Naira langsung menoleh, menajamkan telinga."Tapi Ver ... Iya, iya. Aku ke sana sekarang, ini aku lagi di rumah teman." Bastian menutup telepon dengan wajah tegang."Kenapa, Om?" tanya Naira, berusaha tenang meski jantungnya berdebar kencang.Bastian mengusap wajahnya frustasi. "Vera ... dia ada di depan rumah. Katanya mau nginep.""Apa?!" Naira tidak bisa menahan emosinya. "Terus Om mau ngapain?""Aku harus ke sana, Nai. Dia udah bawa koper segala," Bastian tampak bimbang.Naira merasakan amarahnya memuncak. "Jadi Om mau ngebolehin dia nginep gitu aja? Om Tian, apa kamu nggak sadar dia udah kelewatan?!""Nanti aku akan coba kasi tau dia karena-""Nggak enak? Om pasti mau bilang Om nggak enak karena dia sepupu almarhum istri Om? Gitu?" Naira memotong dengan nada menyindir. "Om Tian, aku yang nggak enak! Aku ini udah macam selingkuhan gelap Om, yang harus sembunyi-sembunyi, tapi Om malah ngebolehin cewek lain nginep di rumah Om?!"Bastian mencoba menenangkan Naira. "Nai, dengerin aku d
Mendengar kata "Papa Bastian", Naira langsung membeku. Berbagai pikiran berkecamuk di kepalanya. 'Papa Bastian? Anak? Jangan-jangan...'Tanpa sempat berpikir jernih, Naira langsung merasa dunianya runtuh. Air mata mulai menggenang di matanya."Ma-maaf, saya permisi dulu," ujar Naira terbata-bata, lalu bergegas keluar ruangan, meninggalkan Rina yang kebingungan.Naira berlari ke toilet, mengunci diri di salah satu bilik. Air matanya tumpah. Dia merasa dikhianati, kecewa, dan marah. Tanpa mencari tahu lebih lanjut, Naira sudah membuat kesimpulan sendiri bahwa bayi itu adalah anak Bastian.Sementara itu, Rina yang masih di ruangan Bastian, hanya bisa kebingungan melihat reaksi Naira. Dia tidak mengerti mengapa sekretaris Bastian bereaksi seperti itu ketika dia hanya ingin berterima kasih atas program orang tua asuh yang telah membantu anaknya selama ini.Tanpa Naira sadari, kesalahpahaman ini akan membawa masalah dalam hubungannya dengan Bastian, hanya karena dia terlalu cepat menyimpulk
Setelah insiden kesalahpahaman itu, Rina sering datang ke kantor Bastian dengan berbagai alasan. Dia selalu membawa Dani, menggunakan anaknya sebagai alasan untuk bertemu Bastian."Pak Bastian, maaf mengganggu lagi," Rina berkata dengan senyum manis suatu hari. "Dani kangen sama Papa Bastian katanya."Bastian selalu menyambut mereka. "Tidak apa-apa, Rina. Masuk saja."Naira yang melihat dari mejanya, merasa tidak nyaman dengan kedatangan Rina yang semakin sering akhir-akhir ini.'Ini emak-emak ngapain datang terus sih? Hampir tiap hari, loh! Ganggu banget, ish lama-lama! Atau aku aja yang terlalu overthinking yah?' batinnya.Yang membuat Naira terkejut, hari ini Rina tak hanya membawa satu anak, melainkan dua!"Eh? Ini ...." Naira menatap bocah perempuan berusia 7 tahun yang digandeng Rina masuk ke ruangan Bastian.Senyum Rina muncul sambil dia menatap Naira yang bingung."Yang ini anak sulungku, Mbak Naira. Namanya Arin." Rina memperkenalkan putri sulungnya. "Ayo, Arin, beri salam ke
Naira menggigit bibir, jemarinya mencengkeram batang pohon tempat dia bersembunyi. Matanya tak lepas dari pemandangan di depannya ~ Bastian memandang lurus ke mata Arin yang menatapnya penuh harap.'Bisa-bisanya! Bocah cilik kayak gitu nanya hal ... ini beneran si Arin yang pengen ngomong gitu apa diajarin ibunya, sih? Aduh! Aku malah buruk sangka mulu, damn!' Naira sibuk mengumpat di balik persembunyiannya. "Papa Bastian, mau nggak jadi papanya Arin?" tanya gadis kecil itu polos.Bastian terdiam sejenak, ekspresinya sulit dibaca. "Arin, Om nggak bisa-""Tapi Arin pengen punya papa! Mama bilang Arin boleh minta Papa Bastian jadi papa. Apalagi kan namanya udah Papa Bastian," potong Arin dengan mata berkaca-kaca.Naira merasakan dadanya sesak. Kecurigaannya ternyata sebuah fakta! Ini ulah Rina, menggunakan anaknya untuk menarik perhatian Bastian. Ingin rasanya dia keluar dan menyeret Bastian pergi, tapi dia tak bisa mengambil risiko ketahuan.Sedangkan Rina bersikap salah tingkah. "Eh?
