"Ini tidak berarti apa-apa. Tolong jangan pernah berharap lebih dariku."Ruby sedang meraih pakaian dalamnya yang bertebaran di atas lantai, ketika mendengar suara maskulin yang mengalun dingin itu. Wanita berponi itu pun tersenyum manis kala mendengar kalimat yang diujarkan oleh Ervan."Kamu sendiri sudah tahu, kalau aku bukan perawan yang akan menangis manja dan meminta pertanggungjawaban setelah bercinta kan?" cetus Ruby santai, lalu dengan sengaja ia mengenakan panty dan bra-nya di depan Ervan dengan gerakan yang sensual, dan tertawa kecil melihat ekspresi datar pria itu.Dengan hanya masih mengenakan pakaian dalam, Ruby melangkah kembali menuju ke brankar dimana Ervan masih berbaring di sana. Ia mengusap lembut pipi pria itu, dan cukup senang karena Ervan tidak menepis tangannya."Kamu adalah seorang Jaksa Muda, sedangkan aku adalah Psikiater. Kita berdua punya reputasi yang harus dijaga, kan? Jadi jangan cemas. Aku tidak akan menuntut apa pun darimu, Sayang." Ruby mengecup bibir
Ruby sekuat tenaga menahan tangannya yang ditarik oleh Ervan. Maniknya yang bening dan hitam sontak mendelik kesal kepada pria yang menariknya ke arah brankar, dan secara tersirat mengatakan ingin bercinta dengannya di sana. Sebenarnya si Ervan ini sudah gila apa gimana sih?? Ruby menyentakkan tangannya dengan kasar hingga terlepas dari genggaman Ervan, membuat alis lebat dan lurus pria itu pun seketika terangkat naik penuh tanya menatapnya "Kenapa? Apa sekarang kamu menolakku, Dokter Ruby?" Wanita bersurai seleher itu pun melipat kedua tangannya di dada dengan sorotnya yang memicing. "Ya sudah jelas aku pasti menolak! Sekarang ini adalah jam praktek, Van. Tolong jangan nodai profesionalitasku dengan nafsumu," semburnya gusar. Sejenak Ervan terlihat mengerjap kaget mendengar jawaban Ruby, namun sedetik kemudian ia pun mendenguskan tawa pelan. "Pfft... profesionalitas, katamu?" celetuknya, sembari mendekatkan wajahnya dengan sengaja ke wajah Ruby hingga hidung mereka pun kini
Rafka mendenguskan napas pelan namun tajam mendengar ancaman Yuna. Sejujurnya ia sudah tidak terlalu peduli lagi dengan apapun rahasia Mika di masa lalu, yang akan digunakan kakak tirinya ini untuk menghancurkan reputasi Mika. Ia pasti bisa menghalanginya. Rafka akan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk melindungi Mika."Jika apa yang kamu sudah selesai, silahkan pergi," cetus dingin pria itu. "Mika akan sangat terganggu mendengar omong kosongmu itu.""Aku adalah satu-satunya keluarga bagi Mika, maka aku lebih berhak untuk berada di sini!" sergah Yuna marah dan semakin menyorotkan tatapan kesal kepada pria bersurai coklat di depannya itu."Cih. Keluarga? Apa kamu tidak memiliki sedikit rasa malu untuk menyebut diri sendiri sebagai keluarga, tapi apa yang telah kamu lakukan adalah memeras Mika?!" Rafka berdecih dan menguraikan seringai miring penuh intimidasi. "Bahkan ketika kamu merasa sedang 'menyelamatkan' Mika saat kami bercerai, sesungguhnya ada maksud di balik itu, bukan? Meng
