Beranda / Romansa / Belahan Jiwa / 6. Pernikahan Suci

Share

6. Pernikahan Suci

Penulis: Dela Tan
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-30 21:28:46

Pernikahan Ben dan Tiara diadakan di tepi pantai. Kain sifon hijau pupus dan tule putih melambai-lambai. Bangku-bangku kayu putih diikat pita raksasa berwarna hijau pupus berderet di kedua sisi. 

Di tengahnya, jalan menuju altar digelari karpet dari rumput buatan, ditaburi kelopak mawar putih. Lilin-lilin dalam gelas dinyalakan di sepanjangnya. Angin semilir menebarkan semerbak mawar putih dan harum bunga lily. Dua bunga kesukaan Tiara. 

Yang hadir tidak banyak, karena Tiara dan Ben hanya ingin mengundang teman-teman yang benar-benar mereka kenal, dan kerabat dekat. Orang tua Ben tidak keberatan, meskipun mereka pengusaha, tidak mendesak untuk mengundang seluruh relasi yang jumlahnya tidak main-main, tetapi tidak dikenal pengantin.

Tiara berjalan menghampiri altar, lengannya dikaitkan di lengan Bapak. Rambutnya disanggul tinggi dililit mutiara. Gaun putih model kemben dari bahan brokat membungkus ketat tubuhnya. Membuat lekuknya tampak nyata. 

Ia tidak terlalu tinggi, hanya setinggi rata-rata gadis Asia. Ia juga bukan gadis kurus, karena ia suka makan, apalagi yang manis-manis. Tiramisu, cheese cake, chocolate melt, adalah kelemahannya. Untung metabolismenya aktif, jadi ia tidak terjebak dalam tubuh yang gemuk, hanya agak berisi. 

Choker mutiara dua baris yang disambung batu zamrud berbentuk kotak bertatah berlian melingkari lehernya. Buket calla lily putih dalam genggamannya.

Sebenarnya ia tidak terlalu cantik. Tetapi mata hitamnya yang terbingkai bulu mata lebat adalah daya tarik utamanya. Mata milik Bapak yang menurun padanya. 

Kulitnya yang kecoklatan terlihat keemasan tertimpa sinar matahari sore. Riasan wajah Tiara tidak berlebihan. Hanya sentuhan make up berwarna natural. Keseluruhan tampilan yang sederhana dan elegan, tetapi ia tampak bagai dewi Yunani.

Tiara memang tidak suka memoles wajah. Sehari-hari ia hanya mengoleskan krim pelindung matahari di wajahnya, bahkan tanpa membubuhkan bedak, dan bibirnya hanya dihiasi lipstik warna terracota. Rambutnya pun sudah tiga tahun tidak berganti gaya, bob sebahu. Bahkan ia mengaku modelnya masih sama sejak SMP.

Ben memperhatikan Tiara berjalan perlahan menghampiri altar, didahului oleh sepasang bocah laki-laki yang berperan sebagai pembawa cincin dan gadis kecil yang membawa keranjang bunga, menaburkan kelopak mawar sepanjang jalan. 

Senyum Tiara penuh, matanya hanya tertuju padanya. Sementara dirinya sesekali melirik sahabatnya yang khusus datang dari Amerika, yang duduk di barisan kursi depan bersama dua sahabat Tiara, Ruby dan Alana.

Tiara tiba di hadapannya. Ben menuntun tangannya untuk mengucap sumpah suci. Segala nasihat yang disampaikan bapak pendeta lewat dari pikiran dan pendengarannya.

Sejak tadi Ben berusaha menekan gelisah. Berkali-kali ia mencuri pandang pada sahabatnya, yang terlihat tenang. 

‘Ah, kenapa aku juga tidak tenang.’ Ben berkata dalam hati, ‘Kelihatannya dia baik-baik saja.’ 

“Benjamin Adam, bersediakan Anda menerima Tiara Larasati sebagai pendamping dalam susah dan senang, dalam suka dan duka, sampai maut memisahkan?” Suara pendeta membuyarkan dialog tunggal dalam hati Ben.

