“Mas Haidar?” Tetangga yang sedang membantu persiapan di rumah itu menyapa Haidar saat lelaki itu keluar dari mobil.Seperti biasa, Ahmad dan Rista lebih suka memasak makanan sendiri daripada menggunakan katering setiap ada acara. Hal itu bisa mempererat hubungan antar tetangga karena saling bahu membahu mensukseskan acara.Ahmad yang sedang berkumpul dengan bapak-bapak langsung berdiri menyambut kedatangan Haidar. Lelaki itu tersenyum lebar saat menerima uluran tangan Haidar. Dia menjabatnya erat sebelum melepaskan dan menepuk bahu mantan menantunya itu pelan.“Kiran ada, Pak?”“Ada.” Ahmad mengangguk sambil menjawab pelan. Tenggorokannya mendadak terasa kering hingga suara yang keluar hanya terdengar seperti bisikan lirih.“Boleh Haidar bertemu dengan Kiran sebentar?”Ahmad menarik napas panjang. Dia menatap Haidar dengan mata sendu. Hingga beberapa detik berlalu, Ahmad belum juga memberikan jawaban. Lelaki itu masih memilih kalimat yang tepat untuk disampaikan pada Haidar.“Haidar
“Keluarga mempelai pria sudah datang. Tadi diarahkan untuk langsung menuju tempat akad nikah.” Kiran menoleh pada gadis muda berhijab coklat yang baru masuk lagi ke kamarnya. “Jadi, ponselnya ditaruh saja dulu ya, Mbak Kiran. Biar gampang ini memakaikan jilbabnya.”Kiran tersipu mendengar sindiran halus dari MUA yang sedang mendandaninya. Sejak tadi, dia memang terus-terusan memegang ponsel dan berbalas pesan dengan Pras.Banyak kekhawatiran Kiran. Takut Pras telat datang, mobil pecah ban, macam-macamlah yang dia pikirkan hingga sedikit-sedikit mengecek ponsel untuk mencari tahu sudah sampai mana rombongan keluarga mempelai pria.“Enak juga ya merias pengantin di rumah begini, suasana kekeluargaannya terasa kental sekali.”Kiran mengangguk pelan. Pras memang sengaja memilih MUA terbaik disana. Lelaki itu ingin Kiran tampil spesial dan berbeda di hari pernikahan mereka. Walau Kiran keberatan karena bayarannya yang fantastis, dia tidak bisa apa-apa karena Pras mengatakan sudah melunasi
Pras berdiri dan melangkah tegap mendekati Kiran. Dengan mantap, dia menggandeng tangan istrinya ke tempat tujuan. Sontak saja keheningan tadi berubah ramai. Masjid itu langsung dipenuhi gumaman dan suara tawa.“Sabar dong, Pras, main gandeng aja.”“Waduh, kelamaan nunggu jodoh. Tenang, Nak Pras, malam masih lama.”Masjid itu langsung pecah oleh suara tawa. Kalimat-kalimat candaan barusan membuat wajah dan telinga kedua mempelai terasa panas. Rona merah terlihat jelas dari wajah Kiran dan Pras.Wanita itu memonyongkan bibir dan menghentakkan tangan Pras. Sementara Pras tersenyum menggoda. Kiran berusaha melepaskan gandengan tangan Pras. Namun, lelaki itu memegang erat tangan Kiran hingga akhirnya dia pasrah mengikuti langkah lelaki yang baru sah menjadi suaminya. Sesampainya di tempat akad tadi, Pras dan Kiran langsung duduk. Setelah dipersilahkan oleh pembawa acara, Pras memegang kepala Kiran untuk membaca doa."Allahumma inni as’aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa ‘alaih. W
