Entahlah, Kiran takut Pras mengatakan hal yang tidak ingin dia dengar sehingga memilih tidak melanjutkan.Sampai pagi kembali menyapa, Kiran belum baik-baik saja. Senin. Hari yang banyak tidak disukai orang, tapi bagi Kiran, itu adalah hari yang membahagiakan. Bekerja adalah salah satu caranya untuk melupakan semua kepenatan.“Selamat pagi, Bu Kiran.”“Selamat pagi, Pak Iwan.” Kiran tersenyum lebar membalas sapaan security Bank yang membukakan pintu untuknya. Wanita itu berjalan cepat untuk absensi. Lima menit lagi morning briefing dimulai.“Hari ini, ada dua informasi penting yang akan kita bahas. Ada dua dari rekan kita yang mendapat SK.”Ruangan itu langsung berdengung. Bisikan dan kepala-kepala tertoleh saling bertanya mendengar kabar yang disampaikan oleh Nurman, Pimpinan Cabang di sana.“SK pertama atas nama Lira Veronika, mutasi ke kantor cabang pembantu di ….”Tepuk tangan langsung memenuhi ruangan. Sementara Lira maju dengan kepala tertunduk. Kiran tersenyum tipis melihat rek
“Nanti kalau ada rencana pencairan termin atau mau turun pokok, bisa langsung menghubungi saya saja, Pak Haidar.”“Siap, Mas Rusdi.” Haidar mengangguk-angguk. “Ah! Ini Pak Diar, kepala proyek yang memastikan kegiatan di lapangan berjalan sesuai rencana. Silakan kalau Mas Rusdi mau melihat area, bisa langsung dijelaskan oleh Pak Diar.”“Mari, Pak Rusdi.” Diar menyerahkan helm dan sepatu proyek pada Dira.Kiran urung berbicara saat Haidar menahan tas yang dia pegang. Tadinya, dia mau minta dibawakan juga helm dan sepatu proyek agar bisa ikut berkeliling. Namun, Haidar menggeleng hingga membuat dia mau tidak mau duduk kembali.“Selamat ya, Ran, karirmu melesat cepat. Sudah jadi manager sekarang ya.” Haidar tersenyum lebar. Matanya menatap Kiran lamat-lamat. Wanita yang pernah menjadi istrinya itu terlihat manis seperti biasa. Kiran bahkan terlihat semakin memukau di usianya yang semakin matang.Kiran tersenyum tipis. Dulu, dia pernah mengatakan pada Haidar kalau suatu saat kelak dia akan
Lelah dengan aktivitas hari ini dan pikirannya sendiri, Kiran memutuskan pulang lebih cepat saat dirasa semua pekerjaan anak buahnya sudah sesuai dengan jadwal harian yang mereka laporkan.“Masuk!”Kiran menahan napas melihat Pras berdiri di hadapannya saat akan menuju tempat parkir. Lelaki itu membukakan pintu mobil dan meminta Kiran masuk dengan menggerakkan kepala. “Nanti motornya biar minta di antar.”Kiran menarik napas panjang. Sungguh, dirinya masih belum baik-baik saja setiap kali berhadapan dengan Pras. mengingat begitu besarnya harapan yang sempat ada, lalu gugur sebelum mekar membuat Kiran enggan berhubungan kembali dengan Pras dalam waktu dekat.“Ayoooooo.” Pras akhirnya berjalan dan mendorong Kiran pelan agar masuk ke dalam mobil. Mau tidak mau, Kiran mengikuti Pras. Dia malas menjadi pusat perhatian. Apalagi beberapa karyawan yang mengenal mereka mulai melirik dengan tatapan menggoda.“Apa kabar, Ran?” Pras mulai menjalankan mobil. Lelaki itu tertawa kecil melihat wajah
