Beranda / Romansa / Belahan Jiwa / 3. Kesalahan Manis

Share

3. Kesalahan Manis

Penulis: Dela Tan
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-17 21:00:19

Jam istirahat sekolah, semua murid saling mendahului mengambil tempat agar bisa berdiri di pagar besi di luar kelas. Pemandangan dari situ sangat strategis. Bisa melihat ke lantai-lantai lain. Bisa mengincar orang yang ditaksir. Melemparkan sinyal, berharap yang ditaksir menangkap sinyal itu. Jika pun tidak bersambut, setidaknya bisa mencuri pandang diam-diam. 

Gedung sekolah bercat biru muda itu terdiri dari tiga lantai. Kelas-kelas diletakkan di lantai sesuai tingkatnya. Kelas satu SMA di lantai satu, kelas dua di lantai dua dan kelas tiga di lantai tiga. 

Di lantai dasar ada kantin. Lapangan basket terletak di tengah-tengah. Para murid laki-laki yang mencari perhatian murid perempuan akan bermain basket saat jam istirahat. Dan semua gadis akan berlomba berdiri di pagar besi agar bisa melihat dan terlihat oleh incarannya.

Tiara baru kelas satu SMA. Lelaki itu kelas tiga. Tiara tidak tahu namanya. Tidak berani mencari tahu. Tiara suka karena lelaki itu sangat cool. Mata dan rambut kecoklatan, bibir tipis yang tampak selalu tersenyum. Ia bintang basket sekolah. 

Beberapa kali mereka berpapasan di tangga menuju kantin. Tiara selalu merasa jantungnya berdebar lebih keras, sampai ia khawatir lelaki itu mendengarnya. Tapi lelaki itu selalu lewat begitu saja. Tidak memedulikannya. Merambatkan rasa kecewa di hatinya.

‘Bagaimana caranya agar kamu melihatku?’ bisik Tiara dalam hati. Sadar ia bukan murid populer. 

Namun…

Akhir-akhir ini pandang mereka selalu bertemu. Setidaknya menurut perasaan Tiara. Lalu sebuah keyakinan hadir. Atau sebuah harapan? Entahlah. Kadang sebuah keyakinan dan harapan menjadi bias. Terutama ketika harap itu telah terakumulasi sekian waktu.

Siang ini panas sekali. Bel tanda jam istirahat telah berdentang-dentang lima menit yang lalu. Seluruh murid langsung berhamburan. Pagar di luar langsung penuh. Tiara memutuskan duduk di kelas saja, malas berhimpitan demi satu celah di pagar. Meskipun itu berarti ia melewatkan waktu melihat lelaki itu. Beradu pandang ‘tanpa sengaja’ dengannya.

Seorang murid laki-laki memasuki kelas, mengedarkan pandangan. Lehernya dipanjang-panjangkan. Jelas ia sedang mencari seseorang. Tiara mengenalinya sebagai anak kelas tiga. Sahabat lelaki itu. Ia sering melihat mereka berjalan bersama, tertawa-tawa. Mereka sama-sama pemain basket.  Ada sebuah amplop di tangannya. Hati Tiara mulai berdebar-debar.

Mata murid laki-laki itu berhenti mencari. Ia tersenyum pada seorang murid perempuan yang juga hanya berdiam di dalam kelas. Ia menghampirinya, lalu menyerahkan surat itu.

“Dari Ben.” Katanya, “Balas ya…”  Murid itu berlalu. Meninggalkan murid perempuan yang memegang amplop di tangannya itu terbengong-bengong. 

Nama gadis itu, Tiana. 

‘Jadi, nama lelaki itu Ben.’ Tiara membatin.

Tiara yakin surat Ben itu untuknya. Pasti murid laki-laki itu salah nama. Pasti. Tapi, bagaimana cara agar Tiana mau menyerahkan surat itu padanya?

‘Ah, mungkin aku yang salah. Mungkin memang Ben menyukai Tiana, bukan aku.’ Tiara menghibur diri, menepis kecewa yang merambati hatinya.

Sejak hari itu, Tiara tak pernah lagi berdiri di pagar. Menghindari memandang Ben adalah suatu cara melupakannya, menghilangkan kecewanya.

Satu minggu berlalu. Ia tidak mendengar atau melihat apapun lagi. Tiana juga terlihat biasa-biasa saja. Tidak bahagiakah ia disurati Ben?