“Foto dulu di depan rumah ya, Mas, Mbak. Bagus ini banyak tanaman-tanaman, pas ada janur kuningnya juga.” Fotografer itu mengangkat jempol pada kedua pengantinnya.Kiran dan Pras terkekeh saat fotographer mengarahkan gaya. Sesekali, wanita itu memekik kencang saat Pras jahil mengangkatnya tinggi-tinggi setelah bergaya.Pras bahkan selalu menampilkan gaya konyol sehingga sesi pemotretan menjadi lama dan tidak selesai-selesai karena kebanyakan bercanda. "Aku lapar." Kiran menarik napas panjang dan menoleh pada Pras.Pras diam. Dia pura-pura tidak mendengar ucapan Kiran. Lelaki itu sibuk melihat hasil foto di kamera."Pras? Udahan ya? Aku lapar."Pras menoleh cepat. Dia menyerahkan kamera dan menatap Kiran tajam. "Kok Pras?""Hah?" Kiran kebingungan. Dia sedikit salah tingkah ditatap sedemikian rupa."Masa sama suami manggilnya begitu?""Eh? Trus apa dong?" Kiran nyengir sambil memainkan melati di bahunya. Sejujurnya, dia juga bingung harus memanggil apa pada Pras.Selama ini, mereka te
Mata Haidar tak lepas dari rumah Ahmad dan Rista. Bahkan, saat adzan isya’ berkumandang, dia masih betah di tempatnya semula. Berharap Kiran keluar dari rumah hingga dia bisa menatap wajah wanita itu untuk terakhir kalinya sebelum menjadi milik Pras seutuhnya.Haidar hampir melonjak bahagia saat melihat Kiran keluar dengan piyama tidur dan hijab senada. Namun, tak lama, wajah itu kembali muram melihat Pras yang ikut keluar rumah dan menggandeng istrinya mesra menuju rumah sebelah. Rumah yang dia ketahui memang sudah dibeli Kiran beberapa waktu yang lalu.Apakah Kiran dan Pras akan tinggal disana? Haidar terus bertanya dan menerka-nerka. Lelaki itu menggeram saat melihat Pras mencubit hidung Kiran gemas. Dia akhirnya mengalihkan pandang. Tidak tahan melihat pasangan itu yang sejak siang tadi terus tertawa-tawa bahagia.Saat Haidar menoleh kembali. Kiran dan Pras sudah masuk ke dalam rumah. Lelaki itu menarik napas panjang. Hening. Perumahan itu terasa hening. Dia melirik jam di tangan
Keukenhof merupakan taman bunga terbesar di dunia yang terletak di Lisse, Belanda. Menurut informasi yang Kiran baca di situs resmi taman itu sebelum terbang kemari, terdapat tujuh puluh kuntum bunga tulip yang ditanam sekali dalam setahun pada pertengahan Desember.Senyum mengembang di wajah Kiran saat memasuki Keukenhof Garden. Sejauh mata memandang, terlihat hamparan tulip berbagai warna hingga membuat mata menjadi sejuk dan terasa menentramkan jiwa. Merah, oranye, kuning, hijau, biru, ungu dan berbagai gradasi warna langsung menyambut kedatangan mereka. Ribuan tulip seakan menyapa pengantin baru itu. “Ini apa?” Kiran terpekik melihat dua lembar tiket Emirates tujuan ke Amsterdam beberapa waktu yang lalu. Wanita itu langsung menatap Pras yang sedang menyantap telur mata sapi buatan Kiran dengan nikmat.“Pras?” Kiran langsung menarik kursi dan duduk di samping Pras. Dia memegang tangan suaminya dan mengguncangnya pelan karena lelaki itu bersikap seperti tidak ada dia di sana.“Pr
