Setelah mendengar tentang rencana kedatangan Elvita, Bastian terlihat gelisah. Dia berjalan mondar-mandir, pikirannya berkecamuk."Nai," kata Bastian akhirnya, "Aku rasa kita belum siap mengungkapkan hubungan kita pada mamimu."Naira mengangguk pelan, "Aku juga ngerasa gitu, Om. Tapi apa yang bisa kita lakuin? Mami udah memutuskan untuk datang besok."Bastian terdiam sejenak, otaknya berputar cepat mencari solusi. "Biar aku yang menangani ini," katanya akhirnya. "Kamu nggak perlu khawatir."Malam itu, sementara Naira tertidur, Bastian diam-diam melakukan beberapa panggilan telepon. Dia menggunakan koneksi dan pengaruhnya untuk mengatur sesuatu tanpa sepengetahuan Naira.Keesokan paginya, saat Naira sedang bersiap-siap untuk menjemput ibunya di bandara, ponselnya berdering. Itu telepon dari Elvita."Halo, Mi?" jawab Naira."Sayang, maaf banget," suara Elvita terdengar menyesal. "Mami nggak jadi pulang hari ini. Ada klien penting yang tiba-tiba ingin bertemu untuk proyek besar. Mami ngg
Saat Naira hendak mengambil kopor besar di dalam lemari, Bastian justru mencegahnya. Pria itu menarik tangannya."Bentar, Nai," kata Bastian dengan tenang. "Ikuti aku."Bastian membimbing Naira keluar dari apartemen mereka dan menuju ke pintu unit sebelah. Dengan cepat, dia membuka pintu unit tersebut menggunakan kunci yang ada padanya."Eh?" Mata Naira membulat selebar yang dia mampu.Naira terkejut melihat interior apartemen yang hampir identik dengan unit mereka, namun ditata seolah-olah hanya dihuni oleh seorang wanita."Om, ini ... apa?" tanya Naira kebingungan.Bastian tersenyum. "Aku udah nyiapin ini sejak lama. Bareng ama unit atas namamu. Inilah 'apartemenmu' yang bakalan kita tunjukin ke mamimu."Naira terpana melihat detail yang Bastian siapkan. Ada foto-foto Naira sendirian, beberapa barang pribadi yang dia kenali, bahkan baju-bajunya sudah tersusun rapi di lemari."Tapi gimana ama-""Semua udah diatur," potong Bastian. "Aku bakalan pura-pura baru aja datang untuk mengecek
"Aku ... aku mo ngecek dapur dulu. Siapa tau ada yang belum-"Naira lebih baik kabur ketimbang dia menyaksikan kemesraan ibunya dengan Bastian. Itu akan menjadi hal sulit baginya sekarang."Vi, tuh Naira jadi canggung karena kamu manja gini." Bastian menjauhkan kepala Elvita dari lengannya selembut mungkin.Karena itu, Elvita tersenyum dan akhirnya dia mengalah."Sini, Sayang. Maaf kalo Mami malah mesraan gini ama Bastian." Elvita mencegah putrinya yang hendak pergi dari tempatnya. Akhirnya mereka kembali duduk bertiga. Sementara Bastian dan Elvita terlibat dalam percakapan, Naira berusaha keras untuk terlihat santai dan normal. Dia duduk di sofa single, sengaja mengambil jarak dari Bastian untuk menghindari kecurigaan."Jadi, Ra," Elvita bertanya, "gimana kerjaanmu akhir-akhir ini? Mami dengar ada proyek besar yang lagi kamu tangani?"Naira meneguk tehnya sebelum menjawab, berusaha menenangkan diri. "Oh, iya Mi. Proyek kali ini cukup menantang, tapi menyenangkan. Kami lagi mengemban