Ada jeda. Ben terdiam. Ia melayangkan pandang, pada para tamu yang hadir. Lalu matanya berhenti di wajah Mama. Mama menatapnya penuh harap dengan mata yang siap mengalirkan bening, kedua tangan Mama ditangkupkan di depan dada. Ben mengalihkan pandang, kembali menatap Tiara.

“Ya. Saya bersedia.” Tidak ada pilihan lain, ia harus melanjutkan ini.

“Tiara Larasati, bersediakan Anda mendampingi Benjamin Adam mengarungi hidup, melahirkan anak baginya, menjadi pendukung dalam segala keadaan, sampai maut memisahkan?”

Tiara menatap Ben. Ada genangan bening di matanya yang indah. 

“Ya… tentu saja. Saya bersedia.” Tiara mengangguk kuat-kuat. Genangan bening itu bergulir di pipinya.

Bapak pendeta meminta cincin yang dibawa oleh bocah pembawa cincin. Ben memandang wanita yang sebentar lagi resmi sebagai istrinya, sementara ekor matanya menangkap sosok sahabatnya yang lekat menatapnya. Ia merasa hatinya dicubit-cubit. Aliran empedu naik ke mulutnya. Ia merasa mual. 

Cincin disematkan di jari manis kanan masing-masing.

“Dengan disematkannya cincin di jemari kedua mempelai, saya nyatakan pernikahan ini sah. You may kiss the bride -Anda boleh mencium sang pengantin.” Bapak pendeta mengakhiri upacara.

Ben mencium kening Tiara sekilas. Desah kelegaan dan keharuan terdengar di tengah para hadirin. Resmi sudah mereka menjadi suami istri. Terikat dalam perkawinan suci.

Mulai hari ini mereka takkan terpisahkan lagi. Selamanya. Seumur hidup. 

Bab terkait

  • Belahan Jiwa   7. Kenyataan Pahit (1)

    “Besok sahabatku di Harvard akan berkunjung. Kamu ingat dia? Dulu ketika kita menikah, dia juga hadir.” Suara Ben bersemangat. Sudah lama Tiara tak mendengarnya seantusias ini. “Tentu saja aku ingat.” Tiara bahkan lebih antusias. Ia senang Ben dikunjungi sahabatnya. Ben tampak tertekan akhir-akhir ini, mungkin karena kelanjutan studinya harus ditunda, lantaran ia telanjur hamil. Ben memang bersedia menunda satu tahun hingga Tiara melahirkan. Kegiatannya sehari-hari hanya belajar agar lebih siap melanjutkan studi nanti, juga membantu ayahnya di pabrik tekstil.Tiara mengelus perutnya. Ia langsung hamil, padahal hanya melakukannya satu kali di malam pengantin. Mungkin karena hari itu ia dalam masa subur.Sekarang, tanpa terasa kehamilannya sudah memasuki usia enam bulan. Tiga bulan lagi anaknya akan lahir ke dunia. Ia menanti-nanti seperti apa wajah bayi perpaduan parasnya dan Ben nanti.Ia berharap bayinya perempuan, dengan kulit Ben yang bersih dan bibir tipisnya. Hidung kecil dan m

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-30
  • Belahan Jiwa   8. Kenyataan Pahit (2)

