Kenedict menghela napas sembari mengangkat tatapannya. Ia bersiap mengambil langkah untuk memasuki ruangan. Pria itu sempat tertegun saat melihat dua orang perawat pria keluar dari recovery room di mana ia berada di depan pintu kayu berwarna putih.
“Permisi.”
Suara seseorang kembali memecahkan lamunan Kenedict. Pria itu memutar pandangan kepada Hailey yang entah dari mana, sejak tadi Kenedict tidak memedulikan keberadaan gadis itu. Namun, wajahnya tak kala menampilkan kecemasan.
“Apakah aku sudah bisa masuk?” tanya Hailey.
Sejurus kemudian dua orang berpakaian serba putih keluar dari dalam ruangan dan Hailey memindahkan atensinya kepada dua orang pria tersebut.
“Dokter,” panggil Hailey. Embusan napas berat yang keluar dari bibir Hailey sanggup menandakan bagaimana khawatirnya gadis itu saat ini. Terlihat ia menelan ludah sekedar untuk membasahi kerongkongan yang kering selama beberapa jam. Tangannya pun bergetar
“Silahkan duduk,” kata sang dokter sembari menunjuk kursi di depannya. Hailey dan Kenedict melangkah pelan mendekati meja sang dokter. Mereka duduk di depan dokter tersebut sembari menahan degup jantung yang kembali bertalu kencang setelah beberapa saat yang lalu sempat berdetak normal. Ketika menatap wajah sang dokter wanita, Hailey dan Kenedict merasakkan ketakutan yang muncul tiba-tiba hingga membuat langkah keduanya lemas. “Ada beberapa hal yang perlu kami sampaikan kepada keluarga pasien,” kata dokter. Ia menelengkan wajah ke samping lantas seorang wanita berpakaian serba hijau yang berdiri di sampingnya mendekat lalu memberi sebuah catatan yang merupakan rekam medis dari Chritian dan Ilona. Sang dokter mengulum bibirnya sembari membaca file berwarna hitam di tangannya. “Mmm … maaf, sebelumnya saya ingin bertanya tentang identitas pasien. Oleh karena mereka korban kecelakan, maka kami belum mendapat identitas pasien sebelum dibawa ke ruan
Terdengar dengkuran kecil lalu berubah menjadi ringisan. Hailey yang telah lelah, tengah mengistirahatkan kepalanya di samping tubuh Christian. Ia tidur sambil terduduk. Namun, bawah sadar gadis itu menangkap suara ringisan hingga membuatnya terbangun. Masih berusaha mengumpulkan kesadaran dengan mengerjap berulang kali sampai akhirnya kedua matanya terbuka lebar. “Chris!” Hailey bangkit dari tempat tidurnya ketika melihat kelopak mata Christian bergerak disertai suara ringisan yang menggema dari balik alat oksigen. Hailey mendongak mendapati Kenedict masih melebarkan mata. Melihat reaksi Kenedict, nampaknya pria itu enggan merespon. Ia hanya bersedekap sembari menatap dengan pandangan kosong. Tak berselang lama seorang dokter langsung menghampiri bangsal Christian. Disusul seorang lagi yang berporfesi sebagai dokter anastesi beserta dua orang perawat. Salah seorang dari mereka langsung membungkuk. Dengan jarinya, ia membuka salah satu kelopak
Kenedict bersedekap sembari memandang sepasang manik berwarna biru di depannya. Di samping Kenedict, Hailey berdiri sambil melipat satu tangan di dada dan satu tangannya lagi mengusap bibirnya. Gadis itu tampak begitu khawatir, tetapi juga lega melihat Christian telah siuman. “Bisakah Anda memberitahu kejadian terakhir yang Anda ingat?” tanya dokter Anna yang duduk di samping bangsal. Di samping dokter Anna, ada juga seorang dokter lagi yaitu dokter Mike, dialah yang waktu itu mengoperasi kaki Christian. Sedari tadi wajah Christian murung. Dia belum bicara apa-apa sejak siuman dan hanya menatap kakinya yang dibalut dengan gips dan kini terasa nyeri. “Tuan?” panggil dokter Anna sekali lagi. Akhirnya Christian menggerakkan bola mata, menatap dokter Anna saat ini. Ekspresinya begitu datar, tetapi berbeda dengan matanya yang kini tampak berkaca-kaca. “Beritahu kami, apa pun yang Anda ingat.” Dokter Anna kembali berucap. Suasana beg