Siang itu, Tiara benar-benar kelaparan. Tadi ia tak sempat sarapan karena kesiangan bangun. Sekarang perutnya keroncongan. Tiara melangkah menuju kantin yang terletak di lantai dasar, di belakang lapangan basket. 

Ia menuruni tangga perlahan. Sebuah sosok melewatinya cepat. Turun melompati tangga dua-dua. Ben. 

Hampir terjatuh karena kaget, diam-diam Tiara mengusir sedih karena Ben melewatinya begitu saja. Jadi benar, yang disukainya adalah Tiana... Ia hampir membatalkan niatnya untuk turun ke kantin. Lebih baik ia kembali saja ke kelas.

Tiba-tiba, Ben berbalik. Menatapnya.

“Mana balasan suratku?” Ia menengadahkan tangan.

“Ha?” Tiara menatapnya bingung. Mata mereka terpaku dan aliran listrik bepercikan. “Surat… surat apa?” 

“Kamu… nama kamu Tiana, bukan?” Ben tak kalah bingung.

Seketika Tiara ingin melompat-lompat. Betul, ternyata surat itu untukku! Untukku! Hatinya bersorak-sorak. Ia ingin memeluk Ben. Tapi tentu saja ia tidak berani.

“Bukan. Aku Tiara.”

“Oh… Aduh, mati deh gue!” Ben pucat, menepuk jidat, memutar-mutar tubuh di tangga itu. Turun, lalu naik lagi. Tawa Tiara hampir pecah.

“Kamu ambil ya… ya… Ambil dari dia. Itu surat buat kamu! Bukan buat Tiana! Aku pikir namamu Tiana.” Ben berbalik, menuruni satu anak tangga, lalu naik lagi.  

“Pokoknya, aku tunggu balasan suratmu ya.” Ben berlari menjauh. 

Tiara sempat melihat wajahnya bersemu dadu. Warna dadu yang tiba-tiba menyelimuti area sekitar tangga itu. Warna dadu yang juga menyelimuti hatinya.

Esok harinya, Tiara menghampiri Tiana di jam istirahat. “Hai Na. Kamu terima surat dari Ben kan minggu lalu?”

Tiana mengangguk. “Iya, dia minta balasan ya? Tapi aku bingung, jadi belum kubalas.”

“Umm… sebetulnya… sebenarnya, surat itu buat aku.”

“Oh?” Tiana tampak terkejut.

Awalnya, Tiara khawatir membuat Tiana sedih atau kecewa. Syukurlah yang ia lihat adalah raut lega. 

“Makanya… Aku bingung. Kok bisaaa...” Tiana mengembuskan napas, lalu tertawa.

“Besok aku kasihin ke kamu, ya. Aku tinggalin di rumah soalnya.” Tiara mengangguk.

Besoknya, surat Ben sudah ada dalam genggamannya. Surat yang telah terbuka. Tiara tak peduli Tiana sudah membacanya. Dibukanya lipatan kertas yang disobek dari buku tulis itu. Tulisan Ben kecil-kecil dan miring ke kanan. Hanya ada beberapa baris kalimat.

Hai Tiana,

Sepertinya kita harus berhenti saling mencuri lihat.

Kamu mau kan kalau kita jadian?

Balas ya...

Ben.

Tiara tergelak. Pantas Tiana bingung. Pasti pikirnya kapan mereka saling mencuri lihat. 

Sepanjang hari itu, Tiara tak henti tersenyum. 

Bab terkait

  • Belahan Jiwa   4. Lelaki Sempurna (1)

    “Hatimu sedang dipenuhi cinta, Nak.” Tiba-tiba Ibu berkata dengan pandangan penuh selidik. Mereka sedang menikmati teh dengan kue nastar yang dibuat Ibu tadi sore. “Aku tidak bisa menyembunyikannya dari Ibu ya?” Tiara tersipu, merasa dipergoki sedang tersenyum-senyum sendiri.Matanya yang indah berbinar. Mata bulat dengan bulu mata panjang dan lebat itu persis milik Bapak. Sekarang binarnya mencerminkan hatinya yang dipenuhi rasa bahagia. “Wajahmu bercahaya, matamu berbinar.” Ibu tersenyum, “Percayalah, tak ada yang membuat wajah seorang wanita lebih bercahaya daripada ketika ia bahagia. Tapi binar paling terang adalah saat hatinya dipenuhi cinta.”“Aku punya rahasia yang ingin aku bagi dengan Ibu dan Bapak. Tapi aku malu,” kata Tiara.“Mengapa harus malu? Jatuh cinta adalah proses dirimu menjadi dewasa.” Kata Ibu bijak, sementara Bapak hanya senyum-senyum sambil mengangguk. Tiara lalu berdiri dari kursi dapur, pergi ke kamarnya untuk mengambil surat yang sudah kusut karena dibaca b