    Tiara turun dari mobil Agung, diikuti bik Amah. Rumahnya gelap. Hanya lampu taman yang menyala. Ia heran. Jika Ben belum pulang, siapa yang menyalakan lampu taman. Ia mendongak, melihat lambaian kain gorden di balkon kamar atas. Jendela kamarnya terbuka, tetapi lampu tidak menyala. Ia mulai was-was. Jangan-jangan… ada pencuri membobol rumahnya. Tak mau dicereweti Agung, Tiara menyimpan kekhawatirannya. “Sudah, tinggalin saja.” Ia menggebah Agung agar segera berlalu.“Biarkan aku melihatmu masuk dulu.”“Ini rumahku, Kakeeek.” Tiara mencibir, “Lagipula, ada Bik Amah.”Agung menatapnya ragu. “Bik, kalau ada apa-apa, teriak yang keras ya.” Agung beralih berbicara pada Bik Amah.“Beres...” Bik Amah mengacungkan jempol.Tiara dan Bik Amah menghampiri pintu. Tiara menekan gagang pintu, mencoba mendorongnya. Ternyata terkunci. Berarti tidak ada siapa-siapa di dalam.‘Ah, mungkin waktu pergi, Ben lupa mematikan lampu taman dan menutup jendela kamar,’ pikir Tiara. Ia mengeluarkan serenceng

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-30
  • Belahan Jiwa   9. Hati Sekeras Batu

    Dari semua organ tubuh, hati adalah satu-satunya organ yang bisa memulihkan dirinya sendiri. Jika dikerat untuk didonorkan, itu akan tumbuh kembali dalam dua minggu hingga delapan puluh persen. Dan kembali utuh seratus persen dalam waktu dua hingga tiga tahun. Mungkin dari situlah asal istilah patah hati ketika putus cinta. Bukan patah jantung, atau patah ginjal misalnya. Karena suatu saat hati itu akan pulih kembali. Entah dalam dua minggu, dua bulan, dua tahun. Hanya hati yang memiliki kemampuan itu.Menatap nyalang langit-langit kamar hingga pagi, hati Tiara mulai tumbuh dari retakan karena hantaman kenyataan semalam. Air matanya kering sudah. Ia tidak tidur. Ia berpikir. Apa yang harus dilakukannya? Pulang ke rumah Ibu? Lalu apa yang harus dia ceritakan? Tetap tinggal di sini? Bagaimana ia harus menatap Ben? Fajar sudah hadir, Tiara beranjak dari tempat tidur. Meluruskan kakinya yang bengkak, menyeretnya ke arah pintu. Ia menarik napas dan mengembuskannya dengan keras sebelum me

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-30
  • Belahan Jiwa   10. Batal Demi Hukum

    “Jadi, cuma gua doang yang no clue? Dan kalian bisa-bisanya bungkam mengetahui ini?!” Suara Tiara naik beberapa oktaf, dan Ruby hanya bisa menghela napas.Tiara terdiam sejenak, tampak menimbang-nimbang. “Baiklah, kita tanya Alana. Tapi dia juga harus bersumpah tidak akan membuka ini pada siapa pun.”Ruby mengembuskan napas dan menggeleng-gelengkan kepala. Kesungguhan, keteguhan, kekerasan kepala, apapun namanya itu. Sahabatnya ini memang tukang ngotot. Mereka tahu betul, kalau sudah ada maunya, Tiara tidak akan mundur. Dan di matanya saat ini, menunjukkan bahwa keputusannya tidak bisa ditawar.Itu sudah harga mati.Sekitar tengah hari setelah jam makan siang, Alana sudah ada di depan pintu, bersama seorang lelaki berambut putih dan mengenakan kaca mata minus, usianya mungkin sekitar lima puluhan. “Ini pengacara kenalan oom gua, namanya Bapak Arthur Sitompul. Pak, ini sahabat saya Tiara yang tadi saya ceritakan. Dan ini Ruby.”Mereka bersalaman. Tiara mengajak semua orang masuk, lalu

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-30
  • Belahan Jiwa   11. Sahabat (1)

