Alih-alih hendak menghentikan Bastian, Naira justru meremas jas di punggung Bastian saat dia menikmati lumatan bibir Bastian."Om ... ummhh ...." Meski dia tahu ini salah, tapi Naira terlalu gila untuk menginginkan ini terus berlangsung.Di hatinya, Naira terus menyerukan permintaan maafnya kepada sang ibu.Baru saja Naira dibuat mabuk kepayang dengan ciuman Bastian, pria itu sudah menyudahinya dan mereka saling bertatapan dalam jarak pandang cukup dekat.Naira harus mendongak untuk menatap Bastian, matanya menelisik manik kelam di depannya. 'Om Tian pasti sakit hati banget disinggung soal mendiang bininya tadi.'Gadis itu berempati. Dia juga pasti akan murka jika ada dalam posisi Bastian."Nai ... maaf ... aku egois." Bastian meraih belakang kepala Naira untuk menyatukan dahinya ke kepala Naira sebelum akhirnya pria itu mengecup kening Naira.Seketika, hati Naira dipenuhi oleh kupu-kupu yang menghinggapi ribuan bunga yang telah mekar oleh kehangatan sikap lembut Bastian. Dia memilih
“Mmh~” Naira menggumam pelan ketika dia mulai terjaga dan mendapati dirinya di tempat yang dia yakini bukan kamar yang seharusnya dia tempati.Apalagi ketika membuka mata, dia melihat ke ruangan yang temaram tanpa lampu, hanya mengandalkan cahaya dari luar jendela, sedangkan hanya ada gelap di luar sana, menandakan ini bukan lagi siang meski hari belum berganti.“Uff!” Naira susah-payah mengangkat tubuhnya yang terasa remuk tak terkira.Seketika, tenggorokannya kering, entah karena sebelumnya terlalu banyak bersuara—mendesah dan mengerang, atau karena tidur cukup lama.“Ya ampun …,” desahnya ketika dia mengingat apa yang sudah terjadi tadi siang. “Aku dan Om ….”Memutar kembali memori itu, Naira langsung menutupi wajahnya karena malu, dan terselip pula rasa berdosa pada ibunya.“Mi, aku beneran minta maaf,” bisiknya sambil berusaha turun dari ranjang.Bruk!“Aduh!” pekiknya saat dia mengetahui ternyata lututnya serasa berubah jadi permen jeli.Seketika, pintu pun terbuka dan sosok itu
"Nai, berangkat bersama, yah!" tanya Bastian sambil merangkul pinggang Naira dari belakang.Lekas saja Naira melepaskan diri dari belitan Bastian."Eng-enggak, Om! Aku ... aku kayak biasa aja, berangkat sendiri," tolaknya dengan membawa kegugupan.Sepanjang pagi ini, Naira selalu merasa kikuk ketika berhadapan dengan Bastian. Apalagi Bastian memaksa untuk tidur bersama di kamarnya, Naira semakin merasa sungkan."Ugh!" Naira berjalan cukup susah payah setibanya di gedung Zilong E-First. Bagian bawah tubuhnya terasa ngilu dan cara berjalannya jadi aneh.'Bos sialan!' umpatnya di hati. 'Bisa-bisanya terus-terusan minta begituan! Tadi pagi kalo aku gak buru-buru masuk ke kamarku sendiri, pasti udah dia terkam juga, dah! Uffhh ... semoga aja gak ada orang yang kepo soal jalanku ini!'Naira menghela napas lega saat memasuki ruangan Amy. Setidaknya di sini dia bisa menghindari Bastian untuk sementara. Apalagi dengan kembalinya Amy dari luar kota, dia merasa aman."Pagi, Sis Amy," sapa Naira