Keesokan paginya, Naira dan Elvita sarapan bersama di apartemen. Tiba-tiba, ponsel Naira berdering. Itu telepon dari Bastian."Halo, Om Tian?" jawab Naira, berusaha terdengar formal."Nai, sorry mengganggu kalian pagi-pagi. Ada beberapa dokumen penting yang perlu ditandatangani hari ini. Kamu bisa ke kantor sebentar?" tanya Bastian.Ini masih akhir pekan, tapi Bastian ingin bertemu dia di kantor? Otak nakal Naira memikirkan hal intim yang akan mungkin terjadi jika Bastian sudah seperti itu.Sebelum Naira bisa menjawab, Elvita yang mendengar pembicaraan itu langsung menyela, "Oh, biar aku aja yang ke sana, Tian. Naira bisa istirahat di rumah."Naira terkejut mendengar tawaran ibunya. "Tapi, Mi...""Nggak apa-apa, sayang. Mami pengin ngelihat ruanganmu juga. Sekalian ketemu Bastian," kata Elvita dengan nada riang.Dengan enggan, Naira menyetujui. Satu jam kemudian, mereka berdua tiba di kantor. Bastian menyambut mereka di lobby."Selamat pagi, Naira, Elvita," sapa Bastian sopan."Halo,
Naira menghela napas panjang sambil membereskan barang-barangnya. Dia merasa tidak nyaman harus tinggal di rumah Elvita, tapi tidak punya pilihan lain. Sementara itu, Bastian mondar-mandir di kamarnya, otaknya berputar mencari cara untuk menjauhkan Elvita.Keesokan harinya, Bastian menemui Elvita dengan wajah cemas yang dibuat-buat. "Vi, ada masalah serius dengan di Parlende. Sepertinya kamu harus segera ke sana untuk mengeceknya. Calon klien kita mau ketemu kamu di sana."Elvita melongo heran. Masalah datang begitu cepat untuknya!"Pak Johansen? Dia udah balik dari Onixa? Tapi aku baru aja balik ke sini, Tian. Dan lagi kangen-kangenan ama Naira pula, sambil bersihin rumah yang udah lama kosong." Elvita menatap kekasihnya dengan penuh mengharap. "Gak bisakah minta dia tunda dulu pertemuannya?"Keluar helaan napas berat dari Bastian. Naira yang mendengarkannya pun ikut tegang. Masalah apa sebenarnya?Bastian berpura-pura gelisah. "Nggak bisa, Vi. Kalau nggak segera ditemui, dia akan pe
Bastian terlihat kaget, tapi kemudian tersenyum. "Eh, Vera? Ngapain ke sini?"Vera cemberut main-main. "Yah, masa gitu doang reaksinya? Aku kan kangen, jadi mampir deh ke kantor kamu."Naira merasakan dadanya sesak melihat pemandangan di depannya. Dia berusaha fokus pada pekerjaannya, tapi telinganya tetap menangkap percakapan mereka."Baru balik dari luar negeri?" tanya Bastian.Setahu Bastian, Vera lama tinggal di luar negeri ikut ibunya yang sudah bercerai dengan sang ayah.Vera tertawa kecil. "Surprise kan, Bas! Eh, nanti malem kamu free, nggak? Dinner, yuk, ada yang mau aku ceritain, nih!"Bastian melirik sekilas ke arah Naira sebelum menjawab, "Boleh. Aku jemput jam 7. Kasi tau di mana kamu tinggal di sini"Naira meremas pulpen di tangannya, berusaha menahan emosi.Dia berdiri dan berkata dengan nada datar, "Pak Bastian, saya keluar sebentar, ya! Mau ambil beberapa berkas."Tanpa menunggu jawaban, Naira bergegas keluar ruangan, meninggalkan Bastian yang tampak gelisah dan Vera y
Vera tampak terkejut dengan respons Naira. Dia baru akan membalas ketika Bastian berdiri."Udah, Ver. Naira bener. Dia punya tugas sendiri. Kalo kamu butuh apa-apa, bilang aja ke aku."Vera cemberut, tapi tidak membantah. Naira kembali ke mejanya, berusaha menenangkan diri. Dia bisa merasakan tatapan tajam Vera di punggungnya, tapi dia tidak peduli. Setidaknya untuk saat ini, dia berhasil mempertahankan harga dirinya.Malam itu, di apartemen mereka, Naira akhirnya tidak bisa menahan emosinya lagi. Begitu Bastian pulang dari makan malam dengan Vera, Naira langsung menyambutnya dengan wajah masam."Gimana tadi? Puas makan malemnya sama si hebat Vera?" tanya Naira ketus.Bastian menghela napas, melepas jasnya. "Nai, please jangan mulai.""Jangan mulai gimana? Om nggak liat apa tadi siang dia ngelakuin aku kayak apa?" Naira meledak. "Dia nganggep aku apaan sih? Babu?""Nai, aku tau kamu kesal. Tapi Vera nggak bermaksud gitu," Bastian berusaha menenangkan.Naira mendengus. "Nggak bermaksud