Bastian menghela napas panjang setelah melepaskan pelukannya dari Naira. "Aku harus ngantar Rina dan anak-anaknya pulang. Kamu pulang duluan ke apartemen, ya?"Naira mengangguk, meski dalam hatinya enggan berpisah. "Hati-hati, ya. Jangan lama-lama.""Nggak akan," Bastian mengecup kening Naira singkat sebelum berbalik menuju mobilnya.Naira memandangi punggung Bastian yang menjauh, perasaannya campur aduk. Dengan langkah berat, dia berjalan menuju warung terdekat untuk memesan taksi online agar bisa pulang ke apartemen.Sementara itu, Bastian kembali ke mobil dimana Dani sudah tertidur pulas di car seat-nya. Rina dan Arin masih di apotik mengambil obat. Bastian menyandarkan kepalanya ke kursi, memejamkan mata sejenak. Pikirannya kacau memikirkan situasi rumit yang dia hadapi.Tak lama kemudian, pintu mobil terbuka. Arin masuk lebih dulu, diikuti Rina yang membawa kantong berisi obat."Maaf lama, Pak Bastian," ujar Rina dengan senyum manis. "Antriannya lumayan panjang tadi."Bastian han
Sayangnya, Bastian tidak tertarik melirik ke sana. Bagi Bastian, cara itu terlalu klasik dan kuno yang dilakukan wanita untuk mencari perhatian pria. Maka dari itu, dia menahan diri untuk tidak memutar bola matanya karena jengah.Rina membungkuk untuk mengambil gelang tersebut, dan saat itulah dia 'tidak sengaja' menyenggol cangkir kopi di meja. Isinya tumpah ke celana Bastian."Ya ampun! Maaf Pak, saya nggak sengaja!" seru Rina panik. Dia segera mengambil tisu dan berusaha mengelap celana Bastian.Bastian berdiri, menjauhkan diri dari jangkauan Rina. "Nggak usah! Aku bisa sendiri.""Aduh, celana Bapak jadi basah gini. Gimana kalau saya cuci dulu? Bapak bisa pakai celana almarhum suami saya.""Nggak perlu," tolak Bastian tegas. "Udah malam, aku harus pulang."Rina masih berusaha. "Tapi Pak, celana basah gitu bahaya lho kalau nyetir. Gimana kalau-""Rina," potong Bastian, nada suaranya dingin. "Makasih atas kekhawatiranmu. Permisi."Rina terdiam, sadar bahwa usahanya gagal total. "Baik
Siska mengangguk setuju. "Bener juga. Eh, tapi kalau dipikir-pikir, Naira emang cantik, sih. Siapa tau Pak Bastian naksir Naira juga selain pacaran ama ibunya?"Lalu mereka mulai tertawa cekikikan. Tapi Rina justru melongo karena kaget. Dia tidak mengira akan mendapatkan informasi sefantastis itu."Tapi tetep aja nggak etis, dong!" Dina menimpali. "Bisa rusak reputasi perusahaan kalo ketahuan ada peluk-peluk nggak profesional di kantor."Percakapan mereka terhenti ketika lift terbuka dan beberapa petinggi perusahaan keluar. Mereka cepat-cepat kembali ke posisi masing-masing, tapi Rina bisa melihat bisik-bisik di antara Siska dan Dina."Maaf ya Bu, saya jadi ikutan gosip," ujar Mona, wajahnya sedikit memerah.Rina tersenyum manis. "Nggak apa-apa, kok. Namanya juga kita perempuan ya, suka penasaran. Tapi jangan bilang-bilang kalo dari saya, ya."Mona mengangguk cepat. "Tenang aja, Bu, rahasia aman."Tak lama, Bastian keluar dari lift. Rina segera berdiri, memasang wajah polos dan senyum