“Nak Pras itu seperti jelangkung, tiba-tiba muncul tiba-tiba menghilang.” Ahmad terkekeh. Dia meletakkan teh hangat yang baru saja diseruputnya. Dua kuntum bunga melati mengapung di dalam gelas itu. Menimbulkan aroma wangi yang sangat nyaman untuk dinikmati bersama manis dan pahitnya air teh.“Maksudnya, Pak?”“Ya itu, muncul dan menghilang sesukanya.”“Jelangkung bukannya datang tak dijemput pulang tak diantar?”Ahmad menautkan alis. Dia seperti berpikir keras. “Oh? Sudah ganti ya?” ucapnya sambil nyengir.Pras menggeleng sambil tertawa kecil. Tangannya terulur mencomot bolu pandan di piring. Lelaki itu mengangguk-angguk saat merasakan tekstur kue yang sangat lembut dan terasa meleleh di lidah. “Ini bikinan kiran, Pak?”“Ya mana mungkinlah, ngawur kamu itu!” Ahmad menjawab cepat sambil melambaikan tangan. Sementara Pras langsung tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Ahmad. “Maksud Bapak, Kiran kan sibuk. Jadi yang biasa bebikinan ya Ibu.” Ahmad berdehem, berusaha meredakan tawanya
“Setahun sebelum bercerai dengan Haidar, Kiran berubah drastis. Dia yang biasanya banyak bicara dan selalu tertawa mendadak jadi pendiam dan lebih banyak melamun. Bapak dan Ibu tentu merasakan perubahan Kiran itu.” Pandangan mata Ahmad menerawang jauh.“Sebenarnya, Bapak dan Ibu sudah menduga pasti terjadi sesuatu di antara mereka. Tapi, Kiran dan Haidar memilih bungkam. Kami memutuskan diam. Sebagai orangtua, kami paham batasan yang tidak bisa kami lewati. Selama anak dan menantu masih bisa menyelesaikan masalah sendiri, Bapak enggan sekali ikut campur.”Pras mengangguk-angguk. Dia membenarkan ucapan Ahmad. Orangtua Kiran memang tidak pernah ikut campur tentang kedekatan mereka. Ahmad dan Rista pun tidak pernah bertanya kenapa dia mendadak menghilang lalu tiba-tiba muncul kembali. Selama dia dan Kiran baik-baik saja. Mereka menerima.“Bapak tidak menyangka ternyata permasalahan mereka seberat itu. Bahkan, pernikahan mereka harus selesai dengan kata cerai.” Ahmad menggeleng pelan. Lel
Pras menyipitkan mata saat masuk ke dalam kafe. Lelaki itu tersenyum lebar ketika menemukan orang yang dia cari. Meja pojok sebelah kiri, dekat tanaman hias dengan daun lebar-lebar yang tingginya sekitar satu meter menjadi pilihan orang yang sore ini membuat janji temu dengannya.Dia berjalan santai sambil mengamati sekitar. Kafe itu tidak terlalu ramai. Hanya ada sepasang muda mudi dan sekelompok mahasiswa berjumlah lima orang yang sedang sibuk dengan setumpuk buku dan laptop masing-masing.Lelaki itu tersenyum lebar melihat pasangan yang dia lewati. Si wanita mengambil minuman si pria dan mencicipinya. Setelah itu, dia menawarkan minumannya. Si pria menggeleng pelan dan masih sibuk dengan ponselnya.Sementara kelima mahasiswa tadi tampak berbincang seru. Mengabaikan sejenak tugas yang belum juga selesai. Entah apa yang diucapkan salah satu dari mereka, hingga beberapa diantaranya tertawa renyah sambil menutup mulut. Sudahlah! Pras menggeleng pelan. dia buru-buru mengalihkan pandanga