'Aku bakalan diapain ini?!' Hati Naira berdebar-debar. Setelah pintu ditutup, Bastian menyudutkan Naira di antara tubuhnya dan pintu. Satu tangannya ditaruh di samping kepala Naira, sungguh sikap yang mendominasi."Nai, bisa nggak, kalo kamu jauhi Fikri?" tanya Bastian sambil menatap mata Naira dalam-dalam.Tenggorokan Naira tercekat. Meski ucapan itu pernah dilantunkan Bastian kemarin dulu, tapi saat ini terasa ada nuansa posesif yang kental dari suara pria itu. Dada Naira berdentum-dentum."P-Pak Bos ...." Naira bingung harus menjawab apa.Dia yang biasanya bisa bersikap keras dan tegas pada Bastian pada awalnya, sekarang semuanya luntur setelah dia ditaklukkan pria ini."Jangan bikin aku cemburu, Nai." Bastian memperlembut suaranya dengan tiba-tiba.Ini membuat Naira disergap gelombang keheranan sekaligus kelegaan.'Om Tian kayaknya nggak akan marahin aku. Ya ampun, Om ... jangan tatap aku pake kitty eyes gitu, dong! Hatiku bisa lumer ini!' Naira merasakan hatinya sedang diaduk-ad
Naira terdiam, terkejut mendengar keputusan Bastian. Dia tidak menyangka akan diminta menjadi sekretaris pribadi Bastian mulai hari itu juga."Tapi, Pak Bos..." Naira mencoba protes, namun Bastian mengangkat tangannya, menghentikan kata-katanya."Ini keputusan final, Nai. Tolong ambil barang-barangmu dari ruangan Amy dan pindahkan ke meja sekretaris di sini," ujar Bastian tegas.Dengan berat hati, Naira menurut. Dia berjalan kembali ke ruangan Amy untuk mengambil barang-barangnya. Sementara itu, Bastian menghubungi Amy melalui telepon."Amy, bisa ke ruanganku sebentar?" pinta Bastian.Beberapa saat kemudian, Amy masuk ke ruangan Bastian. Dia melihat Naira sedang merapikan barang-barangnya di meja sekretaris."Ada apa, Pak Bos?" tanya Amy.Ada sedikit kebingungan di wajah Amy ketika melihat situasi tersebut.Bastian tersenyum. "Aku memutuskan untuk jadiin Naira sekretaris pribadiku mulai hari ini."Sebenarnya dia bisa saja menyampaikan ini pada Amy melalui telepon, tapi dia merasa itu
Hari yang ditakutkan Naira akhirnya tiba. Elvita, ibunya, kembali dari perjalanan luar pulau. Bastian menerima kabar ini dengan perasaan campur aduk, tahu bahwa dia harus memulangkan Naira ke rumah ibunya.Sore itu, Bastian memanggil Naira ke ruangannya."Nai, mami-mu bakalan pulang hari ini," ujar Bastian dengan nada lembut namun ada sedikit keengganan tersirat.Naira merasakan jantungnya berdegup kencang. Rasa tak nyaman mulai timbul."Oh ... begitu, Pak Bos." Jawabannya terdengar kering tanpa fluktuasi. Padahal dulu dia akan antusias saat mengetahui ibunya akan pulang.Bastian menghela napas. "Kamu harus pulang ke rumah mami-mu malam ini. Aku bakalan ngantar kamu."Naira mengangguk pelan, tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya."Oke, Bos. Aku ntar bakalan berkemas."---Malam itu, Bastian benar-benar mengantar Naira pulang. Namun, tentu saja pria itu masih sempat berintim-intim dengan Naira di sore harinya, di sofa dan di kamar mandi.Setibanya di rumah Elvita, mereka disambut o
Menatap langit-langit kamarnya, Naira mulai menggumam, "Apakah aku tidak pernah ada di hati Om? Apalagi sepertinya Om lebih serasi dengan Mami." Gelisah dengan pemikirannya sendiri, Naira memeluk gulingnya."Aku pastinya dosa banget kalo ampe ngerebut Om dari Mami, kan? Padahal Mami selama ini sayang aku, meski sering sibuk kerja, tapi aku yakin Mami sayang aku."Meskipun ada sekelumit hatinya mengatakan ibunya terlalu sibuk bekerja dan kadang kurang perhatian padanya, tapi Naira bisa memaklumi itu karena mereka tak punya lagi sosok lelaki di rumah untuk diandalkan."Argh! Pusing! Aku pusing!" Besoknya, ketika Naira memiliki kesempatan berbincang dengan Bastian di jam makan siang di ruangan pria itu. Dia mencoba mengungkapkan kegundahan yang dia rasakan."Om, ada yang mau aku omongin," Naira memecah keheningan, suaranya sedikit bergetar.Bastian mengangkat alis, menghentikan gerakan tangannya yang hendak menyuap. "Ya, ada apa Nai?"Naira menarik napas dalam, berusaha mengumpulkan ke