Sepanjang sisa hari itu, Naira berusaha fokus pada pekerjaannya, meski hatinya pedih oleh tatapan sinis dan bisikan-bisikan di belakangnya. Beberapa kali dia nyaris menangis, tapi menahannya sekuat tenaga.'Gak! Gak bisa kayak gini. Bisa-bisa aku gak kuat!' seru batinnya.Saat jam pulang tiba, Naira bergegas membereskan barang-barangnya. Dia tak tahan lagi berada di atmosfer yang mencekik ini."Mau buru-buru pulang, nih? Atau jangan-jangan mau ke tempatnya Pak Bastian?" sindir seorang karyawati saat berpapasan di lift.Naira hanya bisa menunduk, menahan air mata yang sudah di ujung pelupuk.'Aku gak punya energi untuk marah ke dia, karena apa yang dia omongin emang benar.' Batin Naira bergejolak. 'Dulu waktu gosipnya Mami, aku masih bisa konfrontasi karena itu belum sepenuhnya fakta. Tapi yang ini ... ini ....'Begitu keluar dari gedung kantor, dia akhirnya membiarkan tangisnya pecah."Om Tian," bisiknya lirih. "Apa yang harus aku lakuin?"Naira berjalan gontai menuju apartemen Bastia
Sebulan kemudian, Bastian berencana membawa Naira ke kantor E-First, tempat di mana mereka pernah bekerja bersama.“Ini beneran gak apa-apa, Tian?” tanya Naira untuk memastikan saja.Mereka sudah selesai berdandan rapi dan siap berangkat bersama ke kantor Bastian.“Tentu aja nggak apa-apa, Nai. Gimanapun, mereka harus tau ini. Nggak mungkin hubungan kita terus disembunyikan dan menjadi diam-diam aja, kan?” Bastian mengambil tangan Naira, ingin menguatkan hati calon istrinya.Saat ini, Naira sudah membubarkan segala ujian dan apa pun tes yang harus dilalui Bastian. Dia tidak lagi menginginkan itu karena dia sadar bahwa dia tak sanggup hidup tanpa Bastian.Pengalaman di ambang batas kematian membuat Naira memahami apa yang paling dia inginkan.“Kalo mereka marah, gimana? Ntar mereka demo, gimana?” Naira masih khawatir.Dulu rumor hubungan mereka sempat membuat geger kantor dan berhasil ditepis dengan berbagai cara. Sekarang justru hendak dibuka terang-terangan. Akan seperti apa respon pa
“Beneran? Len lairan?! Kapan?” Naira bertanya dengan senyum penuh kebahagiaan, seolah rasa sakit yang tadi dialaminya seketika menghilang.“Setelah kamu kelar operasi dan mendadak aja ketubannya pecah sewaktu mau ngantar kamu ke kamarmu ini. Oh ya, bayinya perempuan,” lanjut Bastian.Naira menatap Bastian dengan tatapan penuh arti. Hari ini benar-benar penuh dengan emosi—kesedihan, harapan, dan kebahagiaan yang semuanya berkumpul di satu tempat.Namun, wajah Bastian kembali serius sejenak saat dia menghela napas. “Ada kabar lain yang perlu kamu tau,” ujarnya. “Vera udah ditahan di kantor polisi. Mereka memastikan dia nggak akan kemana-mana, dan proses hukumnya akan segera berjalan. Sidangnya mungkin akan berlangsung dalam beberapa minggu lagi.”Naira terdiam, memikirkan peristiwa yang hampir merenggut nyawanya. Meski dia merasa lega bahwa Vera akan mempertanggungjawabkan perbuatannya, hatinya tetap tergetar.Kejadian ini meninggalkan luka yang dalam, tapi dia merasa lebih kuat ketika
Suster menatapnya dengan penuh empati. "Nyonya stabil untuk saat ini, Pak. Tapi kami harus memantau dengan ketat. Mengenai janinnya... kita perlu menunggu perkembangan lebih lanjut."Bastian mengangguk pelan, meski hatinya masih penuh kekhawatiran. Naira beserta janinnya harus baik-baik saja, mereka berdua harus baik-baik saja. Itu yang menjadi harapan utama Bastian.