    Ben duduk di ujung tempat tidur di hotel. Reaksi Tiara kemarin masih terbayang di matanya. Ia merasa bersalah telah menyakiti wanita yang telah setia menunggunya enam tahun dan sekarang sedang mengandung anaknya itu.‘Aku memang pengecut!’ Ben memaki dirinya sendiri, meremas-remas rambut dan menundukkan kepala hingga menyentuh lututnya.Sebuah tangan terulur mengelus bahunya.“It’s fine. At least we don’t have to lie to her anymore. -Tidak apa-apa. Setidaknya kita sudah tidak perlu membohonginya lagi.” Suara yang halus memasuki telinga Ben.“Tapi seharusnya tidak dengan cara seperti ini dia mengetahui tentang kita. Ini terlalu kejam untuknya.” Ben mengangkat kepala dan menggenggam tangan di bahunya itu, menuntunnya agar duduk di sebelahnya, lalu memeluknya.“Aku yang pengecut. I love you so much, I can’t lose you. -Aku sangat mencintaimu, aku tidak bisa kehilanganmu. Aku tidak ingin menyakitinya, tapi malah lebih membuat dia hancur.” Ben teringat malam terakhirnya di Amerika sebelum

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-31
  • Belahan Jiwa   12. Sahabat (2)

    Ketika Ben menyampaikan pada Tiara bahwa sahabatnya dari Amerika akan hadir di pernikahan mereka, Tiara langsung antusias.“Kita carikan dia jodoh orang Indonesia,” Tiara berkata penuh semangat. “Dia tidak akan suka,” Ben berkata ketus. Hatinya terbakar.“Oh ya sudah. Kenapa kamu harus marah?”“Aku tidak marah. Hanya berpikir, dia pasti kesal kalau kita menjodoh-jodohkannya, padahal niatnya datang hanya untuk menghadiri pernikahan kita.”Sepanjang pemberkatan pernikahan konsentrasi Ben terpecah, matanya sering melirik kursi dimana kekasihnya sedang duduk bersama dua sahabat Tiara. Bahkan ia merasa mual, merasa seharusnya yang berdiri di hadapannya bukanlah Tiara, melainkan sosok indah bermata hijau itu.Di malam pengantin, Ben galau, hatinya serasa diremas tangan tak kasat mata. Kekasihnya ada di sini. Setelah terpisah benua sekian bulan, saat ini dia ada di sini. Saat ini mereka dekat, tetapi ia tak bisa merengkuhnya, tak bisa mendaratkan ciuman di bibirnya, tak bisa…Ben menenggak

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-31
  • Belahan Jiwa   13. Ketiadaan Membuat Hati Makin Suka?

    Bagaimana jika awan adalah kumpulan rindu yang menguap dari manusia-manusia yang tak berani mengungkapkannya. Tak sempat menyampaikannya.Saputan halus kerinduan yang terakumulasi menjadi cumulus tebal. Kala kadar rindu itu tak tertahan, itu tercurah menjadi hujan. Gerimis ketika itu hanya ingin membelai dengan lembut, membisikkan cinta yang tak bersambut, tak terkuak, tak terpaut. Badai dan guntur kala putus asa dan frustrasi melanda. Meneriakkan rindu demi mengosongkan sesak di dada.Langit yang terbelah menumpahkan air dahsyat yang tercurah saat ini, adalah rasa rindunya yang tak terperi, meneriakkan emosi pada bumi, agar terpantul pada telinga-telinga orang yang ditujunya. Sosok itu, yang telah menjungkirbalikkan dunianya, akhirnya muncul. Barangkali hujan telah meneriakkan rindunya. Dan sosok itu, sudah mendengarnya!

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-01
  • Belahan Jiwa   14. Layak (1)

    Karena Ben tidak menyanggah, dan tidak ada perlawanan, pengadilan tidak berusaha lagi mendamaikan, sehingga keputusan lebih cepat dari yang diperkirakan. Pernikahan mereka batal demi hukum tepat seminggu sebelum perut Tiara mulas karena waktu melahirkan tiba.Sementara menunggu putusan pengadilan, Tiara tetap tinggal di rumah mereka. Sepanjang dua bulan mereka berusaha tidak berpapasan agar tidak usah bicara.Di hari kelahiran, Tiara berangkat ke rumah sakit hanya ditemani Ruby. Alana sedang ke Bandung untuk temu pembaca dalam rangka promosi novel barunya. Tiara tidak memberitahu keluarganya, juga keluarga Ben.“Setelah melahirkan, aku akan pulang ke rumah Ibu. Barang-barangku, tolong dipaketkan saja.” Tiara berkata datar pada Ben, yang berdiri terpaku setelah niatnya untuk mengantar di