Naira langsung menoleh, menajamkan telinga."Tapi Ver ... Iya, iya. Aku ke sana sekarang, ini aku lagi di rumah teman." Bastian menutup telepon dengan wajah tegang."Kenapa, Om?" tanya Naira, berusaha tenang meski jantungnya berdebar kencang.Bastian mengusap wajahnya frustasi. "Vera ... dia ada di depan rumah. Katanya mau nginep.""Apa?!" Naira tidak bisa menahan emosinya. "Terus Om mau ngapain?""Aku harus ke sana, Nai. Dia udah bawa koper segala," Bastian tampak bimbang.Naira merasakan amarahnya memuncak. "Jadi Om mau ngebolehin dia nginep gitu aja? Om Tian, apa kamu nggak sadar dia udah kelewatan?!""Nanti aku akan coba kasi tau dia karena-""Nggak enak? Om pasti mau bilang Om nggak enak karena dia sepupu almarhum istri Om? Gitu?" Naira memotong dengan nada menyindir. "Om Tian, aku yang nggak enak! Aku ini udah macam selingkuhan gelap Om, yang harus sembunyi-sembunyi, tapi Om malah ngebolehin cewek lain nginep di rumah Om?!"Bastian mencoba menenangkan Naira. "Nai, dengerin aku d
Sebulan kemudian, Bastian berencana membawa Naira ke kantor E-First, tempat di mana mereka pernah bekerja bersama.“Ini beneran gak apa-apa, Tian?” tanya Naira untuk memastikan saja.Mereka sudah selesai berdandan rapi dan siap berangkat bersama ke kantor Bastian.“Tentu aja nggak apa-apa, Nai. Gimanapun, mereka harus tau ini. Nggak mungkin hubungan kita terus disembunyikan dan menjadi diam-diam aja, kan?” Bastian mengambil tangan Naira, ingin menguatkan hati calon istrinya.Saat ini, Naira sudah membubarkan segala ujian dan apa pun tes yang harus dilalui Bastian. Dia tidak lagi menginginkan itu karena dia sadar bahwa dia tak sanggup hidup tanpa Bastian.Pengalaman di ambang batas kematian membuat Naira memahami apa yang paling dia inginkan.“Kalo mereka marah, gimana? Ntar mereka demo, gimana?” Naira masih khawatir.Dulu rumor hubungan mereka sempat membuat geger kantor dan berhasil ditepis dengan berbagai cara. Sekarang justru hendak dibuka terang-terangan. Akan seperti apa respon pa
“Beneran? Len lairan?! Kapan?” Naira bertanya dengan senyum penuh kebahagiaan, seolah rasa sakit yang tadi dialaminya seketika menghilang.“Setelah kamu kelar operasi dan mendadak aja ketubannya pecah sewaktu mau ngantar kamu ke kamarmu ini. Oh ya, bayinya perempuan,” lanjut Bastian.Naira menatap Bastian dengan tatapan penuh arti. Hari ini benar-benar penuh dengan emosi—kesedihan, harapan, dan kebahagiaan yang semuanya berkumpul di satu tempat.Namun, wajah Bastian kembali serius sejenak saat dia menghela napas. “Ada kabar lain yang perlu kamu tau,” ujarnya. “Vera udah ditahan di kantor polisi. Mereka memastikan dia nggak akan kemana-mana, dan proses hukumnya akan segera berjalan. Sidangnya mungkin akan berlangsung dalam beberapa minggu lagi.”Naira terdiam, memikirkan peristiwa yang hampir merenggut nyawanya. Meski dia merasa lega bahwa Vera akan mempertanggungjawabkan perbuatannya, hatinya tetap tergetar.Kejadian ini meninggalkan luka yang dalam, tapi dia merasa lebih kuat ketika