Embusan napas panjang menyertai tangan Hailey yang bergerak sembari memegang sendok mendekati bibir Christian. Namun, pria itu hanya terus diam dengan pandangan kosong. “Makanlah. Kata dokter kau harus banyak makan supaya cepat pulih,” ucap Hailey dengan lembut. Wanita muda itu kembali mendorong sendok di tangannya hingga ke depan bibir Christian, akan tetapi perlakuan lembut Hailey malah dibalas dengan tatapan sinis oleh Christian. “Sudah kubilang agar kau segera pergi dari sini,” ucap Christian dengan nada sinis dan tatapan nyalang. Hailey mendesah. Ia meletakan perlatan makan ke atas nakas lalu duduk di samping bangsal. “Aku akan pergi setelah kau sembuh,” kata Hailey. Christian mendecih lalu mengalihkan pandangannya. “Bukannya kau ingin agar aku cepat mati?” “Apa aku pernah mengatakan itu?” Christian terdiam. Ia menghela napas panjang sampai kedua pangkal bahunya ikut terangkat. Desahan napas yang keluar dari mulutn
Satu bulan kemudian__________________Kenedict berlari menyusuri lorong koridor rumah sakit. Jantungnya berdetak meningkat ketika langkah kakinya semakin dekat. Kent makin tak sabar, ia langsung mengayunkan tangannya menekan gagang pintu. “Ilona.” Panggilan tersebut keluar disertai dengan embusan napas panjang yang menggema di ruangan VVIP rumah sakit ini. Jantung Kenedict serasa berhenti berdetak selama beberapa detik kemudian datang memberikan hantaman yang kuat hingga suaranya menggema dalam kepala Kenedict. Dag-dig-dug-dug-dag … Hentakan keras di dada Kent membuat pria itu menelan ludah. Seakan-akan jika ia tidak melakukan itu, jantungnya akan melompat keluar. Kent kembali mengambil langkah. Sambil tatapannya tidak lepas mematri tatapan pada sepasang manik berwarna cokelat yang terlihat tengah memandanginya dengan pandangan kosong. Empat orang tim medis mengitari bangsal si gadis dan nampaknya mereka telah selesa
Kenedict tersenyum sambil mendorong punggung Ilona untuk kembali bersandar ke headboard. Beberapa saat yang lalu seorang staff rumah sakit datang membawakan makanan untuk Ilona. “Kau pasti lapar. Sekarang kau makan, yah?” Walau sedari kemarin tak ada satu pun ucapannya yang dibalas oleh Ilona, Kenedict tetap konsisten mengajak Ilona berbicara. Semalam dia mendampingi Ilona. Menunggu gadis itu sadar, lalu kembali berbicara padanya. Kent tak akan menyerah sedikitpun. Dia sudah berjanji. Kali ini ia telah berhasil membuang perasaan emosional walau hatinya terkadang masih berkedut perih. Namun, sebisa mungkin, Kenedict tak ingin lagi menangis untuk Ilona. Sudah cukup. Gadis itu butuh seseorang yang kuat dan Kenedict bukan seseorang yang melankolis. Dia tangguh. Kent yakin itu. Melihat Ilona sudah siuman adalah hal terbaik yang patut disyukuri. Akhirnya doanya terkabul dan kekasihnya telah kembali. Kenedict juga sudah bersumpah tak akan mengulangi keburuka
