"Jalan pintas seperti apa?" Naira bertanya, suaranya sedikit bergetar.Ada sekelumit keinginannya pergi dari tempat itu sesegera mungkin. Persetan dengan rahasia Bastian. Tapi ... rasa penasarannya sudah menelan lebih banyak dari yang dia kira.Wildan mengeluarkan sebuah map dari tasnya. "Lihat deh ini. Dokumen-dokumen ini nunjukkin beberapa transaksi mencurigakan yang dilakuin perusahaan Bastian beberapa tahun lalu."Naira membuka map itu dengan tangan gemetar. Matanya melebar saat melihat angka-angka dan data yang tertera."Ini ... tidak mungkin. Pak Bastian tidak mungkin melakukan ini." Naira menyangkal sambil menggelengkan kepala, tak yakin dengan yang dikatakan Wildan."Aku tau ini sulit dipercaya, Naira," Wildan berkata lembut. "Tapi kadang, orang yang kita pikir kita kenal dengan baik, bisa menyimpan rahasia besar, loh!"Selama satu jam berikutnya, Wildan menjelaskan detail demi detail, membuka tabir yang selama ini menutupi sisi gelap Bastian yang tidak pernah Naira bayangkan.
Dalam beberapa hari berikutnya, Naira mulai memperhatikan perubahan-perubahan kecil dalam perilaku Bastian yang sebelumnya mungkin tidak akan dia sadari. Setiap gerak-gerik Bastian kini terlihat mencurigakan di matanya, dipengaruhi oleh informasi yang dia dapatkan dari Wildan.Suatu malam, Naira terbangun dan mendapati sisi tempat tidur Bastian kosong. Dia mendengar suara samar-samar dari ruang kerja. Dengan hati-hati, Naira mengendap-endap mendekati ruangan itu.'Om lagi ngapain tuh?' Pintu ruang kerja sedikit terbuka, dan Naira bisa melihat Bastian sedang berbicara di telepon dengan suara rendah dan tegang."Pastikan semuanya bersih. Tidak boleh ada jejak." Bastian berkata dengan nada yang belum pernah Naira dengar sebelumnya. "Aku tidak peduli berapa biayanya. Lakukan saja!"Jantung Naira berdegup kencang. Apakah ini bukti dari apa yang Wildan katakan?Keesokan harinya di kantor, Naira memperhatikan Bastian lebih seksama. Dia melihat bosnya itu beberapa kali menelepon dengan berbi
Naira duduk terpaku di ruang notaris, air mata masih mengalir di pipinya. Pikirannya berputar cepat, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja dia terima. Tiba-tiba, seperti potongan puzzle yang akhirnya tersusun, semuanya mulai terasa masuk akal.Dia teringat kembali pertemuan pertamanya dengan Wildan di toko buku, bagaimana pria itu "kebetulan" muncul untuk menyelamatkannya dari preman. Lalu pertemuan "tidak sengaja" di seminar bisnis, dan bagaimana Wildan dengan cepat menawarkan "kebenaran" tentang Bastian."Ya ampun," Naira berbisik pada dirinya sendiri. "Aku udah dimanipulasi."Dengan tangan gemetar, dia mengeluarkan ponselnya dan membuka semua pesan dari Wildan. Kini dia bisa melihat dengan jelas bagaimana Wildan secara sistematis menanamkan benih keraguan dan kecurigaan dalam dirinya terhadap Bastian.Naira berdiri tiba-tiba, mengejutkan Pak Harto. "Maaf, Pak, saya harus pergi sekarang. Terima kasih banyak."Dia berlari keluar dari kantor notaris, pikirannya fokus pada sa