"Mau kemana?"Kepala Mika pun sontak menoleh ke arah suara yang barusan bertanya padanya. Di sana berdiri Rafka, yang menatapnya dengan tajam."Uhm... mau ke kamar mandi," sahut Mika yang meringis dalam hati melihat sorot manik biru pria itu seolah ingin menelannya hidup-hidup."Sudah kubilang jangan banyak bergerak dulu, Mika. Aku hanya meninggalkanmu sebentar, dan kamu sudah tidak patuh."Rafka menaruh beberapa dokumen yang semula ia pegang ke atas meja, lalu buru-buru melangkah cepat menuju brankar dimana Mika sudah duduk di salah satu sisinya berniat untuk berdiri.Mika baru saja sadar dari efek bius sekitar satu jam yang lalu. Tak terbayang betapa leganya Rafka melihat wanita yang dicintainya itu kembali membuka mata. Namun karena terlalu mencemaskan Mika, pria itu pun semakin over protektif dan tidak membiarkan Mika melakukan apa-apa sendiri. "Untung saja kamu masih sakit. Karena kalau tidak, kamu pasti sudah mendapatkan hukuman karena membangkang," guman pria itu lagi, sambil
"Tolong keluarkan lidahmu, Dokter Ruby. Please."Permintaan yang disuarakan dengan nada merayu nan lembut itu membuat amarah Ruby sedikit menurun, dari yang semula hendak deras menyembur keluar. Sial. Ia memang lemah kalau sudah berhadapan dengan pria tampan yang tidak terlalu mengedepankan egonya, persis seperti yang Ervan lakukan saat ini. Pria yang tahu jika dirinya bukanlah wanita yang akan mudah tunduk begitu saja pada maskulinitas, yang menyadari sisi Alpha-female yang ada di dalam diri Ruby, dan sama sekali tidak keberatan serta tidak terancam dengan sosok wanita yang dominan.Ervan menyeringai samar saat melihat wajah cantik yang semula kaku dan gusar itu kini terlihat sedikit mengendur. Sambil mengagumi bintik-bintik halus kemerahan yang tersebar di kulit putih wajah Ruby, pria itu pun mengusapkan ibu jarinya di bibir lembut bagian bawah yang tampak sangat menggiurkan itu."Aku ingin melihat lidahmu," bujuknya lagi dengan tatapan penuh damba. Ujung ibu jari Ervan kemudian
"Sekarang bisa tinggalkan kami, Suster? Kasihan pacar saya, karena dia pasti sangat malu saat ini." Ervan bisa mendengar suara dengusan pelan dari balik selimut, dan ia pun bisa membayangkan manik bening yang cantik itu pasti sedang memutar kedua bola matanya mendengar pengakuan sepihak Ervan."Oh ya, satu lagi. Tolong untuk satu jam ke depan jangan ada yang masuk ke dalam ruangan ini. Terima kasih," tambah pria itu lagi, sembari menyunggingkan senyum samar ke arah si perawat yang menatap Ervan dengan sorot bingung."T-tapi ini... rumah sakit, Pak Ervan. Dan Anda adalah salah satu pasien kami yang harus diperiksa kondisinya secara berkala~~""Saya hanya meminta waktu satu jam," potong Ervan dengan tatapan tajam penuh intimidasi meski senyum masih terlukis di wajahnya. "Tidak masalah, kan?"Tak ada yang bisa menolak perintah tegas bernada tak ingin dibantah serta aura penuh ancaman yang terselubung di dalamnya, membuat si perawat yang malang itu hanya akhirnya hanya menganggukkan kepa