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-18
  • Belahan Jiwa   5. Lelaki Sempurna (2)

    Dengan izin Ibu, malamitu juga Tiara menulis surat balasan untuk Ben.HaiBen,Iya,aku bersedia.TiaRa,bukan TiaNa.Membaca kembali suratbalasan itu, Tiara terkikik. Jika Ibu punya cerita masa muda yang terus diulangtentang Bapak ganteng yang menaksirnya meskipun dia tidak terlalu cantik, Tiarapunya cerita ini yang akan dia ceritakan pada anaknya nanti.Hah, anak? Tiara menepuk dahinyasendiri. ‘Mikir jangan kejauhan!’ Dia membatin, lalu kembali terkikik.Dan begitulah, merekalangsung jadian. Karena Ben akan melanjutkan kuliah ke Amerika, waktukebersamaan mereka sangat sempit. Dalam dua minggu, Ben sudah membawa Tiaramenghadap orang tua dan adik perempuannya, Mimi. Meskipun keluarga kayaraya, papa mama Ben sangat ramah dan tidak sombong. Apalagi Mimi, yang sangatingin punya kakak perempuan, langsung menerimanya dengan hangat.Mereka bertemu setiaphari, Ben mengantar Tiara pulang sekolah dengan mobilnya setiap hari. Meskipunawalnya Tiara merasa berkhianat pada dua sahaba

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-18
  • Belahan Jiwa   6. Pernikahan Suci

    Pernikahan Ben dan Tiaradiadakan di tepi pantai. Kain sifon hijau pupus dan tule putih melambai-lambai.Bangku-bangku kayu putih diikat pita raksasa berwarna hijau pupus berderet dikedua sisi. Di tengahnya, jalanmenuju altar digelari karpet dari rumput buatan, ditaburi kelopak mawar putih.Lilin-lilin dalam gelas dinyalakan di sepanjangnya. Angin semilir menebarkansemerbak mawar putih dan harum bunga lily. Dua bunga kesukaan Tiara. Yang hadir tidak banyak,karena Tiara dan Ben hanya ingin mengundang teman-teman yang benar-benar merekakenal, dan kerabat dekat. Orang tua Ben tidak keberatan, meskipun merekapengusaha, tidak mendesak untuk mengundang seluruh relasi yang jumlahnya tidakmain-main, tetapi tidak dikenal pengantin.Tiara berjalanmenghampiri altar, lengannya dikaitkan di lengan Bapak. Rambutnya disanggultinggi dililit mutiara. Gaun putih model kemben dari bahan brokat membungkusketat tubuhnya. Membuat lekuknya tampak nyata. Ia tidak terlalu tinggi,hanya setinggi r

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-30
  • Belahan Jiwa   7. Kenyataan Pahit (1)

    “Besok sahabatku di Harvard akan berkunjung. Kamu ingat dia? Dulu ketika kita menikah, dia juga hadir.” Suara Ben bersemangat. Sudah lama Tiara tak mendengarnya seantusias ini. “Tentu saja aku ingat.” Tiara bahkan lebih antusias. Ia senang Ben dikunjungi sahabatnya. Ben tampak tertekan akhir-akhir ini, mungkin karena kelanjutan studinya harus ditunda, lantaran ia telanjur hamil. Ben memang bersedia menunda satu tahun hingga Tiara melahirkan. Kegiatannya sehari-hari hanya belajar agar lebih siap melanjutkan studi nanti, juga membantu ayahnya di pabrik tekstil.Tiara mengelus perutnya. Ia langsung hamil, padahal hanya melakukannya satu kali di malam pengantin. Mungkin karena hari itu ia dalam masa subur.Sekarang, tanpa terasa kehamilannya sudah memasuki usia enam bulan. Tiga bulan lagi anaknya akan lahir ke dunia. Ia menanti-nanti seperti apa wajah bayi perpaduan parasnya dan Ben nanti.Ia berharap bayinya perempuan, dengan kulit Ben yang bersih dan bibir tipisnya. Hidung kecil dan m