"Bu Kiran? Pak Haidar sudah datang." Rusdi masuk setelah mengetuk pintu.Kiran yang sedang membuat laporan rekap pencairan mingguan menoleh pada Rusdi. Wanita itu menarik napas panjang dan mengangguk pelan. “Temani dulu di ruang meeting bisa ya, Mas Rusdi? Saya selesaikan dulu laporan sekitar sepuluh menit lagi. Sudah diminta kirim sama kantor pusat. Nanti kalau sudah selesai biar enak kita bicara di sini saja.”“Baik, Bu.”Kiran menarik napas panjang setelah Rusdi menutup pintu. Kepalanya berdenyut sakit. Sepulang dari Belanda dan kembali aktif bekerja, Kiran langsung mendapat laporan Haidar ingin melunasi pembiayaan di Bank mereka.Sebenarnya sudah dari akhir bulan Haidar mengajukan pelunasan, tapi sebisa mungkin Kiran minta Rusdi menahan dulu agar bisa bicara dengannya lebih dulu. Kiran menghembuskan napas kencang. Dia kembali fokus pada laporan di depannya sebelum pikirannya bercabang kemana-mana.“Beres!” Kiran melemaskan badan. Sejak pagi dia sibuk berkutat di depan laptop kanto
Kiran memijat kening saat pintu tertutup kembali. Kepalanya pusing karena Haidar mengajukan pelunasan menjelang evaluasi tengah tahun. Kinerja mereka akan tercatat menurun di kantor pusat karena ada pelunasan dalam jumlah besar.Andai dia masih menjadi account officer, tentu dia tidak akan sepusing ini. Kiran hanya tinggal memikirkan meningkatkan target pribadi. Sementara sekarang, dia harus memeras otak agar buahnya bisa tutup target semua.Kiran tersentak saat ponselnya berdering. Wanita itu mengambil tas dan melihat sejenak pada layar ponsel. Garis bibirnya tertarik membentuk senyuman saat melihat nama Pras di sana.“Assalamualaikum, Pi?”“Waalaikumsalam, Amih, sudah makan siang?” Suara Pras terdengar riang di seberang sana. “Belum ya? Papi sudah pesankan makanan, tunggu ya.”Kiran tersenyum mendengar ucapan Pras. Matanya melirik jam di layar laptop, jam dua belas lewat sepuluh menit. Akhir-akhir ini dia memang sibuk sekali sehingga sering melewatkan makan siang. Pekerjaannya menum
Namun, tak sekalipun dia membicarakan mantan istrinya itu di hadapan istrinya. Bahkan sampai usia pernikahan mereka yang ke empat, Kamila tidak tahu kalau Haidar pernah menikah sebelum dengan Raya. Kamila hanya tahu Haidar pernah menikah dan itu dengan Raya.Bagi Haidar, tidak ada gunanya menceritakan semua yang telah berlalu. Cukup dia dan hatinya saja yang merasakan. Cinta yang tersimpan rapi di dalam hati. Perasaan yang terus ada walau telah coba dia lupakan dan tak pernah lagi dia ucapkan.Untuk Kamila, dia mempersembahkan hati yang baru. Cinta dan rasa hormat yang berdasarkan pada komitmen dan tanggung jawab pada wanita yang sebentar lagi akan memberinya dua buah hati. Cinta dan kasih untuk ibu dari anak-anaknya.“Ah iya, hati-hati di jalan.”Kiran menatap Pras bingung. Sejak pulang dari bertemu Haidar tadi, entah sudah berapa belas kali Pras mengulangi kalimat terakhir yang Haidar ucapkan. Wanita itu menarik napas panjang. Dia melirik jam di dinding, sudah hampir jam sembilan
“Kiran?”Kiran dan Pras yang baru saja keluar dari menebus vitamin kehamilan di bagian farmasi menoleh berbarengan. Pras langsung melingkarkan tangan dengan posesif di bahu Kiran mengetahui siapa yang menyapa.“Mas Haidar?” Kiran tersenyum lebar. Dia menoleh pada Pras hingga mereka saling berpandangan. Suaminya itu meremas bahu istrinya pelan. Kiran hampir kelepasan tertawa melihat sorot mata Pras yang seolah mengatakan “jangan tebar pesona”.“Pras, sehat?” Haidar mengulurkan tangan pada Pras saat menyadari dia terpaku cukup lama menatap Kiran barusan. Ah … hampir lima tahun tak berjumpa, Kiran tak berubah. Wajah mulus, hidung mancung, bibir kecil dan penuh, kombinasi yang menciptakan keindahan di mata Haidar.Perlahan, pandangannya turun ke bawah. Mata Haidar mengembun. Mendadak perasaannya buncah. Hampir saja isaknya keluar tak tertahankan menyadari perut Kiran yang membuncit. Sungguh, walau bukan dia yang menjadi Ayah dari anak yang Kiran kandung saat ini, dia bahagia.“Kapan Kiran