"Tentu saja aku akan membantumu keluar dari ruangan ini tanpa ketahuan siapa pun, Dokter Ruby. Tapi... itu tidak gratis." Ruby mengernyitkan keningnya dan melipat kedua tangan di dada dengan gestur waspada, ketika mendengar perkataan Ervan barusan.Sial. Gara-gara Ervan menjebaknya terlalu lama di kamar rawat ini, maka ia pun kesulitan untuk keluar dan terlihat oleh para perawat yang sejak beberapa jam yang lalu mencari keberadaannya. Mereka pasti bertanya-tanya apa yang ia lakukan di kamar salah satu pasien, dengan durasi yang cukup lama pula!Terutama setelah salah satu perawat memergoki Ervan sedang tidur bersama "seseorang" di balik selimut, dan si jaksa menyebalkan ini dengan entengnya mengakui bahwa sosok di atas brankarnya itu adalah pacarnya.Ok, Ruby memang aman tak ketahuan karena Ervan tidak menyebut nama, dan juga karena ia berlindung di balik selimut.Tapi akan jadi beda masalahnya jika seseorang memergokinya keluar dari kamar rawat Ervan!"Fine. Apa yang kamu inginkan s
Ruby menatap nanar ke arah paper bag putih di depannya. Jam prakteknya telah usai, dengan pasien terakhir yang baru saja keluar dari ruangan ini. Pasien yang sama sekali tidak ia sangka, dan juga meninggalkan paper bag putih ini untuknya."Aaarrghh!! Aku bisa gila kalau beginii!!" Gusar wanita itu sembari menjambak rambutnya yang seleher karena frustasi.Ia pun segera berdiri dari kursi, lalu menyambar paper bag itu dari meja dan mengayunkan kaki keluar ruangan dengan langkah lebar-lebar.Ia harus segera menyingkirkan benda ini sebelum kepalanya pecah karena stress!Ruby membuka pintu dengan kasar, lalu melangkah tegas ke arah ruangan perawat. Ia akan menaruh benda ini di sana. Ya, itu ide yang sangat bagus."Halo, Dokter Ruby. Ada yang bisa dibantu, Dok?" Salah seorang perawat berusia paruh baya menyapanya dengan ramah dan senyuman, membuat Ruby ikut membalas senyum. Meski sesungguhnya ia sedang malas sekali berbasa-basi.Ruby menaruh paper bag itu ke atas meja panjang. "Ini ada ma
Suara riuh rendah gumanan dan orang-orang yang berlalu lalang di sekitar disertai decit roda koper dan announcement dari speaker yang menggema pelan, adalah suara familier yang melatarbelakangi situasi di sebuah bandara. Kedua manik mereka masih lekat menatap, tanpa ada seorang pun yang ingin mengerjap. Seolah hati yang sesungguhnya sama-sama saling bertaut itu enggan untuk melepas, tapi juga ragu untuk menetap. "It's the time." Suara maskulin pria yang mengalun berat itu berucap. "Hum, I think it is the time," sahut sebuah suara wanita yang jauh lebih lembut dan sedikit serak yang khas. Tiga hari telah berlalu, dan kini saatnya Ruby akan kembali ke Kota Bern. Sang wanita pun akhirnya mencoba untuk mengurai sebuah senyum, meskipun maniknya mulai tampak berkaca-kaca. Satu tangannya terulur dan tergantung di udara. "Terima kasih untuk tiga hari ini, Ervan. Menjadi kekasihmu ternyata sungguh menyenangkan, meskipun hanya untuk sementara." Pria yang disebut Ervan itu pun me
"Selamat siang, apa Dokter Ruby ada di dalam?" Ervan menyapa ramah seorang perawat yang bertugas berjaga di depan ruang praktek Ruby. "Eh... Pak Ervan? Apa Anda memilki jadwal temu dengan Dokter Ruby siang ini??" si perawat yang tampak kebingungan pun mencoba membuka daftar pasien, lalu menggeleng pelan. "Maaf, sepertinya Pak Ervan belum mendaftar kan? Mau saya daftarkan, Pak?" "Hm. Apa sekarang Ruby sedang menerima pasien?" tanya balik Ervan. "Benar, Pak. Dokter Ruby masih menangani pasien yang konsultasi." "Laki-laki atau perempuan?" Tanya Ervan lagi, yang membuat si perawat semakin tak mengerti. "Eh... laki-laki sih. Namanya Pak Reyvan Daniel," bisik si perawat itu. Tak seharusnya ia membocorkan nama pasien, namun sorot mengintimidasi dari manik gelap Ervan membuatnya takut. Lagipula, satu rumah sakit ini sudah tahu jika Dokter Ruby sedang menjalin hubungan dengan salah satu pasien yang juga seorang Jaksa terkenal, Ervan Dewandaru. "Oke. Saya akan masuk sekarang