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-30
  • Belahan Jiwa   8. Kenyataan Pahit (2)

    Tiara turun dari mobil Agung, diikuti bik Amah. Rumahnya gelap. Hanya lampu taman yang menyala. Ia heran. Jika Ben belum pulang, siapa yang menyalakan lampu taman. Ia mendongak, melihat lambaian kain gorden di balkon kamar atas. Jendela kamarnya terbuka, tetapi lampu tidak menyala. Ia mulai was-was. Jangan-jangan… ada pencuri membobol rumahnya. Tak mau dicereweti Agung, Tiara menyimpan kekhawatirannya. “Sudah, tinggalin saja.” Ia menggebah Agung agar segera berlalu.“Biarkan aku melihatmu masuk dulu.”“Ini rumahku, Kakeeek.” Tiara mencibir, “Lagipula, ada Bik Amah.”Agung menatapnya ragu. “Bik, kalau ada apa-apa, teriak yang keras ya.” Agung beralih berbicara pada Bik Amah.“Beres...” Bik Amah mengacungkan jempol.Tiara dan Bik Amah menghampiri pintu. Tiara menekan gagang pintu, mencoba mendorongnya. Ternyata terkunci. Berarti tidak ada siapa-siapa di dalam.‘Ah, mungkin waktu pergi, Ben lupa mematikan lampu taman dan menutup jendela kamar,’ pikir Tiara. Ia mengeluarkan serenceng

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-30
  • Belahan Jiwa   9. Hati Sekeras Batu

    Dari semua organ tubuh, hati adalah satu-satunya organ yang bisa memulihkan dirinya sendiri. Jika dikerat untuk didonorkan, itu akan tumbuh kembali dalam dua minggu hingga delapan puluh persen. Dan kembali utuh seratus persen dalam waktu dua hingga tiga tahun. Mungkin dari situlah asal istilah patah hati ketika putus cinta. Bukan patah jantung, atau patah ginjal misalnya. Karena suatu saat hati itu akan pulih kembali. Entah dalam dua minggu, dua bulan, dua tahun. Hanya hati yang memiliki kemampuan itu.Menatap nyalang langit-langit kamar hingga pagi, hati Tiara mulai tumbuh dari retakan karena hantaman kenyataan semalam. Air matanya kering sudah. Ia tidak tidur. Ia berpikir. Apa yang harus dilakukannya? Pulang ke rumah Ibu? Lalu apa yang harus dia ceritakan? Tetap tinggal di sini? Bagaimana ia harus menatap Ben? Fajar sudah hadir, Tiara beranjak dari tempat tidur. Meluruskan kakinya yang bengkak, menyeretnya ke arah pintu. Ia menarik napas dan mengembuskannya dengan keras sebelum me

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-30
  • Belahan Jiwa   10. Batal Demi Hukum

    “Jadi, cuma gua doang yang no clue? Dan kalian bisa-bisanya bungkam mengetahui ini?!” Suara Tiara naik beberapa oktaf, dan Ruby hanya bisa menghela napas.Tiara terdiam sejenak, tampak menimbang-nimbang. “Baiklah, kita tanya Alana. Tapi dia juga harus bersumpah tidak akan membuka ini pada siapa pun.”Ruby mengembuskan napas dan menggeleng-gelengkan kepala. Kesungguhan, keteguhan, kekerasan kepala, apapun namanya itu. Sahabatnya ini memang tukang ngotot. Mereka tahu betul, kalau sudah ada maunya, Tiara tidak akan mundur. Dan di matanya saat ini, menunjukkan bahwa keputusannya tidak bisa ditawar.Itu sudah harga mati.Sekitar tengah hari setelah jam makan siang, Alana sudah ada di depan pintu, bersama seorang lelaki berambut putih dan mengenakan kaca mata minus, usianya mungkin sekitar lima puluhan. “Ini pengacara kenalan oom gua, namanya Bapak Arthur Sitompul. Pak, ini sahabat saya Tiara yang tadi saya ceritakan. Dan ini Ruby.”Mereka bersalaman. Tiara mengajak semua orang masuk, lalu