Di kursinya, jantung Naira seperti digedor palu raksasa milik dewa petir. Ibunya diangkat jadi GM! Mata Elvita berbinar. "GM? Beneran? Oh, Bos Tian, makasih!"Langsung saja Elvita bangkit dari kursinya dan memeluk Bastian."Tapi," Bastian melanjutkan, "posisi ini mengharuskanmu untuk menangani divisi di pulau lain."Ucapan Bastian sontak menimbulkan gejolak di hati Naira. Ibunya hendak dikirim ke pulau lain?Elvita terdiam sejenak, lalu bertanya, "Berapa lama?"Senyum di wajah Elvita memudar, melipat kedua tangan di depan dada, dan berdiri di samping kursi Bastian sambil menyandarkan pantatnya ke tepian meja si Bos. "Setidaknya satu tahun," jawab Bastian tegas.Di mejanya, Naira mendengarkan dengan telinga yang dipasang baik-baik. Ada campuran perasaan lega dan bersalah mengguyur hatinya."Tapi, Tian ... gimana ama Naira?" tanya Elvita, suaranya terdengar ragu.Naira membalas canggung tatapan ibunya yang baru saja tertuju ke arahnya.Bastian tersenyum meyakinkan. "Nggak usah khawati
Sebulan kemudian, Bastian berencana membawa Naira ke kantor E-First, tempat di mana mereka pernah bekerja bersama.“Ini beneran gak apa-apa, Tian?” tanya Naira untuk memastikan saja.Mereka sudah selesai berdandan rapi dan siap berangkat bersama ke kantor Bastian.“Tentu aja nggak apa-apa, Nai. Gimanapun, mereka harus tau ini. Nggak mungkin hubungan kita terus disembunyikan dan menjadi diam-diam aja, kan?” Bastian mengambil tangan Naira, ingin menguatkan hati calon istrinya.Saat ini, Naira sudah membubarkan segala ujian dan apa pun tes yang harus dilalui Bastian. Dia tidak lagi menginginkan itu karena dia sadar bahwa dia tak sanggup hidup tanpa Bastian.Pengalaman di ambang batas kematian membuat Naira memahami apa yang paling dia inginkan.“Kalo mereka marah, gimana? Ntar mereka demo, gimana?” Naira masih khawatir.Dulu rumor hubungan mereka sempat membuat geger kantor dan berhasil ditepis dengan berbagai cara. Sekarang justru hendak dibuka terang-terangan. Akan seperti apa respon pa
“Beneran? Len lairan?! Kapan?” Naira bertanya dengan senyum penuh kebahagiaan, seolah rasa sakit yang tadi dialaminya seketika menghilang.“Setelah kamu kelar operasi dan mendadak aja ketubannya pecah sewaktu mau ngantar kamu ke kamarmu ini. Oh ya, bayinya perempuan,” lanjut Bastian.Naira menatap Bastian dengan tatapan penuh arti. Hari ini benar-benar penuh dengan emosi—kesedihan, harapan, dan kebahagiaan yang semuanya berkumpul di satu tempat.Namun, wajah Bastian kembali serius sejenak saat dia menghela napas. “Ada kabar lain yang perlu kamu tau,” ujarnya. “Vera udah ditahan di kantor polisi. Mereka memastikan dia nggak akan kemana-mana, dan proses hukumnya akan segera berjalan. Sidangnya mungkin akan berlangsung dalam beberapa minggu lagi.”Naira terdiam, memikirkan peristiwa yang hampir merenggut nyawanya. Meski dia merasa lega bahwa Vera akan mempertanggungjawabkan perbuatannya, hatinya tetap tergetar.Kejadian ini meninggalkan luka yang dalam, tapi dia merasa lebih kuat ketika