“Ilona. Ayo ucapkan lagi Il-“ “Il – lo … na.” “Bagus.” Kenedict tersenyum. Ia mengusap puncak kepala Ilona dengan lembut. Sementara di samping mereka, Christian malah melongo. Ia masih tidak paham harus berbuat apa. Sedari tadi pria itu hanya mematri tatapan kepada dua orang di sampingnya. Seharian ini dia tidak bicara apa pun. Apa pun. Sungguh. Dia bisu seharian. Sejak semalam Christian tidak bisa memejamkan matanya. Terlebih, saat Kenedict menjelaskan keadaan Ilona, mendadak Christian jadi bisu. Bahkan tak ada selera untuk makan. “Chris, makan makananmu. Sialan kau membuatku harus mengurusimu. Lagi pula kenapa kau mengusir Hailey, hah?” Christian mendengkus. Ia memutar pandangannya kepada Kenedict. “Jangan sebut nama wanita itu,” desis Christian. “Oh, sekarang kau bicara? Kupikir kau bisu,” kata Kent sarkasme. “Kalau begitu makan. Kau menunggu aku menyuapimu.” “Diamlah, Kenedict, demi Tuhan!” Kali ini giliran
Kenedict membawa satu tangannya terlipat di depan dada, sementara satu tangannya lagi yang telah mengepal bergerak meninju pelan bibirnya. Sejak tadi ia mondar-mandir di depan sebuah ruang pemeriksaan. Lebih dari gelisah pria itu saat ini. “Kent, tidak bisakah kau duduk saja? Kau mulai membuatku pusing,” keluh Christian. Dia menegur Kenedict, padahal sedari tadi jantungnya terus bertalu dengan kencang dan duduknya semakin gelisah. Ilona telah dibawa ke sebuah ruangan kedap suara. Kent dan Christian sempat melihat ruangan tersebut. Sebuah ruangan dengan dinding berwarna putih. Kaca bentangan di dinding menghadap keluar. Sebuah kursi seperti ditempat relaksasi. Alat monitoring dan juga sebuah ventilator. Ilona di dudukkan di tempat tersebut lalu dipasangkan alat mirip earphone. Seorang pria bernama Charter merupakan teman dokter Anna dan ia seorang psikiater ternama di Inggris. Terakhir kali, mereka melihat Ilona diberi suntikan amobarbital sebelum akhi
Enam kemudian ><__________________San Diego – California USA Archer’s Mansion 07.23 PM_________ Ilona dan Jane begitu sibuk menata meja makan. Gadis itu sengaja turun ke dapur untuk membantu para pelayan mansion. Turun dari tangga, seorang pria bermata hijau dalam balutan sweater panjang berwarna abu-abu. Ia mengambil langkah panjang menghampiri dining room. Kedua kaki berhenti tepat saat tubuhnya tiba di pintu. “Katanya sup ayam mampu meningkatkan kekebalan tubuh saat hamil?” tanya Ilona. Ia membawa sesendok kuah ke mulutnya. Di sampingnya, Jane mengangguk. “Bagaimana rasanya?” Ilona menarik kedua sudut bibirnya ketika kelopak matanya melebar. “Mmmm …,” gumam gadis itu. Ia mengacungkan jempol. “Masakanmu selalu yang tebaik, Jane.” Jane tertawa. “Aku senang kau menyukainya, Nyonya.” “Em, em, em, em!” Hailey menggoyangkan telunjuk di depan wajahnya. “Sudah berkali-kali kubilang jangan pern
“Kalau begitu ayo kita mulai.” Hailey tersenyum penuh kemenangan. Melihat bagaimana manik berwarna biru milik suaminya kini berubah gelap membuat sesuatu dalam pangkal paha Hailey berkedut makin kencang. Embusan napas berat dari Christian menyapu kulit dadanya. Ditatapnya sang pria yang kini tengah melucuti bagian atas gaunnya dengan gerakan pelan. Seakan-akan tengah membuka kado spesial, Christian membukanya sepenuh hati. “Damn it,” gumam Christian ketika menatap bagian padat dan kenyal milik sang istri. Christian mendongak menatap Hailey lalu dilumatnya bibir istrinya dengan kasar. Hailey menghela napas di dalam mulut Christian lalu dengan cepat pria itu menarik bibirnya lagi. Tubuh Hailey menggeliat gelisah ketika Christian menempelkan lingualnya di leher wanita itu. “Oh, Chris. Mmmptthhh ....” Hailey mendesah. Kelopak matanya menutup sebagian manik berwarna cokelat itu. Tangan Hailey terangkat melepaskan jepit rambut. Membiarkan rambutnya