***Di kamar VIP yang tenang itu, Naira perlahan membuka matanya. Cahaya lembut dari jendela menembus tirai, menyinari wajahnya yang masih terlihat lemah.Saat kesadarannya mulai kembali, matanya terasa hangat dan basah. Mungkin efek samping dari obat, pikirnya.Tapi begitu dia sadar sepenuhnya, yang pertama kali dia rasakan adalah tangan Bastian yang menggenggam erat tangannya.“Om….” panggilnya dengan suara serak.“Nai… akhirnya kamu sadar.” Suara Bastian bergetar pelan, penuh dengan rasa syukur dan kelegaan.Dia menatap Naira dengan tatapan yang penuh kasih, seolah tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain dia d
“Kamu ngancam aku, Bas? Kamu berani ngancam aku?!” jerit Vera, tak terima.“Jika itu memang harus, maka aku akan melakukannya. Kamu bisa memilih, ingin aku mengambil langkah yang mana.” Bastian menyahut dengan suara dingin.Keributan semakin membesar di bandara, dan Bastian bisa mendengar suara ibunya Vera yang semakin marah, memaki-maki anak buah Bastian.Namun, situasi itu berubah ketika polisi bandara tiba di tempat kejadian setelah mendengar keributan. Mereka segera menahan Vera dan ibunya dari keberangkatan, meminta keduanya untuk tidak meninggalkan negara Scarlet sampai masalah ini selesai.“Aku akan mengurus semuanya,” kata Bastian pada petugas bandara yang mencoba menenangkan situasi. “Jika perlu, aku akan membayar empat kali lipat dari harga tiket yang sudah mereka beli. Yang penting, jangan biarkan mereka terbang.”Polisi dan staf bandara menerima tawaran Bastian. Uang memang bisa menyelesaikan sebagian masalah, pikirnya dengan dingin. Dia menutup telepon, tetapi belum sempa
‘Kumohon… aku ingin… terus bareng Om… selamanya….’ pinta Naira ketika dia memejamkan mata dan membiarkan dokter memulai operasinya.Di luar, Bastian sibuk mondar-mandir di depan kamar operasi.“Haahh… lama banget, sih?” rutuk Bastian, tak sabar.Helena yang juga ada di sana, hanya memutar matanya dengan jengah pada ucapan Bastian.“Ya elah… baru juga 10 menit, udah diprotes lama.” Helena merespon dengan suara nyinyir. “Buruan duduk! Mual aku liat kamu mondar-mandir rempong gitu!”Helena tidak takut sama sekali pada Bastian meski dia tahu siapa Bastian. Baginya, orang yang sudah membuat sahabatnya sedih, tak perlu ditakuti.Mau tak mau, Bastian menghentikan langkahnya yang bagaikan setrika. Dengan hembusan keras dari napasnya, dia pun duduk tak jauh dari Helena.“Bisa tolong ceritain, gimana kok Naira bisa kena tusuk gitu?” Bastian akhirnya teringat bahwa dia belum mengetahui mengenai kronologi dan latar belakang kejadiannya.Helena melirik sinis ke Bastian, menunjukkan permusuhan seca
“A-aku… aku….” Suara Vera bergetar.Vera kaget bercampur syok ketika menatap pisau lipat yang menancap di perut Naira. Meski dia benci Naira, tapi ketika usai menusukkan pisau ke Naira, rasa takut menyergapnya, seolah sebentar lagi dia akan dikejar iblis.“Arghh!” Vera menjerit panik dan bergegas pergi dari sana.Dia memang wanita jahat, tapi untuk berbuat lebih dari sekedar menusuk seseorang, dia tak memiliki nyali mengenai itu.Bahkan, menusuk perut seseorang merupakan kegilaannya paling maksimal dalam hidupnya.Sedangkan di kamar kosnya, napas Naira terengah-engah sambil terus memandangi perutnya.“Perutku… anak…ku….” Naira gemetaran.Takut dan sakit menguasai dirinya. Darah sudah mulai merembes banyak di bajunya.“Gak, gak boleh aku cabut pisaunya. Bahaya….”Di sela-sela kepanikan dan rasa takutnya, dia masih cukup bernalar mengenai itu.Maka, menahan rasa sakit dan dengan langkah tertatih, dia mengambil ponselnya, menghubungi nomor Bastian.“Ya ampun, buruan angkat, sialan! Aku b