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-02

Bab terbaru

  • Belahan Jiwa   68. Ekstra 5 - Be My Wife (2) The End

    “Hai… sweetheart senang sekali bertemu denganmu lagi,” Marcia memeluk Tiara erat, mencium pipinya kiri dan kanan. “Aduh, sudah berapa lama ini?” “Lima tahun?” Melihat Tiara mengacungkan tangannnya, Marcia membelalak. “Astaga! Waktu benar-benar tidak menunggu.” “Dan kamu…” Marcia menepuk lengan atas Tristan sambil mengernyit, berpura-pura marah. “Berani-beraninya membuat anakku menangis. Apa yang kamu lakukan padanya? Kamu harus menebusnya! Apakah kamu sudah minta maaf?” Tristan mengangkat kedua tangannya dengan sikap menyerah. “Ampun. Aku akan menebusnya seumur hidup. Aku berjanji, itu pertama dan terakhir aku membuatnya menangis. Mulai saat ini, aku hanya akan menyelimutinya dengan cinta. Hanya akan membuatnya tersenyum.” “Nah, itu baru benar!” Marcia masih mengerucutkan bibir. “Sudah kukatakan mataku tidak salah. Aku menangkap binar-binar cinta di mata kalian. Sekarang terbukti, bukan?” “Ya ya…” Tristan dan Tiara tertawa. “Itu juga sebabnya kami kembali ke sini, Tristan ingin

  • Belahan Jiwa   67. Ekstra 4 - Be My Wife (1)

    Jari Tristan menjalari seluruh lekuk tubuh Tiara, mereka berbaring berhadapan, belum kembali mengenakan pakaian yang berserakan di lantai, masih dipenuhi peluh, masih mengatur napas yang nyaris habis. Tadi Tristan bagai kesetanan, menggumuli Tiara sampai merintih, melenguh, berteriak, hingga suaranya habis. Dan kini, tubuh Tiara tergolek tak bertenaga. “Kamu kuat banget,” Tiara berbisik. “Padahal sudah tidak muda lagi.” Tristan tertawa, “Jangan menganggap remeh orang tua. Aku masih kuat kalau kamu mau nambah. Napasku panjang karena aku sering lari, full marathon 42 km. Bagaimana, masih mau lagi?” Tristan menggoda Tiara, memindahkan jarinya dan memutar-mutar di sekitar areolanya. Tiara menggedikkan bahu, “Rasanya tidak nyaman. Sepertinya lecet, kamu sih terlalu ganas.” “Akibat menahan lima tahun, sayang. Oh bukan, kalau menghitung dari kita kenal, sebenarnya tujuh tahun.” Tristan menggosokkan hidungnya ke hidung Tiara. “Jadi, mulai sekarang kamu harus siap aku sergap untuk dib

  • Belahan Jiwa   66. Ekstra 3 - Tak Akan Melepaskanmu

    “Meskipun telah berpisah, aku tidak langsung mencarimu. Aku ingin melihat apakah takdir akan kembali mempertemukan kita. Jika tidak, berarti kita memang tidak berjodoh, dan aku benar-benar akan menghapus segala harapan. Tetapi ternyata… kita kembali dipertemukan. Dan kali ini, aku tak akan melepaskanmu.” Tristan meremas tangan Tiara. “Tentu saja, jika kamu belum bertemu seseorang, dan jika kamu bersedia.” Tiara menunduk, jantungnya berdentum-dentum. “Waktu kamu ulang tahun, kita tidak berfoto. Sekarang, kita sudah bisa berfoto bersama.” Kata Tristan lagi. “Supaya aku bisa melihat bagaimana wajah kita berdua ketika berdampingan, dan aku bisa memandangainya ketika aku sendirian.” Wajah Tiara seketika merona. “Kamu kok jadi lebay begini, malu ah sudah tua.” Tiara kembali berusaha menarik tangannya, tetapi Tristan malah pindah tempat duduk dari depannya ke sebelahnya. “Melihat reaksi kamu, kamu pasti belum bertemu seseorang, dan kamu bersedia. Ya kan?” Di akhir kalimat, Tristan be

