secepatnya, kalau perlu cepetan dinikahin aja, biar nggak berani mikir macam-macam lagi kayak gini, Jeanne!" desisnya penuh emos
SUMPAH, Jeanne cuma mau tidur nyenyak saja malam ini, tapi ponsel yang tiba-tiba saja berbunyi memaksa untuk membangunkannya. Nama Alvuck di layar ponselnya sukses membuat Jeanne mengernyitkan dahi saat menerima panggilan dari mantan pacarnya."Ngapain malam-malam lo nelepon gue? Jangan bilang lo lagi sange terus pengen gue desah-desah gaje?" semprotnya langsung begitu telepon mereka tersambung."Sialan, Je! Lama nggak pernah ngomong sama lo, mulut lo jadi makin busuk aja sekarang, ya?"Jeanne mendengkus keras. "Ya gimana nggak jadi busuk kalau lo muncul-muncul langsung gangguin tidur nyenyak gue malam ini, sialan!" omelnya."Jangan salahin gue! Salahin pacar baru lo yang sukses bikin gue penasaran. Bener lo udah jadian sama Alan sekarang?"Jeanne mengumpat di dalam hatinya. Bagaimana bisa Alva tahu masalah itu padahal dia ada di Bandung sana? Apa Alan yang memberitahunya? Niat sekali kekasihnya itu sampai mau memberi tahu sepupunya segal
TAK disangka Alan benar-benar bisa menepati ucapannya. Semalaman Alan hanya memeluk Jeanne saja. Lalu saat membuka mata, Alan hanya mengajaknya duel lidah sebelum pria itu turun dari atas ranjangnya."Gue pulang dulu, mau mandi sama ganti baju, sekalian beli sarapan juga buat kita. Lo nggak masalah gue tinggal sendirian, kan?" katanya, terdengar lembut dan penuh perhatian. Benar-benar tidak seperti Alan yang biasa bersamanya.Jeanne hanya mencebikkan bibirnya. "Nggak masalah kok, gue baik-baik aja. Kayak bocah aja sampai takut ditinggal segala," cibirnya.Alan tersenyum tipis. "Bukan gitu maksudnya, ntar lo diem-diem mikir gue pergi karena mau macam-macam di luar sana lagi."Jeanne membuang pandangannya, tampak tak acuh saat menjawab, "Ya, kalau mau juga-"Alan menatapnya tegas. "Nggak akan, Jeanne. Jangan nantangin terus, kalau gue sampai khilaf lo juga yang bakal nyesel nanti."Jeanne cemberut. "Iya-iya, maaf!"Alan me