Bastian mengadakan pertemuan rahasia dengan tim elitnya di sebuah ruang bawah tanah yang aman. Tim ini terdiri dari ahli IT, mantan agen intelijen, dan pengacara handal."Kita perlu mendapatkan bukti kecurangan Wildan yang disembunyikan dari ayahnya di Seroja Group," Bastian memulai. "Tapi ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati."Ravi, ahli IT tim tersebut, angkat bicara. "Bos, saya sudah melakukan penelitian awal. Seroja Group menggunakan sistem keamanan tingkat tinggi, tapi ada celah kecil yang bisa kita manfaatkan.""Jelaskan," pinta Bastian."Wildan sering mengakses sistem dari luar kantor menggunakan laptop pribadinya. Jika kita bisa mendapatkan akses ke laptopnya, kita bisa masuk ke sistem Seroja tanpa terdeteksi," jelas Ravi.Mia, mantan agen intelijen, menambahkan, "Saya punya informasi bahwa Wildan sering mengunjungi sebuah klub malam eksklusif setiap Jumat. Kadang dia membawa laptopnya ke sana untuk bekerja atau bertemu klien. Kita bisa memanfaatkan kesempatan itu."Ang
Tanpa disadari Pak Sudono, merger itu sebenarnya akan memberikan Bastian kontrol penuh atas Seroja Group. Hanya karena Beliau terlalu syok akan berita yang dibawa Bastian, Beliau tidak memiliki waktu untuk berpikir panjang.Dan itulah yang memang diinginkan Bastian.Sementara itu, Wildan yang mulai mencium ada yang tidak beres, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia mendekati Naira, mencoba mendapatkan informasi."Aku harus ngomong apa, Om?" tanya Naira sambil berbisik dan membekap ponsel dengan tangan.Bastian yang sudah mengantisipasi hal ini, telah mempersiapkan Naira yang harus mengatakan informasi palsu yang akan semakin menjebak Wildan."Katakan saja begini ...." Bastian mengajari Naira apa yang harus dikatakan.Permainan catur yang dimainkan Bastian semakin rumit. Setiap langkah direncanakan dengan matang, menggiring Wildan ke posisi skakmat tanpa disadari."Om, jelasin deh, sebenarnya apa yang lagi Om rancang." Naira memaksa ingin tau.Terpaksa, Bastian membeber
Mata Wildan menyiratkan ketidakpahaman. Dia diinformasikan sudah mengundurkan diri dari posisi Manajer Pelaksana, padahal itu sebuah paksaan!"Sampai kapan kamu harus membohongi Papa dan mengambil uang perusahaan untuk kepentinganmu?!" bentak Pak Sudono lebih keras.Wildan langsung termangu di tempatnya. Bagaimana ayahnya tahu?"Lebih baik kamu ke luar negeri dan perbaiki dirimu di sana!" Pak Sudono seraya mengambil sebuah map dan melemparkannya pada Wildan. "Papa masih baik padamu dengan tidak membuka ini di dewan direksi atau kau akan diseret ke penjara!"Mata Wildan melotot, tak mengira ayahnya memiliki file rahasia yang sudah dia lindungi serapat mungkin.Kemudian, dengan otak yang cepat untuk menganalisis, Wildan pun baru menyadari bahwa dia telah dijebak oleh Bastian."Bastian sialan!" rutuknya sambil menggebrak tembok di dekatnya. "Ini pasti ulah dia!" geramnya dengan suara rendah.Dia ingin protes. Namun, semua bukti kecurangannya sudah ada di tangan Bastian dan diberikan ke a
Bagaimana mungkin Naira tidak panik? "Om, jangan ampe foto-foto itu~"Bayangan mengenai ibunya mengetahui hubungannya dengan Bastian lebih mengerikan ketimbang jika publik tahu.Bastian memeluk Naira erat. "Kita hadapi ini bareng-bareng."Mereka memutuskan untuk mengambil langkah berani. Bastian mengatur konferensi pers mendadak. Di hadapan media, dia mengungkapkan tentang upaya pemerasan yang mereka alami, tanpa menyebut nama Wildan."Kami tidak akan tunduk pada ancaman," tegas Bastian di depan kamera. "Dan kepada siapapun yang mencoba mengganggu privasi kami, ingatlah bahwa hukum tidak memihak pada Anda."Langkah ini mengejutkan Wildan. Dia tidak menyangka Bastian akan membawa masalah ini ke publik. Sekarang, jika foto-foto itu tersebar, justru akan semakin memperkuat klaim Bastian tentang upaya pemerasan."Bastian bangsat!" Wildan mengamuk dan menghancurkan apapun yang ada di dekatnya.Sementara itu, Ravi dan timnya berhasil melacak sumber serangan cyber ke salah satu rekan Wildan.