Suster menatapnya dengan penuh empati. "Nyonya stabil untuk saat ini, Pak. Tapi kami harus memantau dengan ketat. Mengenai janinnya... kita perlu menunggu perkembangan lebih lanjut."Bastian mengangguk pelan, meski hatinya masih penuh kekhawatiran. Naira beserta janinnya harus baik-baik saja, mereka berdua harus baik-baik saja. Itu yang menjadi harapan utama Bastian.***Di kamar VIP yang tenang itu, Naira perlahan membuka matanya. Cahaya lembut dari jendela menembus tirai, menyinari wajahnya yang masih terlihat lemah.Saat kesadarannya mulai kembali, matanya terasa hangat dan basah. Mungkin efek samping dari obat, pikirnya.Tapi begitu dia sadar sepenuhnya, yang pertama kali dia rasakan adalah tangan Bastian yang menggenggam erat tangannya.“Om….” panggilnya dengan suara serak.“Nai… akhirnya kamu sadar.” Suara Bastian bergetar pelan, penuh dengan rasa syukur dan kelegaan.Dia menatap Naira dengan tatapan yang penuh kasih, seolah tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain dia d
“Kamu ngancam aku, Bas? Kamu berani ngancam aku?!” jerit Vera, tak terima.“Jika itu memang harus, maka aku akan melakukannya. Kamu bisa memilih, ingin aku mengambil langkah yang mana.” Bastian menyahut dengan suara dingin.Keributan semakin membesar di bandara, dan Bastian bisa mendengar suara ibunya Vera yang semakin marah, memaki-maki anak buah Bastian.Namun, situasi itu berubah ketika polisi bandara tiba di tempat kejadian setelah mendengar keributan. Mereka segera menahan Vera dan ibunya dari keberangkatan, meminta keduanya untuk tidak meninggalkan negara Scarlet sampai masalah ini selesai.“Aku akan mengurus semuanya,” kata Bastian pada petugas bandara yang mencoba menenangkan situasi. “Jika perlu, aku akan membayar empat kali lipat dari harga tiket yang sudah mereka beli. Yang penting, jangan biarkan mereka terbang.”Polisi dan staf bandara menerima tawaran Bastian. Uang memang bisa menyelesaikan sebagian masalah, pikirnya dengan dingin. Dia menutup telepon, tetapi belum sempa
‘Kumohon… aku ingin… terus bareng Om… selamanya….’ pinta Naira ketika dia memejamkan mata dan membiarkan dokter memulai operasinya.Di luar, Bastian sibuk mondar-mandir di depan kamar operasi.“Haahh… lama banget, sih?” rutuk Bastian, tak sabar.Helena yang juga ada di sana, hanya memutar matanya dengan jengah pada ucapan Bastian.“Ya elah… baru juga 10 menit, udah diprotes lama.” Helena merespon dengan suara nyinyir. “Buruan duduk! Mual aku liat kamu mondar-mandir rempong gitu!”Helena tidak takut sama sekali pada Bastian meski dia tahu siapa Bastian. Baginya, orang yang sudah membuat sahabatnya sedih, tak perlu ditakuti.Mau tak mau, Bastian menghentikan langkahnya yang bagaikan setrika. Dengan hembusan keras dari napasnya, dia pun duduk tak jauh dari Helena.“Bisa tolong ceritain, gimana kok Naira bisa kena tusuk gitu?” Bastian akhirnya teringat bahwa dia belum mengetahui mengenai kronologi dan latar belakang kejadiannya.Helena melirik sinis ke Bastian, menunjukkan permusuhan seca
“A-aku… aku….” Suara Vera bergetar.Vera kaget bercampur syok ketika menatap pisau lipat yang menancap di perut Naira. Meski dia benci Naira, tapi ketika usai menusukkan pisau ke Naira, rasa takut menyergapnya, seolah sebentar lagi dia akan dikejar iblis.“Arghh!” Vera menjerit panik dan bergegas pergi dari sana.Dia memang wanita jahat, tapi untuk berbuat lebih dari sekedar menusuk seseorang, dia tak memiliki nyali mengenai itu.Bahkan, menusuk perut seseorang merupakan kegilaannya paling maksimal dalam hidupnya.Sedangkan di kamar kosnya, napas Naira terengah-engah sambil terus memandangi perutnya.“Perutku… anak…ku….” Naira gemetaran.Takut dan sakit menguasai dirinya. Darah sudah mulai merembes banyak di bajunya.“Gak, gak boleh aku cabut pisaunya. Bahaya….”Di sela-sela kepanikan dan rasa takutnya, dia masih cukup bernalar mengenai itu.Maka, menahan rasa sakit dan dengan langkah tertatih, dia mengambil ponselnya, menghubungi nomor Bastian.“Ya ampun, buruan angkat, sialan! Aku b