Suster menatapnya dengan penuh empati. "Nyonya stabil untuk saat ini, Pak. Tapi kami harus memantau dengan ketat. Mengenai janinnya... kita perlu menunggu perkembangan lebih lanjut."Bastian mengangguk pelan, meski hatinya masih penuh kekhawatiran. Naira beserta janinnya harus baik-baik saja, mereka berdua harus baik-baik saja. Itu yang menjadi harapan utama Bastian.***Di kamar VIP yang tenang itu, Naira perlahan membuka matanya. Cahaya lembut dari jendela menembus tirai, menyinari wajahnya yang masih terlihat lemah.Saat kesadarannya mulai kembali, matanya terasa hangat dan basah. Mungkin efek samping dari obat, pikirnya.Tapi begitu dia sadar sepenuhnya, yang pertama kali dia rasakan adalah tangan Bastian yang menggenggam erat tangannya.“Om….” panggilnya dengan suara serak.“Nai… akhirnya kamu sadar.” Suara Bastian bergetar pelan, penuh dengan rasa syukur dan kelegaan.Dia menatap Naira dengan tatapan yang penuh kasih, seolah tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain dia d
“Kamu ngancam aku, Bas? Kamu berani ngancam aku?!” jerit Vera, tak terima.“Jika itu memang harus, maka aku akan melakukannya. Kamu bisa memilih, ingin aku mengambil langkah yang mana.” Bastian menyahut dengan suara dingin.Keributan semakin membesar di bandara, dan Bastian bisa mendengar suara ibunya Vera yang semakin marah, memaki-maki anak buah Bastian.Namun, situasi itu berubah ketika polisi bandara tiba di tempat kejadian setelah mendengar keributan. Mereka segera menahan Vera dan ibunya dari keberangkatan, meminta keduanya untuk tidak meninggalkan negara Scarlet sampai masalah ini selesai.“Aku akan mengurus semuanya,” kata Bastian pada petugas bandara yang mencoba menenangkan situasi. “Jika perlu, aku akan membayar empat kali lipat dari harga tiket yang sudah mereka beli. Yang penting, jangan biarkan mereka terbang.”Polisi dan staf bandara menerima tawaran Bastian. Uang memang bisa menyelesaikan sebagian masalah, pikirnya dengan dingin. Dia menutup telepon, tetapi belum sempa
‘Kumohon… aku ingin… terus bareng Om… selamanya….’ pinta Naira ketika dia memejamkan mata dan membiarkan dokter memulai operasinya.Di luar, Bastian sibuk mondar-mandir di depan kamar operasi.“Haahh… lama banget, sih?” rutuk Bastian, tak sabar.Helena yang juga ada di sana, hanya memutar matanya dengan jengah pada ucapan Bastian.“Ya elah… baru juga 10 menit, udah diprotes lama.” Helena merespon dengan suara nyinyir. “Buruan duduk! Mual aku liat kamu mondar-mandir rempong gitu!”Helena tidak takut sama sekali pada Bastian meski dia tahu siapa Bastian. Baginya, orang yang sudah membuat sahabatnya sedih, tak perlu ditakuti.Mau tak mau, Bastian menghentikan langkahnya yang bagaikan setrika. Dengan hembusan keras dari napasnya, dia pun duduk tak jauh dari Helena.“Bisa tolong ceritain, gimana kok Naira bisa kena tusuk gitu?” Bastian akhirnya teringat bahwa dia belum mengetahui mengenai kronologi dan latar belakang kejadiannya.Helena melirik sinis ke Bastian, menunjukkan permusuhan seca
“A-aku… aku….” Suara Vera bergetar.Vera kaget bercampur syok ketika menatap pisau lipat yang menancap di perut Naira. Meski dia benci Naira, tapi ketika usai menusukkan pisau ke Naira, rasa takut menyergapnya, seolah sebentar lagi dia akan dikejar iblis.“Arghh!” Vera menjerit panik dan bergegas pergi dari sana.Dia memang wanita jahat, tapi untuk berbuat lebih dari sekedar menusuk seseorang, dia tak memiliki nyali mengenai itu.Bahkan, menusuk perut seseorang merupakan kegilaannya paling maksimal dalam hidupnya.Sedangkan di kamar kosnya, napas Naira terengah-engah sambil terus memandangi perutnya.“Perutku… anak…ku….” Naira gemetaran.Takut dan sakit menguasai dirinya. Darah sudah mulai merembes banyak di bajunya.“Gak, gak boleh aku cabut pisaunya. Bahaya….”Di sela-sela kepanikan dan rasa takutnya, dia masih cukup bernalar mengenai itu.Maka, menahan rasa sakit dan dengan langkah tertatih, dia mengambil ponselnya, menghubungi nomor Bastian.“Ya ampun, buruan angkat, sialan! Aku b