“Ve-Vera?” Naira membeku di tempatnya.Kenapa pula justru wanita sialan itu yang ada di depan pintunya? Naira kesal bukan main, merasa dia begitu sial karena bertemu Vera lagi.Dia sudah ingin menutup pintu karena malas meladeni Vera, hanya saja si rival cinta sudah lebih dulu menahan daun pintu tertutup."Aku pikir kamu udah pergi dari hidup Bastian. Tapi ternyata kamu masih mencoba mencuri dia dariku? Bahkan hidup bareng di sini? Dasar murahan!"Terdengar jelas dari suara Vera, betapa dia membenci Naira yang telah menjadi penghalang dia dan Bastian.Naira mengangkat alisnya, menatap Vera dengan pandangan dingin. “Murahan? Heh, apa urusanmu, ya? Mendingan jaga tuh mulut.”Ada ketidakrelaan di hatinya ketika dia dihina oleh Vera.Naira tak tahu bahwa Vera sudah mengerahkan segenap sumber dayanya untuk menemukan dia dan Bastian. Semenjak Bastian menegaskan ke Vera untuk berhenti mengganggunya karena sosok Naira yang sudah dipilih Bastian, Vera terus mengusahakan apa pun agar bisa mene
“Hah~ begitu, yah?”Bastian menghela napas panjang, melirik Naira yang sedang duduk di tempat tidur.Jelas, dia terjebak di antara dua dunia—pekerjaan yang sudah mulai merenggut waktunya, dan usahanya untuk membuktikan kepada Naira bahwa dia benar-benar serius dalam hubungannya.Naira yang mendengar pembicaraan itu melalui loud speaker pun berbisik, “Pergi aja, gak apa-apa, kok!”Mata Naira berkedip-kedip menatap Bastian yang termangu memandanginya, seolah pria itu sedang mencari makna tersembunyi dari ucapannya.Setelah diam sejenak, Bastian akhirnya berkata, “Oke, Gandi. Aku akan ke kantor hari ini. Tolong jadwalkan ulang rapat yang tertunda dan kasi tau semua direksi kalau aku akan segera ke sana.”Setelah menutup telepon, Bastian menatap Naira dengan wajah penuh kebingungan. “Aku harus ke kantor, Nai. Udah terlalu lama aku nggak muncul di sana, dan ini masalah penting. Aku janji nggak akan lama-lama, tapi aku harus menyelesaikan semuanya hari ini.”“Iya, aku paham, kok!”Naira yan
"Nai, aku mesum gimana, sih?" Bastian berlagak menderita atas tuduhan Naira.Padahal dia menahan tawa geli."Kamu... kamu bisa-bisanya ambil aku dari... dari kasur! Nih! Aku bangun malah udah di lantai gini!" Naira sewot.Wajahnya cemberut dengan bibir mengerucut karena kesal."Loh Nai, kalau aku bawa kamu turun ke lantai, pastinya kamu bakalan terbangun, dong." Bastian memberikan sanggahan.Ucapan Bastian mengakibatkan Naira harus diam untuk berpikir.'Iya juga, sih!' batin Naira. 'Kalo aku ditarik atau dibopong turun dari kasur, ya kali aku gak ngerasa apa pun? Pastinya aku bakalan kebangun. Tapi... kok bisa gitu, sih?'Masih ada banyak tanda tanya di kepala Naira mengenai dirinya ada di lantai bersama Bastian."Nai, mungkin kamu sendiri yang turun ke bawah untuk tidur sama aku." Bastian justru menambahkan lecutan di hati Naira.Dia yang turun ke lantai untuk bersama Bastian?"Enak aja! Pede amat!" pekik kesal Naira.Tapi kalau dipikir-pikir....'Apa aku punya kecenderungan sleep wal