Pras menautkan alis. Dadanya mendadak berdegup kencang melihat tatapan kelam Haidar. Rahasia apa?Hening.Haidar sengaja menggantung informasi yang akan dia sampaikan. Pras mengalihkan pandangan. Bosan menunggu kediaman Haidar sementara dia pun enggan bertanya. Sebuah Chevrolet Captiva silver metalik terlihat memasuki area parkir kafe.Seorang pria keluar dari sisi kanan dan tergesa berjalan ke pintu kiri depan. Dia membukakan pintu untuk seseorang. Seperti yang sudah Pras duga, yang duduk di kursi penumpang adalah wanita. Pria itu menggandeng pasangannya keluar dari mobil. Sambil bercanda, mereka melangkah bersisian masuk ke dalam kafe.“Kiran mempunyai sebuah kekurangan. Organ reproduksinya bermasalah. Itulah yang membuat kami belum memiliki keturunan selama tiga tahun pernikahan. Berbagai promil sudah kami lakukan, sayang belum ada yang berhasil." Haidar menatap Pras tepat di mata. Dia berkata dengan suara mantap dan meyakinkan."Jadi, berpikirlah sebelum melangkah jauh. Kau lelak
Haidar memegang kemudi dengan erat saat mobil yang dia kendarai memasuki perumahan. Di depan gerbang tadi, beberapa warga sedang merapikan sekitar. Haidar menarik napas panjang. Dia masih hafal kebiasaan di sana. Setiap ada warga yang akan menggelar hajatan, warga lain akan membantu merapikan sekitar agar enak dipandang saat acara.Mata Haidar memanas saat di depan sana mulai terlihat tenda yang dipasang di depan rumah Kiran. Tujuh tahun lalu, tenda itu juga dipasang disana. Bedanya, dulu dia melihatnya dengan perasaan berbunga, sementara hari ini Haidar menatapnya dengan penuh luka.“Ran? Maukah kau melengkapi hidupku? Seseorang yang akan menjadi separuh jiwa dan menyempurnakan agama? Bersama kita memenuhi sunah Rasulullah untuk menikmati cinta halal dalam ibadah terlama.” Sore itu, tujuh tahun yang lalu. Bersama debur ombak dan jingga matahari senja yang membungkus kota, Haidar menatap Kiran dengan tatap penuh pinta.“Aku mau.” Perasaan Haidar melambung saat mendengar dua kata itu k
Namun, tak sekalipun dia membicarakan mantan istrinya itu di hadapan istrinya. Bahkan sampai usia pernikahan mereka yang ke empat, Kamila tidak tahu kalau Haidar pernah menikah sebelum dengan Raya. Kamila hanya tahu Haidar pernah menikah dan itu dengan Raya.Bagi Haidar, tidak ada gunanya menceritakan semua yang telah berlalu. Cukup dia dan hatinya saja yang merasakan. Cinta yang tersimpan rapi di dalam hati. Perasaan yang terus ada walau telah coba dia lupakan dan tak pernah lagi dia ucapkan.Untuk Kamila, dia mempersembahkan hati yang baru. Cinta dan rasa hormat yang berdasarkan pada komitmen dan tanggung jawab pada wanita yang sebentar lagi akan memberinya dua buah hati. Cinta dan kasih untuk ibu dari anak-anaknya.“Ah iya, hati-hati di jalan.”Kiran menatap Pras bingung. Sejak pulang dari bertemu Haidar tadi, entah sudah berapa belas kali Pras mengulangi kalimat terakhir yang Haidar ucapkan. Wanita itu menarik napas panjang. Dia melirik jam di dinding, sudah hampir jam sembilan
“Kiran?”Kiran dan Pras yang baru saja keluar dari menebus vitamin kehamilan di bagian farmasi menoleh berbarengan. Pras langsung melingkarkan tangan dengan posesif di bahu Kiran mengetahui siapa yang menyapa.“Mas Haidar?” Kiran tersenyum lebar. Dia menoleh pada Pras hingga mereka saling berpandangan. Suaminya itu meremas bahu istrinya pelan. Kiran hampir kelepasan tertawa melihat sorot mata Pras yang seolah mengatakan “jangan tebar pesona”.“Pras, sehat?” Haidar mengulurkan tangan pada Pras saat menyadari dia terpaku cukup lama menatap Kiran barusan. Ah … hampir lima tahun tak berjumpa, Kiran tak berubah. Wajah mulus, hidung mancung, bibir kecil dan penuh, kombinasi yang menciptakan keindahan di mata Haidar.Perlahan, pandangannya turun ke bawah. Mata Haidar mengembun. Mendadak perasaannya buncah. Hampir saja isaknya keluar tak tertahankan menyadari perut Kiran yang membuncit. Sungguh, walau bukan dia yang menjadi Ayah dari anak yang Kiran kandung saat ini, dia bahagia.“Kapan Kiran
