“Janji dulu, jangan menghakimi gua...” Tiara memulai sesi curhat.
“Heh!” Alana langsung protes, “Lo kayak gak tau gua aja. Rasanya cuma gua yang punya prinsip everybody has their own reason -Setiap orang memiliki alasan mereka sendiri.”
“Udah… denger dulu Ara mau ngomong apa.” Ruby menengahi, wajahnya terlihat serius di layar ponsel yang diletakkan berdiri di tengah meja.
Tiara menghela napas. “Gua emang lagi… dekat, errr.. berkomunikasi aktif, sama seseorang.”
“Sudah gua duga,” Alana berkomentar. “Terus, masalahnya di mana?”
“Dia...&rdqu
Tristan tahu Tantri telah mencurigainya, hanya saja istrinya itu tidak mendapatkan bukti yang cukup untuk langsung menuduhnya. Namun, telepon di malam ulang tahun Tiara itu adalah sebuah peringatan. Tantri memberinya syok terapi, untuk memberitahunya bahwa dia tahu.Memang istrinya tidak menyerang atau bertindak agresif dengan mendatangi lalu memaki-maki. Dia bermain cantik, hanya menyalakan rasa bersalah di hati Tristan.Tristan mulai membatasi mengirim pesan dan foto tanpa arti pada Tiara. Unggahan di sosial media pun dikurangi. Dan pesan-pesan pribadi yang ia terima, diserahkan pada admin untuk menjawabnya.Meskipun demikian, kepalanya tetap dipenuhi Tiara. Setiap melihat makanan apapun, hampir secara otomatis tangannya mengeluarkan ponsel untuk memotret, sebelum kemudian tangannya menjadi kaku, lalu memasukkan k
Tiara menyeret kopernya masuk ke vaporetto, kapal besar yang menjadi alat transportasi utama di Venice. Semacam bus umum jika di darat.Ia sudah menyewa sebuah kamar dari seorang wanita berusia enam puluh lima bernama Marcia. Seorang profesor yang mengajar anak-anak yang kesulitan mengeja di Inglese Dinamico. Marcia hidup seorang diri di rumah dua lantai berkamar dua. Jadi dia menyewakan satu kamar pada pelancong-pelancong via sebuah situs penginapan.Waktu tepat menunjukkan jam dua belas siang, Marcia sedang mengajar, jadi Tiara harus mengambil kunci rumahnya ke kampus yang terletak di San
Tantri melihat suaminya benar-benar ‘terpenjara’ olehnya dua bulan ini. Di siang hari selalu pulang, dan jarang terlihat mengetik di ponsel. Tantri bernapas lega. Sepertinya upaya halusnya sukses.Namun, dua minggu kemudian, ia melihat suaminya tampak lebih pendiam. Ada kemuraman yang coba ditutupi. Hampir berhasil, sebab ketika memandangnya, suaminya memang masih tersenyum, tetapi Tantri bukan baru hidup satu dua tahun dengannya, dan ia menangkap mendung itu.Oleh karena itu, ketika suaminya mengatakan mendapat undangan seminar gizi di Italia sana, dan bermaksud melanjutkan program master satu tahun, ia langsung menyetujuinya.‘Lebih baik dia pergi jauh supaya kesempatannya benar-benar tertutup, tanpa aku berusaha menghalanginya.’ Begitu ia berpikir.
Tristan mengambil alih koper Tiara yang setinggi pinggangnya, membebaskan wanita itu hanya berjalan menenteng tas laptop dan tas selempangnya. Dengan panduan Google map dan petunjuk dari Marcia, mereka menemukan kampusnya tanpa kesulitan.Marcia ternyata bertubuh mungil, bahkan lebih pendek dari Tiara. Tingginya mungkin sekitar 150 cm. Ketika berjalan ke luar kelas menghampiri mereka, dia agak pincang.“Hai sweetheart,” Dia langsung memeluk Tiara dengan hangat. “Akhirnya kamu tiba juga. Tidak sulit kan menemukan kampus ini?”Tiara mengg
Mereka tentu saja memesan Bellini. Bagaimana pun, mereka penasaran dengan rasa koktail Peach Bellini yang diciptakan oleh Cipriani itu. Minuman inilah yang menjadi magnet penarik turis untuk mengunjungi bar ini. Konon, dinamakan Bellini karena warna merah muda cerah dari koktail tersebut mengingatkan Cipriani pada lukisan Giovanni Bellini, seorang pelukis Renaisans Venesia abad ke-15.Bellini mereka tiba dalam hitungan menit. Berbeda dari minuman koktail yang biasanya dituangkan di gelas dangkal berkaki tinggi, Bellini disajikan dalam gelas silinder setinggi sekitar sepuluh senti. Lebih mirip jus, berwarna merah muda dengan buih di atasnya.Tiara segera meneguk minuman yang tampak cantik dan ceria itu.