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-30
  • Belahan Jiwa   11. Sahabat (1)

    Ben duduk di ujung tempat tidur di hotel. Reaksi Tiara kemarin masih terbayang di matanya. Ia merasa bersalah telah menyakiti wanita yang telah setia menunggunya enam tahun dan sekarang sedang mengandung anaknya itu.‘Aku memang pengecut!’ Ben memaki dirinya sendiri, meremas-remas rambut dan menundukkan kepala hingga menyentuh lututnya.Sebuah tangan terulur mengelus bahunya.“It’s fine. At least we don’t have to lie to her anymore. -Tidak apa-apa. Setidaknya kita sudah tidak perlu membohonginya lagi.” Suara yang halus memasuki telinga Ben.“Tapi seharusnya tidak dengan cara seperti ini dia mengetahui tentang kita. Ini terlalu kejam untuknya.” Ben mengangkat kepala dan menggenggam tangan di bahunya itu, menuntunnya agar duduk di sebelahnya, lalu memeluknya.“Aku yang pengecut. I love you so much, I can’t lose you. -Aku sangat mencintaimu, aku tidak bisa kehilanganmu. Aku tidak ingin menyakitinya, tapi malah lebih membuat dia hancur.” Ben teringat malam terakhirnya di Amerika sebelum

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-31

Bab terbaru

  • Belahan Jiwa   68. Ekstra 5 - Be My Wife (2) The End

    “Hai… sweetheart senang sekali bertemu denganmu lagi,” Marcia memeluk Tiara erat, mencium pipinya kiri dan kanan. “Aduh, sudah berapa lama ini?” “Lima tahun?” Melihat Tiara mengacungkan tangannnya, Marcia membelalak. “Astaga! Waktu benar-benar tidak menunggu.” “Dan kamu…” Marcia menepuk lengan atas Tristan sambil mengernyit, berpura-pura marah. “Berani-beraninya membuat anakku menangis. Apa yang kamu lakukan padanya? Kamu harus menebusnya! Apakah kamu sudah minta maaf?” Tristan mengangkat kedua tangannya dengan sikap menyerah. “Ampun. Aku akan menebusnya seumur hidup. Aku berjanji, itu pertama dan terakhir aku membuatnya menangis. Mulai saat ini, aku hanya akan menyelimutinya dengan cinta. Hanya akan membuatnya tersenyum.” “Nah, itu baru benar!” Marcia masih mengerucutkan bibir. “Sudah kukatakan mataku tidak salah. Aku menangkap binar-binar cinta di mata kalian. Sekarang terbukti, bukan?” “Ya ya…” Tristan dan Tiara tertawa. “Itu juga sebabnya kami kembali ke sini, Tristan ingin

  • Belahan Jiwa   67. Ekstra 4 - Be My Wife (1)

    Jari Tristan menjalari seluruh lekuk tubuh Tiara, mereka berbaring berhadapan, belum kembali mengenakan pakaian yang berserakan di lantai, masih dipenuhi peluh, masih mengatur napas yang nyaris habis. Tadi Tristan bagai kesetanan, menggumuli Tiara sampai merintih, melenguh, berteriak, hingga suaranya habis. Dan kini, tubuh Tiara tergolek tak bertenaga. “Kamu kuat banget,” Tiara berbisik. “Padahal sudah tidak muda lagi.” Tristan tertawa, “Jangan menganggap remeh orang tua. Aku masih kuat kalau kamu mau nambah. Napasku panjang karena aku sering lari, full marathon 42 km. Bagaimana, masih mau lagi?” Tristan menggoda Tiara, memindahkan jarinya dan memutar-mutar di sekitar areolanya. Tiara menggedikkan bahu, “Rasanya tidak nyaman. Sepertinya lecet, kamu sih terlalu ganas.” “Akibat menahan lima tahun, sayang. Oh bukan, kalau menghitung dari kita kenal, sebenarnya tujuh tahun.” Tristan menggosokkan hidungnya ke hidung Tiara. “Jadi, mulai sekarang kamu harus siap aku sergap untuk dib