“Untuk proses bayi tabung, ada beberapa tahapan yang harus kita lalui. Secara simpel saja saya jelaskan ya, pertama adalah tahapan induksi ovulasi. Nanti akan ada penyuntikan hormon untuk merangsang proses pembentukan sel telur. Nanti bisa dilakukan secara mandiri di rumah setelah saya berikan petunjuknya.Nah selama proses ini, Ibu harus kontrol setiap beberapa hari karena saya harus memantau ukuran telur yang ada. Setelah dirasa ukurannya sesuai, nanti disuntik dengan hormon lagi untuk membantu proses pematangannya.Maaf sebelumnya, apa menstruasi Ibu sudah teratur?”Kiran menggeleng. “Kadang dua bulan sekali, pernah sampai tiga bulan tidak halangan.” Kiran menjawab dengan bibir bergetar.“Baik, berarti kemungkinan besar tidak ada sel telur yang matang sehingga tidak terjadi pembuahan. Nah, setelah penyuntikan hormon untuk pematangan telur dilakukan, kita bisa mulai mengambil sel telur. Kemudian pengambilan sp**ma, proses pembuahan dan terakhir transfer embrio. Singkatnya seperti it
“Wa ja’alna minal-maa-I kulla syai’in hayyin. Afala yu’minuna.” (QS. Al-Anbiya: 30).“Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?”"Alhamdulillah." Kiran langsung mengucap hamdalah begitu turun dari mobil. Waktu sudah senja saat mereka tiba. "Bu, Pak." Kiran berjalan menghampiri orangtuanya yang memang sudah menunggu kedatangan mereka.Kiran menatap sekitar. Dia benar-benar merindukan suasana rumah mereka. Dua belas hari perjalanan umroh ditambah dengan masa karantina membuat dia dan Pras cukup lama meninggalkan tempat itu."Istirahat dulu." Linda yang menjemput mereka di tempat karantina tadi menepuk punggung Kiran pelan. Wanita itu membantu membawakan beberapa bawaan khas oleh-oleh dari tanah suci. Rista dan Ahmad bergegas ikut bergabung membawakan barang-barang dari mobil.Tidak terasa, azan isya’ berkumandang saat mereka baru saja selesai merapikan barang bawaan agar tidak terlalu berantakan.Setelah membersihkan diri dan makan m
Kesyahduan itu terhenti saat dua kanak-kanak berteriak riang di dekat mereka. Anak lelaki berusia sekitar enam tahun sedang mengejar anak wanita berusia sekitar empat tahun yang tertawa-tawa. “Oh!” Kiran menutup mulut. Matanya membelalak lebar pada Pras. Sedetik kemudian tawa Kiran berderai saat kedua anak itu berlarian di bawah meja mereka. Dia benar-benar senang melihat anak-anak itu bercanda.“Sini!” Teriak si anak laki-laki.“Tangkap ayo tangkap!” Anak wanita itu menjulurkan lidah dari seberang meja.“Nina, Fajar, kemari!” Wanita muda yang seusia dengan Kiran dan Pras berteriak galak pada kedua anaknya. “Maaf ya, Mas, Mbak, anak saya mengganggu makan malamnya.” Wanita itu mengangguk sungkan.“Tidak apa-apa, anaknya lucu.” Kiran menuntun anak itu memutari meja dan menyerahkannya pada ibunya. Kiran masih sempat mencubit gemas pipi gembil itu sebelum mereka berlalu.Pras dan Kiran tersenyum berbarengan saat meja mereka kembali sepi. Mereka mulai menikmati hidangan penutup malam itu.