Christian menggendong pengantinnya dengan begitu lembut memasuki salah satu kamar mewah di hotel termegah kota ini. Desain serba putih dengan taburan bunga mawar merah di atas tempat tidur. Sementara sang pengantin wanita mengalungkan tangan ke leher Christian. Hailey memandang lelakinya lekat-lekat lantas ia menarik kedua sudut bibirnya. Hailey tersenyum. Hatinya dipenuhi bunga-bunga yang bermekaran. Betapa tidak menyangkanya wanita itu mendapatkan Christian sebagai suaminya. Sepertinya ia harus sering berterimakasih kepada Kenedict yang telah mengirim Hailey kepada kakaknya. Walaupun pertemuan mereka dibilang tragedy, tetapi Hailey sungguh bersyukur. Ia tak menginginkan hal yang lain selain pria bermata biru yang kini sedang mendekapnya mesra. Christian menaruh tubuh istrinya dengan begitu lembut di atas ranjang. Sambil mengunci tatapan pada Hailey, Christian bergerak menudungi tubuh sang istri. Ia tetap menjaga bobot tubuhnya dengan kedua lutut dan satu ta
Hallo :)Dengan berakhirnya kisah romansa dewasa ini, aku mau mengucapkan terima kasih untuk seluruh pembacaku yang sudah mengikuti kisah ini dari awal sampai akhir. Terima kasih juga untuk kalian yang telah berbaik hati memberikan VOTE & RIVIEW untuk novel ini. Mohon maaf apabila Novel ini kurang memuaskan. Sekali lagi, novel ini hanyalah sebuah karangan yang datang dari imajinasi penulis. Tidak ada sangkut paut dengan dunia nyata dan tidak ada maksud untuk menyinggung satu dan atau beberapa pihak/golongan. Apa pun yang tersuguhkan dalam novel ini, niatnya hanyalah untuk menghibur. Semoga ada pesan moral yang bisa diambil dari kisah Kenedict, Christian, Ilona dan Hailey. Sampai bertemu di karya-karyaku selanjutnya, yah :)Sehat terus. Jaga kesehatan dan semoga TUHAN MEMBERKATI :)Your lovely Author : DREAMER QUEEN
London – England09.23 AM________Kenedict mondar-mandir di dalam ruang ganti. Sementara di sudut ruangan terdengar embusan napas panjang dari Christian yang sedang duduk di kursi tunggal berwarna putih.“Kent, apa kau butuh popok?” cibir Christian. Pria itu gemas melihat tingkah Kent.“Sial!” Kent mendesis sambil menatap kakaknya dengan nyalang.Wajahnya pucat. Benar-benar pucat, tapi telinganya merah. Ia kembali berlari ke kamar mandi dan datang setelah sepuluh detik. Christian menggelengkan kepalanya. Pria itu akhirnya berdiri lalu mengambil jas berwarna hitam yang disampirkan ke sandaran kursi.TOK TOKKeduanya kompak menengok ke arah pintu. Hailey muncul dengan senyum sumringah.“Mempelai wanita telah siap,” kata Hailey.Christian tersenyum. Ia menjulurkan tangan saat Hailey berjalan cepat menghampirinya. Pria itu mendekap tubuh Ha