  • Belahan Jiwa   66. Ekstra 3 - Tak Akan Melepaskanmu

    “Meskipun telah berpisah, aku tidak langsung mencarimu. Aku ingin melihat apakah takdir akan kembali mempertemukan kita. Jika tidak, berarti kita memang tidak berjodoh, dan aku benar-benar akan menghapus segala harapan. Tetapi ternyata… kita kembali dipertemukan. Dan kali ini, aku tak akan melepaskanmu.” Tristan meremas tangan Tiara. “Tentu saja, jika kamu belum bertemu seseorang, dan jika kamu bersedia.” Tiara menunduk, jantungnya berdentum-dentum. “Waktu kamu ulang tahun, kita tidak berfoto. Sekarang, kita sudah bisa berfoto bersama.” Kata Tristan lagi. “Supaya aku bisa melihat bagaimana wajah kita berdua ketika berdampingan, dan aku bisa memandangainya ketika aku sendirian.” Wajah Tiara seketika merona. “Kamu kok jadi lebay begini, malu ah sudah tua.” Tiara kembali berusaha menarik tangannya, tetapi Tristan malah pindah tempat duduk dari depannya ke sebelahnya. “Melihat reaksi kamu, kamu pasti belum bertemu seseorang, dan kamu bersedia. Ya kan?” Di akhir kalimat, Tristan be

  • Belahan Jiwa   65. Ekstra 2 - Tak Ingin Lagi Kehilanganmu

    Berbeda dari biasanya, dimana Tiara hampir selalu hadir lebih dulu dan Tristan hampir selalu terlambat, kali ini, Tiara berjalan berlama-lama, ingin membiarkan Tristan menunggunya.Ia bahkan hampir menyesali telah setuju untuk menemuinya lagi, setelah susah payah membakar jembatan, sekarang jembatan itu akan dibangun kembali?Namun, kata-kata Tristan yang mengatakan ‘banyak yang ingin disampaikan’, telah menggelitik rasa penasarannya. Sebanyak apa? Apa yang dia pendam dalam lima tahun ini, dan mengapa harus disampaikan padanya? Bukankah semuanya telah selesai?Tiara tiba di depan Blue Elephant. Seorang penerima tamu menyambutnya dengan senyum ramah.“Selamat siang. Untuk berapa orang, Bu?”“Sepertinya teman saya sudah di sini,” Tiara agak melongokkan kepala. “Entah dia sudah sampai belum…”“Boleh saya cek namanya?”“Tristan.”Penerima tamu itu memeriksa daftar nama di meja, “Sudah datang, mari saya antar, Bu.” Dia berjalan mendahului Tiara.Tiara mengikutinya ke sebuah meja. Ini bahka

  • Belahan Jiwa   64. Ekstra 1 - Lima Tahun Kemudian

    Tiara berdiri di depan sebuah jendela lebar yang tirainya disingkapkan, menatap jajaran box berisi bayi-bayi yang terbaring di dalamnya.Kirana berdiri di sebelahnya, berjingkat-jingkat sambil memanjangkan leher.“Yang mana ya Mam?” Kirana bertanya.“Kayaknya yang itu tuh, yang ketiga dari kiri.” Tiara meletakkan telunjuknya di kaca.Kirana menoleh padanya, “Kok Mami milih yang itu?”“Soalnya merah sendiri. Yang lain pada kuning.” Tiara menjelaskan alasan akan bayi yang dipilihnya.Kirana kembali mengalihkan pandang ke box bayi itu, berusa

  • Belahan Jiwa   63. Kamu Adalah Luka Parut

    And if you should ask mewhich you are,my answer is -you are a scar. -Lang Leav-Pada akhirnya kita harus mengakui bahwa cinta tidak selalu benar. Cinta bisa jatuh di waktu yang salah, pada orang yang keliru, dalam keadaan yang tidak tepat. Pun ketidakbenaran itu tak menutupi kenyataan bahwa cinta itu hadir. Tak pula lalu meniadakan keberadaannya, bagaimana keras pun itu berusaha disingkirkan, dihapus, dilupakan.Pada akhirnya, itu hanya bisa dibiarkan mereda, mengendap, terkikis bersama waktu. Jika itu tak juga lenyap, dan rasa sakitnya terus terasa, kesakitan itu justru membuatnya nyata. Bahwa cinta itu ada. Pernah ada.Sebab siapa yang bisa menjamin apakah sebuah cinta akan berlangsung selamanya. Atau hanya hadir sesaat. Bukan kemampuan kita untuk melepaskan atau terus menggenggamnya yang akan menentukan rentang waktu cinta, melainkan kedalamannya. Terlepas dari apakah cinta itu benar, atau salah.Tiara menelusuri percakapan-percakapan di layar ponselnya. Semua percakapan denga