“Untuk proses bayi tabung, ada beberapa tahapan yang harus kita lalui. Secara simpel saja saya jelaskan ya, pertama adalah tahapan induksi ovulasi. Nanti akan ada penyuntikan hormon untuk merangsang proses pembentukan sel telur. Nanti bisa dilakukan secara mandiri di rumah setelah saya berikan petunjuknya.Nah selama proses ini, Ibu harus kontrol setiap beberapa hari karena saya harus memantau ukuran telur yang ada. Setelah dirasa ukurannya sesuai, nanti disuntik dengan hormon lagi untuk membantu proses pematangannya.Maaf sebelumnya, apa menstruasi Ibu sudah teratur?”Kiran menggeleng. “Kadang dua bulan sekali, pernah sampai tiga bulan tidak halangan.” Kiran menjawab dengan bibir bergetar.“Baik, berarti kemungkinan besar tidak ada sel telur yang matang sehingga tidak terjadi pembuahan. Nah, setelah penyuntikan hormon untuk pematangan telur dilakukan, kita bisa mulai mengambil sel telur. Kemudian pengambilan sp**ma, proses pembuahan dan terakhir transfer embrio. Singkatnya seperti it
“Wa ja’alna minal-maa-I kulla syai’in hayyin. Afala yu’minuna.” (QS. Al-Anbiya: 30).“Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?”"Alhamdulillah." Kiran langsung mengucap hamdalah begitu turun dari mobil. Waktu sudah senja saat mereka tiba. "Bu, Pak." Kiran berjalan menghampiri orangtuanya yang memang sudah menunggu kedatangan mereka.Kiran menatap sekitar. Dia benar-benar merindukan suasana rumah mereka. Dua belas hari perjalanan umroh ditambah dengan masa karantina membuat dia dan Pras cukup lama meninggalkan tempat itu."Istirahat dulu." Linda yang menjemput mereka di tempat karantina tadi menepuk punggung Kiran pelan. Wanita itu membantu membawakan beberapa bawaan khas oleh-oleh dari tanah suci. Rista dan Ahmad bergegas ikut bergabung membawakan barang-barang dari mobil.Tidak terasa, azan isya’ berkumandang saat mereka baru saja selesai merapikan barang bawaan agar tidak terlalu berantakan.Setelah membersihkan diri dan makan m
Kesyahduan itu terhenti saat dua kanak-kanak berteriak riang di dekat mereka. Anak lelaki berusia sekitar enam tahun sedang mengejar anak wanita berusia sekitar empat tahun yang tertawa-tawa. “Oh!” Kiran menutup mulut. Matanya membelalak lebar pada Pras. Sedetik kemudian tawa Kiran berderai saat kedua anak itu berlarian di bawah meja mereka. Dia benar-benar senang melihat anak-anak itu bercanda.“Sini!” Teriak si anak laki-laki.“Tangkap ayo tangkap!” Anak wanita itu menjulurkan lidah dari seberang meja.“Nina, Fajar, kemari!” Wanita muda yang seusia dengan Kiran dan Pras berteriak galak pada kedua anaknya. “Maaf ya, Mas, Mbak, anak saya mengganggu makan malamnya.” Wanita itu mengangguk sungkan.“Tidak apa-apa, anaknya lucu.” Kiran menuntun anak itu memutari meja dan menyerahkannya pada ibunya. Kiran masih sempat mencubit gemas pipi gembil itu sebelum mereka berlalu.Pras dan Kiran tersenyum berbarengan saat meja mereka kembali sepi. Mereka mulai menikmati hidangan penutup malam itu.