Dan sekarang aku sadar, jika sebenarnya ada tempat di mana seharusnya aku berada di sana. Berlari ke sana. Tempat yang pernah kuanggap sebagai sebuah kengerian. Kini berdiri di depanku sebagai penyembuhku.Christian Archer~______________Restoran di hotel mewah ini sedikit ramai, oleh karena para eksekutif global company memilih untuk makan siang di Ritz Carlton.Terdengar gelak tawa dari suara bass berat milik tuan Dune. Diikuti kekehan dari beberapa teman sebayanya. Mereka menikmati makan siang dengan santai. Berusaha menghilangkan formalitas yang mengikat.Namun, ada satu tempat dekat jendela yang suasananya sangat canggung. Dua orang muda memilih untuk duduk di tempat tersudut. Seolah-olah yang lain memang memberikan ruang bagi mereka. Sesekali mereka memandang pada pemandangan di luar jendela. Namun, semua itu sekadar untuk melepaskan gugup yang sedari tadi membalut suasana makan siang mereka.&ldq
Dua jam lebih duduk dalam posisi tegang. Gelisah. Gugup. Terus terdengar suara deheman berbalas-balasan.Sesekali saling mencuri pandangan lalu membuang muka saat tak sengaja bertabrak pandang . Seperti seorang pencuri yang sudah tahu akan tertangkap, tapi tetap ke sana.“Bagaimana dengan Anda, Mr. Chris?”Christian akhirnya bergeming. Pria itu menoleh ke samping. Ia bergumam lalu menaikkan kedua alis.“Apakah Anda punya ide lain?” tanya seorang pria pertengahan tiga puluh.Christian berdehem. Sejujurnya pria itu tak bisa berkonsentrasi. Ia telah berusaha selama dua jam penuh untuk membentuk konsentrasi di otaknya, akan tetapi Christian gagal. Otaknya berhenti berpikir. Terpusat pada bagaimana seorang Hailey McAvoy bisa berada satu ruangan dengannya. Dan kenapa dia sangat sialan cantik.“Ehem!”Entah Christian sadar atau tidak, wajah Adonisnya kini sedang berubah warna. Bagai udang yang terken
Christian menatap dirinya di depan cermin. Kameja berwarna putih dengan dasi hitam metalik tampak begitu gagah membalut tubuh kekarnya. Namun, wajah pria itu terlihat suram. Terdengar dari embusan napas panjang yang menggema di dalam deluxe room hotel mewah ini. “Sepertinya aku memang harus diet,” gumam Christian. Sekali lagi ia menatap dirinya dari pantulan cermin. Oke, Chris tak menyangka jika dirinya akan termakan ucapan manipulative adiknya sendiri. Akhirnya semalam Christian ke salon yang berada di dalam hotel ini. Dalam semalam, Chris bisa mengembalikan tampilannya. Dia terlihat makin tampan dengan tatanan rambut klasik yang telah menjadi ciri khasnya selama ini. Pria itu tak pernah mengganti gaya rambut sama sekali. Terlalu betah dengan potongan rambut crew cut. Tak lupa Christian juga mencukur kumis. Ah! Ini sungguh tidak adil. Sejauh ini Christian memang tak pernah memerhatikan dan memedulikan penampilannya. Hanya saja … entah mengapa
Milan – Lombardia, Italia. _____________________“Semua sudah siap, Tuan.” Seorang pria dalam balutan sweater rajut berwarna hitam dan celana jins berwarna biru bangkit dari atas bangsal rumah sakit yang telah selama enam bulan ini menjadi tempat tinggalnya. “Terima kasih, Theo.” Dia berucap setelah asistennya memberikan over coat berwarna cokelat. Mereka bersiap meninggalkan rumah sakit ini. Setelah dokter ortopedi mengatakan jika Christian Archer telah sembuh dari cedera kakinya seminggu yang lalu. Tidak mudah. Selama enam bulan ini, Christian Archer menahan rasa sakit. Mengikuti fisio terapi bukanlah hal yang gampang bagi seseorang yang memiliki cedera kaki parah. “Tuan,” panggil Theo. Ia memberikan kruk kepada Christian. “Aku tidak membutuhkannya,” kata Christian. Asistennya tak dapat membantah. Melihat tuannya mampu berdiri dengan kedua kaki, membuat ia senang. Perjuangan sang tuan akhirnya