"Rey?!" Ruby mengutuk segala kesialannya hari ini. Setelah pagi-pagi tadi kepergok tidur di brankar milik Ervan oleh ibu dan adiknya, kini ia malah harus berhadapan dengan pria berkaca mata yang menatapnya lekat dalam diam. "Kamu ada apa ke sini?" Ruby mencoba untuk tersenyum formal dan bersikap biasa saja, meski dalam hati bertanya-tanya kenapa Rey tiba-tiba saja mendaftar menjadi salah satu pasiennya. Reyvan Daniel... pria ini pernah menjalin hubungan asmara dengannya di masa lalu. Rey, pria yang meninggalkan kesan mendalam dan juga sejujurnya... sulit ia lupakan. Rey menyunggingkan senyum tipis saat ia telah duduk di kursi di depan Ruby. "Aku cuma ingin ketemu kamu. Di klub kemarin kamu cuma sebentar dan langsung pergi. Jadi kurasa sebaiknya aku mendaftar jadi pasien saja biar bisa bicara banyak," sahut pria itu dengan ringannya. "Oh. Oke, ayo kita bicara kalau begitu," cetus Ruby sambil mengangguk. "Sorry, kemarin ada hal penting yang membuatku buru-buru." "Tidak
Mika membuka kedua matanya dengan perlahan, saat ia merasakan sebuah benda lembut dan hangat yang menyentuh bibirnya. Ia baru menyadari bahwa saat ini tengah berbaring di atas ranjang super besar yang empuk, di sebuah kamar luas yang tidak ia kenali sama sekali. Mungkinkah Rafka membawanya ke sebuah hotel? Perasaan nyaman pun serta merta menyerbu benaknya, ketika melihat manik biru kristal yang teduh itu yang telah menyambut dirinya kala membuka mata. "Rafka..." Wanita itu pun tak lagi dapat menahan seluruh isak tangis yang terkumpul berat serta sangat menyesakkan dada, ketika akhirnya segalanya telah usai. Atau... benarkah ini sudah usai? Ah, dia tak peduli lagi. Yang terpenting di dalam pikiran Mika saat ini adalah dirinya yang berada di dalam pelukan erat Rafka. Ini sungguh sepadan, karena dunia dan isinya tak kan mampu membahagiakannya seperti Rafka yang telah menggenggam hatinya sejak dulu, hingga hingga akhir nanti. "Jangan menangis lagi, Mimi. Katakan, apa
"Selamat pagi, Dokter Ruby." Ruby mengangkat wajahnya dari ponsel yang sedang ia pandangi sejak tadi karena sedang membaca sebuah e-mail penting. 'Ah, kenapa harus bertemu dengan mereka lagi sih?' erangnya dalam hati, meski dengan lihainya ia tutupi dengan senyuman ramah. "Selamat pagi, Nyonya Irna," sahutnya sambil berdiri untuk menyalami wanita itu. "Oh iya, ini Elsy adiknya Ervan," ucap Irna sembari menarik tangan putrinya agar lebih mendekat. "Yang sopan, Elsy!" desisnya, ketika melihat gadis itu tampak enggan untuk berjabat tangan dengan Ruby. "Halo, Elsy." Ruby menyapa gadis yang wajahnya ditekuk dan tampak tidak menyukainya, meskipun sejujurnya Ruby pun juga tidak peduli jika dirinya tidak disukai. "Silahkan duduk," ajak Ruby kepada ibu dan putrinya itu. "Apa ada yang bisa saya bantu?" Saat ini adalah jam kerjanya sebagai Psikiater, dan sebenarnya Ruby juga sudah menebak kalau Irna dan Elsy sama sekali bukan datang untuk sesi konsultasi. "Eh... sebenarnya...