  • Belahan Jiwa   65. Ekstra 2 - Tak Ingin Lagi Kehilanganmu

    Berbeda dari biasanya, dimana Tiara hampir selalu hadir lebih dulu dan Tristan hampir selalu terlambat, kali ini, Tiara berjalan berlama-lama, ingin membiarkan Tristan menunggunya.Ia bahkan hampir menyesali telah setuju untuk menemuinya lagi, setelah susah payah membakar jembatan, sekarang jembatan itu akan dibangun kembali?Namun, kata-kata Tristan yang mengatakan ‘banyak yang ingin disampaikan’, telah menggelitik rasa penasarannya. Sebanyak apa? Apa yang dia pendam dalam lima tahun ini, dan mengapa harus disampaikan padanya? Bukankah semuanya telah selesai?Tiara tiba di depan Blue Elephant. Seorang penerima tamu menyambutnya dengan senyum ramah.“Selamat siang. Untuk berapa orang, Bu?”“Sepertinya teman saya sudah di sini,” Tiara agak melongokkan kepala. “Entah dia sudah sampai belum…”“Boleh saya cek namanya?”“Tristan.”Penerima tamu itu memeriksa daftar nama di meja, “Sudah datang, mari saya antar, Bu.” Dia berjalan mendahului Tiara.Tiara mengikutinya ke sebuah meja. Ini bahka

  • Belahan Jiwa   64. Ekstra 1 - Lima Tahun Kemudian

    Tiara berdiri di depan sebuah jendela lebar yang tirainya disingkapkan, menatap jajaran box berisi bayi-bayi yang terbaring di dalamnya.Kirana berdiri di sebelahnya, berjingkat-jingkat sambil memanjangkan leher.“Yang mana ya Mam?” Kirana bertanya.“Kayaknya yang itu tuh, yang ketiga dari kiri.” Tiara meletakkan telunjuknya di kaca.Kirana menoleh padanya, “Kok Mami milih yang itu?”“Soalnya merah sendiri. Yang lain pada kuning.” Tiara menjelaskan alasan akan bayi yang dipilihnya.Kirana kembali mengalihkan pandang ke box bayi itu, berusa

  • Belahan Jiwa   63. Kamu Adalah Luka Parut

    And if you should ask mewhich you are,my answer is -you are a scar. -Lang Leav-Pada akhirnya kita harus mengakui bahwa cinta tidak selalu benar. Cinta bisa jatuh di waktu yang salah, pada orang yang keliru, dalam keadaan yang tidak tepat. Pun ketidakbenaran itu tak menutupi kenyataan bahwa cinta itu hadir. Tak pula lalu meniadakan keberadaannya, bagaimana keras pun itu berusaha disingkirkan, dihapus, dilupakan.Pada akhirnya, itu hanya bisa dibiarkan mereda, mengendap, terkikis bersama waktu. Jika itu tak juga lenyap, dan rasa sakitnya terus terasa, kesakitan itu justru membuatnya nyata. Bahwa cinta itu ada. Pernah ada.Sebab siapa yang bisa menjamin apakah sebuah cinta akan berlangsung selamanya. Atau hanya hadir sesaat. Bukan kemampuan kita untuk melepaskan atau terus menggenggamnya yang akan menentukan rentang waktu cinta, melainkan kedalamannya. Terlepas dari apakah cinta itu benar, atau salah.Tiara menelusuri percakapan-percakapan di layar ponselnya. Semua percakapan denga