"Makan yang banyak, biar cepat pulih. Ini Mama bawakan buah-buahan, bolu gulung, dimsum, ayo dimakan." Linda mengeluarkan barang bawaannya di meja. Satu persatu makanan itu diletakkan di hadapan Kiran. "Atau kalau nggak selera, biar Mama pesankan, Nak Kiran mau apa?"Kiran menggeleng pelan sambil tersenyum pada Linda. "Terima kasih, Ma." Tangannya terulur mengambil sumpit, dia mengangguk-angguk saat satu gigitan dimsum masuk ke mulutnya. "Enak, Ma." Kiran mengacungkan jempol."Sama-sama." Linda ikut duduk di meja makan. Wanita itu mengelus bahu Kiran pelan. "Habiskan." Linda tersenyum lembut."Diminum, Bu Linda, Pak Sakti." Rista meletakkan teh hangat. Dia lalu mengambil beberapa buah dan mengupasnya untuk dimakan bersama. Sementara Ahmad dan Sakti mulai asyik dengan topik obrolan mereka berdua."Kata Pras, Nak Kiran susah makan. Masih kepikiran ya?" Linda mengelus bahu Kiran. "Paksakan makan biar cepat pulih. Ajak Pras liburan, mumpung Nak Kiran dapat jatah cuti, toko nanti biar Papa
“Dugaan awal saya, kemungkinan janin tidak berkembang, Pak, Bu.” Dokter menjelaskan dengan hati-hati. Dia tahu sekali bagaimana perasaan dua orang di hadapannya ini. Mereka yang tadi datang dengan wajah cerah dan penuh rona bahagia kini terlihat pucat pasi seolah tak ada aliran darah di wajahnya.“Tidak berkembang bagaimana?” Pras mengepalkan tangan. Suaranya terdengar meninggi karena merasa dokter begitu lambat menjelaskan. Napasnya terengah menahan perasaan yang tidak karuan di dalam sana.“Begini, saya akan resepkan obat.” Dokter berdehem menyadari kondisi Kiran dan Pras yang mulai tidak bisa mengendalikan diri. “Semoga kontrol bulan depan, janinnya sudah bergerak aktif dan terdengar detak jantung. Dalam beberapa kasus, hal seperti ini sering terjadi. Kita usahakan yang terbaik.”Pras menekan matanya dengan jari. Sebisa mungkin dia mengendalikan diri dan menahan tangis. Dalam keadaan seperti ini, Pras menyadari ada Kiran yang pasti sangat terpukul mengetahui hasil pemeriksaan. Kala
"Berhenti dulu, Pi, beliin rujak buah itu." Kiran mencengkram tangan Pras sambil menunjuk ke pinggir jalan. "Mual, pengen yang asem-asem." Kiran nyengir melihat wajah Pras yang kesal karena dia minta berhenti mendadak."Ini Dedek yang mau, bukan aku.” Kiran mengelus perutnya pelan. Dia menahan tawa saat Pras memperhatikan dia dengan pandangan curiga.Pras menatap istrinya penuh selidik. Setelahnya, Pras tertawa dengan pandangan tidak percaya. “Dedek yang mau?” Pras tersenyum menggoda dengan sebelah alis terangkat. Dia mengelus pelan perut Kiran yang masih rata.“Iya.” Kiran mengangguk dengan raut wajah lucu hingga membuat Pras merasa gemas. Lelaki itu mencubit pipi istrinya sebelum membuka pintu mobil dan menyeberang jalan menuruti keinginan Kiran.Pras menggeleng pelan sambil menyerahkan plastik berisi irisan buah segar pada Kiran. Sejak tadi malam, istrinya itu mulai merasakan “ngidam”. Kiran bahkan menjadi lebih manja padanya. Pras sedikit heran karena sebelum mengetahui sedang ham
Mata Kiran membelalak lebar melihat testpack di tangannya. Garis dua. Seketika sekujur tubuh wanita itu bergetar hebat hingga dia harus berpegangan pada dinding agar tidak terjatuh.Kiran akhirnya jongkok di toilet kantor. Dia masih menatap tidak percaya pada hasil tes di tangannya. Dia bahkan berkali-kali memastikan bahwa itu adalah alat tes kehamilan, bukan testpack ovulasi untuk mengetahui masa subur."Ran?"Gedoran di pintu terdengar. Sementara Kiran masih tercekat tidak percaya dengan testpack di tangannya. Pagi tadi, Mira mendadak membawakan alat pengecek kehamilan dan memberikannya pada Kiran."Sana cek dulu!" Melihat Mira yang sangat ngotot bahkan sampai meminta OB membelikan alat itu tadi, Kiran akhirnya menerima walau dengan sedikit enggan.Sudah lama sekali dia tidak menggunakan testpack, dia takut kecewa dan sakit hati saat hasilnya tidak garis dua. Bahkan, selama menjalani program kehamilan dengan Pras, Kiran juga tidak menggunakannya. Untuk Kiran yang PCOS, telat dapat s