Ruby pun serta merta terbangun saat mendengar suara ponselnya berdenting pelan pertanda ada notifikasi pesan yang baru masuk. Sambil mengusap wajahnya yang lelah dan masih mengantuk, wanita itu mengedarkan matanya yang sayu ke sekitarnya. Ah ya, ia masih berada di rumah sakit, tepatnya di kamar rawat Ervan. "Sudah bangun?" Ruby menolehkan wajahnya ke arah sumber suara, yaitu Ervan yang tersenyum kepadanya. Pria itu sedang berdiri tak jauh darinya, sedang menuangkan segelas air ke dalam cangkir kopi, lalu memberikannya kepada Ruby. "Ini, minumlah. Kamu pasti sangat haus karena terus-menerus menjerit sepanjang kita bercinta semalam." Sembari meraih gelas air yang disodorkan padanya, Ruby pun hanya berdecak pelan mendengar ledekan Ervan. Wanita itu pun menghabiskan airnya hingga tandas, sebelum kemudian ia pun baru menyadari sesuatu. "Jam berapa sekarang??" tanya Ruby kepada Ervan yang sejak tadi tak lepas menatap dirinya. "Baru jam 6 pagi. Kenapa?" sahut Ervan. Oh,
Perkataan dan sikap provokatif wanita itu adalah hal yang telah membuat kekacauan masif di dalam otak Ervan bagai angin ribut yang memporak-porandakan segalanya menjadi chaos. Yang ada dalam benaknya sekarang hanyalah Ruby, dan bibir berlipstik merahnya yang sensual. Dadanya yang menggiurkan. Kulitnya yang sehalus beledu. Aroma seluruh tubuhnya yang manis sekaligus menggairahkan. Suara kursi yang jatuh berdebam karena Ervan yang berdiri dengan gerakan yang sangat tiba-tiba, membuat Ruby sedikit terkejut. Namun sedetik kemudian ledakan euforia pun menghampirinya, ketika pria tampan di hadapannya yang mendadak menyergap bibirnya dengan ganas dan penuh gairah. Kedua tangan Ervan terulur untuk menangkap wajah Ruby, memerangkapnya dalam dekapan telapak tangan pria itu yang lebar dan hangat. Lidah Ervan bergerilya dengan liar di dalam mulutnya, yang dibalas oleh Ruby dengan tak kalah bergelora. Ruby mengalungkan kedua tangannya di leher pria itu, saat satu tangan Ervan berg
"Apa kamu sudah minum obat?" Tanya Ruby sebelum melepaskan dirinya dari pelukan erat Ervan. "Pasti belum, itu sebabnya kamu mengajukan penawaran yang menggelikan itu kan?" Ervan mendengus menahan tawanya, merasa lucu mendengar pertanyaannya yang meledek serta melihat wajah Ruby yang berjengit jijik saat ia mengucapkan kata "Pernikahan". "Kenapa, Ruby? Apa kamu tidak ingin menikah, hm?" "Bukankah aku sudah pernah bilang sejak pertama kali kita tidur bersama, Ervan? Aku bukan tipe wanita yang menyukai berada dalam suatu hubungan!" cetus Ruby tegas. "Lalu bagaimana mungkin kamu bisa mengajukan penawaran pernikahan yang menggelikan itu kepadaku?!" "Well..." Perlahan Ervan menggerakkan jemarinya dari pinggang ramping menyusuri punggung wanita itu, dan berhenti ketika kedua ibu jarinya berada tepat di bawah lekukan dada Ruby. "Kurasa prinsipmu itu harus dipikirkan kembali, Dokter. Kenapa? Apa kamu takut dikekang? Atau tidak ingin dikontrol oleh pria? Alpha-female sepertimu t
BRAAKK!!! Suara pintu yang dibuka dari arah luar itu membuat manik gelap Ervan pun sontak beralih ke sana. Seulas senyum samar pun terlukis di wajahnya, ketika melihat sosok wanita seksi yang tampak sedang kesal membuka pintu kamar rawatnya dengan cara yang bar-bar. "Kamu sudah datang? Hm... tepat waktu sekali," Ervan melirik sekilas jam mahal yang melingkari pergelangannya. Ruby melipat tangannya menyilang di dada, seraya melayangkan tatapan tajam ke arah pria yang masih tampak duduk santai di kursinya itu. Ada laptop yang terbuka di atas meja di depan Ervan, kelihatannya dia sedang bekerja. Tapi... bukankah sekarang waktu sudah hampir tengah malam?? Kenapa Ervan masih berkutat dengan pekerjaan?? Apalagi tubuhnya yang masih belum 100% pulih, seharusnya pria ini lebih banyak beristirahat alih-alih bekerja. Bagaimana pun ia masih menjadi pasien VVIP di rumah sakit ini kan?? 'Lalu kenapa pula aku harus peduli?' rutuk Ruby dalam hati. Biarkan saja jika Ervan ingin bekerja