  • Belahan Jiwa   62. Kepingan Yang Hilang

    Satu tahun berlalu dalam sekejap mata, itu bagi orang lain.Bagi Tristan, menghabiskan tiga ratus enam puluh lima hari di Italia setelah kepergian Tiara, itu sangat panjang. Itu adalah lima puluh empat minggu. Itu adalah delapan ribu tujuh ratus enam puluh jam. Itu adalah lima ratus dua puluh lima ribu enam ratus menit. Menit demi menit yang ia lalui dengan bayangan Tiara di mana-mana.Tristan belum pernah merasakan kondisi seperti ini. Bahkan ketika remaja. Ia belum pernah merasakan putus cinta, ia tidak pernah mengalami patah hati. Pacarnya hanya satu, yang langsung dilamar menjadi istrinya, sampai sekarang. Tantri.Pantas saja banyak yang sulit sembuh, bahkan mengakhiri hidup. Ternyata rasanya sangat tidak nyaman seperti ini. Berkali-kali ia berkata pada dirinya sendiri, bahwa hidup akan baik-baik saja.Ternyata hidup tidak baik-baik saja. Hidup terasa pelan. Datar. Membosankan. Waktu seolah merayap. Sangat. Lambat. Tetapi tetap harus dijalani. Tristan menjalani hidupnya karena Tuh

  • Belahan Jiwa   61. Rindu Adalah Siksa Yang Nikmat

    Rindu adalah siksa yang nikmat. Bagi Tiara, merindukan Tristan adalah nikmat yang menyiksa. Menyakitkan. Namun menagihkan.'Kamu harus belajar memaafkan,' nalarnya bicara. ‘Maafkan dirimu sendiri, agar bisa melupakan.’Tetapi hatinya tak setuju.Ini bukan tentang memaafkan. Memaafkan diri sendiri. Memaafkannya. Bukan juga tentang menerima kenyataan dan melupakan. Tetapi tentang rasa. Rasa yang tak mau pergi. Beginikah dulu Bapak merindui Ibu? Menggapai dalam ketiadaan, meraih dalam kehampaan. Rindu yang menetap di masa lalu, sementara raga ada di masa kini. Rindu yang terperangkap antara ruang dan waktu. Tak terkikis. Tak terhapus. Kini Tiara mengerti perasaan Bapak. Manakah yang lebih perih? Cinta yang terputus maut? Atau cinta yang terpenjara etika? Keduanya sama. Tak tersampaikan. Tak terpadukan. Kembali ke Indonesia, Tiara melanjutkan hidup. Hanya karena hidup terus berjalan. Satu tahun sudah ia menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Berusaha memunguti serpihan hatinya. Memilih

  • Belahan Jiwa   60. Berhak Bahagia

    “Bagaimana? Apakah hidangannya memenuhi seleramu yang tinggi, Senorita?” Carlos bertanya setelah mereka selesai bersantap. Pertanyaan yang jelas ditujukan pada Tiara.“Lihat saja piring-piring di sini, semua tandas, itu sudah menjawab pertanyaanmu. Dan ralat…” Tiara mengacungkan jari telunjuknya, “Seleraku gak tinggi kok, tidak perlu makanan di restoran mahal, di kaki lima juga oke. Aku hanya suka makan, terutama yang manis-manis.”“Hm… kalau begitu, nanti malam aku bisa mengundangmu bersantap di sini lagi? Hanya kita berdua? Aku akan membuat lebih banyak desserts.” Tanya Carlos. “Bos akan memberiku izin untuk menutup restoran lantai tiga, hanya untuk dia bukan?” Carlos beralih pada Ruby.Ruby mengangguk. “Ya, bukan hanya malam ini, setiap malam pun boleh, asalkan Tiara bersedia.”“Ah, tidak malam ini. Malam ini aku ingin melepas rindu dengan Ruby, kami sudah dua tahun tidak bertemu. Kita mau berbagi cerita sambil berbaring pakai piyama di tempat tidur.” Tiara menolak, dan tersenyum,

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status