Namun, tanpa mereka sadari, tim keamanan Bastian telah mendeteksi kehadiran Wildan di bandara Scarlet meski dia menggunakan identitas palsu. Bastian telah diperingatkan dan pengawalan untuknya diperketat.Ketika mobil Bastian tiba, Wildan memberi sinyal pada si pembunuh bayaran untuk bergerak. Namun, begitu pembunuh bayaran itu mendekat, dia langsung diringkus oleh tim keamanan Bastian yang menyamar sebagai orang random di sana.“Jangan sampai dia kabur! Itu dalangnya!” teriak salah satu tim Bastian.Wildan, yang panik melihat rencananya gagal, mencoba melarikan diri. Namun, dia dengan mudah ditangkap oleh polisi yang sudah bersiaga di sekitar lokasi atas laporan Bastian."Lepasin aku!" teriak Wildan saat diborgol. "Kamu bakalan membayar untuk ini, Bastian bajingan!"Bastian, yang menyaksikan kejadian itu dari kejauhan, hanya menggelengkan kepala dengan sedih. "Kamu udah ngehancurin dirimu sendiri, Wildan," gumamnya.Wildan dan si pembunuh bayaran segera dibawa ke kantor polisi. Denga
Sebulan kemudian, Bastian berencana membawa Naira ke kantor E-First, tempat di mana mereka pernah bekerja bersama.“Ini beneran gak apa-apa, Tian?” tanya Naira untuk memastikan saja.Mereka sudah selesai berdandan rapi dan siap berangkat bersama ke kantor Bastian.“Tentu aja nggak apa-apa, Nai. Gimanapun, mereka harus tau ini. Nggak mungkin hubungan kita terus disembunyikan dan menjadi diam-diam aja, kan?” Bastian mengambil tangan Naira, ingin menguatkan hati calon istrinya.Saat ini, Naira sudah membubarkan segala ujian dan apa pun tes yang harus dilalui Bastian. Dia tidak lagi menginginkan itu karena dia sadar bahwa dia tak sanggup hidup tanpa Bastian.Pengalaman di ambang batas kematian membuat Naira memahami apa yang paling dia inginkan.“Kalo mereka marah, gimana? Ntar mereka demo, gimana?” Naira masih khawatir.Dulu rumor hubungan mereka sempat membuat geger kantor dan berhasil ditepis dengan berbagai cara. Sekarang justru hendak dibuka terang-terangan. Akan seperti apa respon pa
“Beneran? Len lairan?! Kapan?” Naira bertanya dengan senyum penuh kebahagiaan, seolah rasa sakit yang tadi dialaminya seketika menghilang.“Setelah kamu kelar operasi dan mendadak aja ketubannya pecah sewaktu mau ngantar kamu ke kamarmu ini. Oh ya, bayinya perempuan,” lanjut Bastian.Naira menatap Bastian dengan tatapan penuh arti. Hari ini benar-benar penuh dengan emosi—kesedihan, harapan, dan kebahagiaan yang semuanya berkumpul di satu tempat.Namun, wajah Bastian kembali serius sejenak saat dia menghela napas. “Ada kabar lain yang perlu kamu tau,” ujarnya. “Vera udah ditahan di kantor polisi. Mereka memastikan dia nggak akan kemana-mana, dan proses hukumnya akan segera berjalan. Sidangnya mungkin akan berlangsung dalam beberapa minggu lagi.”Naira terdiam, memikirkan peristiwa yang hampir merenggut nyawanya. Meski dia merasa lega bahwa Vera akan mempertanggungjawabkan perbuatannya, hatinya tetap tergetar.Kejadian ini meninggalkan luka yang dalam, tapi dia merasa lebih kuat ketika