"Makan yang banyak, biar cepat pulih. Ini Mama bawakan buah-buahan, bolu gulung, dimsum, ayo dimakan." Linda mengeluarkan barang bawaannya di meja. Satu persatu makanan itu diletakkan di hadapan Kiran. "Atau kalau nggak selera, biar Mama pesankan, Nak Kiran mau apa?"Kiran menggeleng pelan sambil tersenyum pada Linda. "Terima kasih, Ma." Tangannya terulur mengambil sumpit, dia mengangguk-angguk saat satu gigitan dimsum masuk ke mulutnya. "Enak, Ma." Kiran mengacungkan jempol."Sama-sama." Linda ikut duduk di meja makan. Wanita itu mengelus bahu Kiran pelan. "Habiskan." Linda tersenyum lembut."Diminum, Bu Linda, Pak Sakti." Rista meletakkan teh hangat. Dia lalu mengambil beberapa buah dan mengupasnya untuk dimakan bersama. Sementara Ahmad dan Sakti mulai asyik dengan topik obrolan mereka berdua."Kata Pras, Nak Kiran susah makan. Masih kepikiran ya?" Linda mengelus bahu Kiran. "Paksakan makan biar cepat pulih. Ajak Pras liburan, mumpung Nak Kiran dapat jatah cuti, toko nanti biar Papa
“Dugaan awal saya, kemungkinan janin tidak berkembang, Pak, Bu.” Dokter menjelaskan dengan hati-hati. Dia tahu sekali bagaimana perasaan dua orang di hadapannya ini. Mereka yang tadi datang dengan wajah cerah dan penuh rona bahagia kini terlihat pucat pasi seolah tak ada aliran darah di wajahnya.“Tidak berkembang bagaimana?” Pras mengepalkan tangan. Suaranya terdengar meninggi karena merasa dokter begitu lambat menjelaskan. Napasnya terengah menahan perasaan yang tidak karuan di dalam sana.“Begini, saya akan resepkan obat.” Dokter berdehem menyadari kondisi Kiran dan Pras yang mulai tidak bisa mengendalikan diri. “Semoga kontrol bulan depan, janinnya sudah bergerak aktif dan terdengar detak jantung. Dalam beberapa kasus, hal seperti ini sering terjadi. Kita usahakan yang terbaik.”Pras menekan matanya dengan jari. Sebisa mungkin dia mengendalikan diri dan menahan tangis. Dalam keadaan seperti ini, Pras menyadari ada Kiran yang pasti sangat terpukul mengetahui hasil pemeriksaan. Kala
"Berhenti dulu, Pi, beliin rujak buah itu." Kiran mencengkram tangan Pras sambil menunjuk ke pinggir jalan. "Mual, pengen yang asem-asem." Kiran nyengir melihat wajah Pras yang kesal karena dia minta berhenti mendadak."Ini Dedek yang mau, bukan aku.” Kiran mengelus perutnya pelan. Dia menahan tawa saat Pras memperhatikan dia dengan pandangan curiga.Pras menatap istrinya penuh selidik. Setelahnya, Pras tertawa dengan pandangan tidak percaya. “Dedek yang mau?” Pras tersenyum menggoda dengan sebelah alis terangkat. Dia mengelus pelan perut Kiran yang masih rata.“Iya.” Kiran mengangguk dengan raut wajah lucu hingga membuat Pras merasa gemas. Lelaki itu mencubit pipi istrinya sebelum membuka pintu mobil dan menyeberang jalan menuruti keinginan Kiran.Pras menggeleng pelan sambil menyerahkan plastik berisi irisan buah segar pada Kiran. Sejak tadi malam, istrinya itu mulai merasakan “ngidam”. Kiran bahkan menjadi lebih manja padanya. Pras sedikit heran karena sebelum mengetahui sedang ham
Mata Kiran membelalak lebar melihat testpack di tangannya. Garis dua. Seketika sekujur tubuh wanita itu bergetar hebat hingga dia harus berpegangan pada dinding agar tidak terjatuh.Kiran akhirnya jongkok di toilet kantor. Dia masih menatap tidak percaya pada hasil tes di tangannya. Dia bahkan berkali-kali memastikan bahwa itu adalah alat tes kehamilan, bukan testpack ovulasi untuk mengetahui masa subur."Ran?"Gedoran di pintu terdengar. Sementara Kiran masih tercekat tidak percaya dengan testpack di tangannya. Pagi tadi, Mira mendadak membawakan alat pengecek kehamilan dan memberikannya pada Kiran."Sana cek dulu!" Melihat Mira yang sangat ngotot bahkan sampai meminta OB membelikan alat itu tadi, Kiran akhirnya menerima walau dengan sedikit enggan.Sudah lama sekali dia tidak menggunakan testpack, dia takut kecewa dan sakit hati saat hasilnya tidak garis dua. Bahkan, selama menjalani program kehamilan dengan Pras, Kiran juga tidak menggunakannya. Untuk Kiran yang PCOS, telat dapat s