  • Belahan Jiwa   62. Kepingan Yang Hilang

    Satu tahun berlalu dalam sekejap mata, itu bagi orang lain.Bagi Tristan, menghabiskan tiga ratus enam puluh lima hari di Italia setelah kepergian Tiara, itu sangat panjang. Itu adalah lima puluh empat minggu. Itu adalah delapan ribu tujuh ratus enam puluh jam. Itu adalah lima ratus dua puluh lima ribu enam ratus menit. Menit demi menit yang ia lalui dengan bayangan Tiara di mana-mana.Tristan belum pernah merasakan kondisi seperti ini. Bahkan ketika remaja. Ia belum pernah merasakan putus cinta, ia tidak pernah mengalami patah hati. Pacarnya hanya satu, yang langsung dilamar menjadi istrinya, sampai sekarang. Tantri.Pantas saja banyak yang sulit sembuh, bahkan mengakhiri hidup. Ternyata rasanya sangat tidak nyaman seperti ini. Berkali-kali ia berkata pada dirinya sendiri, bahwa hidup akan baik-baik saja.Ternyata hidup tidak baik-baik saja. Hidup terasa pelan. Datar. Membosankan. Waktu seolah merayap. Sangat. Lambat. Tetapi tetap harus dijalani. Tristan menjalani hidupnya karena Tuh

  • Belahan Jiwa   61. Rindu Adalah Siksa Yang Nikmat

    Rindu adalah siksa yang nikmat. Bagi Tiara, merindukan Tristan adalah nikmat yang menyiksa. Menyakitkan. Namun menagihkan.'Kamu harus belajar memaafkan,' nalarnya bicara. ‘Maafkan dirimu sendiri, agar bisa melupakan.’Tetapi hatinya tak setuju.Ini bukan tentang memaafkan. Memaafkan diri sendiri. Memaafkannya. Bukan juga tentang menerima kenyataan dan melupakan. Tetapi tentang rasa. Rasa yang tak mau pergi. Beginikah dulu Bapak merindui Ibu? Menggapai dalam ketiadaan, meraih dalam kehampaan. Rindu yang menetap di masa lalu, sementara raga ada di masa kini. Rindu yang terperangkap antara ruang dan waktu. Tak terkikis. Tak terhapus. Kini Tiara mengerti perasaan Bapak. Manakah yang lebih perih? Cinta yang terputus maut? Atau cinta yang terpenjara etika? Keduanya sama. Tak tersampaikan. Tak terpadukan. Kembali ke Indonesia, Tiara melanjutkan hidup. Hanya karena hidup terus berjalan. Satu tahun sudah ia menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Berusaha memunguti serpihan hatinya. Memilih

  • Belahan Jiwa   60. Berhak Bahagia

    “Bagaimana? Apakah hidangannya memenuhi seleramu yang tinggi, Senorita?” Carlos bertanya setelah mereka selesai bersantap. Pertanyaan yang jelas ditujukan pada Tiara.“Lihat saja piring-piring di sini, semua tandas, itu sudah menjawab pertanyaanmu. Dan ralat…” Tiara mengacungkan jari telunjuknya, “Seleraku gak tinggi kok, tidak perlu makanan di restoran mahal, di kaki lima juga oke. Aku hanya suka makan, terutama yang manis-manis.”“Hm… kalau begitu, nanti malam aku bisa mengundangmu bersantap di sini lagi? Hanya kita berdua? Aku akan membuat lebih banyak desserts.” Tanya Carlos. “Bos akan memberiku izin untuk menutup restoran lantai tiga, hanya untuk dia bukan?” Carlos beralih pada Ruby.Ruby mengangguk. “Ya, bukan hanya malam ini, setiap malam pun boleh, asalkan Tiara bersedia.”“Ah, tidak malam ini. Malam ini aku ingin melepas rindu dengan Ruby, kami sudah dua tahun tidak bertemu. Kita mau berbagi cerita sambil berbaring pakai piyama di tempat tidur.” Tiara menolak, dan tersenyum,

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status