“Ve-Vera?” Naira membeku di tempatnya.Kenapa pula justru wanita sialan itu yang ada di depan pintunya? Naira kesal bukan main, merasa dia begitu sial karena bertemu Vera lagi.Dia sudah ingin menutup pintu karena malas meladeni Vera, hanya saja si rival cinta sudah lebih dulu menahan daun pintu tertutup."Aku pikir kamu udah pergi dari hidup Bastian. Tapi ternyata kamu masih mencoba mencuri dia dariku? Bahkan hidup bareng di sini? Dasar murahan!"Terdengar jelas dari suara Vera, betapa dia membenci Naira yang telah menjadi penghalang dia dan Bastian.Naira mengangkat alisnya, menatap Vera dengan pandangan dingin. “Murahan? Heh, apa urusanmu, ya? Mendingan jaga tuh mulut.”Ada ketidakrelaan di hatinya ketika dia dihina oleh Vera.Naira tak tahu bahwa Vera sudah mengerahkan segenap sumber dayanya untuk menemukan dia dan Bastian. Semenjak Bastian menegaskan ke Vera untuk berhenti mengganggunya karena sosok Naira yang sudah dipilih Bastian, Vera terus mengusahakan apa pun agar bisa mene
“Hah~ begitu, yah?”Bastian menghela napas panjang, melirik Naira yang sedang duduk di tempat tidur.Jelas, dia terjebak di antara dua dunia—pekerjaan yang sudah mulai merenggut waktunya, dan usahanya untuk membuktikan kepada Naira bahwa dia benar-benar serius dalam hubungannya.Naira yang mendengar pembicaraan itu melalui loud speaker pun berbisik, “Pergi aja, gak apa-apa, kok!”Mata Naira berkedip-kedip menatap Bastian yang termangu memandanginya, seolah pria itu sedang mencari makna tersembunyi dari ucapannya.Setelah diam sejenak, Bastian akhirnya berkata, “Oke, Gandi. Aku akan ke kantor hari ini. Tolong jadwalkan ulang rapat yang tertunda dan kasi tau semua direksi kalau aku akan segera ke sana.”Setelah menutup telepon, Bastian menatap Naira dengan wajah penuh kebingungan. “Aku harus ke kantor, Nai. Udah terlalu lama aku nggak muncul di sana, dan ini masalah penting. Aku janji nggak akan lama-lama, tapi aku harus menyelesaikan semuanya hari ini.”“Iya, aku paham, kok!”Naira yan
"Nai, aku mesum gimana, sih?" Bastian berlagak menderita atas tuduhan Naira.Padahal dia menahan tawa geli."Kamu... kamu bisa-bisanya ambil aku dari... dari kasur! Nih! Aku bangun malah udah di lantai gini!" Naira sewot.Wajahnya cemberut dengan bibir mengerucut karena kesal."Loh Nai, kalau aku bawa kamu turun ke lantai, pastinya kamu bakalan terbangun, dong." Bastian memberikan sanggahan.Ucapan Bastian mengakibatkan Naira harus diam untuk berpikir.'Iya juga, sih!' batin Naira. 'Kalo aku ditarik atau dibopong turun dari kasur, ya kali aku gak ngerasa apa pun? Pastinya aku bakalan kebangun. Tapi... kok bisa gitu, sih?'Masih ada banyak tanda tanya di kepala Naira mengenai dirinya ada di lantai bersama Bastian."Nai, mungkin kamu sendiri yang turun ke bawah untuk tidur sama aku." Bastian justru menambahkan lecutan di hati Naira.Dia yang turun ke lantai untuk bersama Bastian?"Enak aja! Pede amat!" pekik kesal Naira.Tapi kalau dipikir-pikir....'Apa aku punya kecenderungan sleep wal