Suster menatapnya dengan penuh empati. "Nyonya stabil untuk saat ini, Pak. Tapi kami harus memantau dengan ketat. Mengenai janinnya... kita perlu menunggu perkembangan lebih lanjut."Bastian mengangguk pelan, meski hatinya masih penuh kekhawatiran. Naira beserta janinnya harus baik-baik saja, mereka berdua harus baik-baik saja. Itu yang menjadi harapan utama Bastian.***Di kamar VIP yang tenang itu, Naira perlahan membuka matanya. Cahaya lembut dari jendela menembus tirai, menyinari wajahnya yang masih terlihat lemah.Saat kesadarannya mulai kembali, matanya terasa hangat dan basah. Mungkin efek samping dari obat, pikirnya.Tapi begitu dia sadar sepenuhnya, yang pertama kali dia rasakan adalah tangan Bastian yang menggenggam erat tangannya.“Om….” panggilnya dengan suara serak.“Nai… akhirnya kamu sadar.” Suara Bastian bergetar pelan, penuh dengan rasa syukur dan kelegaan.Dia menatap Naira dengan tatapan yang penuh kasih, seolah tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain dia d
“Kamu ngancam aku, Bas? Kamu berani ngancam aku?!” jerit Vera, tak terima.“Jika itu memang harus, maka aku akan melakukannya. Kamu bisa memilih, ingin aku mengambil langkah yang mana.” Bastian menyahut dengan suara dingin.Keributan semakin membesar di bandara, dan Bastian bisa mendengar suara ibunya Vera yang semakin marah, memaki-maki anak buah Bastian.Namun, situasi itu berubah ketika polisi bandara tiba di tempat kejadian setelah mendengar keributan. Mereka segera menahan Vera dan ibunya dari keberangkatan, meminta keduanya untuk tidak meninggalkan negara Scarlet sampai masalah ini selesai.“Aku akan mengurus semuanya,” kata Bastian pada petugas bandara yang mencoba menenangkan situasi. “Jika perlu, aku akan membayar empat kali lipat dari harga tiket yang sudah mereka beli. Yang penting, jangan biarkan mereka terbang.”Polisi dan staf bandara menerima tawaran Bastian. Uang memang bisa menyelesaikan sebagian masalah, pikirnya dengan dingin. Dia menutup telepon, tetapi belum sempa
‘Kumohon… aku ingin… terus bareng Om… selamanya….’ pinta Naira ketika dia memejamkan mata dan membiarkan dokter memulai operasinya.Di luar, Bastian sibuk mondar-mandir di depan kamar operasi.“Haahh… lama banget, sih?” rutuk Bastian, tak sabar.Helena yang juga ada di sana, hanya memutar matanya dengan jengah pada ucapan Bastian.“Ya elah… baru juga 10 menit, udah diprotes lama.” Helena merespon dengan suara nyinyir. “Buruan duduk! Mual aku liat kamu mondar-mandir rempong gitu!”Helena tidak takut sama sekali pada Bastian meski dia tahu siapa Bastian. Baginya, orang yang sudah membuat sahabatnya sedih, tak perlu ditakuti.Mau tak mau, Bastian menghentikan langkahnya yang bagaikan setrika. Dengan hembusan keras dari napasnya, dia pun duduk tak jauh dari Helena.“Bisa tolong ceritain, gimana kok Naira bisa kena tusuk gitu?” Bastian akhirnya teringat bahwa dia belum mengetahui mengenai kronologi dan latar belakang kejadiannya.Helena melirik sinis ke Bastian, menunjukkan permusuhan seca
“A-aku… aku….” Suara Vera bergetar.Vera kaget bercampur syok ketika menatap pisau lipat yang menancap di perut Naira. Meski dia benci Naira, tapi ketika usai menusukkan pisau ke Naira, rasa takut menyergapnya, seolah sebentar lagi dia akan dikejar iblis.“Arghh!” Vera menjerit panik dan bergegas pergi dari sana.Dia memang wanita jahat, tapi untuk berbuat lebih dari sekedar menusuk seseorang, dia tak memiliki nyali mengenai itu.Bahkan, menusuk perut seseorang merupakan kegilaannya paling maksimal dalam hidupnya.Sedangkan di kamar kosnya, napas Naira terengah-engah sambil terus memandangi perutnya.“Perutku… anak…ku….” Naira gemetaran.Takut dan sakit menguasai dirinya. Darah sudah mulai merembes banyak di bajunya.“Gak, gak boleh aku cabut pisaunya. Bahaya….”Di sela-sela kepanikan dan rasa takutnya, dia masih cukup bernalar mengenai itu.Maka, menahan rasa sakit dan dengan langkah tertatih, dia mengambil ponselnya, menghubungi nomor Bastian.“Ya ampun, buruan angkat, sialan! Aku b