Segala cara sudah dilakukan untuk menepis segala rasa, melenyapkan segala kemungkinan kembali. Namun, takdir membawa Tristan kembali ke hadapannya, di sini, di kota yang setiap sudutnya menawarkan romantisme.Rasa yang tak pernah pergi, menghantam bagai gelombang raksasa. Menghanyutkan Tiara ke lautan cinta tanpa tepi. Mungkin ia akan tenggelam karena lelah, sebab cintanya hanya sebuah harap yang hampa.“Cara sembuh dari patah hati adalah dengan menemukan cinta baru,” kata Alana suatu ketika.Waktu itu Tiara menjawab, “Dalam menyembuhkan luka hati, manusia terbagi menjadi dua jenis. Jenis yang pertama, seperti yang lo sebutin. Menambal hati yang patah dengan cinta baru. Jenis yang kedua, harus sembuh dulu baru bisa menerima cinta yang lain. Gua adalah jenis yang kedua.”
Bapak mencoret-coret di kertas. Tisu berlogo yang tadi digunakan untuk melapisi cangkir kertas berisi Cafe Latte panas pesanannya. Mereka sedang duduk menikmati sarapan di Starbucks. Jam sepuluh nanti Tiara ada meeting dengan beberapa pemasok. Sudah dua bulan ini Tiara selalu mengajak Bapak setiap ia pergi kerja di luar. Saat Tiara meeting nanti, Bapak akan menunggunya di kursi terpisah. Jika Tiara harus ke luar kota, giliran Agung adiknya yang bertugas mengajak Bapak. Ia tidak mau membiarkan Bapak di rumah seorang diri. Tiara memotong Spinach Quiche di atas piring di depannya, makanan yang selalu ia pesan setiap berkunjung ke sini. Mengoleskan sambal tipis-tipis, lalu mengunyahnya pelan tanpa suara. Melihat Bapak menulis, ia mengangkat cangkir berisi teh Camomile panas ke bibirnya. Panas air teh langsung mengusir rasa pedas di lidahnya. Cangkir teh itu hanya caranya agar tidak terlalu terlihat sedang mengintip apa yang sedang ditulis Bapak. Surat untuk Ibu. Lagi. Menulis surat a
alam itu, dengan terbata-bata Tiara menyampaikan kabar itu pada Agung, dan menugaskan Agung menyampaikan pada Bapak. Tiara tidak tega untuk mengabarkan pada Bapak, mulutnya pasti tidak bisa mengeluarkan suara, karena itu ia menyerahkan tugas berat itu kepada adiknya. Pagi itu juga, ia dan Agung langsung terbang ke Surabaya untuk menjemput jasad Ibu, dan membawanya ke Jakarta dengan pesawat charter. Setelah disemayamkan di rumah duka, Bapak baru dijemput datang untuk melihat Ibu terakhir kali, setelah dimandikan dan didandani.Ibu tampak seperti tidur, tidak ada yang menerima bahwa itu hanya jasmaninya, sedangkan rohaninya telah meninggalkan dunia. Di hari terakhir ketika upacara penutupan peti, sebuah peristiwa ganjil terjadi. Seekor kupu-kupu putih, benar-benar putih polos tanpa motif, tiba-tiba hinggap di ujung jari Bapak.Bapak tidak mengibaskan kupu-kupu itu, hanya menatapnya. Kupu-kupu itu hinggap beberapa menit, sebelum kemudian mengepakkan sayap dan terbang ke luar jendela.Tia