“Ve-Vera?” Naira membeku di tempatnya.Kenapa pula justru wanita sialan itu yang ada di depan pintunya? Naira kesal bukan main, merasa dia begitu sial karena bertemu Vera lagi.Dia sudah ingin menutup pintu karena malas meladeni Vera, hanya saja si rival cinta sudah lebih dulu menahan daun pintu tertutup."Aku pikir kamu udah pergi dari hidup Bastian. Tapi ternyata kamu masih mencoba mencuri dia dariku? Bahkan hidup bareng di sini? Dasar murahan!"Terdengar jelas dari suara Vera, betapa dia membenci Naira yang telah menjadi penghalang dia dan Bastian.Naira mengangkat alisnya, menatap Vera dengan pandangan dingin. “Murahan? Heh, apa urusanmu, ya? Mendingan jaga tuh mulut.”Ada ketidakrelaan di hatinya ketika dia dihina oleh Vera.Naira tak tahu bahwa Vera sudah mengerahkan segenap sumber dayanya untuk menemukan dia dan Bastian. Semenjak Bastian menegaskan ke Vera untuk berhenti mengganggunya karena sosok Naira yang sudah dipilih Bastian, Vera terus mengusahakan apa pun agar bisa mene
“Hah~ begitu, yah?”Bastian menghela napas panjang, melirik Naira yang sedang duduk di tempat tidur.Jelas, dia terjebak di antara dua dunia—pekerjaan yang sudah mulai merenggut waktunya, dan usahanya untuk membuktikan kepada Naira bahwa dia benar-benar serius dalam hubungannya.Naira yang mendengar pembicaraan itu melalui loud speaker pun berbisik, “Pergi aja, gak apa-apa, kok!”Mata Naira berkedip-kedip menatap Bastian yang termangu memandanginya, seolah pria itu sedang mencari makna tersembunyi dari ucapannya.Setelah diam sejenak, Bastian akhirnya berkata, “Oke, Gandi. Aku akan ke kantor hari ini. Tolong jadwalkan ulang rapat yang tertunda dan kasi tau semua direksi kalau aku akan segera ke sana.”Setelah menutup telepon, Bastian menatap Naira dengan wajah penuh kebingungan. “Aku harus ke kantor, Nai. Udah terlalu lama aku nggak muncul di sana, dan ini masalah penting. Aku janji nggak akan lama-lama, tapi aku harus menyelesaikan semuanya hari ini.”“Iya, aku paham, kok!”Naira yan
"Nai, aku mesum gimana, sih?" Bastian berlagak menderita atas tuduhan Naira.Padahal dia menahan tawa geli."Kamu... kamu bisa-bisanya ambil aku dari... dari kasur! Nih! Aku bangun malah udah di lantai gini!" Naira sewot.Wajahnya cemberut dengan bibir mengerucut karena kesal."Loh Nai, kalau aku bawa kamu turun ke lantai, pastinya kamu bakalan terbangun, dong." Bastian memberikan sanggahan.Ucapan Bastian mengakibatkan Naira harus diam untuk berpikir.'Iya juga, sih!' batin Naira. 'Kalo aku ditarik atau dibopong turun dari kasur, ya kali aku gak ngerasa apa pun? Pastinya aku bakalan kebangun. Tapi... kok bisa gitu, sih?'Masih ada banyak tanda tanya di kepala Naira mengenai dirinya ada di lantai bersama Bastian."Nai, mungkin kamu sendiri yang turun ke bawah untuk tidur sama aku." Bastian justru menambahkan lecutan di hati Naira.Dia yang turun ke lantai untuk bersama Bastian?"Enak aja! Pede amat!" pekik kesal Naira.Tapi kalau dipikir-pikir....'Apa aku punya kecenderungan sleep wal