“Ve-Vera?” Naira membeku di tempatnya.Kenapa pula justru wanita sialan itu yang ada di depan pintunya? Naira kesal bukan main, merasa dia begitu sial karena bertemu Vera lagi.Dia sudah ingin menutup pintu karena malas meladeni Vera, hanya saja si rival cinta sudah lebih dulu menahan daun pintu tertutup."Aku pikir kamu udah pergi dari hidup Bastian. Tapi ternyata kamu masih mencoba mencuri dia dariku? Bahkan hidup bareng di sini? Dasar murahan!"Terdengar jelas dari suara Vera, betapa dia membenci Naira yang telah menjadi penghalang dia dan Bastian.Naira mengangkat alisnya, menatap Vera dengan pandangan dingin. “Murahan? Heh, apa urusanmu, ya? Mendingan jaga tuh mulut.”Ada ketidakrelaan di hatinya ketika dia dihina oleh Vera.Naira tak tahu bahwa Vera sudah mengerahkan segenap sumber dayanya untuk menemukan dia dan Bastian. Semenjak Bastian menegaskan ke Vera untuk berhenti mengganggunya karena sosok Naira yang sudah dipilih Bastian, Vera terus mengusahakan apa pun agar bisa mene
“Hah~ begitu, yah?”Bastian menghela napas panjang, melirik Naira yang sedang duduk di tempat tidur.Jelas, dia terjebak di antara dua dunia—pekerjaan yang sudah mulai merenggut waktunya, dan usahanya untuk membuktikan kepada Naira bahwa dia benar-benar serius dalam hubungannya.Naira yang mendengar pembicaraan itu melalui loud speaker pun berbisik, “Pergi aja, gak apa-apa, kok!”Mata Naira berkedip-kedip menatap Bastian yang termangu memandanginya, seolah pria itu sedang mencari makna tersembunyi dari ucapannya.Setelah diam sejenak, Bastian akhirnya berkata, “Oke, Gandi. Aku akan ke kantor hari ini. Tolong jadwalkan ulang rapat yang tertunda dan kasi tau semua direksi kalau aku akan segera ke sana.”Setelah menutup telepon, Bastian menatap Naira dengan wajah penuh kebingungan. “Aku harus ke kantor, Nai. Udah terlalu lama aku nggak muncul di sana, dan ini masalah penting. Aku janji nggak akan lama-lama, tapi aku harus menyelesaikan semuanya hari ini.”“Iya, aku paham, kok!”Naira yan
"Nai, aku mesum gimana, sih?" Bastian berlagak menderita atas tuduhan Naira.Padahal dia menahan tawa geli."Kamu... kamu bisa-bisanya ambil aku dari... dari kasur! Nih! Aku bangun malah udah di lantai gini!" Naira sewot.Wajahnya cemberut dengan bibir mengerucut karena kesal."Loh Nai, kalau aku bawa kamu turun ke lantai, pastinya kamu bakalan terbangun, dong." Bastian memberikan sanggahan.Ucapan Bastian mengakibatkan Naira harus diam untuk berpikir.'Iya juga, sih!' batin Naira. 'Kalo aku ditarik atau dibopong turun dari kasur, ya kali aku gak ngerasa apa pun? Pastinya aku bakalan kebangun. Tapi... kok bisa gitu, sih?'Masih ada banyak tanda tanya di kepala Naira mengenai dirinya ada di lantai bersama Bastian."Nai, mungkin kamu sendiri yang turun ke bawah untuk tidur sama aku." Bastian justru menambahkan lecutan di hati Naira.Dia yang turun ke lantai untuk bersama Bastian?"Enak aja! Pede amat!" pekik kesal Naira.Tapi kalau dipikir-pikir....'Apa aku punya kecenderungan sleep wal